NovelToon NovelToon

Jodoh Kilat Pengganti

Bab. 1 Fitnah

"Ini ustadzah, aku saksinya. Aku melihat dia membuka lemari Zahrana. "

Banyak santriwati menggerumuni, mencibir dan menatap tajam kepada seorang gadis yang tengah terduduk bersimpuh.

"Tidak Ustadzah, tidak seperti itu. Aku hanya disuruh Zahrana untuk mengambilkan uangnya. Ini kuncinya. Jika aku maling, mana mungkin aku mendapat kuncinya. " Salwa mengacungkan kunci gembok lemari Sahabatnya.

"Alah, mana ada maling ngaku maling. "

"Huss... Kita belum tahu kebenarannya. Siapa tahu dia berkata benar. "

"Demi Allah Rasulullah, aku tidak mencuri. Kalian bisa panggil Zahrana. "

"Iya panggil saja dia, " Sahut beberapa santriwati.

Tidak berapa lama datang lah Zahrana. Wajahnya terkejut saat melihat banyak orang di dalam asrama. Dia sudah berdiri di tengah banyak santriwati yang tidak sabar menunggu penjelasannya.

Wajah Salwa menjadi cerah saat sahabatnya telah hadir. Ia yakin Zahrana akan mengeluarkan dia dari kesalahfahaman ini.

"Ada apa ini Ustadzah? Kenapa pada berkumpul disini? " Dia memandang Salwa dan Ustadzah.

"Tunggu, kenapa dengan Salwa Ustadzah? " Zahrana menghampiri Salwa dan mencoba menolongnya bangkit.

"Zahrana, apa benar kau yang menyuruh salwa mengambilkan uang mu di lemari mu? "

Pertanyaan Ustadzah itu pun menghentikan pegangan tangannya kepada Salwa. Salwa sudah berdiri dan menunggu jawaban Zahrana.

"Maksud Ustadzah apa? "

"Tolong Zahrana, mereka salah faham. Mereka kira aku mencuri uang mu di lemari mu. Selesaikan ini Zahrana, mereka salah faham. Kau kan yang menyuruh ku tadi di kantin? "

"Ayo Zahrana, Apa benar kau menyuruhnya mengambil uang mu di lemari? " Tanya Ustadzah kembali.

Wajah simpati Zahrana berubah menjadi jijik kepada Salwa, ia melepas pegangan tangan Salwa kepadanya.

"Tidak Ustadzah! " Ucapnya tegas.

"Tuh kan, pintar sih pintar, tapi maling. Gimana ini calon istri anak kiayi kok maling, " celetuk beberapa santri wati membuat semakin gaduh.

"Bohong dia Ustadzah, dia yang menyuruh ku. Kuncinya saja ia berikan di kantin. Mana mungkin aku memilikinya jika ia tidak memberikannya. " Salwa menjelaskan dengan berderai air mata. Ia sakit lantaran mendengar apa yang diucapkan sahabatnya sendiri.

"Jadi itu kunci ku, aku kehilangannya pagi tadi Ustadzah. Ternyata kamu yang mengambilnya. Kau sudah ku anggap sahabatku sendiri. Tapi kenapa kau... " tangis Zahrana pecah sambil merebut kunci di tangan Salwa.

Salwa geram dengan perkataan Zahrana yang berbanding terbalik pada saat di kantin. Sangat jelas ia yang memberikan kunci nya untuk meminta Salwa mengambilkan uang di dompetnya yang tertinggal. Karena ia sedang makan mie goreng dan lupa membawa uang untuk membayar.

"Ini Fitnah, Zahraaa kau... " Teriak Salwa dan mencoba menarik kerudung Zahrana. Ia ingin merenggut dan mengacak acak wajah sahabat karib nya yang sudah 5 tahun bersama di pondok pesantren.

Namun tangannya belum sampai menggapai tubuh Zahrana, ia terlebih dahulu di amuk santriwati yang lain. Kerudungnya di terlepas bahkan di tampar berkali kali. Bahkan ada beberapa santri wati yang mengambil gunting dan memotong rambut Salwa.

