Bel sekolah baru saja berdentang nyaring, banyak siswa yang berlarian memburu gerbang sekolah, dan seorang penjaga muda yang masih ramah ketika jam baru saja lewat 5 menit.
Seorang anak perempuan yang memakai hijab syar'i baru saja berlari, namun sayang karena sudah telat selama 10 menit akhirnya pintu gerbang sekolah pun ditutup.
Nampak tak terima dia memohon sekali, membayangkan bagaimana reaksi ayah dan ibunya di rumah setelah menerima laporan keterlambatannya di sekolah, belum lagi guru mapel fisika yang super-super itu. "Pak-Pak... Buka Pak!" Pintanya berteriak, memohon sekali dengan wajah yang sedih.
Namun hanya sebuah senyuman yang didapatnya waktu itu dan pintu gerbang yang tidak pernah dibukakan.
Mau bagaimana lagi, Fika hanya bisa menghela napas dan memunggungi gerbang sekolah lalu berjalan menjauh ke arah warung yang ada di seberang sekolah. Benar, aturan sekolahnya yang sangat menjunjung tinggi disiplin waktu, jika sudah kesiangan mau apalagi.
"Loh, Anggi?" Serunya tak percaya karena melihat teman sekelasnya duduk di dalam warung, artinya Anggi juga kesiangan.
"Alhamdulillah akhirnya ada teman kesiangan." Ejek Anggi membuat Fika kesal. Namun begitulah Anggi dia selalu mengganggunya.
Itulah Fika seorang gadis yang baru saja kelas XI SMA. Melihat Fika yang diam saja akhirnya bisa membungkam mulut Anggi yang terus menertawakannya dari tadi, namun suasana menjadi canggung karena memang tidak begitu baik membuat orang lain merasa kesal seperti itu.
Anggi kembali menyeruput jus di mejanya. Kemudian menyerahkan sejumlah uang untuk membayar jus yang dia minum.
"Aku duluan Fika!" Seru Anggi saat itu sambil berlari terburu-buru. Fika tak bisa menanyakan mau kemana Anggi pergi, karena Anggi sudah cepat sekali pergi menjauh.
"Neng ini jusnya diminum." Ucap ibu warung menyodorkan minuman. Fika memandangi heran.
"Tadi dari temannya." Jelas ibu warung.
Fika kembali melihat ke arah Anggi berlari tadi yang sudah tidak nampak, dia merasa tidak bisa menerima sesuatu dari orang lain tanpa alasan seperti ini. Tapi pikirannya mencerna kembali, mubazir jika tidak diterima artinya dia kurang bersyukur. Akhirnya Fika meminum jus yang sudah dipesankan untuknya itu.
Hanya tinggal dia sendirian di warung, dari tadi dia juga terus membagikan pandangannya kesana kemari, tidak tenang. Belum lagi Anggi yang tak kunjung nampak, jika melihat situasi yang ada dan dipikirkan lagi mungkinkah Fika satu-satunya siswa yang kesiangan hari ini?
Fika semakin tak tenang, menunggu waktu setengah jam pembelajaran sampai akhirnya pintu gerbang pun dibuka, seperti halnya sudah menunggu selama seharian penuh. Membosankan sekali.
Waktu sudah berlalu dan sudah satu jam pembelajaran pertama. Fika berjalan menunduk menyusuri setiap koridor kelas. Bagaimana bisa hari ini adalah hari sialnya, karena dia adalah satu-satunya siswa yang kesiangan di sekolah. Bayangkan bagaimana dia harus menahan malu dari pandangan orang-orang setiap kali Fika melewati banyak kelas. Namun Fika tak pernah tahu jika Anggi yang berjalan santai di belakang nya juga. Reaksi Anggi tidak seperti Fika yang terlalu mempermasalahkan soal sekolah, Anggi adalah orang yang sebaliknya.
Sampai di depan pintu yang bertuliskan XI IPA 5. Fika masuk menunduk, dia benar-benar fokus pada kakinya saja tanpa tahu saat melihat ke sekeliling yang tidak nampak ada satupun orang di dalam kelas. Fika terheran dan bertanya-tanya kemana yang lainnya?
