Hari itu...
Tidak ada yang membedakan hari itu dengan hari lainnya.
Hanya hari Rabu dengan tanggal hitam.
Oh, karena agak mendung jadi aku belum bangun meski alarm sudah kumatikan.
5 menit lagi, begitu pikirku.
Waktu aku melihat ponsel setelah molor sebentar, hanya 10 menit lebih lambat dibanding saat aku biasanya bangun.
Tidak masalah, hanya selisih 10 menit.
Setelah cuci muka, aku masak mie instan, 1 pak rasa mie goreng ori, 1 pak lagi rasa sambal terasi. Tidak lupa telor ceplok yang pinggirannya agak crispy.
Tidak banyak yang dicuci karena aku selalu mencuci peralatan masak dan makan langsung setelah makan.
Selanjutnya, tentu saja mandi. Tidak banyak hal yang dilakukan janda yang tinggal seorang diri di kontrakan. Untungnya aku masih bekerja dan punya penghasilan tetap yang bisa diandalkan.
Selesai mandi, hanya dengan mengikat handuk di pinggang, aku berjalan ke arah lemari.
Kemeja dan celana panjang untuk kerja tidak aku temukan disana. Mungkin masih di plastik laundry.
Aku berjalan ke ruang depan, tidak ada plastik laundry disana. Waktu itu barulah aku ingat kalau kemarin aku lupa mengambil laundry karena ada telepon dari kakakku, mengingatkan untuk menghadiri hajatan paman akhir pekan nanti.
Aku mulai panik karena tempat laundry belum buka meski aku mampir sambil berangkat ke kantor. Tapi baju yang ada hanya kaos, baju santai lain dan gaun yang tidak cocok untuk kerja. Kemeja batikku juga cuma satu, kalau aku pakai sekarang, aku nggak akan ada pakaian untuk besok jumat.
Dengan berat hati aku mengambil kemeja dan celana panjang yang aku pakai kemarin. Aku mencoba mengendus dari dekat, memastikan kelayakan berdasar standarisasi yang ada. Selama tidak ada yang berdiri terlalu dekat dan sengaja mengendus, harusnya tidak ada aroma yang menyinggung indra orang lain. Untuk berjaga-jaga, aku menyemprot parfum lebih banyak dari biasanya.
Sambil membiarkan aroma parfum yang nyegrak sedikit berkurang, aku mulai mencari pakaian dalam di lemari.
Aneh ... cuma ada bra ....
Aku lalu mencari di jemuran ....
Hmmm, karena beberapa hari terus turun hujan, celanaku masih agak lembab. Mungkin kalau masih ada waktu, aku bisa mengeringkannya dengan hair dryer. Tapi satu lirikan ke jam dinding dan langsung aku sambar.
Di kamar, saat celana dalamku kupakai, rasanya aneh karena sedikit lembab. Karena tidak ada pilihan lagi, aku menutup mata dengan keadaanku dan berpakaian lengkap dan makeup tipis-tipis.
Buru-buru, kusambet ponsel dan tas ransel untuk kerja. Memastikan sekali lagi kalau dompet masih di dalam tas dan tidak ada yang tertinggal, aku pun berangkat setelah mengunci pintu rumah.
. . .
Selama di perjalanan aku tidak terlalu memikirkannya karena naik sepeda motor. Tapi saat sampai di kantor, aku mulai cemas kalau lembabnya membuat bekas di celana panjang. Aku pun langsung ke kamar kecil untuk melihat 'apakah semua baik-baik saja'.
Mungkin karena celana panjang yang aku pakai berwarna gelap, jadi kalau tidak benar-benar diperhatikan, jejak lembab yang berwarna lebih gelap tidak terlalu kentara.
Nanti ada rapat jam 10 sampai makan siang, setelah itu waktu istirahat aku bisa keluar sebentar mengambil laundry dan segera kembali. Apa aku sekalian beli ****** *****, ya? Biasanya ada di mini toserba.
Merasa lebih tenang, aku pun melangkah dengan hati-hati ke arah lift. Saat antri bareng pekerja lain, aku sedikit menjaga jarak agar tidak menempel ke orang lain.
"Bu Aris?"
! ! !
"Selamat pagi, Bu," sapa Afri, salah satu staf yang bekerja denganku.
Saking kagetnya, aku tidak membalas salamnya balik dan hanya mengangguk.
Ding!
Pintu lift terbuka, orang-orang mulai berjalan masuk ke ruangan sempit itu. Sampai hanya tinggal aku.
"Ibu nggak ikut naik, Bu?" Afri bertanya heran sementara yang lain memandangku gelisah.
Tapi mana mungkin aku jelaskan pada mereka kalau aku khawatir kalau mereka akan tahu kalau aku keliru perhitungan dan ceroboh sehingga sekarang aku memakai ****** ***** lembab dan kuatir kalau ada kelembaban yang merembes dan menyebabkan celana sedikit berbeda warna yang kalau sekilas nggak akan kelihatan tapi bagaimana kalau mereka pas memperhatikan atau nggak sengaja menempel ke orang lain dan menyebabkan mereka curiga dan tahu kalau..
