NovelToon NovelToon

Skandal Termanis

Awal Kisahku

...♡♡♡...

...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....

...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...

...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...

...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...

...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....

...HAPPY READING!...

...♡♡♡...

"Bulan, tolong aku. Tolong kamu bicara dengan Mas Bintang untuk mempertahankan pernikahan kami. Tolong bujuk dia. Aku yakin dia mau mendengarkanmu. Dia segan padamu. Aku mohon bantu aku, please...."

Itu -- pesan suara dari Mentari, sahabat karibku. Pesan yang ingin kuabaikan namun tak sampai hati aku melakukannya. Hingga akhirnya kuputuskan untuk membantunya.

Sore itu, di sudut sebuah cafe bernuansa Italy, aku menunggu Mas Bintang. Menyeruput segelas cappuccino dingin, sambil sesekali mataku menyapu ke luar jendela. Empat potong shrimp bruschetta yang tadi kupesan pun sudah ludes kusantap. Namun tak juga kulihat sosok yang kutunggu. Mulai kesal rasanya, rasa jengkel menyeruak di dalam dada, dan aku mulai menggerutu. Sudah lebih dari satu jam aku menunggu kedatangan pria itu. Tapi untunglah beberapa menit kemudian pesan suara dari Mas Bintang pun masuk.

“Sudah dekat, maaf tadi keluar kantor agak terlambat,” katanya.

Selang seperempat jam setelah itu, kami pun telah duduk berhadapan. Mas Bintang memesan minuman yang sama dengan yang kupilih. “Kamu nggak pesan makanan?” tanyaku.

Mas Bintang menggeleng. “Masih agak kenyang. Tadi makan siang agak terlambat,” jawabnya sambil meletakkan ranselnya di atas meja. Setelah itu matanya justru sibuk mengamatiku dari atas ke bawah, sambil tersenyum simpul, dia berkata, "Kamu sekarang nampak berbeda dari terakhir kali aku melihatmu."

Terkekeh aku mendengarnya. “Kenapa? Aku terlihat lebih kurus dan lebih cantik? Hmm?” jawabku yang diikuti derai tawa nan renyah.

Mas Bintang pun ikut terbahak. "Kalau boleh jujur, ya, kamu memang selalu cantik. Tapi sekarang jauh lebih cantik. Perubahan yang sangat luar biasa."

"O ya? Kalau begitu terima kasih atas pujiannya." Aku tersenyum. Awal yang baik untuk memulai pembicaraan, pikirku. Suasana yang tadinya kukira akan kaku karena sudah sekian lama aku tak bertemu dengan suami sahabat karibku ini, ternyata tidak terjadi.

Sudah hampir dua setengah tahun kalau tidak salah, aku tidak bertemu dengan Mas Bintang, sejak Mentari membawa pria itu ke rumahku, mengantarkan undangan pernikahan mereka kala itu. Jadi wajar saja jika aku sempat khawatir apa yang diamanatkan Mentari padaku akhirnya akan gagal total sebelum aku mencoba-melakukan usaha yang berarti.

Semoga usahaku membuahkan hasil, harapku.

Namun ternyata nihil. Usahaku tidak membuahkan hasil seperti yang aku dan Mentari harapkan. Boro-boro, bahkan aku belum sempat memulai pembicaraan, Mas Bintang sudah menyekakku lebih dulu.

"Aku tahu maksudmu mengajakku bertemu. Atas permintaan Mentari, kan?"

Aku mengangguk. "Ya," kataku. Namun belum sempat aku mengatakan apa pun lagi, Mas Bintang lebih dulu mencegahku bicara.

"Kamu tidak perlu mengatakan apa pun untuk membujukku. Aku tidak mau mendengarkan apa pun darimu sebagai pembelaan untuk sahabatmu itu. Tapi, yah, aku memenuhi ajakanmu untuk bertemu karena aku yang ingin bicara denganmu. Jadi begini, Bulan, tanpa mengurangi rasa hormatku padamu sebagai anak dari bosku, aku ingin kamu tahu kalau aku tidak akan mengubah keputusanku. Aku tidak akan mempertahankan pernikahan ini, karena aku tidak akan sanggup hidup dengan melihat wajah seorang pengkhianat. Aku akan sesak dalam pernikahan ini kalau kamu tahu itu. Mentari tidak akan pernah bisa berubah. Seandainya pun iya, kalaupun dia sungguh-sungguh menyesal dan berubah sekalipun, itu tidak akan mengubah pandanganku terhadap dirinya. Bagiku dia sudah terlanjur menjadi seorang pengkhianat. Akan seperti itu sosok Mentari di mataku. Selamanya. Jadi bagaimana aku bisa hidup bersamanya? Mustahil."