"Pak Rusli gak masuk katanya ada keperluan." Sebuah suara yang membuat Fika langsung menoleh. Ternyata Anggi yang dengan santainya duduk di salah satu bangku siswa. Anggi bahkan tak melihat ke arah Fika dia dengan santainya juga berjalan keluar dari kelas.
Fika masih mematung mencerna kembali perkataan Anggi tadi. "Tidak masuk." Ejanya dalam hati. Namun seketika raut gembira tampak jelas merona di pipinya. Akhirnya dia bisa selamat untuk hari ini, setidaknya Fika tidak akan mendapatkan hukuman dari Pak Rusli karena kesalahannya sekarang. Tunggu apalagi? Dia akan mencari Sarah dan Yunita ke kantin.
Ketika dengan percaya dirinya berjalan melewati koridor kelas yang tadi dia lewati juga. Kali ini bedanya Fika benar-benar ada dalam keadaan sangat baik, hatinya tenang dan damai sekali.
Tepat pada belokan arah kanan ketika dia melewati ruang komputer matanya sekilas menangkap banyak siswa yang ada di ruangan itu. Fika akhirnya mundur beberapa langkah lagi dan mengintip ke dalam ruangan.
Orang yang duduk di meja paling depan adalah Edo, Yunita, dan Anggi. Bagaimana bisa semua teman kelasnya berada di ruangan komputer.
Tanpa berpikir panjang bahkan mengucapkan salam Fika menerobos langsung masuk ke dalam ruangan dengan sangat penasaran. Namun tubuhnya langsung kaku begitu melihat Pak Bagas yang ternyata ada di dalam ruangan juga.
Suasana langsung membuat Fika canggung bahkan membuat Fika tak bisa berkutik apapun saat itu juga. "Apakah sebuah kelas sedang berlangsung?" Pikiran Fika terganggu dengan pertanyaan dalam hatinya itu.
"Fika sekarang hari apa?" Tanya Pak Bagas saat itu yang menghampirinya.
Fika mematung kembali mengingat jika hari ini adalah hari Senin. "SENIN!" Jawab Fika lantang. Tapi seluruh orang yang ada di dalam ruangan langsung mentertawakan nya kencang. Fika tidak bisa menyelamatkan nasib sialnya lagi, dari tertawaan semua teman dia tahu ada yang salah dengan dirinya. Pasti hari ini bukanlah hari Senin.
"Fika sekarang Selasa bukan Senin. Senin itu hari kemarin dan kamu juga tidak sekolah karena libur tanggal merah." Terang Pak Bagas.
Fika hanya sanggup tersenyum malu saat itu. Dia benar-benar sudah melakukan kesalahan lagi. Namun memang ini bukan kali pertamanya dia melakukan kesalahan yang sama, entah apa yang terjadi dengan dirinya yang selalu salah melihat jadwal, salah menebak hari, seperti itulah.
"Baiklah. Kau bukan pertama kalinya jadi ... Silahkan duduk di meja mu." Pak Bagas yang sangat baik hati. Bisa memaklumi kesalahan Fika saat itu. Bahkan tanpa hukuman apapun Fika juga bisa langsung mengikuti kelas.
"Sudah-sudah... yang penting jangan kesiangan lagi." Ucap Pak Bagas berusaha mendiamkan anak-anak yang masih tertawa dan saling berbisik satu sama lain.
"Bukan hanya Fika loh, Anggi juga kesiangan kan." Ucap Pak Bagas sembari melihat ke arah Anggi. Namun begitulah yang terjadi karena Anggi tidak terlalu mempermasalahkannya seperti Fika.
"Kalau Anggi udah biasa Pak, mau dia sekolah mau enggak juga kalau gak kesiangan pasti bolos." Ledek salah satu temannya yang membuat anak-anak lain bergumam. Tapi hal semacam itu tidak membuat Anggi tersinggung, sudah masuk sekolah saja sudah bersyukur kan.
"Sudah-sudah. Sebaiknya sekarang kita fokus lagi pada materi dan praktek komputer hari ini. Dan jangan harap Bapak bisa mentolerir jika ada yang tidak bisa praktek nanti." Tegas Pak Bagas langsung membungkam semuanya, alhasil pembelajaran kembali kondusif.
"Kenapa kamu kesiangan Fik?" Tanya lelaki yang berparas lebih tenang, memakai kacamata terkesan orang yang genius.
