NovelToon NovelToon

LOVE In SILENCE

Memilih Diam

Suara riuh terdengar dari ruang kelas dua belas IPS1. Bagaimana tidak, hari ini tidak ada agenda pelajaran. Hanya ada kegiatan pembagian kartu ujian dan sosialisasi pemantapan persiapan ujian nasional yang akan dilaksanakan senin mendatang. Pihak sekolah sengaja mengkosongkan jam pelajaran agar siswa bisa sedikit rileks saat menghadapi ujian nasional yang akan dilaksanakan senin besok.

"Bar.....senin besok kita udah mau ujian nasional. Tinggal selangkah lagi kita bakal lulus dari sekolah ini, itu artinya kesempatan buat ngungkapin perasaan lho sama Ica sudah tak banyak lagi". Ucap Reza yang tak lain sahabat karib Bara yang sepertinya terlihat terus berusaha membujuk sahabatnya agar mau berterus terang tentang perasaannya selama ini yang berusaha dia pendam sejak dirinya duduk dibangku kelas sepuluh.

"Entahlah Za, gue pesimis. Dan kayaknya dia juga sudah ada yang ngisi hatinya. Karena gue denger dia sekarang lagi deket sama Kahfi" Bara mengatakan itu dengan wajah yang terlihat begitu sendu.

Bagaimana Bara tidak merasa pesimis, jika saingannya saat ini seorang primadona sekolah. Ashabul Kahfi, mantan ketua osis yang dikenal mempunyai wajah ganteng dan tentunya dengan segudang prestasi juga.

"Kalau lho emang ngerasa pesimis, ngapain lho masih berusaha mempertahankan perasaan lho sama dia. Saran gue mending lho coba buka sedikit hati lho buat gadis lain. Gue perhatiin banyak kok yang suka sama lho. Misalnya aja si Nesa, dia keliatan banget naksir sama lho. Dan gue rasa lho juga tau itu". Sebagai sahabat, Reza berusaha memberikan saran pada temannya.

"Gue belum kepikiran masalah itu. Mending sekarang kita fokus ujian nasional dulu. Lusa kan, jadi masalah cinta keep dulu aja lah". Bara mencoba tersenyum. Meski sebenarnya senyum itu tidak senada dengan kondisi hatinya saat ini.

"Terserah lho deh kalau gitu. Cuman sebagai sahabat gue gak kepengen liat lho terus-terusan kayak gini" Ucap Reza kemudian.

Dan setelah itu keduanya langsung beranjak dari tempatnya saat ini. Keduanyapun langsung menuju kelas mereka.

Saat hendak menuju keruang kelas, Bara dikejutkan dengan pemandangan dimana dia melihat Ica berjalan beriringan dengan Kahfi yang saat itu juga hendak menuju kelas.

"Makasih udah nganter sampek kelas. Tapi lain kali aku bisa sendiri" Terdengar kalimat itu Ica ucapkan pada Kahfi saat dirinya sampai diambang pintu.

"Pulangnya gue jemput" Ucap Kahfi pada Ica, dan setelahnya dia langsung membalikkan badan untuk bergegas menuju kelasnya tanpa menunggu jawaban apakah Ica setuju atau tidak.

Terlihat Icapun menghembuskan nafasnya dengan sedikit kasar. Entah ada apa diantara hubungan keduanya, namun yang Bara lihat sepertinya Ica sama sekali tidak merasa nyaman dengan sikap yang Kahfi tunjukkan padanya. Hanya saja Bara tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal itu.

"Bar.....tadi dari mana, aku cari dikantin kamunya ada" Ica menyapa Bara begitu ia melihat Kahfi sudah menjauh.

"Aku tadi ditaman sekolah sama Reza" Jawab Bara tanpa berani menatap wajah gadisnya

"Kamu habis ini langsung pulang atau gimana" Tanya Ica lagi

"Emangnya kenapa" Bukannya langsung menjawab, Bara justru malah bertanya balik.

"Gak pa pa, hanya bertanya saja"

"Kamu bukannya diajak pulang bareng sama Kahfi" Kali ini Bara yang bertanya lebih dulu.

Mendengar apa yang Bara ucapkan barusan, membuat Ica terlihat sedikit gugup untuk menjawabnya. Iapun hanya diam tanpa mau berkomentar lagi.