Afri menarik tanganku. "Kalau nunggu nanti lama, Bu."
Aku mengangguk dan melangkah ke dalam kompartemen besi yang berdebam dua kali sebelum tubuhku mulai merasakan dorongan melawan gravitasi.
Lift berhenti hampir di setiap lantai. Kalau aku tidak membiarkan Afri menarikku, mungkin aku harus menunggu lima belas menit sebelum lift berikutnya. Itu pun belum tentu lebih longgar, bisa jadi lebih sesak karena makin mendekati jam masuk kerja. Kami keluar di lantai 7.
"Ibu mau dibuatkan kopi sekarang?"
Afri membantu mengorganisir laporan yang aku terima. Sesekali dia menawarkan membuatkan minuman seperti ini. Sebagai sekretaris, satu kata menggambarkan dirinya. Cekatan.
"Iya, tolong, ya," jawabku sambil berjalan ke mejaku.
Akhirnya! Mejakuuu~~
Aku bisa duduk tenang dan bekerja tanpa kuatir ada orang yang tahu~
Beberapa pegawai yang sudah datang menyapa saat aku berjalan. Kali ini aku membalas sapaan mereka dengan cerah.
Aku merasa mulai saat ini dan selanjutnya, semua berjalan baik.
Sampai aku duduk di kursi kerja, meja lebar sedikit terpisah dari meja karyawan lain, dengan AC yang berhembus kencang ke arahku.
Kadal! Aku lupa kalau lubang AC-nya dekat meja! Mana AC sentral lagi!!
T - T
Celana yang tadinya sudah tidak terasa nyaman, kini makin tidak nyaman. Baru saja aku duduk, bokongku sudah mulai dingin. Aku terpikir untuk pinjam jaket, tapi jaket siapa...
"Silahkan kopinya, Bu." Afri meletakkan mug berisi kopi hitam yang masih mengepul. Aroma smokey yang khas dan familier membuat aku sedikit rileks.
"Terimakasih, Afri." Aku mencoba tersenyum.
"Sama-sama, Bu."
"Berkas untuk rapat nanti jam 10 sudah siap?" Mungkin memfokuskan diri ke pekerjaan akan lebih baik.
"Sudah, ini copy-nya Bu." Afri menyodorkan lembaran kertas yang ujungnya distaples.
"Nanti siapkan air mineral sudah cukup. Aku pelajari ini dulu."
Materi didepanku cukup sistematis, mulai dari penjelasan dan analisa masalah, sumber yang digunakan serta keakuratannya, sampai pendekatan yang dipakai untuk mengatasi hal serupa, tidak lupa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode.
Diagram yang dipakai juga tidak terlalu mencolok, tapi juga tidak membosankan. Kalau materinya bagus begini, rapat bisa selesai lebih awal. Toh masalahnya tinggal memikirkan solusi yang dipakai.
"Afri," panggilku yang langsung direspon. Sebentar saja, Afri sudah berdiri di dekat mejaku. "Materinya bagus. Bisa langsung diperbanyak untuk departemen lain. Kalau kamu masih sibuk, bisa minta tolong yang lain untuk mengantar berkasnya."
"Baik, Bu."
Selanjutnya aku tinggal mereview beberapa berkas lain. Sambil bekerja tidak lupa menyeruput kopi yang mulai hangat. Selain agar tidak mengantuk saat rapat nanti, rasa panas yang menjalar dari mulut menghangatkan seluruh tubuh.
. .
Harusnya aku tidak menghabiskan kopi itu!
Setelah bolak balik ke kamar mandi untuk kesekian kalinya, aku mendesah sambil mencuci tangan.
Keluar dari toilet, aku mengecek waktu di ponsel. Masih 12 menit sebelum rapat dimulai.
Aku mengetik. "Siang, Mbak. Saya mau ambil laundry pakai ojol. Bayarnya bisa transfer aja?"
Aku langsung menuju ruang rapat untuk memeriksa kesiapan. Jangan sampai laptop atau proyektornya ngadat di tengah-tengah.
Afri sudah ada di ruang rapat ditemani salah satu teknisi. Ruangan sudah tidak pengap dan di masing-masing meja sudah siap air mineral. Di samping layar terdapat papan putih untuk membantu mencatat poin penting atau hasil rumusan bersama.
Zzzz! Bzzzz!
Aku melihat ponsel, ada balasan dari tempat laundry. "Bisa. Tolong dibantu kirim bukti transfer ke rek xxxxx, dan nomor nota laundry."
Sedikit lega, aku pun fokus ke rapat yang akan berlangsung.
Seperti biasa, setelah direktur dan para manager duduk, aku mulai mempresentasikan materi tadi pagi.
"Dan penurunan pendapatan kali ini cukup signifikan. Jumlah pesanan sebenarnya cukup banyak dan bisa menutup kekurangan bulan kemarin. Yang jadi masalah adalah biaya operasional keseluruhan untuk periode ini."
"Silahkan kalau ada masukan dari bagian lain ...."
Tidak butuh waktu lama untuk masing-masing manager memberikan pendapat mereka.
