" Yo wassup bro!" Gerombolan pemuda memasuki kamarnya. Namun itu tidak membuatnya mengalihkan pandangan dari play station di hadapannya.
" Gausah berisik. Adik gue lagi molor atau lo pada gue usir." Peringat nya. Sedangkan tangannya sibuk mengutak-atik stik game.
Salah seorang duduk di sampingnya. " Anjing! Main PS kagak ngajak lo Jen." Ucap Kaidar tiba tiba memukul punggungnya dengan kuat. Ia meringis, " Sakit bego."
" Tumben Jen libur gini diem di rumah. Gue pikir lo sakit, belum lagi lo gak ke tongkrongan semalam."
Celetukan suara yang kalem dari seorang Reno Handika. Meski kalem, dia juga sosok yang suka tiba tiba ngereog.
" Jenar aneh emang akhir akhir ini. Jangan jangan..." Jenar sang pemilik kamar menolehkan kepalanya menatap Kaidar dengan memicing.
" Jangan jangan apa ha? Mau gue tonjok lo?" Sangarnya.
Kaidar langsung ciut. " Halah, gaasik lo! Apa-apa pake otot ga gentle lo jadi cowok." Gerutunya.
" Menurut gue justru lebih gentle cowok ada ototnya, kalo enggak keliatan boti nya!" Singkat Jenar kembali menatap PS nya. Tapi dia sudah kalah, pria itu menggeram.
Lain dengan ketiga temannya, yang satu duduk di sofa namanya Reno. Pria itu sibuk memakan camilan milik Jenar bermaksud untuk menghabiskannya sambil melihat aksi lucu dihadapannya.
Lalu ada Randi Gumelar yang ketawa ngakak di kasur akibat tingkah Jenar dan Kaidar yang slalu bertengkar ketika bertemu. Satunya lagi bernama Raken Setiawan yang ketawanya tuh mood booster banget.
Terakhir ada Kaidar Anggasta yang tingkahnya selalu pecicilan dan ada saja tingkahnya yang membuat orang orang di sekitarnya kesal.
" Jen Jen." Panggil Kaidar ketika dia duduk di samping Reno dan menganggu pria itu dengan merebut makanan yang tengah di makannya.
" Apa?!"
" Wes kalem bro. Ayang Jatnika lagi bobok cantik ya? Gue bangunin boleh?" Jenar pemilik tubuh besar dan kekar itu berdiri, kaos putih dan kolornya mengartikan jika ia belum mandi sama sekali.
Jenar tersenyum manis menampilkan mata sipitnya menatap Kaidar.
" Boleh. Satu tonjokan cukup ga?"
" Gajadi!" Jerit Kaidar bersembunyi di balik tubuh Reno. Yang lainnya tertawa terbahak-bahak.
" Sini lo Kaidar binti Kaisar! Kita adu otot aja. Kalo menang lo boleh deketin adek gue."
Kaidar menggeleng mengangkat kedua tangannya, " Ga anjing! Gue becanda asli. Suwer, sumpah demi ****** ijo bapak Kaisar." Ucapnya.
Randi sampai memukul bantal menahan rasa sakit di perutnya akibat kebanyakan tertawa. " Pasti ****** bapak lo bau."
Jenar memilih duduk di samping Raken yang terbahak, menatap keempat temannya satu persatu. Bukan teman sih, soalnya Raken lebih tua satu tahun dari mereka.
" Ada urusan apa lo pada ke sini?" Jenar bertanya langsung. Reno menghentikan makannya,
" Gue sih ngabisin camilan lo ini. Heran gue, kenapa rasanya lebih enak dibanding gue beli di indoapril. Perasaan harganya sama aja."
Kaidar mengambil satu camilan, " Kenapa lagi kalo bukan karena gratis. Yang gak enak tuh di tinggal pas sayang sayangnya." Timpalnya.
" Mamang Jamal kemana Jen? Gue mau konsul, gara gara dia nyokap gue marah." Adu Randi.
Kondisi kamar Jenar sudah tidak bisa dikatakan baik baik saja. Banyak bungkus camilan yang berceceran, kasur berantakan yang dibuat oleh teman temannya itu.
" Emang kenapa nyokap lo bisa marah?" Tanya Kaidar sambil mengunyah.
" Kan gue ada bilang sama mang Jamal, kalo gue ada alergi sama kucing." Jelas Randi. Yang lainnya dia menyimak.
" Terus?" Reno menatapnya penasaran.
" Katanya kalo gamau alergi, makan aja ikan yang di bakar langsung pake garem. Gue turutin aja tuh kata-kata mang Jamal, lo pada tau kan di rumah gue ada akuarium yang ada di rumah gue?"