Hmm... susah sekali meyakinkan pria itu untuk menerima istrinya kembali. Dia menganggap semua tingkah dan penyesalan yang diperlihatkan oleh istrinya itu hanyalah kepalsuan sesaat yang akan kembali lagi kala perempuan yang sudah ia nikahi itu kelelahan memakai topengnya.

"Aku tidak bisa lagi bersamanya. Sudah sangat muak aku melihat perempuan itu. Kalau dipaksakan, aku yang akan sesak. Makan, minum, kerja, sebelum tidur dan setelah bangun tidur, aku akan selalu melihat wajah itu. Aku tidak akan tahan. Apalagi untuk... kamu tahu, kan, maksudku? Misalnya seperti ini, maaf sebelumnya, tapi kita sudah sama-sama dewasa, jadi akan kukatakan secara gamblang. Misalnya aku mempertahankan pernikahan kami, dan aku mesti memberikan nafkah batin, melakukan hubungan suami istri dengan... wanita seperti dia, maka yang akan timbul hanyalah kebencian. Hanya rasa benci. Dan yang akan kuingat hanyalah pengkhianatannya. Dia berselingkuh dan dipakai oleh pria lain. Tidak." Dia menggelengkan kepala, menyeringai frustrasi. "Aku tidak bisa. Harusnya kamu orang yang paling bisa memahami posisiku. Kamu pernah berada di posisiku saat ini. Bagaimana ketika pasangan kita berselingkuh, di luar rumah kita, di atas ranjang lain, dia bergumul dengan orang lain, lalu setelah pulang, dia ada di ranjang kita, bersama kita, bercinta dengan kita. Astaga, itu menjijikkan sekali. Sialan! Bagaimana aku bisa terjebak dengan wanita jalan* seperti itu? Maaf, Bulan, tapi aku jijik. Setiap kali aku teringat, bahwa aku... masuk... ke... lubang yang sama yang sudah dikubangi juga oleh orang lain di belakangku, aku marah. Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Sori, aku bukannya sok suci. Aku jelas bukan pria religius, tapi setidaknya aku ingin pasanganku menghormati pernikahan kami dengan kesetiaan. Tapi sahabatmu itu? Kalau saja tidak ketahuan, mungkin selamanya dia akan berbagi kehangatan ranjang dengan pria lain." Mas Bintang mengusap-usap wajahnya dengan kesal. "Tidak bisa. Secara agama dia bukan istriku lagi. Dan... sebenarnya aku sudah menjatuhkan talak tiga. Aku hanya butuh hakim memutus pernikahan kami supaya sah secara hukum negara. Keputusanku sudah final. Dan lihat, kamu saja tidak ingin bertahan, dan kamu bahagia dengan jalan yang kamu pilih. Aku juga menginginkan hal yang sama. Aku ingin bahagia. Bisa kamu pahami perasaanku, Bulan?"

Yeah, aku sangat paham akan perasaan itu. Tak jauh lebih baik dari yang kualami dulu. Hidup dalam kepalsuan yang kurang lebih sama, pengkhianatan-pengkhianatan dan rekayasa mimpi-mimpi dalam keterkurungan sebuah sangkar besi yang dinamakan perkawinan, berakhir dengan terbongkarnya maksud dan tujuan Mas Ardi menikahiku dulu yang tak pernah terbayangkan olehku, lalu tersadar telah membuang tiga tahun hidup dengan penuh pengorbanan dan tanpa pernah ada hitungan. Pengkhianatan paling menyakitkan yang pernah kurasakan, manakala pada akhirnya aku tahu bahwa keberadaan diriku ternyata dinilai sebatas materi saja. Mungkin akan lebih baik bagiku melihat Mas Ardi berselingkuh dengan seribu wanita, daripada setelah sekian lama mataku baru terbuka bahwa Mas Ardi menyandingku sebagai istri hanya karena harta kekayaan orang tuaku. Hanya demi materi dan kesenangan duniawi.

