NovelToon NovelToon

Imas Hatori

Kenalan Sama Imas Yuk!

Ini adalah kisahku, kisah cinta yang akan selalu kuingat sampai aku mati. Namaku Imas, usiaku 17 tahun, dan aku sekolah di SMA Spotaker di desaku. Ah, Spotaker, sekolah yang penuh dengan kekonyolan dan tingkah laku absurd. Tapi itu adalah tempat yang akan selalu terukir dalam ingatanku.

Di Spotaker, tak ada hari yang biasa. Setiap harinya penuh dengan kejadian yang tak terduga dan kejutan yang membuatku tertawa. Mungkin itulah mengapa aku tak bisa melupakan kisah cinta konyolku di sekolah ini.

Balik lagi soal latar belakang aku. Aku tinggal disebuah Desa bernama Desa Kesemek. Ayahku seorang Kapiten, eh... Salah, maafkeun. Ayahku seorang kuli angkut yang penghasilannya tidak menentu. Kalau ada angkutan yaa dapet uang, kalau gada yaa.. harus dapat uang laahh, namanya juga kepala keluarga, ya gak guys?

Terus, Ibuku seorang ibu rumah tangga (gak mau dibilang pengangguran, ya sudah bilang aja ibu rumah tangga). Wanita paling super sibuk, saking sibuknya, perkara nembok rumah pun dia lakoni.

Keluargaku memang termasuk keluarga miskin. Namun, eitss.. jangan salah, walaupun miskin kami masih bisa dikatakan kurang mampu lah. Pasti kalian bilang, walaupun miskin tapi hidup kami bahagia kan? hehee.. salah besar kawan. Hampir setiap hari Ibu dan Bapakku bersitegang, ribut, berantem yang kadang-kadang cuma gara-gara hal sepele saja. Mereka melakukan gencetan senjata hanya disaat ayah ada borongan angkutan barang. Sisanya? wassalam.

Aku termasuk gadis cantik di Desaku, bahkan 99% laki-laki semuanya naksir sama aku. Mau tau alasannya? baik, aku jelaskan ya. Karena populasi ras wanita di Desaku memang sedikit, jadi wajar kalau aku jadi primadona dan menjadi incaran laki-laki disini. Nah, jelaskan? kenapa aku paling cantik di Desaku? kalo gak jelas, balik lagi baca dari atas. ppfftt... bercanda kawan.

Ok, Next!

Kegiatanku setiap hari tak lain dan tak bukan hanya pergi kesekolah, pulang, belajar, makan, minum, BAB, scroll TikTok, buka FB nonton YouTube, main game, eh.. gak ding! Aku gak main game, takut kecanduan beli voucher nanti Ibuku bisa keluar taringnya.

Hari ini seperti biasa, aku berangkat kesekolah berjalan kaki menyusuri pematang sawah, melewati gunung, mendaki lembah, sungai mengalir indah... lanjutkan teman-teman! hehhe.. maaf, teringat Ost. Ninja Hatori. Ya.. karena kami tidak memiliki kendaraan, jadi aku harus puas dengan kendaraan abadi yang akan selalu aku syukuri, yaitu kakiku.

Disekolah, Di SMA Spotaker, aku termasuk murid berprestasi. yup! setiap hari aku selalu dipanggil guru BK, mungkin beliau terlalu sayang sama aku makanya setiap hari ingin ketemu sama aku. Nama Guru BK nya bapak Nanang.

"Imaaaaassss, Kesini kamu!" Bapak Nanang seperti biasa memanggil aku keruangannya.

"Ada apa pak?" jawabku santai.

"Mau sampai kapan kaos kakimu beda toko?" Pak Nanang mengelus dada sambil geleng-geleng kepala.

Hahaha, Pak Nanang memang selalu perhatian dengan fashion kakiku yang unik! Dia sepertinya memiliki obsesi tersendiri dengan kaos kaki yang berbeda-beda.

