NovelToon NovelToon

Istriku Masih Perawan

Bab 1 Harga Diri

Emma adalah seorang gadis yatim. Semua orang di desa tahu itu. Namun, Emma gadis yatim yang memiliki harga diri. Ia tidak ingin dikasihani. Meski ibunya hanya seorang buruh tani, Emma tidak pernah malu untuk mengakuinya. Namun, terkadang, Emma berharap jalan hidupnya dapat lebih baik lagi.

..."Yaa Allah. Jika engkau ridho, tolonglah hambamu ini yang butuh kerja. Semoga saja, ada rezeki di hamparan bumiMU yang luas ini, supaya keluargaku dapat hidup dengan baik dan menjaga marwah kami. Amieen.... "...

Selepas salat magrib, Emma berdoa dengan linangan air mata yang membasahi mukenahnya. Ibunya juga baru selesai salat dan mengucapkan salam. Wanita itu kini menepuk-nepuk pundak Emma supaya bersikap tegar.

"Sabar, Nduk. Bukan salah siapa-siapa kita hidup dalam kemiskinan. Jika memang jalannya begini, maka, kita harus sabar," tutur ibunya menyemangati Emma yang tampak bersedih hati. Gadis itu mengangguk, dan mencium tangan ibunya.

"Inggeh, Bu. Emma akan sabar," sahut Emma dengan senyuman.

"Mbak, Ibu, ayo makan," ajak Galih, adiknya, dari arah ruang makan. Beras yang dimasak Emma tadi sebelum salat, rupanya sudah matang. Beras itu tadi diantar sendiri oleh Bude Nini-- kakak ipar ibunya Emma, sebagai upah bulanan ibu dan Galih yang menggarap sawahnya.

Setiap hari, ibu Emma-- Bu Lika, menggarap sawah milik Bude Nini, sejak pagi hingga azan ashar berkumandang. Sepulang sekolah, Galih akan membantu ibunya di sawah. Emma bertugas untuk memasak dan bersih-bersih rumah. Namun, sepertinya, Emma sudah harus mencari kerja, karena adiknya akan segera masuk SMA.

Sore tadi, Emma sempat berdebat dengan budenya karena menolak pemberian uang darinya. Bude bersikeras memberi, tapi Emma tidak mau menerima. Emma hanya menerima beras sekarung sebagai upah resmi pekerjaan mereka. Meski kesal dan jengkel, namun, bude Nini akhirnya memahami prinsip Emma. Bude Nini sangat baik, tapi tidak dengan Indira, sepupunya.

Jika tadi Emma menerima uang tunai dari budenya dan disaksikan oleh Indira, maka, kabarnya akan tersiar ke seluruh desa. Emma dan keluarganya akan dihujat, meski tidak di depan wajah mereka. Emma berusaha sebisa mungkin untuk menjaga marwah keluarganya, agar senantiasa bersyukur dan hidup apa adanya.

......................

Tok Tok

Terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah Emma.

"Assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Galih bergegas membuka pintu. Sebagai satu-satunya lelaki di rumah, Galih memang selalu kebagian tugas membuka pintu, tentu saja setelah mengkonfirmasi tamu yang sedang berada di luar rumah mereka melalui kaca jendela.

"Emma ada, Dek?"

"Oh. Mas Dani? Ada, sebentar,"

Galih berjalan menuju ke kamar kakaknya dan mengatakan bahwa tamu tadi sedang mencarinya. Emma bergegas ke luar dan menemui Dani yang sedang duduk di ruang tamu.

"Emma, apa kabar?"

"Baik, Dan. Kamu gimana?"

"Aku juga baik. Langsung aja ya, aku mau nawari kamu kerja, Em. Mau nggak?" tanya Dani tanpa basa-basi.

Belum sempat menjawab, ibunya Emma tampak keluar dari kamarnya. Melihat ibunya berada di belakang Emma, Dani mulai memerhatikan cara bicaranya.

"Bulek," ucap Dani sambil mencium tangan Bulek Lika.