"Hentikan, Hentikan! " teriakan Ustadzah tenggelam taktm terdengar dan tidak bisa menenangkan amarah santriwati. Semuanya menjadi tidak beraturan, kacau dan amburadul.

"Hentikan!! Ada apa ini! " suara Pria tua berat membuat semuanya berhenti seakan ada tombol penghenti waktu.

Seorang santriwati yang memegang gunting pun terkejut dan langsung melepas gunting itu dan jatuh ke lantai.

"Pakaikan kerudungnya. Bawa dia ke kantor. Dan kalian semua, tidak boleh main hakim sendiri. Memang nya ini hutan!" Kiayi Ahmad setengah berteriak menekankan suaranya akan kekecewaan dirinya kepada muridnya yang bermain hakim sendiri.

Saat Salwa di giring para Ustadzah pergi ke kantor, Zahrana dan 1 santriwati pun mengikuti di belakang karena mereka menjadi saksi.

"Salwa, Ada apa ini? " Tatapan penuh tanya dari Ustadz Hilman anak Kiayi yang memang dijodohkan dengan Salwa.

Pernikahan mereka akan dilangsungkan pada 1 bulan mendatang, namun entah apa yang akan terjadi.

"Zahrana, ada apa ini? " Tanya Hilman kembali.

"Ustadz Hilman ke kantor saja. Nanti juga bakal tahu. "

Hilman hanya memandang mereka yang sudah melewatinya menuju kantor utama dan Ayahnya, Kiayi Ahmad pun berjalan perlahan menuju kantor itu. Dengan segera Hilman menyusul Ayahnya.

"Abi, ada apa ini Bi, kenapa dengan Salwa? "

Tidak ada jawaban, Kiayi Ahmad tetap berjalan. Ia tidak ingin menjelaskan yang memang belum jelas duduk masalahnya. Sesampainya di kantor. Zahrana dan Salwa duduk berjauhan dan di halat oleh beberapa Ustadzah.

Hilman berdiri di depan pintu menyaksikan, ia sedikit terkejut. "Ini seperti sidang! "

"Jelaskan Ustadzah. " Kiayi meminta penjelasan.

"Salah satu santriwati melihat Salwa membuka lemari dan mengambil uang milik Zahrana, namun Salwa memberi keterangan bahwa ia disuruh oleh Zahrana untuk mengambilnya. Dan setelah ditanya langsung kepada Zahrana. Ternyata itu tidak benar. Dia kehilangan kunci itu dari pagi hari. "

"Itu tidak benar Kiayi, demi Allah Rasulullah Kiayi. Aku tidak mencurinya. "

"Apa benar itu Zahrana kamu menyuruhnya? "

"Tidak Kiayi, dia yang berbohong Kiayi. Aku kehilangan kunci lemari ku dari pagi. Aku kecewa Salwa, jika kau bilang bahwa butuh uang. Pasti aku akan memberikan pinjaman untuk mu. "

"Bohong Kiayi. Dia saja tidak berani bersumpah. "

"Demi Allah Kiayi! " Ucap Zahrana.

"Astaghfirullah Zahrana. Kau... " mata Salwa berkaca-kaca sedih melihat sahabatnya mengkhianatinya, bahkan ia berani mengucapkan sumpah atas nama Allah.

"Maaf Salwa, karena peraturan adalah peraturan yang harus ditegakkan. Jika ini tidak dilaksanakan. Maka aku akan disebut pilih kasih meski kau santriwati berprestasi dan calon Hilman. Kau sudah terbukti melanggar peraturan tingkat tinggi. Maka mulai besok kau akan dipulangkan dengan tidak hormat. Kau dikeluarkan. "

Putusan Kiayi itu seolah bak petir menggelegar di siang bolong. Kiayi dan Ustadzah keluar dari kantor setelah mengambil putusan itu.

"Kiayi, Ustadzah, Zahrana! " Salwa menarik tangan Zahrana. Namun Zahrana langsung menepisnya dengan cepat.