"Aduh, Pak Nanang, maaf ya. Kaos kaki beda toko ini adalah caraku menunjukkan eksistensi dan kreativitas, Pak!" ujarku sambil kukedipkan mataku sebelah.

Pak Nanang menatapku dengan ekspresi campuran antara bingung dan keheranan. "Imas, kamu ini anak yang unik. Tetapi ingat, prestasi dan karakter lebih penting daripada kaos kaki yang beda-beda!"

"Justru itu pak, Bapak tau kenapa aku selalu menggunakan kaos kaki yang berbeda corak? itu menunjukan karakter pak, itu menandakan kalau aku bersikap adil. Aku gak mau nanti kaos kaki yang aku tinggal protes saat aku pulang sekolah." Jawabku ngeles.

"Ohh.. gitu ya?" Pak Nanang ngangguk-ngangguk dan berdiri.

Pak Nanang lalu menjewer kupingku. Nah, terbukti kan? semua guru sayang sama aku sampai-sampai mereka pura-pura menjewerku hanya untuk menunjukan kasih sayangnya.

Hahaha, aku terkekeh saat Pak Nanang menjewer kupingku dengan lembut. Sungguh, guru-guru di SMA Spotaker memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan kasih sayang kepada murid-murid mereka.

"Apa-apaan ini, Pak Nanang?" tanyaku sambil menggosok-gosok kupingku yang sedikit sakit.

"Berdiri kamu disini sampai jam istirahat." Pak nanang menunjuk kearah pojok kantornya.

Begitulah, saking sayangnya Pak Nanang sama aku, aku gak boleh masuk ke kelasku sendiri.

Jam istirahat pun tiba, Aku lalu pamit sama Pak Nanang untuk keluar dari ruangannya. "Pak, temu kangennya udah kan? Aku balik kelas ya? mau ke kantin juga, laper aku pak " Ujarku ke Pak Nanang.

"Baik, tapi ingat.. Besok kamu pakai kaos kaki yang benar!" Pak Nanang memintaku dengan ramah.

Saat aku di kantin, teman-temanku langsung mengerumuniku (biasa laahh.. Selebritis).

Siska orang pertama yang bertanya. "Mas, tadi kamu ngapain aja di ruang BK?" belum juga aku sempat menjawab, Ira ikut bertanya kepadaku, "Kamu bikin kasus apalagi, Imas?" Mata Ira melotot, keliatan banget kalau dia lagi kepo.

Aku angkat kakiku ke atas meja, "Nih... gara-gara ini!" aku jawab sambil menunjuk kearah kaos kaki.

"wkwkwkwk... Imas, Ya Allah, kamu gak malu pake kaos kaki beda merk?" Ira tertawa terbahak-bahak.

Hahaha, mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat kaos kaki beda merk yang aku pakai. Aku memilih untuk ikut tertawa dan menjaga suasana tetap ringan.

"Aduh, Ira, ini kan bentuk kebebasan berekspresi fashion, kali ini aku memutuskan untuk berani beda dengan kaos kaki yang berbeda merk!" ujarku sambil memasang wajah serius.

Teman-teman lain ikut menyambut dengan candaan. "Imas, kamu memang selalu punya gaya fashion yang unik, tapi tetap asyik, ya!" kata Siska.

"Aku sih suka, Imas! Kamu selalu bikin kita semua tertawa dengan kekonyolanmu," kata Dimas sambil mengangkat gelas minumannya.

Kami semua saling bergurau dan tertawa. Tidak ada yang terlalu mempermasalahkan kaos kaki beda merkku, karena di SMA Spotaker, kekonyolan dan keunikan diri adalah hal yang biasa.

Kami pun melanjutkan makan siang dengan ceria. Kami berbagi cerita lucu, tertawa, dan menikmati kebersamaan di kantin. Tak ada yang lebih indah daripada bisa bersama teman-teman sejati yang bisa membuatku tertawa dan bahagia.