"Ya, Nak. Ada perlu apa ke sini?" tanya Bulek Lika menyelidik. Dani terkenal sebagai biang onar di desa. Ia tak suka jika Emma dekat-dekat dengannya.

"Ini, Lho, Bulek. Saya mau nawarin kerja ke Emma. Kan sayang, sudah lulus tiga bulan kok ndak kerja-kerja," ujar Dani sambil tersenyum.

"Ya? Kerja apa? Jangan yang aneh-aneh lho ya!" hardik Ibunya, masih belum duduk dan mendekap kedua tangannya.

"Duduk dulu, Bulek," ucap Dani seakan menjadi tuan rumah. Bulek Likah duduk, dan menerima selebaran yang disodorkan oleh Dani.

...'Panti Pijat Dani. Dijamin Asoy!'...

Kedua mata Emma berbinar. Ia tak menyangka, doanya rupanya terkabul dengan segera. Namun, ibunya merasa was-was. Bulek Likah berdehem, tampak tak setuju. Dani yang menyadari kode itu, kemudian berkelit.

"Ini bukan pijat plus-plus, Bulek. Ini pijat sungguhan. Bersertifikat,"

Ibunya tetap menatap Emma dengan pandangan melarang. Emma tersenyum masam melihat respon ibunya.

"Makasih, Dan. Nanti aku pikirkan dulu," jawab Emma ambigu. Dani berdecak kesal, namun, tetap menjaga kesopanan. Ia akan tetap merebut hati Emma agar mau menjadi pekerjanya. Emma adalah talent paling tepat untuk bekerja di panti pijatnya yang baru saja dibuka. Selain parasnya cantik, kepribadian Emma juga polos dan sopan. Bidadari seperti Emma memang sudah seharusnya menjadi pujaan para pria.

"Yaudah, pulang dulu sana, nanti dihubungi sama Emma," ujar Bulek Lika seakan mengusir Dani.

"Kalo kamu mau, nanti gajimu diatas UMR lho, Em!" bujuk Dani masih ingin mempengaruhi keputusan Emma.

Gadis itu mengangguk, namun, kemudian mengkode Dani agar segera pulang, sebelum ibunya marah besar.

......................

"Ibu tidak setuju, Em. Nanti kamu nek dijual, piye?"

"Ibu, Dani kan teman Emma. Masa dia jahat sama Emma, tho? Coba dulu kan ndak papa. Jangan suuzon,"

Emma dan ibunya mulai berdebat pendapat. Emma ingin segera bekerja, dan meringankan beban keluarga, namun, ibunya menolak mengizinkannya. Ibunya masih merasa sehat dan kuat untuk menafkahi anak-anaknya.

"Ibu sudah sepuh. Kali ini, biar Emma saja yang bekerja, gimana?" bujuk Emma.

"Jangan di tempat Dani," titah ibunya masih dengan keputusan mutlak.

"Gini mawon, Bu. Emma bekerja seminggu dulu di sana, gimana? Kalo aneh-aneh dan menjurus ke prostitusi, Emma keluar,"

"Bener?"

"Bener, Bu. Masa Emma bohong?"

Ibunya menghela napas dalam-dalam. Ia sebenarnya tak menyetujui usul Emma, namun, perkataan putrinya benar juga. Ia sudah tua. Pinggangnya juga sering sakit jika terlalu lama bekerja di sawah. Belum lagi nguli, kakinya kini sudah tak selincah dulu.

"Emma janji ya sama ibu?"

"Inggeh, Bu. Janji..... "

"Yasudah,"

Akhirnya, ibunya Emma mengizinkannya untuk bekerja di panti pijat milik Dani. Emma senang bukan kepalang. Ia akan mendaftar keesokan harinya, dan semoga saja sudah dapat langsung bekerja.

...****************...

...Bersambung...

...****************...

Bab 2 Bekerja dan Bertemu Jaka

Emma senang bukan kepalang, setelah mendapatkan izin dari ibunya. Ia pun segera pergi ke rumah Dani, untuk melamar kerja.

"Em! Emma!" teriak Sari, teman sekolah Emma, yang berpapasan dengannya di jalan.