Mengingat itu, seketika seperti ada yang terlepas sumbatannya. Cerita kelam dari lubuk hatiku pun bagai banjir bandang, tumpah ruah membludak diiringi isak tangis yang sudah tak terbendung lagi, tanpa bisa diredam. Terlalu lama semua kepahitan itu kusimpan sendiri, tanpa pernah kubagi barang sedikit pada siapa pun, walau hanya untuk sekadar meringankan beban pikiran. Orang-orang hanya tahu bahwa Mas Ardi suka main perempuan karena kebiasaan barunya. Dia suka bergonta-ganti perempuan setelah punya banyak uang. Dengan alasan ada pekerjaan di luar kota, dia malah pergi dengan mengajak seorang gadis bersamanya, menghabiskan hari-hari penuh kesenangan dan menginap di hotel untuk bercumbu dengan gadis-gadis muda yang menyukai uangnya.

Huh! Mungkin dia mengira dirinya itu pintar karena bermain serong seperti itu di luar Jakarta. Tetapi bukan berarti karena dunia ini begitu luas sehingga dia mengira aku tidak akan pernah mengetahui betapa berengseknya dia.

Tidak. Berita itu sampai juga di telingaku hingga aku nekat membuntutinya. Pada akhirnya aku memergoki Mas Ardi tengah bercumbu di sebuah hotel di luar kota bersama salah seorang gadis. Aku tidak menilai hal itu sebagai sebuah perselingkuhan, sebab aku yakin gadis-gadis itu hanyalah sekadar mainan bagi Mas Ardi. Bukan gadis yang sama yang pernah dikirim fotonya oleh beberapa temanku ketika mereka melihat Mas Ardi sewaktu mereka tak sengaja bertemu di luar kota. Gadis-gadis di dalam foto yang dikirimkan oleh teman-temanku itu selalu gadis yang berbeda. Beda kota, beda gadis yang bersamanya. Sebab itu aku yakin mereka sekadar hiburan semata bagi Mas Ardi. Kesenangan di atas ranjang yang dibeli dengan uang. Gadis-gadis muda itu menggelayuti Mas Ardi demi uangnya, demi kesenangan, jalan-jalan ke luar kota, belanja barang-barang mahal, dan menginap di hotel-hotel mewah. Segalanya bukanlah dilandasi dengan perasaan. Sama halnya dengan pernikahan kami, hanya dilatari jabatan tinggi di perusahaan ayahku dan mengharapkan warisan yang kelak akan jatuh ke tanganku. Beruntung, semua niat busuknya itu terbongkar sebelum benar-benar terlambat.

Yeah, sudah tak kuingat lagi tugas yang kuemban sebagai seorang istri, terkubur oleh himpitan beban yang menggerus ketahanan mentalku. Aku memilih bercerai dengan Mas Ardi setelah melihat dengan mata dan kepalaku sendiri perbuatan busuknya di sebuah hotel kala itu. Pada akhirnya, saat itu, yang tertinggal hanyalah diriku dan air mata.

Melihat pemandangan nelangsa di depan matanya, tangan kasar Mas Bintang pun spontan menggenggam tanganku yang sedikit gemetar, menahan emosi.

"Sudahlah, sabar saja,” katanya, mencoba menghibur.

Dulu, pada saat dia dan Mentari datang ke rumahku untuk mengantarkan undangan pernikahan mereka, Mas Bintang tahu dari Mentari bagaimana keadaanku saat itu: aku sedang dalam situasi yang pelik, sedang berusaha lepas dari lelaki parasit yang saat itu masih berstatus sebagai suamiku. Dalam persidangan perceraian yang berkepanjangan dan masa-masa yang membuatku depresi karena pria itu tidak ingin bercerai denganku. Saat itu aku dalam keadaan terburuk sebagai efek dari rasa frustrasi: melewati sidang demi sidang yang amat menjengkelkan hati.

Sabar saja. Hmm... memang apa lagi yang bisa kulakukan selain itu? Menangis hanyalah pelampiasan sesaat untuk membuang beban. Menjadikan butiran-butiran air mata itu sebagai tiang-tiang pembangun kekuatan diriku untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk memperlihatkan kelemahan.

Kutarik tanganku dari genggamannya dan menghapus air mata. "Maaf, Mas," kataku akhirnya. "Tapi kamu dan Mentari punya Kayla. Apa tidak kamu pertimbangkan kembali keputusanmu demi Kayla?"