Jenar, Kaidar, Reno dan Raken mengangguk, pikiran mereka sudah dapat menebak apa yang terjadi.
" Lo ambil salah satu ikannya?" Tebak Reno. Randi menggeleng membuat mereka merasa aneh.
" Tunggu, jangan bilang.." Raken membelalak menatap Randi tak percaya.
Randi cengengesan ketika mendapatkan jitakan di kepalanya dari Raken. Kaidar menggerutu kesal melemparkan bantal pada mereka.
" Lanjutin woy! Terus gausah pake bahasa kalbu ngomongnya, gue kagak ngerti." Teriaknya. Reno membenarkannya, menatap Randi penasaran.
Lain dengan Jenar yang menatap tajam Kaidar, " Jangan berisik, anjing. Adek gue lagi tidur."
" Udahlah, jelasin jadi apa yang lo lakuin sama tuh ikan?" Reno menyelesaikan makannya. Randi tersenyum pongah.
" Gue masukin garam ke airnya, terus mau bakar ikannya di air. Tapi gue lupa kalo air sama api tuh ga bisa nyatu walau gue ada liat di kartun Spongebob ada api di rumahnya." Penjelasan Randi mendapatkan umpatan dari ketiga pria itu.
" Bodoh banget lo ndi! **** lo temen siapa sih?" Karena terlanjur kesal, Jenar memilih keluar dari kamar meninggalkan teman temannya yang riuh. Memang kebiasannya sih.
Pemuda itu berjalan menuju dapur, berniat mengambil minuman untuk mereka. Saat kembali dia menemukan sosok adiknya yang baru saja keluar dari kamar.
" Udah bangun dek? Sarapannya udah abang siapin." Ucapnya. Jatnika Lestari, gadis 15 tahun itu mengabaikan kakaknya dan berjalan menuju kulkas mengambil air dingin.
Jenar hanya bisa bersabar, pria itu kembali melanjutkan langkahnya. " Jangan ke kamar Abang ya, ada temen temen Abang disana. Kalo mau keluar jangan lama lama."
Jatnika bergumam menatap nasi yang tersaji di meja makan di lengkapi oleh lauk pauknya. " Siapa juga yang mau kesana. Mereka berandal semua termasuk Abang."
...•CORETAN JENAR KANURASANKARA•...
" Lo jadi ikut kan nanti malam?" Tanya Raken. Pria itu memangku gitar dan memainkan senarnya. Jenar mengangkat bahunya, merasa tidak yakin dengan jawabannya.
" Gue ga tau, adek gue dirumah sendiri. Mang Jamal sama Bi Rara lagi ke rumah kakek ada acara keluarga." Jelasnya.
Raken membelalak lebar, " Artinya ada bonyok lo disana? Emangnya ada acara apa?"
Jenar hanya tersenyum menampakkan gummy smilenya. Meski tubuhnya kekar dan berotot, pemuda itu memiliki gummy smile yang lucu.
" Gak tau sih bang, gue gak peduli juga." Ucapnya, dia memilih membuka ponselnya dan memainkan mobile legend dan bersiap menaikkan rank.
Raken menggeleng, kesukaan Jenar pada game itu sangat luar biasa. " Kalo mau ikut, chat gue aja. Biar nanti Reno yang jemput."
" Oke bang, lagian cuma beberapa langkah juga." Seloroh Jenar.
Sampai pukul 2 siang rumah Jenar berisik karena teman temannya itu, belum lagi mereka mengacau di ruang tengah dan menganggu Jatnika adik Jenar.
Akhirnya, setelah pengusiran paksa yang di lakukan Jenar mereka langsung pulang kerumahnya masing masing. Reno rumahnya tidak jauh dari sana, hanya beda gang saja.
Jika Kaidar dan Randi, mereka beda perumahan. Jaraknya sekitar 10 menit menggunakan sepeda motor dari komplek perumahan Jenar. Lain halnya dengan Raken yang tinggal di apertement sejak beberapa bulan yang lalu.
Pria itu memutuskan untuk tinggal di apertement semenjak masuk kuliah. Raken merasa lebih efektif karena apertement nya dekat dengan kampus sekolah nya.
" Jen! Jangan lupa nanti malam ikut ya." Teriakan dari Kaidar yang duduk anteng di jok belakang motor Randi.
" Berisik Kai! Lo ga malu di liatin banyak orang?" Sungut Randi.
" Kagak lah. Secarakan gue ganteng." Sombong Kaidar, " ganteng enggak, mirip monyet iya." Decih Randi menarik tuas gas dan memberikan klakson sebelum benar benar pergi.
" Kalo enggak ikut, Si sindy buat gue." Ucap Reno keras melambaikan tangannya.