"Sari? Hai! Mau kemana? Cantik gitu?"

"Aku mau ngedate ama Teja. Kayaknya, hari ini dia mau melamarku pake cincin ala-ala drama korea gitu!" pekiknya kegirangan.

"Wah! Selamat ya! Ikut seneng aku," ujar Emma sambil memegang kedua tangan Sari yang masih polos tak bercincin. "Habis ini, ada yang nempel di sini, nih," goda Emma sambil menunjuk ke jari manis Sari.

"Hihi.. Iyaa.. InsyaAllah," ujar Sari tersipu.

"Yaudah. Aku buru-buru nih, mau ke tempat Dani,"

"Okay! Sampai ketemu ya.... "

Mereka saling melambai dan menerusnan perjalanan masing-masing. Tak beberapa lama, Emma telah berada di ujung jalan, di rumah Dani yang cukup besar dan berpagar.

"Assalamu'alaikum, Dani,"

"Waalaikumsalam, Hai, Emma. Mau kemana?"

"Mau ke sini dong,"

"Loh, ada urusan apa?"

"Tawaranmu kemarin, masih berlaku, nggak?" tanya Emma dengaan mata berbinar. Dani yang sedang bermain gaple dengan teman-temannya, seketika membuang kartu-kartunya. Ia lalu membukakan pagar untuk Emma.

"Masih dong! Kamu jadi mau daftar?"

"Mau. Gajinya besar kan?"

"3 juta, buatmu! Gimana?"

Emma tercengang tak percaya. Gaji yang akan diberikan Dani sudah hampir setara gaji jika bekerja di kota besar. Emma mengangguk keras. Ia lalu menandatangani formulir pendaftaran yang dibawa Dani kemana-mana di dalam tasnya.

"Besok sudah mulai kerja ya!" pesan Dani setelah menerima formulir dari Emma.

"Siap, Bos!" jawab Emma dengan senyuman manis. Dani terkesima dengan senyuman Emma. Namun, bagi Dani, cuan lebih penting daripada wanita. Lebih baik, gadis seperti Emma dipekerjakan saja, daripada harus dijadikan istrinya. Gadis-gadis seusia Emma rata-rata sudah berumah-tangga. Oleh karena itu, Emma sudah beberapa kali menolak lamaran tetangga desanya. Emma masih ingin mengurus ibu dan adiknya. Ia juga ingin meniti karier, jika bisa.

"Hore! Besok akhirnya aku bekerja!" pekik Emma girang sendiri. Sesampainya di rumah, Emma mematutkan diri di cermin sambil tersenyum. Ia sedang berlatih menyapa tamu dengan pantulan bayangannya.

"Aku cantik juga," gumamnya sambil memuji diri sendiri.

......................

Keesokan harinya, Emma sudah berada di lokasi panti pijat, yang ada di desa sebelah. Emma sudah memakai seragam yang diberikan oleh Dani kemarin malam. Tidak ada komentar dari ibunya, karena seragam panti pijat itu cukup sopan dan berwarna hijau muda.

"Permisi...." Emma mulai masuk ke lobi utama.

"Ya? Cari siapa, Mbak?" tanya resepsionis yang bernama Mikha.

"Pak Dani ada?"

"Oh iya, ada. Mau melamar kerja ya? Mari saya antar" resepsionis itu kemudian menunjukkan jalan ke arah kantor direktur. Emma terpukau dengan gedungnya yang indah. Panti pijat ini memang berskala besar dan bersertifikat, seperti kata Dani.

"Mari masuk," ajak Mikha. Emma mengikutinya. Sesampainya di ruang direktur, betapa terkejutnya Emma, rupanya bukan Dani yang berada di sana, tapi seorang pria parlente yang terlihat kaya raya. Kalung emasnya menjuntai, kacamatanya bagus, sepatu dan jasnya terlihat mahal.

"Maaf, Pak. Dani dimana ya? Katanya dia direktur di sini?" tanya Emma pada pria itu, karena Mikha telah pergi meninggalkan mereka berdua.