"Aku masuk kelas dulu" Tanpa menoleh pada Bara Ica langsung berlalu begitu saja masuk kedalam kelasnya.

Entah kenapa, setiap kali Bara bertanya tentang Kahfi padanya, hatinya merasa seperti dicubit. Ada sakit yang entah mengapa dirinya tidak mampu memahami apa penyebabnya.

Sementara Reza yang sejak tadi melihat ekspresi Bara saat berbicara dengan Ica seperti terlihat begitu dingin.

"Bar...Bar...Kalau sikap lho kayak barusan, gimana Ica bisa suka sama lho. Kesannya lho nyuwekin dia banget" terlihat Reza bicara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sampai kapanpun sepertinya akan sulit buat Ica suka sama gue. Gue cukup sadar diri untuk bisa sama-sama dengan dia" Wajah Bara terlihat begitu sendu kala mengatakan hal itu.

"Kalau gue lihat orang jatuh cinta modelan lho, kayaknya gue bakalan ngalamin trauma akut buat jatuh cinta. Gue sering denger, katanya cinta itu bikin hidup berjuta rasa. Cinta itu bikin kita seneng, diem-diem ketawa sendiri, selalu semangat ngadepin hari. Apalagi kalau sekelas kayak gini. Lah lho, bener sih jatuh cintanya lho itu berjuta rasa. Cuman rasa yang lho nikmati bukan yang enak-enak, melainkan rasa pait, asem, pokoknya yang sepet-sepet dah. Gimana gak bikin gue trauma cobak" Jika sudah seperti ini, sahabatnya Reza akan berubah menjadi seperti mak mak kang kosan yang lagi ngomel saat tak dapat uang tagihan bulanan dari penghuninya.

"Diem gak, lama-lama mulut lho gue sumpel pakek ni sepatu" Barapun terlihat kesal, karena sejak tadi temennya ini gak ada berhenti-hentinya mengomel.

Barapun kemudian memilih duduk dibangkunya, karena tidak lama lagi wali kelasnya akan masuk untuk membagikan kartu peserta ujian.

Dari tempat duduknya Bara diam-diam mengamati Ica, bagi Bara gadis itu terlihat begitu manis saat tersenyum. Tatapan matanya begitu teduh, hingga siapapun yang menatapnya pasti akan merasakan ketenangan tersendiri.

"Selama ini sekalipun gue gak pernah ngerasain cinta dan sekalinya ngerasain cinta, itu sama lho Ca. Bahkan cinta itu begitu menancap kuat di hati gue. Sampai gue sendiri gak akan pernah bisa buat nyingkirinnya" Dalam batin Bara mengatakan hal itu.

Sejak awal Bara bertemu Ica, dirinya sudah memiliki perasaan lebih. Bara sendiri semakin yakin pada perasaannya sejak dia duduk dibangku kelas sebelas SMA.

Namun sejauh ini Bara selalu berusaha menutup rapat-rapat perasaannya. Hanya Reza sahabat dekatnya yang tau. Itupun bukan Bara yang memberitahunya. Melainkan Reza sendiri yang awalnya hanya menerka-nerka hingga tanpa sahabatnya ini mengatakan padanya, dirinya sudah bisa memahaminya.

Ada alasan besar mengapa Bara memilih diam dan menyimpan perasaannya sendiri. Yang jelas dalam hati dirinya berjanji sampai kapanpun akan mempertahankan rasa cintanya meski nanti keadaan mereka sudah tidak lagi sama.

Bagi Bara keyakinan adalah modal utamanya. Yang jelas baginya saat ini cukup melihat Ica tersenyum, itu sudah menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. Karena bagi Bara selama dia masih bisa melihat senyum itu, maka hatinyapun pasti dalam keadaan baik, tapi jika sebaliknya maka dirinyalah orang pertama yang paling merasakan sakit.

"Bara Zayyan" Suara bu Ratna yang tak lain adalah wali kelasnya seketika membuat Bara tersadar dari lamunannya. Barapun langsung mengalihkan tatapannya pada guru yang ada didepan sana.

"Bara, ibu perhatikan dari tadi kamu ngeliatin Alisa terus" Ucap bu Ratna sambil tersenyum

Bu Ratna memang tipe orang yang suka blak-blakan saat berbicara. Namun dirinya selalu menyelingi setiap perkataannya dengan sedikit candaan. Beliau hanya akan serius pada saat jam-jam pelajaran saja.