Bel Sekolah pertanda pulang sudah dibunyikan. Aku dong, orang pertama yang keluar dan berlari secepat kilat. Alasannya? Rumahku jauh Kawan-kawan. Aku tidak mau pulang kerumah pas Adzan maghrib.

Hahaha, begitulah aku, si Ninja Hatori versi SMA Spotaker! Pulang sekolah bagiku adalah momen paling ditunggu-tunggu. Aku selalu berlari secepat kilat dengan alasan bahwa rumahku jauh, padahal sebenarnya aku hanya ingin menghindari pulang saat adzan maghrib berkumandang.

Melalui rute sehari-hariku yang sudah hafal seperti Ninja Hatori, aku melewati jalan-jalan kecil yang tak terlihat di Google Map. Sinyal yang sulit di daerahku membuat teman-teman yang ingin berkunjung ke rumahku terkadang kesulitan menemukannya. Mereka harus mengandalkan petunjuk-petunjuk ala Ninja Hatori versi manusia.

"Kalau kamu melihat pohon mangga yang tinggi, berbeloklah ke kiri dan ikuti jalan berbatu hingga kamu menemui jembatan bambu. Kemudian lewati sawah dan rumah dengan cat merah di temboknya, rumahku ada di ujung gang kecil di belakangnya!" begitu petunjukku kepada teman-teman yang ingin berkunjung.

Setelah melintasi hutan bambu yang lebat dan melewati sungai kecil yang jernih, akhirnya aku tiba di rumah. Selamat, Ninja Hatori berhasil sampai tujuan tanpa terlihat oleh mata orang lain!

Di rumah, aku disambut oleh keluargaku dengan hangat. Mereka sudah terbiasa dengan kekonyolan dan keunikan diriku. Meskipun tidak ada teknologi canggih atau sinyal yang stabil, tapi kebersamaan dan kebahagiaan di rumah kami tidak ternilai. Itu dibuktikan dengan banyaknya cucian piring yang harus aku bereskan. Ibuku memang the best. Perhatian banget sama anaknya.

"Buuuu... Ibuuuuu." Aku memanggil Ibuku yang entah sedang dimana.

"Apa Imas?" Ibuku menjawab dengan suara keras namun tak berwujud.

Aku memandang ke arah suara yang datang, mencari tahu dari mana Ibuku berkata-kata tanpa ada sosok yang terlihat. Ternyata suaranya berasal dari ruang cuci di belakang rumah.

"Ibuu, ada cucian banyak banget nih! Aku bingung harus mulai dari mana," seruku dengan nada memelas.

Tiba-tiba, sebuah pakaian kotor terbang di depan wajahku dan aku terkejut. Ternyata itu Ibuku yang sedang beraksi, menggerakkan pakaian kotor dengan kekuatan imaginasi.

"Ayo, Imas! Jangan hanya berdiri di sana, ayo bantu Ibu mencuci cucian!" seru Ibuku dengan semangat.

"Piring aja belum beres, Bu." Aku menggerutu.

Saat kami sibuk dibelakang, terdengar suara orang memberi salam. "Assalamualaikum". Suaranya kenceng banget.

Aku dan Ibuku menjawab secara bersamaan seperti choir, "wa'alaikumussalam".

"Imad, ehh.. maaf typo! Imaaaaassss.. Imasss.." Lantang sekali suaranya sampai-sampai mengundang panci terbang ke arahnya.

"Praaaaaannngg." Ibuku melempar panci kecil kearah Ujang. Ya.. yang bertamu adalah Ujang, cowok yang tergila-gila sama aku namun aku cuekin.

"Yang sopan kamu teh kalo bertamu, Ujang!" Ibuku mulai keluar taringnya.

"Aduhh, maaf bu, Ujang pikir gada orang dirumah." Ujang menjawab dengan nada gemetaran.

"Dipikir Ibu teh Jurig? Hantu?" Ibuku makin nge-gas bahkan serasa mau naik ke gigi 4.

Aku keluar dan bertanya, "Ada apa, jang?"