"Cih, aku tidak sudi lagi melihat mu. " Zahrana berlalu pergi meninggalkan Salwa yang masih menangis dan berdiri terpaku.

Zahrana melewati pintu dan di sana Hilman masih berdiri memandang Salwa.

"Aku dikecewakan oleh sahabatku sendiri. Dan kau dikecewakan oleh calon istrimu. " Setelah mengatakan itu, Zahrana pun berlalu pergi dan disambut santriwati yang lain karena ingin mengorek cerita di balik dinding kantor.

"Ustadz Hilman, ku mohon percaya pada ku. Aku tidak seperti yang di tuduhkan. "

Namun, tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Hilman. Ia memandang dengan kecewa, jijik dan berlalu pergi.

"Lihat, si maling itu akhirnya dikeluarkan. Mana ada korupsi atau pun maling ngaku. Polisi bakal pensiun dan penjara bakal penuh. "

Langkah gontai Salwa di temani orang tuanya keluar dari pondok pesantren beserta caci makian yang masih terlontar.

"Malu aku bu, malu... Apa sih difikiran mu nduk jadi sampai begini. "

"Sudahlah Pak, percaya anak kita. Dia difitnah. "

"Iya, aku malu. Pak Kiayi membatalkan perjodohan mu dengan anaknya. Wes, kepalang tanggung. Padahal undangan sudah di sebar di kampung. Gimana ini bu, aduh bu. Malu ku bu. "

"Nanti lah Pak difikirkan. "

Mendengar perjodohannya dengan Ustadz Hilman dibatalkan, meneteslah air matanya kembali di pipi. Ya, Ustadz Hilman adalah orang yang dicintai Salwa sampai dijodohkan oleh Kiayi sendiri. Dan itu sangat membuatnya bahagia. Namun takdir pula yang memisahkannya.

Bersambung.

☘️Jangan lupa dukungannya ya buat novel aku, karena kalau sampe novel ini gak lolos. Terpaksa aku bawa pindah, dukungan kalian berharga banget buat aku 😘😘

Kalau mau novel ini stay di sini, kasih dukungan dengan like, komentar dan juga gift serta vote.

Bab. 2 Tukang Roti Istri 2

"Salwa, ayo nak keluar kamar. 2 hari kau sudah mengurung dalam kamar. Sudahlah nak, jangan kau sesali apa yang terjadi. Kau masih ada ibu dan bapak mu ini. Meski dunia ini mencaci mu, ibu ada untuk mu nak. "

Kedipan mata Ayah Salwa kepada ibunya pun berakhir gelengan lesu. Tak ada sahutan dari anak kesayangan mereka.

"Salma, ayo bujuk adik mu ya. Ibu sama Bapak belum bisa. Dia sudah 2 hari mengurung diri. "

"Baik bu, tolong jaga kan Hana ya bu. " Salma memberikan gendongan Hana, cucu pertama keluarga Bapak Somad dan Ibu Halimah.

Bapak Somad termasuk tokoh yang dihormati oleh para warga, karena Bapak Somad adalah mantan Kepala Desa sebelum pemekaran Desa. Desa semakin jaya berkat Ayah Salwa ini. Sehingga reputasi Ayah Salwa ini sangat di jaga oleh keluarga.

"Salwa, sudah jangan menangis. Kamu ini adalah orang yang terzholimi. Dari pada menangis lebih baik kamu berdoa. "

Waspadailah doa orang yang terzalimi, karena tidak ada hijab (penghalang) antara ia dan Allah." (HR Bukhari).

"Ingatkan hadistnya. "

Salwa mengangguk pelan. Dia mengusap air matanya, dia duduk dan langsung memeluk kakaknya.

"Sudah ya mengurung dirinya, kasian ibu sama bapak khawatir dengan mu. "

■□■□■□■□■

"Salwa, Ibu dan Bapak ingin bicara. " Mereka sudah duduk menunggu Salwa di ruang keluarga.