"Ti-tidak bu, sa-saya dari tadi fokus liat keluar kok" Bara terlihat gugup sendiri saat dirinya tertangkap basah saat kedapatan memandangi Ica secara diam-diam.

Ica sendiri hanya menanggapinya dengan menunduk. Namun dalam hati sebenarnya dirinya merasa bahagia karena merasa diperhatikan oleh Bara. Sosok yang akhir-akhir ini mulai mengganggu ketenangannya.

Suara sorak-sorak seketika terdengar dari para siswa yang juga ikut-ikutan meledek Bara. Mereka baru diam saat bu Ratna memberi peringatan untuk diam dan beliau mulai kembali membagikan kartu peserta ujian sesuai absen.

Tentang Bara

Para siswa diperkenankan pulang begitu pembagian kartu ujian selesai. Para siswa satu persatu mulai meninggalkan ruang kelas mereka. Tak terkecuali Bara dan juga sahabatnya Reza.

Baru saja Bara hendak keluar dari kelas, dia sudah disuguhi pemandangan dimana Kahfi terlihat masuk kedalam kelasnya untuk menghampiri Ica yang kala itu sepertinya juga akan pulang.

"Udah selesai kan" Kahfi bertanya saat dirinya sudah berada tepat didepan Ica.

Sebelum menjawab pertanyaan dari Kahfi, Ica terlihat menatap pada Bara. Bukan bermaksud apa, Ica hanya ingin melihat bagaimana ekspresi Bara saat ada laki-laki lain yang mengajaknya pulang bersama. Namun sayang, Bara memilih untuk langsung memalingkan wajahnya begitu tatapan mereka bertemu.

Icapun akhirnya dengan terpaksa menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa dirinya mengiyakan pertanyaan yang dilontarkan oleh Kahfi padanya.

Kahfipun terlihat meraih pergelangan tangan Ica untuk digandengnya.

"Ini disekolah. Gak baik kalau kita jalannya sambil bergandengan tangan kayak gini" Ica menarik tangannya yang saat itu berusaha diraih oleh Kahfi.

"Maaf" Ucap Kahfi Lirih.

Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju parkiran. Sesampainya disana, Kahfi terlihat membukakan pintu mobilnya untuk Ica. Diapun juga membantu Ica memasangkan sabuk pengaman.

"Mau langsung pulang atau mau mampir-mampir dulu" Tanya Kahfi saat keduanya sudah berada didalam mobil.

"Langsung pulang aja, kita kan mau ujian. Mending manfaatin waktu buat belajar aja" Ucap Ica tanpa memandang kearah lawan bicaranya. Dirinya hanya fokus melihat kearah luar.

Mobil yang Kahfi kendarai nampak mulai melaju. Dan saat melewati gerbang, terlihat Kahfi sengaja membuka kaca jendela mobilnya. Ternyata Kahfi bermaksud menyapa teman sekelasnya.

Saat itu, kebetulan Ica melihat Bara sedang menaiki sepeda motornya bersama Reza. Tentu saja sebenarnya Bara juga melihatnya. Hanya saja dia segera mengalihkan pandangannya. Entah mengapa matanya selalu terasa begitu sakit kala melihat Ica, gadis pujaannya bersama pria lain. Namun Bara sadar jika dirinya tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan untuk bisa bersama Ica.

"Bar....kayaknya didalam mobil Kahfi ada Ica" Reza yang sekilas seperti melihat sosok gadis yang begitu dicintai sahabatnya ada didalam mobil milik Kahfi. Namun sayangnya belum sempat dia melihatnya dengan jelas, kaca mobil itu sudah terlebih dulu ditutup oleh pemiliknya.

"Gue gak liat. Udah mending kita pulang, nyampek rumah langsung istirahat. Ingat senin ujian dan lho musti belajar. Kali ini gue gak bakalan bisa ngasih contekan lho" Bara terlihat sedang memperingatkan temannya.

"Iya-iya gue inget. Dari kemarin-kemarin bilangnya itu terus. Padahal sahabat lho ini gak bodoh-bodoh amet kok. Buktinya dari dua puluh lima teman kita sekelas, gue masih masih masuk lima belas besar kok. Ya meskipun hitungan dari bawah" Terlihat Reza menggaruk kepalanya saat mengatakan itu.

"Ck...lima belas besar dari bawah udah bangga banget" Bara berdecak kesal.