Jenar berdecih kesal menatap kepergian teman temannya, pemuda itu menutup pintu setelah memastikan mereka sudah pergi.
Tumitnya berputar dan kakinya mulai melangkah menuju kamar adiknya memastikan keberadaan gadis itu.
Sebelum masuk, Jenar mengetuk pintu. " Dek?"
Kondisi kamarnya sedikit berantakan karena beberapa cat dan kanvas berserakan. Jenar memasuki kamar bernuansa modern itu. Hampir setiap dinding di penuhi oleh kanvas yang sudah di beri coretan tangan yang memiliki ragam bentuk oleh Jatnika.
" Ngapain?" Tanya Jatnika kesal melihat Abangnya ada di kamarnya.
Gadis berusia 15 tahun itu baru saja pergi ke kamar mandi di dapur. Jatnika masih kesal karena dirinya di ganggu oleh teman teman kakaknya.
" Lagi ngelukis ya? Mau dong Abang di jadiin model lukisannya." Ungkap Jenar sambil bergaya.
Jatnika bergumam kesal, " Gak bisa, catnya habis." Ketusnya.
Jenar membaringkan tubuhnya di kasur sang adik. " Yaudah nanti Abang beliin yang banyak."
Jatnika mengacuhkannya dan memilih membereskan kamarnya yang berantakan. Jenar menatap plafon kamar sang adik yang di nampak polos.
Keadaan hening kecuali suara grasak-grusuk yang di timbulkan oleh Jatnika. Jenar memejamkan matanya perlahan.
" Abang nanti malam ada acara, besok siang pulangnya. Kamu gak papa Abang tinggal sendiri?" Tanya Jenar setelah sekian lama mengumpulkan niat.
Jatnika berdehem pelan. " Pergi aja. Gausah pikiran aku." Balasnya singkat.
" Udah awas! Kalau mau tidur dikamar aja sana. Jangan disini!" Jenar membuka matanya dan bangkit dari tidurnya menatap adiknya yang menatap dirinya kesal.
" Beneran gak papa?" Tanyanya lagi memastikan. Jatnika berdecak.
" Yaudah aku pulang aja ke rumah kalo Abang khawatir aku sendirian." Rajuk nya.
Jenar membelalak, " Jangan! Yaudah iya, maaf jangan pulang ya." Dia memegang tangan Jatnika sambil memelas.
Jatnika menepisnya dan mengerutkan kening, " Emangnya kenapa sih? Abang selalu aja larang aku pulang."
Jenar menatap adiknya dengan dalam, bibirnya tertutup rapat. Pria itu berdiri dan mengelus puncak kepala adiknya sebelum pergi.
Jatnika menatap kepergian Abang nya dengan sendu, " Tuh kan. Abang lagi lagi sembunyiin dari aku." Gumamnya.
...-Bersambung-...
...Update setiap hari Minggu🤗...
Deru mesin motor saling bersautan sepanjang jalan yang mereka lalui. Hari ini adalah hari berdirinya kumpulan remaja yang secara tidak sengaja bertemu 2 tahun yang lalu.
Di ketuai oleh seorang Raken Setiawan yang beranggotakan 7 anggota inti dan 23 anggota secara keseluruhan. Karena itu, saat ini mereka hendak merayakannya dengan mengadakan acara tour ke Villa di puncak, Bogor.
Seharusnya, mereka melakukan perjalanan ini dari kemarin agar mereka dapat menginap dua hari, namun tidak bisa karena ketidakhadiran beberapa anggota lainnya. Hari inipun hanya ada 10 orang yang ikut, yang lainnya sibuk dan ada kegiatan lain. Tidur misalkan.
Sudah pukul 9 malam dan sebentar lagi mereka akan sampai, sebelum itu mereka juga sudah menyiapkan hal yang perlu mereka siapkan untuk kegiatan di sana.
Seperti makanan dan pakaian.
Rencananya, mereka mau barbeque daging sapi dan jagung serta makanan yang lainnya. Untungnya mereka punya chef muda yang dapat di andalkan. Reno dengan tangan ajaibnya yang selalu dapat membuatkan makanan terasa jadi sangat enak.
" WOI KAIDAR! Tungguin si Chandra, dia masih di belakang gatau jalannya." Teriak Reno dari balik helmnya. Jenar yang mengemudi didepan memberikan klakson membuat Kaidar menoleh.
Jenar melajukan motornya mendekati motor Kaidar. " Kenapa Ren?" Tanya Randi yang duduk di jok belakang Kaidar.
" Chandra sama Andy masih di belakang. Tuh anak gatau jalannya." Ucap Reno diangguki oleh Kaidar dan Randi.