"Iya Bu, Pak. Ada apa? "

"Mari duduk dulu di sini. " Ajak Ibu duduk di samping nya.

Salwa duduk dengan sedikit berdebar, ia mencoba menerka -nerka. Apakah mungkin Hilman akan kembali lagi memintanya menjadi istrinya.

"Begini, Undangan kemaren kan sudah tersebar luas. Ibu Bapak tidak bisa menghentikan itu. Jadi Bapak, mencarikan calon suami untuk mu. "

"Tapi Pak. " Terlontar rasa tidak terima dari lubuh hati paling dalam Salwa. Bagaimana tidak, baru saja hatinya hancur. Mengapa dipaksa kembali menerima kenyataan pahit kembali.

"Dengar dulu Salwa. " Ibu Rosmiati menggenggam tangan anak nya.

"Jadi, bapak menjodohkan mu dengan anak teman bapak. Besok dia datang, tapi dia berjualan Roti keliling. Namanya Imran. Kamu bertemu dia dahulu, jika kau suka lanjutkan. Jika tidak, tidak apa - apa."

Syukurlah ada pilihan di akhir kalimat Ayahnya. Tidak ada pemaksaan. Pilihan akhir tetap berada di tangannya.

"Ibu harap kau bisa menjaga nama baik Ayahmu. Berfikirlah, meski kamu menolak. Undangan dan acara itu tetap akan dilaksanakan. Karena kami tidak bisa lagi menarik undangan yang sudah tersebar. "

Salwa hanya diam, tidak ada sahutan dari mulutnya. Karena ia tengah dilanda kebimbangan, seperti lagu Rama Aiphama bagai makan buah simalakama.

Di lihatnya ponselnya, tidak ada pesan dari Ustadz Hilman. Sunyi. Sebegitu mudahnya kah mereka memutuskan perjodohan itu, Hilman pun tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan Salwa ingat bagaimana wajah Hilman terakhir kalinya bertemu.

■□■□■□■□■

Salwa gelisah menunggu di depan rumah, namun tidak ada tanda tanda Imran datang.

Sempat kesal, Salwa sedikit kerepotan saat harus menunggu Imran. Apalagi harus menunggu orang yang wajahnya tidak di spill orang tuanya. Bagaimana kalau salah orang, di zaman secanggih ini. Orang tuanya masih saja melakukan hal yang sedikit kolot ini.

"Apa-apa an sih Ibu Bapak itu, kaya zaman tahun 80 aja kaya gini. Ketemuan dengan ala-ala lihat baju. Padahal ada ponsel. "

Salwa bolak balik teras, kadang duduk kadang berdiri. Sikap Salwa itu diperhatikan oleh Salma Kakak Kandung Salwa.

"Ciee yang lagi menunggu. "

"Husss. Kakak! "

Roti... Roti.. Enak... Enakk...

Suara rekaman mengalun pelan, perlahan demi perlahan semakin mendekat.

"Mas, Mas. Beli Rotinya. "

"Iya Neng, beli roti rasa apa atuh? "

"Coklat, aku beli 5 roti coklat. "

Salwa memperhatikan tukang roti itu. Dari atas sampai bawah. "Apa iya sih Bapak menjodohkan dengan orang ini. Umurnya sangat tua, tapi bisa juga sih wajah tua tapi umur muda."

Salwa menunjuk nunjuk sambil memainkan matanya kepada Salma. Salma hanya mengangkat bahu tanda bahwa tidak tahu.

"Mas nya ini berapa umurnya? "

"Owalah, tua sudah Neng, mau mendekati 50. 2 angka lagi 50. Kenapa atuh? "

"Apa Mas nya masih bujang? "

"Owalah, ya engga to Neng. Bini sudah ada 2. Tapi kalo Neng mau jadi ke tiga boleh atuh. Hayuu kepelaminan."

"Ogah ah. " Salwa bergidik langsung mengambil rotinya dan membayar dengan cepat.

Tukang roti pun tertawa terbahak bahak saat melihat Salwa langsung berlari.