"Ye...dari pada lho, sekolah doang pinternya. Urusan naklukin cewek satu aja dari zaman nenek moyang gue belum lahir, sampek sekarang belum kesampaian juga" Rezapun jadi ikutan kesal karena merasa Bara sudah meledeknya. Hingga diapun tak mau kalah dan ikutan meledek kembali sahabatnya.

"Kalau nenek moyang lho belum lahir, berarti lho sama gue belum lahir juga do-dol"

"Ya itu kan cuman perumpamaan. Kalau menurut istilah ilmu bahasa itu namanya....." Reza nampak sedang berfikir.

"Majas maksud lho" Lama berfikir, membuat Bara berinisiatif menjawabnya lebih dulu.

"Nah maksud gue itu. Gue mau ngomong cuman lidah gue barusan sedikit keseleo" Reza nampak berkilah.

"Bukan lidah lho yang keseleo. Tapi otak lho yang kongslet" Kesal Bara pada sahabatnya ini.

Terlihat Barapun mulai menambah kecepatan berkendaranya agar bisa segera sampai kerumahnya.

Sampai dirumah, Bara langsung membersihkan diri. Tak lupa dia menjalankan kewajibannya sebagai muslim. Baru setelah itu dia makan dan beristirahat sejenak.

Hal itu sudah menjadi kebiasaan Bara sejak lama. Apalagi sejak dirinya duduk dibangku kelas sebelas, dia memiliki pekerjaan sampingan.

Bara bekerja sebagai waiters disebuah cafe yang ternyata masih milik pamannya sendiri. Lebih tepatnya milik kakak laki-laki dari ibunya.

Sebenarnya pamannya sangat melarang keras Bara agar tidak bekerja, mengingat keponakannya ini masih SMA. Pamannya bahkan selama ini yang selalu membantu perekonomian ibunya sejak ayah Bara meninggal sepuluh tahun silam.

Bara terlahir diantara tiga bersaudara. Namun adik yang terakhir meninggal kala masih balita. Hingga kini tinggal Bara dan adik perempuannya yang nomer dua.

Ibunya dulu hanyalah seorang ibu rumah tangga. Sementara ayah Bara seorang pegawai negeri sipil di sebuah sekolah SLTP di daerah tempat tinggalnya.

Namun sejak ayah Bara meninggal, ibunya membantu pekerjaan dirumah kakaknya. Dia merasa tidak enak, karena kakaknya ini yang mengambil alih biaya pendidikan kedua anaknya setelah suaminya meninggal.

Meski berkecukupan, namun sayangnya paman Bara ini tidak dikaruniai seorang anak. Hingga akhirnya paman beserta istrinya memutuskan untuk membiayai pendidikan keponakannya setelah adik ipar mereka meninggal.

Saat ini Bara tengah bersiap untuk berangkat menuju cafe tempatnya bekerja. Dia sudah nampak rapi, dan tinggal berpamitan saja pada ibunya.

"Bu.....Bara berangkat dulu" Ucap Bara sambil menyalami tangan ibunya dengan begitu takdzim.

"Bar....kata pamanmu, mulai besok kamu libur dulu kerjanya. Kamu lagi ujiankan, jadi pamanmu meminta agar kamu fokus belajar dulu. Baru setelahnya kamu bisa bekerja lagi" Bu Tika, ibunya Bara menyampaikan apa yang tadi dipesakan oleh kakaknya.

"Iya bu. Kalau begitu Bara pamit berangkat kerju dulu"

Barapun kemudian berangkat menuju cafe dimana dia bekerja. Dirinya bekerja dari jam empat sore hingga jam sembilan malam saja.

Hal itu tentu karena perintah dari paman dan juga bibinya. Meskipun cafe itu tutupnya jam sepuluh malam, namun keduanya tidak membiarkan Bara pulang terlalu malam. Alasannya karena tidak ingin membuat adiknya atau ibu Bara khawatir dan lagi Bara masih sekolah jadi khawatir bangun paginya kesiangan.

Bara berangkat dengan membawa motornya menuju tempat kerjanya. Sesampainya di sana seperti biasa dia langsung berganti pakaian dan bekerja sesuai dengan porsi tugasnya.

Diantara para karyawan, Bara dikenal sebagai karyawan yang sangat rajin. Meski dirinya yang notabenenya keponakan pemilik cafe tempatnya bekerja, namun sedikitpun Bara tidak memanfaatkan itu untuk bersikap seenaknya sendiri.