Kaidar melajukan motornya mendekati yang lainnya, dan berteriak memandu agar memelankan laju motornya. Pria itu membawa motornya mendekati sang ketua yang berada di paling depan.
Tidak sampai satu jam, rombongan motor tersebut sampai di sebuah villa milik orang tua Raken. Setelah memarkirkan motornya di tempat yang aman, mereka mengambil barang barang yang mereka bawa masuk ke dalam villa tersebut.
Villanya sederhana, memiliki 4 kamar dan ruang tengah serta dapur yang komplit dengan kamar mandinya. Ada kolam renang juga di belakang Villa.
Beberapa pemuda masuk ke belakang villa dan bersiap berenang. Padahal udara terasa dingin, tapi mereka malah tertawa riang memasuki kolam dan saling bercanda.
Lain dengan Reno, Raken dan Kaidar mereka sibuk menyiapkan barbeque di depan villa. Sedangkan Jenar dan Randi di bantu oleh Chandra dan Andy sibuk menyiapkan tempat tidur. Yah, sesuka itu mereka rebahan.
" Gue ga mau tidur disini ya bang. Gue mau sama Andy di kamar yang ada di sana." Ucap Chandra sambil menunjuk salah satu kamar dengan dagunya.
Jenar menyerngit, " Terserah. Bilang aja sama yang punya Villanya." Balasnya. Randi menggelar karpet besar di tengah.
" Tapi kalian bukan mau gitu kan?"
" Gitu gimana bang?" Bingung Andy.
Chandra berteriak begitu tersadar, " Bukan lah! Sekata kata lo bang. Kita masih normal ya."
" Biasa aja lah, gue cuma wanti wanti aja. Gak elit ada anggota kita yang homoan." Cetus Randi sambil terkekeh. " Tapi emang Andy keliatan kayak boti juga, polos polos gitu." Sambungnya.
Andy tersadar akan pembicaraan nya." Astaghfirullah bang! Gue aduian sama bang Raken nih! Bang!" Pria tinggi namun berotak polos itu pergi dari sana karena merajuk.
" Udah-udah, buruan bantuin gue nih." Ucap Jenar merapihkan karpet karpetnya.
Chandra mencebik. " Iya iya."
Acaranya terus berlangsung, daging bakarnya sudah hampir siap. Randi dan anak lainnya bermain kartu menunggu makanannya masak, selain itu ada yang bermain game seperti Jenar dan Andy yang tengah duel.
" Awas njing! Itu di kiri kiri. Tuh bawah pohon."
" Bang lo gimana sih, cepet bantuin gue dong."
Reno menatap mereka yang bersantai ria dengan garang, tangannya berkacak pinggang.
"Woi! Jangan diem doang napa. Bantuin kita dong yang masak, kalau engga jangan ambil jatah kalian." Teriaknya menggema.
Sontak mereka terkejut, sampai sampai ada yang tersedak kuaci. Alih alih menurut mereka semua malah mengabaikannya. Reno menggeram tertahan.
Raken datang dengan senampan daging yang sudah di bakar. " Udahlah Ren. Gausah marah marah, mending kita makan. Udah selesai juga." Ucapnya menenangkan.
" Bener tuh, bang Raken emang terbaik." Chandra berteriak di sahuti yang lainnya.
Jenar membanting kan ponselnya dan meloncat ke karpet menuju makanan. " Wih udah siap nih," tangannya mencomot satu di ikuti yang lainnya.
" Wis wis, tak poto dulu," ucap Randi mengangkat tinggi tinggi ponselnya.
Malam itu adalah malam yang menyenangkan bagi anggota Anak Krakatau. Aneh sekali nama gengnya, tidak ada unsur kerennya sama sekali.
Bahkan Jenar juga sangat menikmatinya, tanpa tahu ponselnya terdering menampilkan nama adiknya yang terus menghubunginya.
...• CORETAN JENAR KANURASANKARA•...
...
...
Tidur Raken terganggu akibat suara ponsel yang berdering dengan kuat. Pria itu merasa raba kasur di dekatnya. Tapi tangannya malah memegang sesuatu seperti hidung seseorang.
Pria itu membuka matanya, mendapati Kaidar tidur di sampingnya dengan memeluk guling. Deringan ponsel lagi membuat Raken bangun mencari ponselnya.
Di balik bantal, Raken menemukan ponselnya. Ibu Reno menelpon, tangannya langsung menekan tombol hijau.
" Assalamualaikum, Tante."
"..."
" Oh, ada. Jenar kayaknya masih tidur Tante, ada apa ya?"
Raken menyerngit heran, aneh sekali ibunya Reno menelpon menanyakan keberadaan Jenar.