"Ibu, Bapak jahat. Masa Salwa dijodohin sama orang yang udah beristri, jadi bini ke 3 lagi, " Adu Salwa ke dalam rumah. Dia manyun dan sedih. Mana mungkin dia mau, apalagi dia masih perawan.

Salma hanya tertawa mendengar rajukan adiknya.

"Waah aneh deh.. Kayanya kamu salah orang kali. Dia muda kok. Di tanya ga namanya siapa? "

"Engga bu. "

"Yee salah sendiri. Apa dia ga jadi lewat sini ya. Nanti lah ibu telpon Bapak mu."

Roti. Roti... Roti Bu.

Suara Pria dari jauh berteriak teriak, semakin di dengarkan. Suara itu semakin mendekat.

"Sal, Salwa ayo sini. " Salma memberi kode.

Dengan segera Salwa berlari ke depan teras. Dia memintal ujung kerudungnya. Ia melihat seorang laki-laki sedang menuntun sepedanya yang di belakang ada kotak roti.

"Rotinya Mas. "

"Alhamdulillah, Beli roti apa Mba? "

"Ada rasa apa aja? "

"Banyak Mba, ada rasa kacang ijo, coklat, stroberry, blue berry, nanas, dan srikaya. "

Salwa memperhatikan pria dihadapannya, dari ujung kaki sampai ke atas kepala. Di balik baju sederhananya, dia terlihat bersih. Lalu ia tengok lagi ke sepedanya. Dikeranjang ada sajadah, kopiah dan Al Qur'an. Ya jika di bandingkan dengan Ustadz Hilman, ya jauhlah. Tapi dari segi ketampanan. Ya sebanding saja, relatif lah.

"Borong Mas, tak borong semuanya. "

"Masyallah, benar ini. "

"Iya benar. Kebetulan mau di kasih sama anak panti asuhan. "

"Alhamdulillah, terimakasih Mba sudah mau borong jualan saya. Semoga berkah ya. "

"Sama-Sama."

Setelah semua roti di borong, pria penjual itu pun bersiap mau berangkat lagi. Salwa meletakkan 2 kantong besar berisikan roti semua rasa di kursi teras. Ia teringat, bahwa ia lupa menanyakan namanya. Takut salah orang lagi.

Pria itu sudah berlalu pergi dan mau menaiki sepedanya.

"Mas, Nama Masnya Siapa? " teriak Salwa memecah keheningan di pagi hari.

Kaget dengan teriakan dari si pemborong rotinya. Pria itu berteriak dari kejauhan.

"Imran Mba. Mari, Assalamualaikum. " Ia pun langsung mengayuh sepedanya dan semakin jauh.

"Waalaikum salam warahmatullahi wa barakatuh. "

Salwa terduduk di kursi teras sambil tersenyum melihat 2 kantong besar roti di sampingnya.

"Bagaimana? " Salwa dan Ibunya langsung keluar saat melihat anaknya terduduk begitu saja tanpa ada reaksi di teras.

Salwa hanya senyum dan berdiri.

"Kak, temani aku mengantar roti ini kepanti asuhan. "

"Hah! "

Salma dan Ibunya hanya terheran heran saat melihat 2 kantong besar roti dengan segala rasa.

"Apa kau kalap? " Salma menanyai Salwa yang hanya diam saja.

Bab. 3 Malam Pertama

"Saya terima nikah dan kawinnya Salwa Hanifa binti Abdul Somad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang seratus ribu rupiah di bayar tunai. "

"Sah? "

"Sah!! " Sahut para saksi.

"Mana pengantin wanitanya? "

Salwa pun keluar dari kamar dibimbing ibunya dan budenya, dengan pelan ia berjalan dan duduk di samping pria yang bernama Imran Maulana.

Baarakallahu likulii wahidimmingkumaa fii shaahibihi wa jama'a bainakumma fii khayrin.

Artinya: " Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan."

"Sekarang letakkan tangan mu di ubun ubun dan cium kening istri mu Imran! "

Imran pun menghadap Salwa dan meletakkan tangannya ke atas kepala Salwa.