"Gak jadi, Imas. Nanti aja kalau Ibu kamu sudah gak bertanduk!" Jawab ujang sambil lari.

"Siborokokok!" Aku sumpahin Ujang karena bersikap gak jelas.

Saat moment menegangkan itu, tanpa sengaja mata indah bola ping-pongku berubah fokus ke arah pinggir jalan. Aku melihat laki-laki yang belum pernah aku lihat dari awal aku lahir hingga sekarang. Wajahnya ganteng, tinggi, pokonya mah ideal ajah.

Dia melirik dan melihat kearahku dan dia segera menghampiriku. Hatiku berdegup kencang.

"Aduhhhh... dia kesini, aku harus gimana ini?"

Trik Imas

Sebelumnya :

"Saat moment menegangkan itu, tanpa sengaja mata indah bola ping-pongku berubah fokus ke arah pinggir jalan. Aku melihat laki-laki yang belum pernah aku lihat dari awal aku lahir hingga sekarang. Wajahnya ganteng, tinggi, pokonya mah ideal ajah. Dia melirik dan melihat kearahku dan dia segera menghampiriku. Hatiku berdegup kencang."

Di depan Rumah

Dengan hati yang ngagedur (berdebar-debar), aku mencoba menenangkan diri saat laki-laki itu semakin mendekatiku. Aku berusaha mencari tahu apakah aku mengenalnya atau tidak, tetapi wajahnya tetap asing bagiku. Dia mengenakan pakaian yang terlihat elegan dan sepertinya memiliki pesona yang tak terelakkan.

Laki-laki itu akhirnya berdiri di depanku dengan senyuman hangat di wajahnya. "Hai, apa kabarmu?" ucapnya dengan suara yang terdengar lembut.

Aku terkejut dan membalas sapaannya dengan sedikit gugup, "Hai, aku baik-baik saja. Tapi punten, aku tidak mengenalmu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Laki-laki itu tertawa ringan. "Tidak, kita belum pernah bertemu sebelumnya. Namaku Vey. Aku baru saja pindah ke sekitar sini."

Aku merasa lega bahwa dia adalah orang baru dan tidak ada hubungan masa lalu yang mungkin terlewatkan. Tetapi penampilannya yang menawan membuatku merasa seperti ada sesuatu yang spesial tentangnya. Aku merasa tertarik dan ingin lebih tahu tentangnya.

"Namaku Imas," ucapku dengan senyuman lebar. "Jadi, apa yang membawamu ke sini? Apakah kamu mencari petualangan seperti si Bolang atau mungkin cari harta karun tersembunyi?"

Vey bingung dan menggaruk kepalanya sejenak sebelum menjawab, "Sebenarnya, aku baru saja pindah ke lingkungan ini dan sedang mencari tempat untuk makan siang. Apakah kamu punya rekomendasi?"

Aku tersenyum dan menyarankan sebuah restoran di dekat sana yang dikenal dengan makanan lezatnya. Tapi, sesaat pikiran jahilku muncul, "Baiklah kisanak, aku akan mengantarmu dengan satu syarat." Jawabku dengan suara lebih dalam agar terdengar lebih macho.

Vey menanggapi tawaranku dengan senyuman. "Hahaha... gila, baru nyampe udah ditodong aja. wokeh lah, apa syaranya?"

"Aku ikut makan disana dan kamu bayarin, kebetulan aku belum makan." Ujarku sambil kudekatkan wajahku dan kugoyang-goyang.

Vey terkejut, mulutnya mangap dan matanya muter-muter terlihat berpikir kebingungan. Dalam kebingungannya, dia melanjutkan obrolan, "Ayo lah kalo cuma makan doang." Dia menjawab walaupun terlihat masih bingung dan terus garuk-garuk kepala. Mungkin dia belum keramas, pikirku.