"..."
" Kemalingan? Terus Jatnikanya baik baikkan tan?" Tanya Raken khawatir.
"..."
" Alhamdulillah, syukur kalau begitu. Yaudah Raken bilang sama Jenar, makasih ya Tante."
"..."
" Iya tante, waalaikumsalam." Raken langsung berlari keluar dari kamar setelah memakai bajunya. Dia menvari keberadaan Jenar.
" Jen." Raken menggoyangkan tubuh Jenar yang tertidur di sofa. Tak menyerah pria itu sekali lagi membangunkan Jenar.
" Jenar! Bangun!" Teriaknya.
Berhasil, bukan hanya Jenar namun yang lainnya juga ikut terbangun beberapa.
" Eugh... Kenapa bang?" Jenar mengucek matanya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Wajah Raken nampak tidak baik.
" Jatnika, Jen. Hp lo dimana?" Tanya Raken. Jenar mengedarkan pandangannya, " Gatau bang, gue lupa lagi. Kenapa emang? Terus Jatnika kenapa?"
Pria sipit itu nampak masih mengumpulkan nyawanya, dia mengerjap beberapakali dan menguap pelan.
" Rumah lo kemalingan! Buru balik." Ungkap Raken tak sabar membuat Jenar terdiam sebentar.
Setelah kesadarannya semakin banyak, Jenar mengumpat bangkit mengambil kunci motornya. Pria itu langsung berlari keluar menuju kumpulan motor.
" anjing! Motor siapa ngalangin banget bangs*t!" Umpatnya menendang motor yang menghalanginya.
Pria itu di landa kepanikan, dia langsung mengeluarkan motornya dan melakukannya meninggalkan Raken yang memanggil-manggil namanya.
" Ada apa bang?" Tanya Randi baru saja bangun.
Raken terengah-engah, " Rumah Jenar kemalingan, kita balik sekarang." Titahnya.
" Apa?!" Teriak Kaidar menggema, pria itu langsung keluar mendatangi Raken. " Yang bener bang?!" Tanyanya menatap Raken dengan menuntut.
" Udah! Lebih baik kita balik dulu, kejar bang Jenar." Usul Chandra.
" Iya, takutnya dia kenapa-napa. Bang Jenar kalo udah ngomongin adiknya pasti suka paling heboh." Timpal Andy.
Akhirnya setelah kerusuhan yang terjadi, mereka memutuskan untuk segera pulang. Menyusul Jenar yang mengebut tanpa kendali.
Berulang kali pria itu menerobos lampu merah dan hampir menabrak pengendara lain. Jantung Jenar berdetak kuat, rasanya hampir meledak.
Pikirannya terus tertuju pada sang adik. Pria itu kembali menaikkan kecepatannya, rasa cemas terus menghantuinya.
" Abang minta kamu baik baik aja, dek. Abang mohon." Batinnya terus memanjatkan doa demi keselamatan Jatnika.
Tak sampai tiga jam, motor Jenar memasuki kompleks perumahannya. Disana ada banyak orang, termasuk mobil polisi yang terparkir di depan rumahnya.
Jantungnya berdebar semakin menggila, rasanya sangat tidak sanggup menghadapi hal hal buruk yang ada di hadapannya. Jenar memarkirkan motornya asal asalan, turun dan membuka helmny lalu melemparkannya ke sembarang arah.
" Adek!" Teriaknya berlari masuk kedalam. Keadaan rumahnya sangat kacau. Ada garis polisi yang dibentangkan di pintu rumahnya.
" Tunggu mas, anda tidak boleh masuk." Salah satu petugas polisi menahannya. Jenar menepis, ia menatap tajam polisi itu.
" Adik saya ada di dalam pak! Biarkan saya masuk," ucapnya dengan nyolot.
Terjadi adu cekcok, petugas itu tidak membiarkan Jenar masuk.
" Jatnika! Maafin Abang!" Teriak Jenar frustasi. Dia jongkok mengacak-ngacak rambutnya dan menariknya dengan keras hingga helaian rambut hitam rontok.
" Pak, biarin aja dia masuk. Dia kakaknya," Ucap salah satu tetangganya.
" Maaf pak, kami tidak bisa melawan perintah dari atasan."
" Nak Jenar, bangun ayo. Neng Jatnikanya tadi di bawa ke rumah pak Theo sama Bu Rain." Ucapnya membuat Jenar langsung bangkit.
Pria itu mengusap air matanya. " Adek saya ada di rumahnya Reno pak??" Tanya Jenar memastikan. Begitu mendapatkan anggukan, Jenar lantas berlari menuju rumah temannya.