Allahumma inni as 'aluka khairahâ wa khairamâ jabaltahâ alaih. Wa a 'ûdzubika min syarrihâ wa syarrimâ jabaltahâ alaih.

Artinya, “Ya Allah, kepadamu aku memohon kebaikan istriku dan kebaikan sifat yang Kau ciptakan untuknya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan istriku dan keburukan sifat yang Engkau ciptakan padanya.”

Semua mata pun memandang haru. Dengan tangan gemetar Salwa mengambil tangan Imran lalu mencium punggung tangannya. Malu-malu Salwa duduk di samping Imran. Dan sesekali Imran melirik wajah istrinya. Ia benar terpesona dengan kecantikan Istrinya.

"Cantik."

Satu kata direlung hati Imran saat menatap wajah Salwa. Imran sangat bersyukur mendapatkan istri yang cantik lagi sholehah, apalagi anak pondok. Ia tidak lepas memandang Salwa. Pancaran aura nya membuat Imran ter kagum kagum.

"Terimakasih Ya Allah, kau berikan istri bak bidadari ini. Sungguh cantik ciptaan mu Ya Allah. " Syukur Imran di dalam hati.

■□■□■□■□■

Malam Pertama.

Salwa duduk di pinggir bibir ranjang, dia tampak kaku dan sedikit gelisah. Antara takut dan bingung menunggu Imran yang belum lagi masuk ke dalam kamar.

"Assalamualaikum."

Imran masuk dan melepas kopiah nya. Dia masuk ke kamar mandi. Saat keluar Ia sudah mengenakan sarung dan baju dalaman saja. Lalu mengganti pakaiannya untuk sholat.

"Kenapa tidak wudhu? Ayo sholat sunah dulu. "

"Baik, " jawab Salwa sedikit linglung dan kaku. Ia berharap ada keajaiban atau apalah agar bisa mencairkan suasana yang begitu mencekam ini. Salwa belum siap di unboxing! Hehe.

"Aduh, aku mau di apain ini setelah sholat, aku belum siap. " Fikiran Salwa melanglang buana membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Saking otaknya berhayal yang tidak tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, ia lupa akan pijakan kakinya pada saat mau masuk kamar mandi.

BRAAAKKK.

"Astaghfirullah Salwa, kau kenapa? " Teriak Imran berlari ke kamar mandi. Salwa sudah tersungkur di lantai kamar mandi.

Dengan segera Imran membantu bangkit dan menggendong Salwa lalu mendudukkannya ke ranjang. "Kamu kenapa? Pusing? Ada yang sakit?"

"Tidak apa-apa! " Hanya itu yang terucap dari mulut Salwa, padahal sakit yang ia rasakan seakan menusuk tubuhnya akibat bekas benturan.

"Ya sudah, aku saja yang sholat sunnah nya ya. "

Salwa mengangguk pelan, "Aduuhh... Malunya aku! Kenapa pakai jatuh segala. Kan jadi rusak image aku. Aduuhhh malunya. " Salwa menengok lututnya. Sudah membiru saja kulitnya.

"Apa keras sekali ya benturannya? "

Imran yang penjual roti keliling itu sudah sah menjadi Suami nya Salwa. Hanya dengan perkenalan singkat seperti layaknya penjual dan pembeli tahu nya sekarang malah jadi suami istri, mereka langsung menikah tanpa mengenal satu sama lain.

Imran melepas baju putih dan kopiahnya, dia duduk di kasur samping Salwa. Ia sadar, bahwa Salwa tidak bergerak bak patung. Ia pandang punggung istrinya dan tersenyum.

"Kau sudah bisa melepas kerudung mu, aku ini suami mu sekarang. "

" Hm. "

Salwa tidak bergerak, dia tertunduk dan memilin ujung kerudung putih bersihnya. Kakinya ia ayun ayunkan, seakan mencari kesibukan sendiri. Mulutnya tidak berkata apapun seperti ada yang menggemboknya.