"Kayla bukan darah dagingku."

"Apa?" Aku sampai melotot, tak percaya.

"Ya. Sudah enam bulan aku keluar dari rumah sebelum memutuskan untuk bercerai. Untuk menenangkan pikiran dan mempertimbangkan semuanya. Sampai akhirnya, aku lupa bagaimana awalnya, ada temanku yang menyarankan untuk tes DNA. Dan aku melakukannya." Mas Bintang menggelengkan kepalanya. Matanya memerah. "Hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Tapi mau bagaimana lagi? Sebab itulah aku sama sekali tidak ragu lagi melayangkan gugatan cerai. Sudah dua kali sidang, tapi Mentari bersikeras menolak perceraian ini. Mungkin nanti... kalau sudah habis kesabaranku, aku akan menggunakan bukti tes DNA itu untuk membuat hakim berpihak kepadaku. Kalau terpaksa, mau bagaimana lagi, kan? Aku juga tidak ingin membuat Kayla terseret dalam persidangan ini. Andai saja bisa. Itu tergantung Mentari. Tapi yang pasti aku akan selalu menyayangi Kayla sebagai putriku."

Aku mengangguk. Merasa salut pada sikap Mas Bintang sebagai seorang ayah, meski Kayla bukanlah darah dagingnya, tapi dia tidak ingin langsung melibatkan anak itu dalam pertarungannya dengan Mentari di meja hijau.

"Jadi," sambungnya setelah menenggak setengah gelas cappucino dingin miliknya, "masih ada yang ingin kamu sampaikan? Masih ingin membujukku demi sahabatmu itu?"

Hmm... serasa kena sindir dengan telak. Aku menggelengkan kepala. "Tidak," kataku. "Aku menghargai keputusanmu. Dan aku salut pada sikapmu yang... keayahan. Kamu seorang ayah yang bijak."

"Ya. Bagaimanapun juga selama ini yang kutahu Kayla adalah darah dagingku. Anak yang kusayangi. Tapi kenyataannya... seperti ini. Tapi seperti yang kukatakan barusan, sepahit apa pun itu, itu tidak lantas mengubah cinta seorang ayah terhadap putrinya. Aku tidak akan membenci Kayla. Kurasa kamu pun akan bersikap sama kalau kamu berada di posisiku. Kamu pasti keibuan."

Untuk sesaat aku kembali merasa sedih, teringat pada janin yang tak sempat terselamatkan. Janin yang baru kuketahui keberadaannya saat aku mengalami keguguran. Kejadian itu persis pada saat aku memergoki Mas Ardi di hotel dan kami bertengkar habis-habisan. Mas Ardi yang kalaf melayangkan tamparan hingga aku terjerembab ke lantai. Janinku yang masih begitu muda langsung tumbang di tangan ayahnya sendiri. Saat itu aku baru tahu kalau aku hamil, saat yang sama di mana aku telah kehilangan.

Bulir-bulir bening kembali menetes dari pelupuk mata. Harusnya aku sudah memiliki buah hati kalau saja pertengkaran heboh itu tidak terjadi. Dan nasibku tidak akan senelangsa ini, hidup kesepian sebagai seorang janda.

"Bulan? Are you ok?"

Aku mengangguk, kembali sibuk menyeka air mata.

“Yuk?” ajak Mas Bintang. "Kamu sudah terlalu lama di cafe ini. Tidak enak."

Ya, dia benar. Aku sudah terlalu lama menunggunya tadi. Apalagi sekarang aku menangis begini. Orang-orang yang melihat kami bisa berpikir yang tidak-tidak tentang kami.

Akhirnya, tak perlu banyak kata lagi, kami pun keluar dari cafe itu.

"Well, berhubung aku sudah memenuhi ajakanmu untuk bertemu, kurasa sekarang giliran aku yang meminta waktumu."

Eh?

Berbagi Waktu

"Kan aku sudah meluangkan waktuku untukmu. Harusnya kamu tidak keberatan, dong, kalau aku mengajakmu jalan?" tanya Mas Bintang, bermaksud mengajakku mencari sebuah tempat untuk menghabiskan sisa malam itu. "Mau nonton?"

Sebenarnya aku ingin menolak. Namun senyum tulus di wajahnya dan kata-katanya yang menyekakku dengan telak, membuatku tidak enak hati pada Mas Bintang dan akhirnya aku menerima ajakannya. Kami pun pergi ke bioskop untuk menonton film horor: melewati malam dalam ketegangan, jeritan rasa takut, dan sedikit bumbu-bumbu romantisme yang membuat dadaku terasa sesak.