"Duduklah," ujarnya sopan.

Emma duduk, lantas menunggu jawaban dari peia tersebut.

"Dhani itu marketing di sini. Saya bosnya. Nama saya, Jaka. Kamu bisa panggil saya, Jack," lanjutnya.

"Oh, jadi begitu. Saya salah paham. Maaf, Pak. Tapi apakah formulir yang saya tanda-tangani berlaku?" tanya Emma kemudian.

"Kamu ngga baca formulirnya?"

"Tidak. Maaf, saya asal tanda tangan saja,"

"Formulir itu menyatakan, bahwa, kamu mau menikah dengan saya, jadi istri saya," ujar Jack dengan senyumnya yang memikat.

Emma terhenyak tak percaya. Bisa-bisanya ia tak membaca formulir dan langsung menandatanganinya?

"Maaf, Pak. Ada kesalahpahaman di sini. Kalau begitu, saya pamit," tukas Emma dengan wajah kesal. Impiannya hancur berantakan. ini semua gara-gara Dani!

Pria itu langsung berlari menghambur ke arah Emma dan menghentikan langkahnya.

"Tidak bisa. Kamu harus menikah dengan saya. Tidak ada waktu lagi,"

"Maaf, Pak. Saya tidak mau!"

"Yasudah! Kalau gitu, bayar ganti rugi, 500 juta. Itu dendanya,"

Emma terduduk lemas. Ia benar-benar tak mengetahui apapun. Rupanya Dani menjualnya. Emma menangjs tersedu-sedu, dan teringat petuah ibunya. Ternyata benar, Dani memang bajingan!

"Saya harus bagaimana?" tanya Emma ketika tangisnya mereda. Jack hanya menunggunya dengan sabar.

"Ya, menikah saja sama saya. Saya juga ngga serius kok. Ini syarat buat kontrak bisnis saya saja. Harus seorang pasutri yang bisa mengajukan pinjaman," ujarnya datar. Namun, ia juga tak mengira bahwa wanita bawaan Dani begitu cantik seperti bidadari. Jack jadi gembira dan tak jadi menikah dengan terpaksa.

Panti pijat yang dikelola Jack terindikasi bangkrut, dan perlu pemodal. Namun, syarat permodalan tersebut adalah, pemohon harus merupakan pasangan suami istri, sehingga akan ada dua pihak yang menandatangani formulir peminjaman.

"Duh, Gusthi. Cobaan apa ini" ucap Emma lirih dan frustasi. Ia benar-benar terjebak.

"Baiklah, Pak. Tapi rahasiakan dari ibu saya. Tolong lamar saya dengan normal. Besok mainlah ke rumah. Ini alamatnya," ujar Emma pelan. Jack menerima kertas dari Emma dengan senyum mengembang. Sesaat lagi, gadis di hadapannya akan menjadi istri sahnya. Jack benar-benar tak sabar.

...****************...

...Bersambung...

...****************...

Bab 3 Pernikahan Mendadak #1

Hidup Emma yang datar dan membosankan berubah 180° sejak keinginannya untuk bekerja menyeruak. Harapannya agar dapat meringankan beban keluarga, malah berakhir menambah beban dirinya sendiri.

"Mbak, senyum dong," ujar Galih yang berada di sisi Emma. Gadis yang sedang mengenakan kebaya pengantin itu tak menampakkan senyum bahagia seperti para pengantin pada umumnya. Jack menyikut Emma yang bersikap mencurigakan. Emma terkesiap, dan mengedarkan senyumnya ke seluruh tamu undangan.

"Alhamdulillah, Nduk. Ternyata ada hasilnya ya, kamu ngotot bekerja. Dirabi bos ngene kae, ibuk seneng banget, Nduk," ujar Bu Lika sambil memeluk putrinya.

Emma tersenyum, pura-pura bahagia. Ia tentu tak tega jika harus mengatakan kebenaran pada ibunya. Dani, si biang onar, sudah pindah ke luar pulau. Emma tak bisa melacak keberadaannya untuk membuat perhitungan.