Aku berjalan bersama Vey menuju restoran, sambil berbincang-bincang tentang minat dan kehidupan masing-masing. Semakin kami berbicara, semakin kami merasa nyaman satu sama lain. Percakapan itu berlanjut seolah kita sudah berteman lama.

Ketika kami tiba di restoran, Vey mengucapkan terima kasih padaku. "Terima kasih, Imas. Aku sangat menikmati percakapan kita. Mungkin kita bisa bertemu lagi suatu saat."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Vey. Aku berharap kita bisa bertemu lagi juga."

"Berharap makan gratis lagi?" Vey meledekku.

"Bahhaha... sue kamu, Vey." Ucapku.

Akhirnya kami berpisah dengan senyuman dan aku membiarkan mata indah bola ping-pongku melacak langkah Vey saat dia berjalan masuk ke dalam restoran. Aku merasa ada keajaiban kecil yang terjadi hari ini, dan siapa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ibuuuu.." Aku berteriak girang, senang pokoknya mah.

Ibu muncul dengan muka heran, "Kenapa kamu berteriak lagi, Imas? Apa yang terjadi?"

"Aku dapat makan gratis, Ibu!" ucapku dengan riang.

Ibu memandangku dengan heran, "Makan gratis? Bagaimana bisa?"

Aku tersenyum genit, "Ya, aku mengantar tetangga baru ke restoran tapi dengan syarat dia harus membayarkan makananku. Dan dia setuju!"

Ibu terkekeh, "Nak, nak, nak... Kamu itu selalu punya trik jahil. Tapi, baguslah kalau kamu bisa menikmati makan siangmu dengan gratis."

Aku tertawa senang dan mengangguk, "Iya, Ibu. Itu adalah momen yang lucu dan menyenangkan. Siapa tahu, mungkin dia bisa menjadi teman yang baik dan juga sponsorku untuk makan gratis di waktu-waktu yang lain!"

Ibu menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Nak, jangan terlalu serakah ya. Tetaplah berpikir tentang hubungan dan persahabatan yang lebih penting daripada makan gratis."

Aku mengangguk sambil berjanji, "Tentu, Ibu. Aku akan tetap menghargai hubungan itu. Tapi sesekali bolehlah sekedar mencoba keberuntungan untuk mendapatkan makan gratis, kan?"

Ibu hanya bisa menggelengkan kepala dengan senyuman.

Momen bahagiaku sedikit terganggu saat Ujang datang lagi kerumahku, kali ini wajahnya ditekuk menunjukan kesedihan yang eww banget lah.

"Imas, kamu mah tega ih, aku ajak jalan gak mau, giliran anak baru yang ngajak, kamu mau." Ujang makin cemberut, bibirnya semakin monyong maju kedepan.

Aku memandang Ujang dengan keheranan. "Ujang, jangan cemberut gitu ah! Aku kan tidak sengaja bertemu dengan Vey dan dia baru saja pindah ke sini. Lagipula, kamu kan sering banget ngajak jalan, jadi kali ini aku mau mencoba sesuatu yang baru."

Ujang heran dan menghitung jari, "Iya benar aku sering ngajak jalan, tapi kan kamu gak pernah mau, Imas. Kok aku jadi bingung sendiri ya?" Ujang clingak clinguk kebingungan.

Ujang lalu berusaha merayu dengan ekspresi memelas, "Dan, Imas... kita kan sudah lama berteman. Kamu harusnya memprioritaskan aku."

Aku merasa sedikit bersalah melihat wajah Ujang yang begitu sedih. Aku menghampirinya dan memegang bahu Ujang dengan penuh kasih sayang, "Maafkan aku, Ujang. Aku lupa kalo kita belum pernah jalan."

Ujang memandangku dengan wajah yang masih sedikit cemberut, tapi dia mulai melembutkan sikapnya. "Baiklah, Imas. Aku memaafkanmu. Tapi jangan lupa, kamu punya jadwal jalan-jalan denganku juga, ya?"

Aku tersenyum lega. "Ok, Ok."