Bagi Bara, mendapatkan pekerjaan sama dengan diberi sebuah amanat. Dan yang namanya amanat, berarti sebisa mungkin dirinya harus bisa menjaga amanat itu dengan sebaik-baiknya.

"Bar....lho dicari pak Agung, disuruh keruangannya sekarang" Ucap salah satu teman kerjanya.

Saat itu Bara yang baru saja mengantar minuman pada salah satu meja pelanggan.

"Oke gue kesana sekarang. Titip ini" Bara nampak menyerahkan nampan yang sedang dibawanya pada temannya itu.

Diapun kemudian langsung bergegas menuju ruangan dimana pamannya berada. Karena memang yang memanggilnya adalah pak Agus, yang tak lain adalah pamannya Agung Hermawan pemilik cafe tersebut.

Sulit Terlelap

Saat ini Bara tengah berada didalam ruangan bos sekaligus merangkap sebagai pamannya.

"Permisi, Om memanggil saya" Ucap Bara saat dirinya sudah berada didalam ruangan milik pamannya.

"Ayo duduk dulu" Pamanya terlihat berdiri dari posisi duduknya, kemudian mempersilahkan Bara agar duduk dikursi yang ada dihadapannya.

"Jadi begini, maksud Om manggil kamu adalah soal ujian kamu. Apa ibumu sudah mengatakan sesuatu padamu" Tanya Agung pada ponakannya.

"Sudah Om, tadi sebelum berangkat kerja ibu sudah memberi tau saya perihal pesan dari Om"

"Kamu gak keberatan kan Om nyuruh kamu libur dulu. Tapi tenang saja, selama kamu libur ujian gaji kamu gak bakalan Om potong" pak Agung terlihat meminta persetujuan Bara.

"Sama sekali gak keberatan Om. Justru Bara juga sebenarnya mau ijin buat libur kerja selama ujian. Dan masalah gaji, gak masalah kalau harus dipotong. Kan emang Bara gak kerja Om. Jadi Bara gak berhak atas gaji itu" Barapun terlihat mengungkapkan keinginan sebenarnya.

"Gak pa pa, nanti uangnya bisa kamu tabung. Yang terpenting kamu musti rajin belajarnya. Om kepengan keponakan Om sukses. Karena bagaimanapun juga kamu udah Om anggap seperti anak sendiri"

Pak Agungpun kemudian berdiri dan langsung menghampiri Bara. Dia kemudian terlihat memeluk tubuh keponakannya ini dengan begitu eratnya.

"Makasih banyak Om, selama ini Om udah baik banget sama aku, mama dan juga Fira". Barapun tak kalah eratnya on memeluk pamannya ini.

Setelah itu, bara terlihat meninggalkan ruangan pamannya dan langsung kembali pada pekerjaannya.

Hingga tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Itu menandakan jika sudah waktunya Bara pulang. Sesampainya dirumah dia langsung membersihkan diri dan beristirahat

Entah kenapa malam ini matanya begitu sulit sekali untuk terlelap. Bayangan Ica saat pulang semobil bersama Kahfi begitu terlihat jelas di dikedua bola matanya.

"Kenapa mencintai harus sesakit ini. Apa seumur hidup rasa ini hanya akan berdiam diri tanpa bisa menemui tujuan akhirnya" Bara terlihat bermonolog sendiri. Hingga tanpa terasa diapun tertidur dengan sendiri nya.

Jauh ditempat lain, Icapun juga terlelap dengan sendirinya setelah beberapa lama sulit sekali untuk memejamkan mata lantaran dirinya tengah mengalami dilema yang begitu besar.

Bagaimana tidak, seminggu lalu dirinya menerima Kahfi sebagai kekasihnya. Awalnya Ica berfikir mungkin dengan ini Bara akan lebih terbuka terhadap perasaannya. Bukannya Ica tidak faham jika selama ini Bara memiliki perasaan lebih terhadapnya. Hanya saja Ica memilih berpura-pura untuk tidak memahami itu hanya karena dirinya ingin Bara menyatakannya langsung. Karena Jika boleh jujur, sebenarnya Ica juga memiliki perasaan yang lebih pada Pria itu. Pria yang menurut Ica seorang pekerja keras, mandiri, dan terlihat bertanggung jawab. Belum lagi Bara juga memiliki paras yang tak kalah tampan dari Kahfi. Hanya saja mungkin kondisinya yang sederhana, yang membuat pesonanya tidak setenar Kahfi dimata gadis-gadis di SMAnya.