"Malam ini, kita langsung ke Jakarta," bisik Jaka pada istrinya.

"Mendadak banget?"

"Iya, aku pengen unboxing kamu di hotel paling mahal di Indonesia," goda Jaka sambil menjilat telinga istrinya, ketika mereka sedang istirahat sejenak dari hadapan tamu undangan.

"Baiklah," jawab Emma datar. Ia tak merasakan apapun. Hatinya telah dimatikan. Emma tak ingin batinnya bergejolak dan merusak rencana mereka berdua.

"Eh, Emma. Selamat ya! Kok kamu duluan sih! Ih nggak asyik!" protes Sari sambil menggenggam kedua tangan Emma. Ia tampak masuk ke dalam ruang istirahat pengantin, karena ingin bertemu dengan Emma.

"Maaf, Sar. Udah kebelet," jawab Emma mencoba normal.

Emma memerhatikan cincin yang ada di jari manis Sari dengan tatapan iri. Sebuah cincin emas beraksen bintang. Emma membatin, tentu Sari bahagia sekali karena dilamar seorang pria dengan normal, tidak seperti dirinya yang sebenarnya merupakan barang dagangan.

"Suami kamu guanteng! Tajir melintir pula, crazy rich! Kamu beruntung banget, Em!" ujar Sari dengan heboh, membuat Teja salah tingkah. Teja hanyalah buruh pabrik, tentu tak bisa disandingkan dengan Jaka yang merupakan seorang pebisnis.

"Harusnya kamu ngundang orkes Valava, pesta geden, tujuh hari tujuh malam. Lha kok cuma akad? Piye, tho?" sindir Indira dari balik punggung Teja.

Sepupunya itu mendadak muncul dan menghujat Emma dengan entengnya. Sari tampak menggandeng lengan Emma dan mencebik ke arahnya. "Iri bilang, Bos!"

Emma hanya tertawa. Kali ini, tawanya tulus. Emma akan merindukan Sari dan Indira ketika sudah menjadi warga ibu kota. Tidak dapat dipungkiri, kontras sekali klaim Jaka sebagai pebisnis sukses dengan dekorasi hari pernikahan Emma yang digelar sederhana di rumah mereka.

Tidak ada pesta, hanya acara ijab kabul, dan resepsi ala kadar. Jaka tak ingin membuang uang untuk pesta pernikahan kontrak yang jadi prasyarat permodalan ini. Yang penting, surat nikah dan pengantinnya aman dalam genggaman.

......................

"Buk, maaf. Emma harus pamit ikut Mas Jack ke Jakarta. Ada urusan bisnis di sana," ucap Emma pada ibunya sambil mencium tangan.

"Iya, Nduk. Mau bagaimana lagi. Kamu sudah jadi istrinya sekarang. Yasudah, hati-hati ya. Kabari ibuk kalau sudah sampai sana," sahut ibunya dengan berlinang air mata.

Bu Lika mbrebes mili melihat anak gadisnya mentas-- sudah diperistri orang. Sebagai seorang janda, tentu ia merasa ada beban berat yang terangkat dari dadanya. Beban untuk menyandingkan putrinya dengan pria terbaik, tentu saja, bukan beban untuk menafkahi anak-anaknya.

Galih, yang sedari tadi duduk diam, tampak memeluk kakaknya.

"Hati-hati, Mbak. Kabari Galih ya kalau sudah sampai di Jakarta,"

"Iya, Dek. Tolong jaga ibu,"

Mereka pun beranjak ke Bandara Juanda, Surabaya, dengan mengendarai mobil. Jaka sudah tak sabar untuk menjamah istrinya, namun, ia tak ingin momen malam pertamanya standar-standar saja. Jaka akan berpesta bersama Emma semalam suntuk di Hotel Halton yang terkenal mahal itu dan menikmati malam pertama dengan penuh kenangan.

Namun, siapa sangka?

Kedatangannya ke Hotel Halton malah berubah menjadi neraka dunia, dan acara unboxing jelas tak akan terlaksana sesuai rencananya.

...****************...

...Bersambung...

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!