"Tadi aku susah cari angkutan umum sih." Jawab Fika dengan nada malas.
"Eh Edo, aku mau lihat dong tugas yang Pak Bagas aku belum paham." Lanjut Fika yang tampak sedikit pusing karena praktek TIk bukanlah ahlinya.
"Gampang kok, nanti aku bantuin ngerjainnya." Jawab Edo. "Aku duluan ya, aku mau nyari guru dulu buat mapel kedua ini." Pamitnya pada Fika, tanpa menunggu jawaban Edo sudah berlari ke arah ruang guru yang ada di lantai dua.
Semakin tidak tenang saja, bagaimana bisa Fika membiarkan tugasnya yang belum tersentuh sama sekali. Dia harus berharap pada siapa lagi untuk mengerjakan tugas yang berakhir hari ini juga.
Di dalam kelas hanya ada dirinya seorang, Fika tampak murung saja membayangkan bagaimana tugasnya akan selesai? Karena kesulitan itu Fika sampai mengabaikan untuk jajan di kantin sesaat sebelum masuk lagi ke kelas.
Tidak ada waktu, mungkin ruang komputer juga akan dipakai oleh anak kelas lainnya.
"Fik, boleh pinjam buku Bahasa Jepangnya gak?" Seseorang berbicara padanya.
Fika masih cemberut tak memperdulikan siapa yang bicara padanya saat itu. Dengan mudah juga Fika menyerahkan buku Bahasa Jepang untuk dipinjamkan.
Anggi melihat Fika dan membuatnya penasaran juga, dia hanya ingin menegurnya berbasa-basi saja sampai beralasan ingin meminjam buku.
Karena Fika tidak terlalu banyak bicara Anggi kembali duduk di belakang Fika saat itu, dia masih bertahan memandangi Fika yang tampak gelisah tidak tenang.
Tak lama suara anak-anak lain terdengar. Orang pertama yang masuk adalah Edo, ketika melihatnya Fika sangat sumringah senang apalagi dia harus mengingatkan Edo agar mau membantunya.
Fika berdiri dia hampir ingin berjalan mendekati Edo, namun perhatian Edo langsung teralihkan oleh serli saat itu dan tidak mungkin Fika mengganggu keduanya. Akhirnya dia harus menyesal dan kembali duduk di kursi.
"Fik geser dong!" Pinta Yunita saat itu. Fika hanya melihatnya saja mengabaikan apa yang diucapkan Yunita.
"Yah bad mood lagi." Gerutu Yunita dan memilih mengalah duduk di tempat kosong.
Ketika Yunita duduk di sampingnya, hal itu tidak membuat Fika bisa mengendalikan dirinya. Yang terjadi Fika sangat badmood dan tidak mendengarkan apapun yang dikatakan Yunita.
"Fik, kalau punya adat tuh jangan di habisin sendiri. Diajak ngobrol baik-baik manyun aja terus." Yunita masih menasehatinya yang mungkin itu sia-sia karena Fika tak akan mendengarkannya.
"Kenapa sih? Diputusin pacar ya?" Celetuk Yunita sengaja memancing amarah Fika saat itu.
Tampak terlihat jelas Fika langsung melotot marah. Dia paling tidak suka kalau disindir tentang pacar atau dituduh punya pacar.
"Ia maaf." Sambil tersenyum Yunita meminta maaf.
"Yun, aku gak bisa ngerjain tugas Pak Bagas nih." Cetus Fika mulai menjelaskan apa yang membuatnya merasa sangat sulit.
"Wah mampus dong, mana bisa aku juga ngerjain tugas Pak Bagas aku aja tadi dapat dari si Faras." Jawab Yunita tak terdengar sebagai suatu solusi yang baik.
Apa boleh buat selain pada Edo dan Yunita dia tidak mungkin bertanya pada anak yang lain. Dia sudah bisa menebaknya apa yang akan dia dapatkan, tentu saja sebuah ejekan.
Matanya beralih menatap Edo yang masih saja sibuk mengobrol dengan Serli. Sebuah obrolan asyik dan tak mungkin dia menjadi orang ketiga yang akan mengganggu.
"Selamat siang anak-anak." Terdengar Bu Patricia mengucapkan salam. Bu Patricia adalah guru bahasa Inggris dan dia non muslim di sekolahnya.