Namun bagi Ica jika boleh memilih, dirinya lebih cenderung menyukai tipe pria yang seperti Bara. Hanya saja Kahfi yang tanpa mengenal lelah terus berusaha mengungkapkan perasaannya meski sudah beberapa kali dia menolaknya. Hal ini tentu membuat Ica merasa tidak enak hati. Dan pada akhirnya Icapun memutuskan untuk mau belajar dan berusaha membuka hatinya agar bisa menerima keberadaan Kahfi sebagai kekasihnya.

"Bagi wanita, tak cukup hanya dengan sebuah isyarat dalam bentuk tatapan. Namun untuk meyakinkannya wanita butuh sebuah ungkapan"

Kalimat yang Ica tulis dalam buku hariannya saat ini seolah-seolah menggambarkan suasana hatinya.

Sudah menjadi kebiasaan Ica untuk membagi keluh kesahnya pada diary kesayangannya. Karena sejauh ini dirinya memang hampir tidak pernah bercerita masalah perasaannya kepada orang lain. Bahkan teman dekatnya sekalipun. Dia lebih suka menumpahkan perasaannya dengan menulis pada buku hariannya.

Hingga tanpa sadar pintu kamarnya tiba-tiba ada yang membuka, karena tadi dirinya lupa menguncinya.

"Sayang....kenapa belum tidur. Ini udah malam lho"

Ternyata itu adalah suara mamanya yang berniat ingin melihat apakah dirinya sudah tertidur atau belum. Karena saat mamanya hendak turun mengambil air minum, dia mendapati pintu kamar putrinya sedikit terbuka. Dari luar juga terlihat kalau lampu kamarnya belum dimatikan. Padahal saat itu waktunya sudah begitu larut.

"Mama...." Spontan saja Ica langsung menutup buku hariannya.

"Belajarnya dilanjut besok lagi aja, ini udah malem lho. Gak baik kalau tidurnya terlalu malam" Mamanya mencoba menasehati.

"Iya mah, habis ini Ica langsung tidur" terlihat dirinya langsung merapikan buku-bukunya.

"Yasudah kalau begitu mama keluar dulu"

Setelah itu Ica benar-benar langsung berbaring di atas ranjang dan berusaha untuk memejamkan matanya.

Dan pagi hari di tempat yang berbeda, baik Ica maupun Bara keduanya sama-sama bangun kesiangan.

Seperti saat ini, Bara terlihat membelalakkan matanya kala melihat jam didinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 05.30 Tentu saja Bara sampai terburu-buru saat kekamar mandi. Maklum saja kamar mandinya tidak jadi satu dengan kamarnya.

"Buk....ini kenapa Bara gak dibangunin" Bara bertanya pada ibunya sesaat setelah dirinya melaksanakan kewajibannya yang agak kesiangan.

"Harusnya ibu yang nanya, kamu semalam tidur jam berapa" Ibunya justru bertanya balik.

"Jam berapa ya"Bara nampak berfikir

"Lain kali kalau gak kuat begadang jangan tidur kemaleman. Ibuk tadi udah bangunin kamu berkali-kali tapi kamunya tetep sulit dibangunin" Barapun nampak dinasehati oleh ibunya.

"Maaf buk....nanti aku pasang alarem deh, jadi biar ada yang otomatis bisa bangunin".

Hari libur Bara lakukan hanya dengan berdiam diri dirumah. Dia hanya keluar rumah saat ibunya meminta antar dirinya ke pasar. Selebihnya dia habiskan dengan berdiam diri dikamar.

Namun tidak dengan Ica, siangnya terlihat Kahfi menyambangi rumahnya. Entah ada maksud apa yang jelas Ica sama sekali tak menyuruhnya untuk datang kerumahnya.

"Sayang....didepan ada tamu. Ngakunya sih temen sekolah kamu" Itu suara mamanya yang berbicara sambil mengetuk pintu kamarnya.

"Siapa ya mah" Ica bertanya karena bingung. Pasalnya dia tidak mendapat kabar jika salah satu temannya akan datang kerumahnya.