Ujang akhirnya tersenyum kembali dan mengangguk. "Baguslah. Sekarang ayo, ceritakan lebih banyak tentang laki-laki baru itu. Apa dia ganteng seperti aku?"

"Nggak lah Jang, masih gantengan baju, ehh... gantengan kamu lah." Aku berusaha menggoda Ujang yang masih cemberut, agar dia mau tersenyum lagi.

Ujang mendengar kata-kataku dan akhirnya tersenyum kecil. "Ah, jangan bohong, Imas. Kamu tahu aku yang paling ganteng di antara dia dan aku!"

Aku tersenyum dan mengangguk setuju. "Iya, iya, kamu yang paling ganteng, Ujang. Tapi Vey juga punya pesonanya sendiri, kok."

Ujang memainkan rambutnya dengan bangga, mencoba menunjukkan betapa percaya dirinya. "Ya sudahlah, aku tetap yang paling keren dan lucu di mata kamu, kan?"

Aku tertawa dan mengangguk. "Tentu, Ujang. Kamu selalu keren dan lucu di mataku. Tidak ada yang bisa mengalahkan teman sebaik kamu."

Ujang tersenyum puas, merasa lega bahwa persahabatan kami tidak terganggu oleh kehadiran Vey. Kami melanjutkan obrolan dengan canda tawa seperti biasa, memperlihatkan betapa kuatnya ikatan persahabatan kami.

"Jang nanti temenin cari belut mau gak?" tanyaku.

"Astagfirullah, Imaaasss.. orang lain mah cewek itu diem dirumah kalau udah maghrib, kamu mah malah ngajak cari belut." Aneh pisan ih.

Aku mengedipkan mata dengan nakal. "Ya sudahlah, Ujang. Kamu kan teman pemberani. Ayo, kita cari belut bersama-sama. Pasti seru!"

Ujang melihatku dengan tatapan tidak percaya. "Serius nih, Imas? Kamu mau cari belut di malam hari?"

Aku mengangguk semangat. "Tentu saja! Kita bisa mengenakan pakaian keren dengan topi dan karetan di kaki. Seperti petualangan sungguhan!"

Ujang menggaruk-garuk kepalanya yang botak, masih ragu namun juga penasaran. "Baiklah, Imas. Karena kamu memaksa, aku akan ikut cari belut bersamamu. Tapi ingat, kalau ada belut yang mengejar kita, kamu yang bertanggung jawab, ya!"

Aku tertawa ceria. "Deal, Ujang! Persahabatan kita kuat, tidak ada belut yang bisa memisahkan kita."

Kami berdua pun bersiap-siap dengan semangat. Mengenakan pakaian yang siap kotor dan membawa ember serta senter, kami melangkah ke peternakan belut di tengah malam yang gelap.

"Ibuuuu... kami pergi cari belut! Do'akan semoga kita tidak ketemu pocong ya!" Aku berteriak dengan antusias, memancing gelak tawa ibu yang mendengarnya.

Belut Oh Belut

Aku dan Ujang benar-benar pergi ke sawah tengah malam. Misi kami cuma satu, mencari belut sebanyak-banyaknya. Lumayan teman makan nasi, biasanya kami makan hanya Nasi featuring garam doang. pengen juga dong makan sama daging, yaaa walaupun cuma daging belut.

Dengan senter yang kami bawa, kami berjalan perlahan melintasi sawah yang dikelilingi oleh kegelapan malam. Bunyi jangkrik dan desiran angin menjadi latar belakang perburuan kami. Aku dan Ujang saling berbalas pandangan penuh semangat.

"Ayo, Ujang! Kita akan menjadi pemburu belut yang hebat!" seruku dengan antusias.

Ujang mengangkat jari telunjuknya ke atas dengan penuh semangat. "So pasti, Imas! Tidak ada belut yang bisa menghindar dari kami!"

Kami berjalan di antara aliran air sawah, mencari tanda-tanda keberadaan belut. Saat kami mendengar suara gemericik air yang terdengar lebih kuat, kami mengetahui bahwa kami semakin dekat.