Sebenarnya, pada awalnya aku menolak, aku tidak cukup berani untuk menonton film horor. Tapi Mas Bintang berhasil meyakinkan aku, atau tepatnya membujuk dan merayu.

"Tidak perlu takut," ujarnya. "Film horror itu bagus, tahu, untuk mengalihkan pikiran. Lagipula kan ada aku, akan kuberikan bahuku sebagai tempat pelampiasan. Kamu boleh cubit, kamu boleh pukul, mau bersandar juga boleh. Tapi jangan ngiler. Nanti basah," candanya, membuatku mendelikkan mata kepadanya, lalu dia terkekeh dengan keras.

Well, aku menyetujui ajakannya. Malam itu kami menonton film horor dan aku nyaris mati ketakutan.

"Kenapa Bulan mesti takut?" tanya Mas Bintang dalam bisikan sewaktu aku menutup mata dengan kedua telapak tangan. "Bukankah Bulan selalu sendirian di atas sana?"

Hmm... bisa saja dia. Kujauhkan kedua tanganku dan membuka mata untuk menatapnya. "Kata siapa bulan sendirian di atas sana? Ada jutaan bintang yang menemaninya setiap malam. Tidak peduli dalam keadaan segaris sabit, atau purnama yang sempurna, akan selalu ada jutaan bintang bersamanya."

"Ya, selalu ada jutaan bintang bersamanya. Tapi di sini hanya ada satu Bintang untukmu. Bintang Purnama yang akan selalu menemanimu. Selamanya."

Ups! Haha!

Aku tergelak keras, sampai-sampai membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah kami. "Dasar pria gombal!" ledekku seraya menjulurkan lidah untuk mengejeknya.

Mas Bintang hanya terkekeh. Matanya nyaris tinggal segaris karena wajah tampannya dihiasi senyuman yang indah.

"Sahabatku itu bodoh sekali karena menyia-nyiakan pria semanis bintang purnama seperti dirimu."

Dia mengedikkan bahu, lalu cemberut. "Bulan Purnama yang cantik jelita, bisa tidak jangan membahas hal itu lagi?" Dia mencubit gemas kedua pipiku. "Aku sedang berusaha move on, tahu...."

Uh! Aku meringis. Dia mencubit kedua pipiku sungguhan. "Sakit, tahu!"

"Biar saja. Biar kamu tahu rasa," dia balas meledek dengan menjulurkan lidah dan menjulingkan mata.

Dan membuatku tertawa. Dia pria yang baik. Kenapa Mentari begitu bodoh berselingkuh dari pria sebaik ini? Apa yang kurang dari Mas Bintang dibandingkan dengan pria-pria selingkuhannya? Bahkan aku tahu Mas Bintang salah satu karyawan terbaik di kantor Papa. Sebagai seorang pria yang mandiri dan tanpa modal dari orang tua, dan hanya berstatus sebagai seorang karyawan -- bukan seorang usahawan, wajar jika dia belum bisa memanjakan pasangannya dengan kekayaan yang berlimpah. Dia mesti menyisihkan gajinya untuk cicilan rumah dan mobil, sebagai tempat berteduh untuk keluarga kecilnya, dan transportasi yang nyaman untuk mereka. Dan asalkan kebutuhan dapur selalu terpenuhi, bukankah itu sudah cukup untuk membina rumah tangga yang bahagia? Takdir memang aneh, pria sebaik ini kenapa tidak ditakdirkan untukku saja? Dan kenapa malah pria seburuk Mas Ardi yang pernah menjadi bagian dalam hidupku?

"Hei?" tegur Mas Bintang saat tanpa sadar tatapanku terfokus kepadanya. "Kenapa menatapku seperti itu? Hati-hati, nanti kamu bisa jatuh cinta."

Iyuuuuuuh... dia kembali membuatku terkekeh-kekeh. "Percaya diri sekali kamu! Dasar pria!" ledekku.

Setelah aku berkata seperti itu, aku kembali memperhatikan layar di hadapanku, persis pada saat adegan romantis baru saja dimulai. Sepasang kekasih tengah bercumbu mesra. Dengan hasrat dan gairah. Berciuman, lalu berakhir di ranjang.