Tidak sampai melewati 4 rumah, Jenar sampai di rumah dua lantai itu, dia membuka pagar dan langsung mengetuk pintunya.
" Tante! Assalamualaikum! Tante!" Teriaknya.
Ketika knok pintu bergerak, Jenar memundurkan tubuhnya memberi jarak. Begitu pintu terbuka, nampaklah wajah adiknya yang sembab.
Jantung Jenar mencelos. " Dek..." Panggilnya lemah. Pria itu berkaca kaca menatap penampilan adiknya yang tidak bisa di katakan baik baik saja.
Jatnika hanya diam. Menatap abangnya dengan sorot yang dingin, kemudian tangannya tergerak untuk segera menutup pintu. Akan tetapi sebelum pintu benar benar tertutup, Jenar menahannya terlebih dahulu menggunakan tangannya.
" Dek. Maafin abang."
Suara Jenar bergetar. Pria itu tidak langsung membukanya namun menahannya tetap seperti itu. Tangannya terkepal kuat,
" Ini salah abang."
" Seharusnya abang gak pergi, seharusnya abang temenin kamu di rumah. Seharusnya abang diem di rumah, abang.." Jenar menelan salivanya dengan susah, pria itu menanggahkan kepalanya berusaha menahan air matanya.
" Maaf dek."
...__________________...
...Kasian Jenar, yang sabar yaa....
...Jangan lupa like dan koment...
Kebiasaan Jatnika yaitu selalu merasa haus ketika malam hari. Ketika memeriksa air minum di gelas ternyata sudah kosong. Dengan lunglai, gadis itu terpaksa keluar dari kamarnya menuju dapur.
Setelah menghilangkan dahaganya, Jatnika kembali ke kamarnya. Sebelum itu dia sudah mengisi gelas dengan air yang penuh.
Melewati ruang tengah, Jatnika melihat bayangan seseorang di balik jendela. Karena lampu sengaja di matikan membuatnya bisa melihat bayangan seseorang tersebut dari luar jendela. Gadis itu sejenak terdiam, memicingkan matanya kembali memastikan apa yang dia lihat.
Namun melihat orang itu memaksa masuk lewat jendela, Jatnika langsung yakin dan segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Gadis itu menyimpan air minumnya dengan panik, tangannya pun ikut bergetar hebat.
" A-abang. Iya aku harus telpon Abang!" Jatnika mengambil ponselnya dan langsung menekan nomor abang nya.
Berdering, namun tidak diangkat sama sekali. Dan berulang kali, ia coba telpon tetap tidak di angkat. Lalu beralih pada yang lain, tapi tidak ada satupun yang mengangkat telepon nya.
Terdengar suara rusuh dari luar, Jatnika semakin panik dan cemas. Gadis itu menatap jendela kamarnya dengan lamat, dapatkah dia masuk kedalam sana?
Tapi bagaimana dengan rumahnya?
Jatnika sedikit takut bilamana mereka membawa senjata tajam. Dengan membulatkan tekad, gadis itu akhirnya memutuskan untuk berani.
" Keluar dari sini, cari bantuan dari orang lain udah itu selamatkan barang-barang yang ada di rumah." Jatnika mengulang kembali perkataannya hingga berkali-kali sambil menguatkan keberaniannya.
Sebelum keluar, dia menghalangi pintu kamarnya dengan kursi. Jatnika berjalan menuju jendela kamarnya, sebelum itu dia mengambil sesuatu untuk jaga jaga. Keputusannya,
Jatnika mengambil tongkat billiar milik kakaknya.
Membuka jendela dengan sangat perlahan, Jatnika mulai keluar dari kamarnya di mulai dari kakinya terlebih dahulu. Dengan hati hati, dia turun dari sana dan menutupnya perlahan. Gadis itu bersorak dalam hati, berbalik untuk berlari mencari bantuan.
Bukannya mendapatkan bantuan, Jatnika malah mendapatkan sumber masalahnya. Gadis itu terkejut melihat sosok lain di depannya.
" Bodoh! Harusnya aku tahu kalo yang maling ga sendirian." Makinya dalam hati.
" Mau kemana lo ha??" Pria dengan penutup wajahnya itu menghadang Jatnika.
Jatnika mundur ketakutan, dia memeluk tongkat billiar di dadanya. " Jangan takut Jatnika! Kata bang Jen kamu harus berani. Anggap aku itu Na Hee Do yang lawan preman itu." Ucapnya dalam hati.
Gadis itu berdiri dengan tegak, menghembuskan nafas perlahan-lahan dan mengambilnya dengan rakus.
" Ngapain lo hah?? Diem atau gue bun4h lo!" Ancam pria itu sedikit ketar ketir.
Jatnika mengambil posisi kuda kuda. " Bersedia." Gadis itu sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan.