"Hei, lihat! Itu dia, belut!" seruku sambil menunjuk ke arah cahaya senter yang memantulkan bayangan hewan kecil bergerak di air.

Ujang mengepalkan tinjunya dengan semangat. "Mari kita kejar mereka! Jangan sampai satu pun belut bisa lolos dari tangan kita!"

Kami berlarian dengan penuh semangat, mengikuti belut yang bergerak cepat di air. Kadang-kadang kami terpeleset dan terjatuh, membuat kami berdua tergelak dalam kegembiraan.

"Awas, belut! Kami akan menangkapmu!" teriakku sambil berusaha mengejar belut yang meluncur dengan lincah.

Ujang mengeluarkan suara tertawa yang lantang. "Kamu tidak bisa kabur, belut-belut nakal!"

Kami saling berlomba menangkap belut satu sama lain, kadang berhasil dan kadang gagal. Kami menghadapi kejadian kocak saat belut berhasil melompat dan menimpa wajah kami.

"Wahahaha... Imas, wajahmu dipeluk belut!" Ujang tertawa dengan keras, memperlihatkan keceriaan yang sulit ditandingi.

Aku menyeka air lumpur dari wajahku sambil tergelak. "Hahaha... ya sudahlah, setidaknya kami bisa tertawa bersama dan mendapatkan pengalaman seru."

Setelah berjam-jam mencari belut, kami akhirnya berhasil mengumpulkan sejumlah besar belut dalam ember kami. Senang dan kotor, kami berjalan pulang dengan langkah penuh kegembiraan.

"Ibuuuu... kami berhasil mendapatkan belut!" seru kami dengan riang saat memasuki rumah.

Ibu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat kami yang kotor dan bahagia. "Anaku yang aneh, feminim sedikit coba."

wait! kalian belum tau yah nama ibuku? ok, aku perkenalkan, nama Ibuku adalah Ibu Euis. catat ya!

ok lanjut, Ibuku mengambil ember yang berisi belut dan segera memasaknya. Aku sendiri pergi ke kamar mandi karena badanku penuh lumpur, gak jauh sama Terminator saat berkamuflase menghindari predator, yang terlihat cuma mata doang.

Saat aku mandi, kudengar seseorang mengetuk pintu rumah kami. "Assalamualaikum."

Ibuku menjawab "wa'alaikumussalam." Lalu ibu membuka pintu. Ternyata Ayahku baru pulang nguli. Ayahku bernama Bapak Odo. Dulu waktu aku kecil Ayah selalu ngajak aku nguli (maksudnya cuma dibawa aja, gak ikut nguli).

Selesai mandi aku lalu ganti baju dan segera duduk di meja makan. uppss.. maaf guys, dirumah gada meja makan, kita kalo makan biasa diruang tengah, itupun lesehan karena kita gak punya kursi tamu.

Kami duduk lesehan di ruang tengah dengan nasi dan belut yang telah dimasak oleh ibu. Aromanya menggugah selera, dan kami segera menikmati hidangan malam kami.

"Ayah, tadi aku dan Ujang pergi mencari belut di sawah," ceritaku sambil melahap sepotong belut. "Kami berhasil mendapatkan banyak belut, Ayah. Ayah harus mencobanya!"

Ayah mengangguk dengan senyum bangga. "Bagus, Nak. Kamu sudah pandai mencari makanan sendiri. Tapi jangan lupa, belut juga harus dihargai. Mereka memberikan kita makanan, jadi kita harus menjaga keseimbangan alam."

"Ayah gaje, makan jangan bersuara, Ayah!" Sahutku.

Ayah tertawa mendengar aku protes. Setelah makan malam, kami membersihkan meja dan menghabiskan waktu bersama di ruang tengah. Aku merasa beruntung memiliki keluarga yang saling mendukung dan menciptakan momen-momen berharga seperti ini.