"Tenang saja, aku tidak akan menyentuh mu sampai kau mengizinkan. "

"Benarkah? " Salwa repleks berbalik saat mendengar pernyataan itu dan ia langsung memandang pria yang dihadapannya tanpa sengaja menyisakan jarak yang sangat dekat.

Kaget karena bertatapan, ia langsung mengalihkan pandangannya kembali.

"Salwa Hanifa, Apa warna kesukaan mu? "

"Hijau. Mas Imran? "

"Biru. "

Imran merasakan lelah dipinggangnya karena seharianan duduk dan berdiri. Ia yakin, Salwa pun merasakan yang sama. Salwa masih saja pada posisi pertama yang ia lihat. Duduk menjuntaikan kakinya di ujung bibir kasur.

"Berbaring lah. Kau pasti capek. Guling ini menjadi pembatas kita. Atau aku tidur di bawah saja? " Pancing Imran agar Salwa bisa sedikit mengurangi ketegangannya.

"Jangan. Pakai pembatas guling saja. " perlahan Salwa mengangkat kakinya ke atas ranjang. Dan mendekatkan kepala nya ke bantal yang sudah menunggu. Salwa merebahkan kepala yang masih berbalut kerudung.

Imran ingin menegur namun tidak terucap. Namun ia biarkan saja, Biarlah nanti pasti jenuh juga seperti itu. Fikir Imran dalam pejamnya. Dia berpura-pura sudah terlelap. Lalu ia intio dari celak kelopak matanya.

Salwa sedang melepaskan kerudung putihnya, dan menggeraikan rambut panjangnya yang sudah lelah terjebak dalam ikatan rambutnya.

"Masyaallah, cantiknya. "

Deg.

Jantung Imran terasa disengat kilatan listrik saat melihat paras Salwa.

■□■□■□■□■

"Ustadz Hilman. Tunggu... Ada yang mau aku bicarakan. " Zahrana berlari kecil menghampiri Hilman yang sedang pulang dari mengajar anak madrasah stanawiyah (Mts).

"Ada apa Za? "

"Aku ingin mengusulkan tentang pelatihan komputer bagi santriwati. Apakah bisa Ustadz Hilman sampaikan kepada Kiayi. Karena itu sangatlah berguna bagi santriwati pondok kita. "

"Baik lah. Nanti aku sampaikan. " Wajah Hilman masih murung, ia tidak bisa membohongi kesedihan hatinya.

"Apa Ustadz Hilman masih memikirkan Salwa? "

"Emm kenapa Zahrana? "

"Ya gitu. Aku juga sedih saat mengetahui itu. Apa Ustadz Hilman tidak mencari penggantinya. "

"Maksudmu? " Hilman bingung dengan arah pembicaraan Zahrana.

"Nanti beri kabar ya jikai Kiayi setuju atau tidaknya. Terimakasih Tadz. "

"Iya Sama-sama. "

Setelah Zahrana menjauh dari Hilman, guru disebelah Hilman langsung menceletuk.

"Kamu kok ya ga faham Man, dia itu suka sama kamu. "

"Maksud Ustadz Yahya suka bagaimana, jangan menyimpulkan yang tidak tidak. "

"Yee, dibilangin tidak percaya. Kamu itu perlu berguru dulu kalo masalah asmara sama aku Man. Eh tahu tidak. Ada pepatah, mati satu tumbuh seribu. Jadi jangan khawatir dan bersedih. "

"Ustadz Yahya ini bisa saja. "

Hilman hanya senyum hambar. Hatinya masih terasa sakit dan tidak terima ketika orang yang ia cintai ternyata pencuri.

"Kenapa kamu Man, masih sedih karena Abi memutuskan perjodohan mu dengan Salwa. "

"Hilman rasa Abi terlalu berlebihan memberikan hukuman itu kepadanya. "

"Begini Hilman, aku jelas tidak ingin punya mantu pencuri. Apalagi semua santriwati mengetahui itu. Mau di taruh kemana wajah Abi mu ini. "

"Abi... "

"Aku akan mencari pengganti Salwa untuk mu. "

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!