Ya Tuhan, aku meneguk ludah dengan susah payah. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba melandaku. Membuatku tidak nyaman dan seakan hidupku nelangsa sendiri. Kesepian, dan, merasa bagaikan insan yang paling tidak beruntung di dunia.

"Kamu tidak sendiri. Ada yang senasib denganmu di sini," bisik Mas Bintang, lalu ia merangkulkan tangannya kepadaku.

Malam itu, dalam penerangan minim gedung bioskop, pria itu membagi bahunya untuk aku bersandar, dan menumpangkanku pada dada bidangnya untuk sebuah pelukan yang hangat.

Seusai menonton film horor, kami pergi ke tempat karaoke, itu atas usulan Mas Bintang juga yang menyeret dan memaksaku masuk ke tempat karaoke. Mengekpresikan diri dalam suara-suara sumbang, berbagi canda dan tawa, dan melupakan waktu. Tanpa kusadari, sudah lewat tengah malam ketika kami keluar dari tempat karaoke.

Malam itu, jam satu dini hari, kami melintasi jalanan Jakarta yang lengang menuju rumahku. Dan setibanya di halaman rumahku, Mas Bintang cepat-cepat keluar dari mobil dan membukakan pintu penumpang untukku. "Terima kasih," ucapku, dia hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu, karena ia tidak beranjak kembali ke mobil atau mengatakan sesuatu, aku mengarahkan pandang ke pintu rumahku. "Sudah malam," kataku. "Aku... permisi."

"Tidak menawariku masuk?"

"Oh? Kamu...."

"Boleh?"

"Emm... tapi... hari sudah malam."

"Bahkan ini sudah pagi. Ayo, habiskan sisa waktumu bersamaku."

Tanpa perlawanan, atau sekadar penolakan, aku membiarkan Mas Bintang menggenggam tanganku dan menggandengku ke pintu.

Meski ragu, aku mengeluarkan kunci dari tas tanganku dan membukakan pintu. "Silakan," kataku, dengan hati bimbang, aku membiarkan pria itu mengikutiku masuk ke dalam rumahku dan menutup pintu di belakang punggungnya. "Kamu mau minum apa?"

Dia mengedikkan bahu. "Apa saja," katanya. "Minuman dingin juga boleh. Yang simpel saja."

"Oke. Tunggu, ya, biar aku ambilkan."

Aku segera menuju ke dapur dan kembali ke ruang tamu dengan sebuah nampan besar di tanganku, membawa sepiring kue brownie dengan topping cokelat di atasnya dan beberapa minuman kaleng ketika Mas Bintang berdiri di dekat jendela kaca. Memandang ke angkasa lepas, dan tersenyum.

"Ada apa?" tanyaku. "Apa yang kamu lihat?"

Dia menunjuk ke atas, ke langit hitam pekat nan jauh di sana. "Bulan purnama, dengan sejuta bintang."

Aku tersenyum mendengarnya. Dia seperti seorang pujangga yang sedang merayu seorang gadis. "Pilih saja mana yang kamu suka," kataku, lalu meletakkan nampan minuman di tanganku ke atas meja.

"Kurasa aku suka yang ada di depan mataku. Calon Nyonya Bintang."

Euw, kali ini bibirku mengerucut. Memberengut dalam versi yang positif. "Sudahlah, jangan bercanda terus. Yang kumaksud minuman ini. Kamu pilih saja mana yang kamu suka. Bukan tentang bulan dan bintang."

Mas Bintang terkekeh. Dan nampak sangat bahagia. Binar itu nampak jelas di matanya, dan wajahnya yang ceria. Seolah beban yang membelenggunya, yang terlihat jelas saat pertama kali aku melihatnya masuk ke cafe tadi, sudah sirna, terangkat dari pundaknya.

Benar. Jika perpisahan membawa bahagia dan kebersamaan justru membelenggu, menyiksa hati dan jiwa, maka tidaklah salah jika kita memilih bahagia. Meski harus berpisah....

Terperangkap Rasa

"Apa aku boleh menganggap sedang berada di rumahku sendiri?" tanya Mas Bintang, ia tersenyum seraya melepaskan sepatunya.