Tak lama kemudian, terdengar suara Ibu dari dapur. "Ayaaaahh... Setoran!"

Ayah geleng-geleng kepala, "Baru juga beres makan, udah main todong aja." Ayah cemberut.

"Jangan coba-coba berpura-pura lupa ya, Ayah!" Ibu mengancam dari dalam dapur. Lalu Ibu muncul dari balik tirai sambil mengacungkan Spatulanya, "Ayah tau kan ini apa?" mata Ibu melotot kearah Ayah.

Aku dan Ayah saling pandang, kemudian tertawa bersama. Ibu sering kali membuat lelucon seperti itu yang membuat suasana di rumah selalu ceria. Meskipun hidup sederhana dan tanpa meja makan yang formal, kebahagiaan dan kehangatan keluarga kami terasa sangat nyata.

Kami melanjutkan kegiatan malam kami dengan bermain kartu di ruang tengah. Ayah terkenal dengan keahliannya dalam permainan kartu, sedangkan aku dan ibu lebih sering menjadi lawan tangguh yang sulit dikalahkan. Gelak tawa dan seruan kegembiraan mengisi ruangan, menciptakan kenangan yang tak terlupakan.

Saat hari mulai larut, kami bersama-sama merapikan rumah dan bersiap untuk tidur. Ayah mematikan lampu dan dengan penuh canda mengucapkan, "Waktunya istirahat, besok pagi ada banyak pekerjaan yang menunggu kita!"

Kami pun berjalan ke kamar masing-masing, dengan senyum di wajah dan hati yang penuh dengan rasa syukur atas keluarga yang saling menyayangi.

"Kukkuruyuuuukkk." Suara ayam jago terdengar nyaring sekali ditelinga. Maklum, disamping kamarku memang kandang Ayam punya Ayah. Kulihat jam beker, oalah.. waktunya Sholat Subuh. Aku bergegas ambil air wudhu dan bersiap-siap Sholat.

Adzan Subuh pun berkumandang. Sambil menunggu Iqamah aku mengulang hafalan Al-Qur'anku yang kemarin, sudah menjadi rutinitas harianku seperti itu.

Saat Iqamah berkumandang, aku melangkahkan kaki menuju mukena dan sajadah yang sudah tersedia di sudut kamar. Dalam ketenangan dan khusyuk, aku memulai Sholat Subuh, mengikuti gerakan-gerakan yang telah ku hafal dengan baik.

Dalam keheningan dan ketenangan pagi, suara ayam jago dari luar tetap terdengar, seperti memberikan semangat dan pengingat akan kewajiban untuk melaksanakan ibadah. Aku merasa diberkahi dengan kehadiran ayam jago itu, sebagai pengingat setia akan waktu-waktu sholat.

Setelah selesai melaksanakan sholat, aku merasa hati dan pikiranku menjadi lebih tenang dan penuh dengan keberkahan. Dalam ketenangan pagi yang masih terasa segar, aku melanjutkan mengulang hafalan Al-Qur'an, menjaga koneksi spiritualku dengan Allah.

Saat matahari mulai muncul di ufuk timur, aku merasa terisi dengan energi positif dan semangat untuk menjalani hari yang baru. Aku berterima kasih kepada Allah atas nikmat yang diberikan, termasuk kesempatan untuk melaksanakan ibadah dengan khusyuk dan mendalami ayat-ayat-Nya.

Setelah selesai mengulang hafalan Al-Qur'an, aku menyimpan Al-Qur'an dengan penuh penghormatan dan rasa cinta. Kemudian, aku beranjak dari tempat sholat dengan rasa damai di hati dan kembali memasuki ritme harianku dengan semangat yang baru.

Setelah mandi dan bersiap untuk memulai aktivitas, aku keluar dari kamar dengan senyuman di wajah. Aku siap menghadapi apa pun yang akan datang, dengan keyakinan bahwa Allah akan selalu mengiringi langkah-langkahku dan memberikan petunjuk-Nya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!