"Kumpulkan tugasnya sekarang!" Tiba-tiba pernyataan itu langsung membuat hati Fika semakin gemetar takut.
Dengan pelan dan hati-hati Fika membuka tasnya, mencari buku Bahasa Inggris tepat di dalamnya ada tugas yang harus diserahkan. Tapi dari awal dia merasa tidak baik-baik saja, selain sudah salah jadwal yang pasti dia juga salah membawa semua buku hari ini.
Benar saja, terlihat dari ekspresi Fika saat itu sudah menjelaskan jika dia sama sekali tidak membawa buku.
"Siapa yang belum mengumpulkan buku tugasnya?" Tanya Bu Patricia.
Semakin gentar, jantungnya berdegup seperti irama rock yang mendebarkan. Fika berdiri ragu-ragu sekaligus dia ketakutan, mengangkat sebelah tangan kanannya.
"Ada lagi?" Tanya Bu Patricia pada yang lain.
"Anggi? Loh kalau ini buku apa yang kamu kumpulkan?" Tiba-tiba Bu Patricia menyebut nama Anggi.
Fika langsung menoleh dan melihat Anggi berjalan ke depan meja Bu patricia, mengambil buku di tangan Bu Patricia.
"Itu buku kelas X Bu, saya salah bawa bukunya." Jawab Anggi enteng, kemudian dia kembali ke kursinya lagi.
Fika hanya melongo heran karena bisa kebetulan Anggi juga tidak mengumpulkan buku, namun sedikit terasa lega karena akhirnya dia ada temannya juga.
"Rupanya hanya kalian berdua. Silahkan untuk keluar!" Ucap Bu Patricia.
Seperti yang sudah diketahui oleh semua murid di SMA itu, Bu Patricia dengan keputusannya yang tidak bisa ditawar lagi, apa boleh buat Fika yang tertunduk bersalah sekaligus malu berjalan melewati semua temannya. Terkecuali Anggi yang tampak sangat senang sekali ketika bisa keluar dari kelas.
"Huuuuu..." Sorak anak-anak yang melihat Anggi tampak senang.
Fika hanya menunduk dan menganggap jika dia diejek lagi.
"Anggi! Kamu ini." Bentak Bu Patricia, namun apa yang diperbuat Anggi saat itu berhasil membuat dirinya lolos lagi dari hukuman Bu Patricia, karena Anggi langsung berlari meninggalkan kelas dan Bu Patricia tak sempat mengatakan hukuman apa yang akan diterima Anggi lagi.
"Angkutan umum tiba-tiba tidak ada, kesiangan datang ke sekolah, salah melihat jadwal, salah membawa buku, dan terakhir tugas Pak Bagas." Gumam Fika pada dirinya sendiri.
"Ke ruang komputer yuk!" Suara itu langsung membuyarkan pikiran Fika. Saat menoleh dia melihat Anggi yang entah sejak kapan dia berdiri di sampingnya.
Fika segera menjauh menjaga jarak, tak langsung menjawabnya, Fika melihat lagi Anggi yang saat itu masih tetap berjalan cuek. "Tugasnya mau dikerjain enggak?" Ucap lagi Anggi.
Fika terperanjat mendengarnya setelah diingatkan lagi. "Hah, tugas?" Ucap Fika.
Namun Anggi hanya sekali melihat Fika dan mengabaikannya, dia berjalan cepat ke arah ruangan komputer sampai Fika tertinggal di belakang.
Penasaran dengan ucapan Anggi, apakah dia bermaksud untuk membantunya untuk mengerjakan tugas Pak Bagas?
Awalnya ragu-ragu namun karena dia cukup perlu sekali dengan tugas itu, tidak ada alasan untuk bersikap jaim di hadapan Anggi.
"Em. Kamu ngerjain tugas juga?" Tanya Fika pada Anggi yang saat itu sibuk mengotak ngatik komputer.
Sepertinya sekarang adalah keberuntungannya karena ruang komputer tidak diisi oleh kelas lain, artinya Fika bisa mengerjakan tugas.
"Cepat kerjain tugasnya, nah komputernya!" Ucap Anggi sambil menunjukkan komputer yang sudah hidup tepat di sampingnya saat itu.
Fika sangat senang sampai dia tidak tahu harus mengatakan apa, dia tersenyum lebar dan tidak sungkan lagi untuk bertanya pada Anggi.