Aku mengangguk. "Terserah kamu saja," kataku, meski dalam hati aku ingin meledeknya: Kamu pria yang banyak maunya. Tapi tidak kukatakan, aku sedang dalam keadaan... merasa kurang nyaman untuk bercanda sekarang, atau terus bercanda dengannya. Entahlah. "Oh ya, kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku ke kamar sebentar," kataku setelah menaruh sepiring kue ke hadapannya.

Seraya mengambil satu kaleng kopi dingin, Mas Bintang mengangguk, lalu aku berlalu menaiki tangga menuju kamarku, menaruh tas tanganku dan mengeluarkan ponselku yang lowbat. Aku perlu mengisi daya baterainya. Kemudian pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

Setelah keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian, kusadari ponselku bergetar. Ada panggilan masuk di ponselku. Telepon dari Mentari.

Seketika aku jadi bingung, merasa ragu untuk menjawab telepon itu karena keberadaan Mas Bintang di rumahku semalam ini, tepatnya dini hari begini. Aku tahu, pasti sedari tadi dia berusaha menghubungiku. Dan sekarang ponselku baru saja aktif. Dia pun pasti menyadari hal itu.

Demi tidak terkesan menghindar, aku pun segera melepas ponselku dari charger untuk menjawab telepon Mentari. Toh, percuma. Dia akan terus menagih jawabanku kalau aku tidak menjawab secepatnya.

Klik! Sambungan telepon terhubung.

"Halo, Bulan, ya ampun, akhirnya kamu bisa di telepon."

"Ya. Maaf, Tari, aku baru charge HP-ku," sahutku, gelisah.

"Oh, begitu. Syukurlah. Dari tadi aku coba menghubungimu, kupikir ada apa tadi. Oh, ya, omong-omong, bagaimana? Kamu sudah bicara, kan, dengan Mas Bintang?" berondongnya.

Aku menelan ludah. "Ya," kataku. "Sudah."

"Lalu? Kamu berhasil, kan, membujuknya?"

"Emm... soal itu...."

"Ada apa?"

"Maaf, Tar. Tapi Mas Bintang... dia menolak."

"Gimana, sih, Lan? Kamu kan bisa bujuk dia. Setahuku dia segan sama kamu. Dia kan kerja di perusahaan papamu atas bantuanmu. Harusnya dia tidak menolak kalau kamu menasihatinya."

"Ya ampun, Tar, apa hubungannya? Masalah personal tidak bisa dihubungkan dengan pekerjaan. Apalagi ini urusan rumah tanggamu. Mana bisa Mas Bintang kembali padamu hanya karena merasa tidak enak padaku."

"Ah, sudahlah. Aku menyesal mengharapkan pertolongan darimu. Bagaimana mungkin bisa. Kamu saja memilih bercerai dengan suamimu. Tidak mungkin kamu mau memikirkan pernikahan orang lain. Sekalipun pernikahan sahabatmu sendiri."

Ya ampun... dia mulai tidak waras. "Jangan bicara seperti itu, Tar," kataku, berusaha menahan emosi. "Tolong jaga bicaramu."

"Kenapa? Aku benar, kan? Harusnya aku tahu, kamu akan lebih suka kalau aku menjanda sepertimu. Nelangsa dan kesepian."

Sakit hati, bingung, dan semakin marah, aku berteriak kepadanya, "Kurang ajar! Beraninya kamu bicara begitu padaku."

"Sudahlah, Bulan! Kamu memang tidak bisa diharapkan!"

Tut!

Sambungan telepon diputus sepihak.

"Berengsek!" hardikku. "Dia yang salah, kenapa dia yang marah-marah? Dasar tidak waras!"

Amarah menggelegak di dalam diriku. Aku sangat marah! Aku kesal! Aku benci sifat Mentari yang sekarang. Dia bukan lagi Mentari yang kukenal dengan baik semasa SMA dan semasa awal kuliah dulu. Sekarang dia begitu egois dan bertindak semaunya.

"Sabar, Bulan. Sabar," kataku pada diri sendiri seraya memejamkan mata. "Kamu sudah mencoba, tapi hasilnya bukan di tanganmu. Tidak usah peduli dengan ocehan Mentari. Abaikan saja. Oke? Yang penting mulai sekarang jangan lagi ikut campur urusannya. Dia orang yang tidak tahu terima kasih dan tidak pantas dikasihani."

Kuhela napas dalam-dalam. Berusaha mengabaikan kekecewaan Mentari terhadapku dan mengabaikan kejengkelan hatiku terhadapnya. Tetapi...