" Siap." Jatnika mengarahkan tongkat billiar itu kearah maling tersebut. Pria itu menatapnya kebingungan.
" Ya!" Teriaknya lalu mulai memukul pria itu, seluruh tenaganya ia keluarkan.
Dengan ingatannya tentang drakor kesukaannya, Jatnika terus memukul pria tersebut menggunakan tongkat billiar layaknya pemain anggar.
Pria itu mengaduh, memundurkan tubuhnya dan mencoba menghentikan pukulan yang dilayangkan Jatnika. Tepat begitu maling itu menangkap ujung tongkatnya, Jatnika menajamkan matanya.
" Dapet lo!" Seringai maling tersebut. Tanpa kata, Jatnika langsung menendang di sela kedua kaki pria itu.
" Arghhh!!!"
Pria itu terpaku, memegang masa depannya kemudian luruh ke bawah merasakan ngilu yang luar biasa itu. Jatnika yang mendapatkan kesempatan tidak menyia-nyiakan nya.
Gadis itu mengambil langkah cepat meninggalkan sampai rumahnya sebelum teman maling itu keluar dan menangkapnya.
Jatnika keluar dari pekarangan rumah milik pamannya dan berlari kearah pos ronda yang berjarak sekitar 100 meter. Dia terus berlari dengan sekuat tenaga, sambil sesekali menoleh kebelakang memang tidak ada yang mengikutinya.
" To-long! Pak! Ma-ling!" Teriaknya melihat kerumunan bapak bapak di pos ronda itu.
" Ada apa neng ika?" Tanya salah satu tetangganya. Jatnika ngos-ngosan mencoba bernafas dengan normal.
" Dirumah saya, ada maling pak. Saya kabur.. tadi mereka berdua, masuk kedalam rumah, saya keluar lewat jendela-" Jelasnya dengan cepat.
" Ada maling! Ayo kita kesana. Ambil kentongannya pak, lalu panggil pak RT!" Sebagian dari mereka dengan cepat bergerak menuju ke arah rumah Jatnika. Yang lainnya bergerak ke arah lain dengan segala keributannya.
Jatnika di bantu duduk oleh pak Theo, pria paruh baya itu memberinya segelas air putih. " Duduk yang tenang dulu ya. Biar itu, urusan bapak bapak disini." Ucapnya.
Jatnika mengangguk, " makasih om." Ucapnya lega.
" Kalo udah tenang, ikut bapak ke rumah aja yuk. Sama Tante Rain di rumah, rumah pak Jamal biar kami yang urus." Ujar pak Theo.
Jatnika setuju, selang beberapa menit dia di antar ke rumahnya pak Theo dan di sambut oleh Bu Rain. Mereka berdua adalah orang tuanya Reno.
" Yaampun Ika. Kamu pasti ketakutan, Alhamdulillah kamu tidak kenapa kenapa. Yuk ikut Tante masuk ke dalam," Ucap Tante Rain.
Pak Theo menatap istrinya, " Titip Ika dulu ya Bun, kasian dia sendirian di rumahnya pasti terkejut waktu kemalingan."
" Iya, ayah bantuin warga yang lain aja. Ika sama bunda di rumah."
" Yaudah ayah pergi dulu, assalamualaikum." Pamit Pak Theo. Selepas kepergian sang suami, Bu Rain masuk kedalam menatap Jatnika yang duduk di kursi tamu sambil melamun.
Bu Rain berjalan kedapur membuatkan teh hangat untuk Jatnika.
" Ika, minum dulu ini. Biar kamu lebih tenang." Ucapnya menyerahkan tehnya di depan Jatnika. Gadis remaja itu tersadar menatap Bu Rain dengan penuh terimakasih.
" Makasih Tante, maaf ngerepotin."
Bu Rain mengelus kepalanya dengan lembut, " Tidak apa apa, sekarang kamu istirahat aja dulu. Pasti kamu ketakutan tadi, kamu udah hebat bisa melarikan diri kayak gini." Ucapnya menenangkan.
Jatnika tersenyum miris, " Makasih Tante."
" Kamu bisa gunakan kamar itu untuk tidur, yuk ikut Tante." Ajaknya. Jatnika mengekori Bu Rain, begitu masuk ke kamar tamu, gadis itu bisa melihat kemewahan yang ada didalamnya.
" Maaf ya, kamar ini udah jarang di pake karna jarang di pake. Jadi sedikit berdebu," Jatnika menggeleng, " Gak apa apa Tan. Ini udah lebih dari cukup." Ucapnya merasa tidak enak.
Bu Rain mengusap pundaknya pelan, " Gak apa-apa, kamu pasti bisa. Kalau begitu Tante tinggal dulu ya."