"Kamu mau tahu sesuatu gak?" Pancing Yunita ketika saat itu dia bicara dengan Fika.
"Heem..." Fika awalnya tak acuh.
"Anggi katanya suka sama kamu." Goda Yunita yang langsung menghentikan kesibukan Fika. Sebagai reaksinya Fika langsung melotot ke arah sahabatnya itu.
"Yun, kalau ngomong itu jangan ngasal!" Ancam Fika. Fika bukan wanita yang mudah digoda ternyata.
Yunita masih bersikap tak bersalah ketika melihat Fika yang sudah hampir akan memakinya.
"Aku lihat sendiri kok kalau Anggi itu suka sama kamu. Dan kamu juga suka dia kan?" Ocehnya pada Fika.
"SIAPA YANG SUKA ANGGI?" Bentak Fika sambil berdiri. Sangat tak bisa dipercaya ternyata suaranya berhasil memecah suasana seisi kelas, terbukti ketika anak-anak lain mulai memandanginya sinis.
Yunita masih berdiri bungkam, dia juga melihat ke sekeliling bahkan matanya menangkap sosok Anggi di antara anak-anak lain. Rasanya dia sudah sangat bersalah. Saat berbalik dan memastikan ke arah Fika, Yunita bisa tahu apa yang dipikirkan Fika saat itu. Apalagi ketika anak-anak lain mulai saling berbisik satu sama lain.
"Lihat tuh cewek cupu yang kesiangan, mulai semakin berani ya dia."
"Cewe cupu gak tahu malu, bisa-bisanya bicara kaya gitu."
"Wah ada gosip baru nih."
"Oh, jadi dia gatel ya ternyata. Gak nyangka berani banget."
"Gak level banget ya Anggi kalau sampai suka sama dia."
"Gak ngaca apa dia?"
"Wah malu-maluin banget."
"Iihh... kalau aku jadi dia aku pasti malu banget. Gak mungkin dong Anggi suka sama dia."
"Gak salah tuh bicaranya? Gak mungkin banget ya Anggi suka sama dia."
Yunita yang berdiri di samping Fika tanpa sadar dia sedikit melangkah mundur, spontan matanya terus melihat ke sekeliling menyaksikan pemandangan orang-orang yang mulai menghakimi.
Brakk....
Suara kursi terjatuh.
Yunita cukup terkejut ketika melihat Fika yang berlari ke arah pintu, dia juga akan menyusulnya. Namun saat tiba di ambang pintu tampak wajah Pak Fatah sudah berjalan ke arah kelasnya. Benar saja sekarang adalah pembelajaran Pak Fatah alhasil Yunita tidak berhasil mengejar Fika yang entah kemana.
"Assalamualaikum anak-anak." Ucap Pak Fatah ketika masuk ke dalam kelas.
"Waalaikum salam wr.wb." Jawab semua orang dengan serempak.
Yunita benar-benar tidak bisa tenang, matanya terus mengintip ke arah pintu kelas mengkhawatirkan Fika yang tak kunjung masuk kembali.
Sesekali Yunita melihat ke arah Anggi, namun mungkin saja Anggi dari tadi hanya menundukkan kepalanya. Apa yang bisa dilakukannya sekarang?
"Siapa yang tidak hadir?" Tanya Pak Fatah.
Namun tidak ada yang menjawab, kemudian absen dibacakan.
"Fika." Ucap Pak Fatah.
Kemudian mata pak Fatah melihat ke sekeliling kelas. "Fika." Ucapnya lagi saat itu.
"Kemana Fika?" Tanya pak Fatah dengan sedikit nada yang tegas pada semuanya dan perhatian anak-anak berhasil teralihkan.
Ragu-ragu Yunita bermaksud untuk menjawab pertanyaan Pak Fatah, namun mulutnya benar-benar kelu.
"Bolos kali, dia tadi keluar Pak!" Jawab yang lainnya.
"Kabur pak malu katanya." Diikuti dengan tertawaan dari anak-anak lain.
Yunita hanya bisa pasrah dan menghela napas yang terasa sulit saat itu, belum lagi dia benar-benar merasa bersalah pada Fika.
"Sudah... Sudah diam!" Pak Fatah kembali melerai semuanya sampai benar-benar diam.