Walaupun begitu, ada rasa sesak di dalam dada. Mengingat dua belas tahun pertemanan kami, bisa dibilang kami bersahabat. Tapi sekarang...?

"Well, abaikan saja, Bulan. Abaikan saja!"

Kusambungkan kembali kabel charger ke ponselku dan menaruhnya kembali ke atas meja kecil di samping tempat tidur. Lalu aku membuka pintu hendak keluar dari kamar...

"Oh! Mas...? Kok kamu ada di sini?"

Aku terkejut. Mas Bintang berdiri tepat di depan pintu kamarku dan mendengar semua pembicaraanku. Dia pun pasti mendengar aku marah-marah, melampiaskan emosiku setelah Mentari memutus telepon secara sepihak.

"Aku mengkhawatirkanmu," katanya. Ia berdiri di hadapanku dengan kedua tangan di dalam saku-saku celana, tertunduk dengan rasa bersalah. "Tadi... aku mendengarmu marah-marah, jadi aku menyusulmu ke sini. Dan benar saja," ujarnya seraya mengangkat kepala, tapi kedua matanya masih menyorotkan penyesalan. "Maaf, ya, dia jadi marah-marah padamu gara-gara aku."

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Mas. Bukan gara-gara kamu," kataku. "Bukan kamu yang salah. Lagipula, aku yang bodoh. Harusnya dari awal aku tidak ikut campur urusan kalian." Aku mengedikkan bahu. "Aku yang salah. Aku yang--"

"Ssst...." Ia meletakkan satu jari di bibirku. "Kamu tidak salah. Kamu perempuan yang baik. Kamu peduli pada orang lain dan aku bangga padamu."

Deg!

Tak kuduga, setelah bicara begitu, Mas Bintang menyentuh wajahku, matanya menatap intens kedua mataku, lalu berujar lembut, "Kamu tidak pantas mendapat perlakuan buruk. Hatimu baik. Dan di mataku, kamu seperti seorang dewi penolong. Bahkan... aku merasa nyaman bersamamu."

Aku terdiam. Sentuhan Mas Bintang seakan mempunyai berjuta makna. Ada yang mendesir di dalam dada. Seperti air mengalir, tetapi lebih menyejukkan. Seperti sengatan listrik, tapi lebih mendebarkan.

Tanpa kuinginkan, aku menikmati momen ini -- sebelum akhirnya aku berusaha mendongak untuk memandang wajah yang...

Sanubariku mengatakan betapa gagahnya dia. Garis tampan itu memang jelas nyata sekarang.

Dalam hening kami berdua terpaku, pelan kurasakan tubuh kami kian dekat, benar-benar mendekat. Mas Bintang mendongakkan wajahku, dan bibirnya...

Aku tidak bereaksi apa-apa. Aku juga tidak menolak.

Tanpa banyak suara, kecupan Mas Bintang pun mulus mendarat di bibirku.

Gemetar...

Berdebar...

Dan aku... aku sangat menikmatinya. Hingga beberapa menit berikutnya, kurasa aku tidak ingin melepaskan kecupan mesra itu dari bibirku. Kurasakan kehangatan yang... entahlah... aku tak dapat menyebutnya. Aku sungguh-sungguh menikmati.

Mas Bintang yang lebih dulu menarik wajahnya tersenyum, membuatku tersipu.

Setelah itu, kami berdua terdiam dalam keheningan. Terpaku dengan pikiran sendiri-sendiri. Lalu mata kami pun kembali saling beradu. Satu sama lain mengerti apa yang dimau, walau tanpa suara. Hanya bahasa tubuh kami yang saling bicara.

"Aku menginginkanmu," katanya seraya menarikku lebih dekat ke dalam dekapannya. Suaranya serak dan berat. Dan tatapan matanya membakar diriku. "Aku menginginkanmu, Bulan."

Kembali, ia menyambar bibirku. Aku mengeran*. Kembang-kempis dadaku. Dan kurasakan jantungku berdetak lebih kencang. Ada rasa berdebar yang kurasakan, seakan aku seorang gadis belia yang sedang jatuh cinta. Dan... momen ini membuatku bahagia, aku dapat merasakan seluruh dirinya, kekuatan lengannya yang memelukku begitu erat.

Oh, Tuhan... sesuatu telah terjadi kepadaku. Tak bisa kupungkiri, aku pun menginginkan pria ini....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!