Jatnika mengangguk, menatap kepergian Bu Rain yang menghilang di balik pintu. Gadis itu menghela nafas berat, membaring tubuhnya di kasur yang empuk itu dengan posisi tengkurap.
Dia memilih memeluk bantal dengan menenggelamkan wajahnya di sana. Jatnika merenung, lama kelamaan tubuh gadis itu bergetar kecil.
Menangis merasakan ketakutan yang luar biasa, dan menganggap semua yang baru saja dia alami adalah mimpi.
Mau setangguh apapun, Jatnika tetaplah remaja yang masih kecil. Dia tetap akan ketakutan dihadapkan dengan hal yang seperti ini.
Terlebih lagi, dia tidak memiliki siapapun termasuk Abangnya itu entah pergi kemana dan susah di hubungi. Abang yang katanya sayang kepadanya, hanyalah bualan semata.
Nyatanya, Jenar tidak ada saat adiknya membutuhkan sosoknya di samping sang adik.
Untuk kesekian kalinya. Jatnika di patahkan oleh rasa kepercayaan yang ia berikan secara cuma cuma pada orang itu.
Jatnika kecewa dengan Abangnya yang kini mungkin tengah menikmati malamnya sedangkan dirinya di landa ketakutan yang hebat.
...•CORETAN JENAR KANURASANKARA•...
Jatnika terganggu karna suara keras yang berasal dari luar. Tidak tahu kemana perginya Tante Rain, Jatnika terpaksa membuka matanya yang terasa susah akibat semalaman menangis.
Gadis itu berjalan membuka pintu, Jatnika melongo kaget menatap keberadaan Abangnya. " Dek..." Panggil Jenar lemah. Pria itu berkaca kaca menatapnya. Jatnika tiba tiba merasa malu dengan penampilannya yang baru bangun tidur.
Jatnika memilih diam, menatap dingin abangnya. Tangannya tergerak segera menutup pintu. Sebelum pintu tertutup, Jenar menahannya terlebih dahulu menggunakan tangannya.
" Dek. Maafin abang."
Suara Jenar bergetar. Pria itu tidak langsung membukanya namun menahannya tetap seperti itu. Tangannya terkepal kuat, Jatnika sedikit shock melihatnya.
" Ini salah abang."
" Seharusnya abang gak pergi, seharusnya abang temenin kamu di rumah. Seharusnya abang diem di rumah, abang.." Jenar menelan salivanya dengan susah, pria itu menanggahkan kepalanya berusaha menahan air matanya.
" Maaf."
Jatnika menahan air matanya, tak kuasa lagi, gadis itu berlari kearah Jenar dan menghamburkan pelukan yang erat.
" Abang jahat! Tinggal aku sendiri di rumah-" Jatnika memukul bidang dada Jenar yang keras itu. Namun Jenar tidak menghentikannya, pria itu mengeratkan pelukannya pada sang adik dengan rasa bersalah di dalam hatinya.
Jenar terus menggumamkan kata maaf berkali kali, membiarkan adiknya meluapkan semua yang di alaminya.
" Aku takut bang..." Jatnika terisak pelan. Jenar mengelus kepala adiknya yang tingginya hanya sebatas bahunya.
" Abang disini. Maaf, maafin abang." Jatnika melepaskan pelukannya, menatap Jenar yang ternyata sama sama mengeluarkan air matanya.
Jatnika mengusap sisa air mata di wajahnya, dengan sesegukan dia menatap Jenar kesal. " Kenapa Abang nangis??" Sebalnya.
Jenar terkekeh, mengusap pelan pipi adiknya menggunakan jari tangannya. " Karna adik abang lagi sedih, dia ketakutan. Abang juga jadi sedih liatnya." Kata Jenar dengan gummy smile nya.
Jenar memperhatikan setiap tubuh Jatnika dan memeriksanya. " Sini lihat! Kamu ga luka kan? Ada yang sakit? Sini bilang sama abang."
Kekhawatiran Jenar begitu terlihat, Jatnika mengulas senyumnya tanpa diketahui pria itu.
" Aku gak papa berkat tongkat billiar abang." Balasnya. Jenar lega mendengarnya, obrolan keduanya terhenti akibat kedatangan beberapa motor memasuki pekarangan rumah Reno.
Itu teman temannya yang menyusul.
" Ayang Ika! Kamu ga papa kan?" Teriakkan Kaidar yang pertama kali terdengar. Jatnika melemaskan bahunya menatap abang nya dengan melas.
" Abang bisa usir mereka?"
...-Bersambung-...
...Usir aja Jen, mereka mah pengganggu soalnya awokawok...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!