"Ada yang tahu kenapa Fika sampai Kabur dari kelas?" Tiba-tiba pertanyaan pak Fatah mulai membuat anak-anak sedikit cemas, saling pandang satu sama lain.
"Sepertinya tadi kalian tertawa puas kan? Kenapa sekarang tidak ada yang menjawabnya?" Sindir pak Fatah yang sudah curiga ketika melihat sikap anak didiknya itu.
"Bapak harap tidak ada pembullyan di kelas ini. Kalian tahu sendiri akibatnya apa." Pak Fatah tak melanjutkan bicaranya melainkan kembali duduk di kursi dan diam sambil membolak balik lembaran buku. Kata-kata Pak Fatah berhasil membungkam semuanya.
Sekali lagi Yunita melihat ke arah Anggi, dan tidak ada yang berubah karena Anggi hanya terus menundukkan wajah seperti tadi. Kini dia benar-benar merasa bersalah pada keduanya.
Selama pelajaran Yunita tidak bisa semangat dan mengikuti kelas dengan fokus. Dia sudah melakukan kesalahan, hatinya tidak akan pernah tenang sebelum dia menemui Fika dan meminta maaf.
Pembelajaran Pak Fatah tak berlangsung lama karena tiba-tiba saja ada edaran dari guru-guru agar semua siswa pulang saja dengan alasan guru-guru akan pergi ke sekolah lain untuk melakukan rapat penting.
Terdengar nyaring sorak bahagia bagi siswa SMA yang tiba-tiba saja dipulangkan, tentu saja biasanya harus lebih dari jam 3 menjelang sore baru bisa pulang.
"Tas nya aku bawa juga sekalian?" Gumam Yunita bertanya pada dirinya sendiri. Dia bimbang ketika melihat tas Fika, sedangkan Fika yang tak kunjung datang ke kelas juga.
"Biar aku yang bawa." Tegur suara lelaki yang tak lain adalah Anggi.
Yunita sampai melangkah mundur kaget karena mendengar suara Anggi, apalagi ketika Anggi yang tanpa segan mengambil tas Fika saat itu membuatnya semakin tak percaya saja.
Anggi tak berbicara banyak, dia kemudian berjalan gontai untuk keluar dari kelas.
"Eh. Tunggu!" Seru Yunita saat itu. Tak disangka Anggi benar-benar menghentikan langkah kakinya namun reaksi Yunita masih sama.
"Aku tahu kok rumah Fika." Jelas Anggi saat itu semakin membuat Yunita tak percaya.
Kemudian keduanya bersama keluar kelas berbaur dengan anak-anak lain.
Yunita tak berani satu langkah pun berjalan mendahului Anggi, entah saat Anggi berhenti beberapa saat dia juga akan ikut berhenti dan bingung. Namun Yunita masih mengikuti Anggi sampai ke parkiran motor.
"Mau ikut pulang bareng?" Tanya Anggi ketika melihat Yunita yang masih berdiri mengikutinya.
Yunita terperanjat lagi, mungkin tanpa sadar dia benar-benar mengikuti Anggi sampai di parkiran. Ketika melihat ke sekeliling matanya tak sengaja melihat pemandangan yang membuat dia melongo tak percaya. Tepat di pos satpam yang ada di gerbang, tampak Fika yang tertawa lepas.
"Apakah dia benar-benar Fika?" Saking tak percayanya melihat pemandangan yang membuat Yunita tak bisa berpikiran apapun lagi.
"Itu Fika!" Seru Yunita saat itu pada Anggi.
Anggi langsung melihat ke arah yang ditunjuk oleh Yunita, matanya langsung menangkap sosok Fika di sana.
"Oh ia." Jawab Anggi singkat. Kemudian Anggi mengendarai motor dan tanpa disangka dia menghampiri Fika.
Anggi tampak tersenyum menyerahkan tas pada Fika, begitupun sebaliknya Fika menerima tas itu tanpa terlihat reaksi biasa saja seperti tidak terjadi apapun.
Yunita sampai bungkam menyaksikannya, dia mematung dan tidak bisa mencerna kenyataan yang ada di hadapannya saat itu. Sebenarnya mereka berdua sama, sama-sama tak acuh, cuek, pelupa, atau sama-sama suka?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!