"Mama juga gak kenal. Pokoknya cowok, mama kira itu malah pacar kamu" Mamanya terlihat meledek dirinya.

"Pacar apaan sih"

Tanpa bertanya lagi, Ica pun langsung bergegas turun untuk melihat kira-kira teman siapa yang datang.

"Ca.....Maaf aku kesininya gak bilang kamu dulu" Kahfi langsung berdiri dari duduknya kala melihat orang yang dia tunggu sudah berada didepannya.

"Iy-iya gak pa pa" Ica merasa kaget karena yang datang adalah Kahfi. Diapun sampai terlihat gugup saat berbicara.

"Kamu tau rumah aku dari mana" Ica penasaran dari mana kahfi bisa tau tempat tinggalnya.

"Itu gak penting, yang terpenting aku sekarang udah bisa ketemu kamu. Karena semalam aku chat kamu, telfon kamu, tapi handphone kamu gak aktif sama sekali. Aku pikir kamu sakit lho" Kahfi menjelaskan alasan kenapa dirinya sampai harus kerumahnya.

"Maaf, ponsel aku kemarin lowbet dan lupa juga mau ngisi daya" Ica beralasan. Padahal sebenarnya dia sengaja mematikannya karena dia memang ingin tidak ada yang mengganggunya.

"Ca....ini temennya kok diajak berdiri terus. Ayo nak silahkan duduk" Terlihat mamanya datang bersamaan dengan asisten tumahnya yang membawa nampan berisi minuman dan cemilan

"Ayo-ayo diminum dulu, ini juga ada cemilan buat temen ngobrol" dengan ramah mamanya mempersilahkan pada Kahfi

"Repot aja tan, saya jadi gak enak sendiri" Kahfipun terlihat menggaruk tengkuknya sendiri. Mungkin dirinya agak gugup saat berbicara dengan orang tua Ica.

"Gak repot sama sekali kok. Kalau begitu tante tinggal dulu ya" Setelah mengatakan itu, mama Ica meninggalkan keduanya.

"Ca....kok diem aja" Kahfi berinisiatif membuka obrolan. Karena sejak tadi Ica hanya terlihat diam saja.

"Kan tadi kamu lagi bicara sama mama" Ica beralasan

"Calon mertua keliatannya baik banget. Kalau begini ceritanya jadi kepengen cepet-cepet ngelamar kamu deh" Kahfi sengaja mengatakan itu untuk menggoda Ica.

Ica yang mendengarkannyapun kaget. Karena tiba-tiba saja Kahfi mengatakan hal seperti itu.

"Kenapa, kok kayak kaget gitu". Kahfi nampak bertanya saat melihat Ica langsung mendongakkan wajahnya begitu mendengar apa yang diucapkannya barusan.

"Ya habisnya kamu masih sekolah juga udah bahas nikah segala" Icapun mulai terlihat sedikit kesal.

"Bentar lagi juga udah lulus SMA Ca, KTP juga udah punya. Jadi bisalah kita nikah"

Ica merasa risih karena arah pembicaraan Kahfi yang semakin ngelantur.

"Lulus kuliah dulu baru mikir nikah" Lifi mengatakan itu agar Kahfi tak lagi berbicara kearah sana. Karena bagi Ica terlalu risih untuk membicarakan hal-hal seperti itu.

"Nikah sambil kuliah boleh lho Ca" Namun sayangnya Kahfi sepertinya mulai terlihat serius membicarakan hal itu.

Tak ingin semakin larut kepembahasan yang sama sekali membuat dirinya semakin risih. Icapun sengaja mengalihkan topik. Hingga tanpa terasa bagi Kahfi, mereka sudah hampir dua jam mengobrol kesana kemari dengan Ica yang hanya menanggapinya dengan iya atau tidak saja.

Bagi Ica ini berasa lama sekali. Hanya saja dirinya ingin berusaha menghargai kedatangan Kahfi kerumahnya. Hingga tepat pukul sebelas, Kahfipun terlihat berpamitan untuk pulang.

Beruntung saat ini papanya sedang tidak dirumah. Beliau pagi-pagi sudah dijemput temannya untuk memancing. Jika tidak, bisa panjang urusannya. Mengingat selama ini Ica sekalipun belum pernah kedatangan tamu laki-laki. Kecuali jika sedang kerja kelompok. itupun datangnya rame-rame, tidak sendirian seperti sekarang ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!