"Bagian promosi sudah dipangkas banyak, lebih dari ini jumlah produk yang terjual malah makin turun."
"Kita bisa tunda produksi barang low demand dan pakai sistem kuota untuk tiap unit penjualan."
. . .
Rapat berakhir lebih awal dari dugaan. Meski hanya 15menit lebih awal, sudah mendingan dibanding kalau molor 5 menit.
"Afri, aku keluar sebentar dekat sini. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi, ya."
"Iya, Bu."
Aku memesan ojol sambil berjalan ke arah lift.
Tiba-tiba dari arah pantry seseorang berjalan keluar dan menabrakku.
Aku tidak masalah kalau hanya tersenggol sedikit. Kalau ponselku tidak mencelat lalu jatuh sebelum tidak sengaja TERINJAK oleh orang lain yang kebetulan lewat. Kalau aku tidak ketumpahan segelas minuman dingin yang membasahi mulai wajah, badan, sampai kakiku.
"Astaga! Bu Aris!! Maafkan saya, Bu! Saya nggak sengaja!!" Si Pelaku, Murni, 24thn, bagian akuntan dan perpajakan, baru 4 bulan diangkat jadi karyawan tetap setelah intern setahun.
Sambil membungkuk minta maaf, Murni pastilah tanpa sengaja menuang sisa isi gelasnya ke sepatuku. Karena wajahnya makin pucat.
"Maafkan saya, Bu Aris! Tissu! Sebentar saya ambilkan tissu!" Dia langsung berbalik 180 derajat, sekali lagi tanpa sengaja menyibakkan rambut panjangnya ke wajahku.
Aku mengambil ponsel yang diberikan oleh orang yang menginjak tadi. Dia juga meminta maaf. Aku hanya membalas senyum kaku, kuatir keluar omongan pedas penuh emosi membara dari mulutku.
Kunyalakan layarnya, untungnya masih berfungsi baik. Langsung kupesan driver setelah memasukkan informasi yang diperlukan.
"Bu Aris, kok masih disini ... Astaga!" Pertanyaan Afri berubah setelah melihat kondisiku dari depan.
"Bu, ini tissunya!" Tangan Murni yang menyodorkan tissue bagiku terlihat seperti cakar macan yang siap mencabik wajahku.
Tiba-tiba saja tangan Afri terulur mencegah Murni dari melakukan kerusakan yang lebih parah.
"Biar aku yang bantu bersihkan," ujar Afri yang memberikan sebagian tissue ke tanganku. "Bisa minta tolong kamu bereskan lainnya?"
Tanpa menunggu persetujuan Murni, Afri sudah berbalik padaku.
"Ibu mau mandi dulu?" Mata sekretaris muda itu terarah padaku.
"Ah, tapi siapa yang akan membawakan baju ganti ...?" Afri kembali bertanya dengan suara sedikit serak, dia juga semakin mendekatkan tubuhnya.
Entah kenapa rasanya seperti dia memandang terlalu intense, sehingga bulu kudukku berdiri semua. Aku melihat kebawah dan iya, garis bra-ku kelihatan jelas.
A-apa yang akan dia lakukan?!
.
.
.
Sebelum pria di depanku melakukan sesuatu, aku mendapat ide bagus, ku sodorkan ponselku ke arah Afri.
"Afri, aku tadi pesan kurir, tolong kamu handle dulu, ya. Nanti tolong bawakan, aku ke kamar mandi di sebelah ruang rapat C."
"Iya, Bu. Tapi baju Ibu?"
Aku melambaikan tangan, isyarat untuk 'sudah, lakukan saja' sambil berjalan ke toilet dekat ruang rapat C.
Apa yang bisa aku lakukan kalau sudah kepalang basah begini. Mau marah-marah ke pegawai baru hanya karena tidak sengaja akan berdampak negatif. Nggak baik untuk suasana kinerja produktif.
Untung laundry bisa diambil secepatnya.
Lantai 8 terdiri dari kantor para eksekutif dan ruang rapat, ada banyak tamu penting yang datang kemari. Karena itu, toilet di sini berbeda dengan toilet karyawan biasa. Selain sabun dan tissue yang selalu terisi, ruangan yang diberi pewangi, dan interior yang lebih mewah. Perbedaan paling mencolok adalah adanya bilik shower yang dilengkapi dengan sabun dan shampo.
Aku masuk ke salah satu bilik dan melepas satu persatu yang kukenakan, sepatu, kaos kaki, kemeja dan celana yang mulai lengket. Kubilas semuanya kecuali sepatu hak rendah yang terbuat dari kulit.
Baru saja aku mulai melangkah ke bawah siraman air waktu kudengar pintu terbuka.
"Bu Aris?" panggil suara yang kukenal.
Aku membuka sedikit pintu bilik. Untung pakaian dalamku belum kulepas tadi, tapi kupakai lagi kemeja yang basah agar tidak terlalu terbuka. "Iya, Afri."
Afri berdiri di dekat deretan wastafel, ada tas plastik besar.
"Ibu sudah selesai? Ini pakaian gantinya saya ambilkan, ya?"
Aku melihat ke arah tumpukan pakaian basah, hanya ada sedikit tempat untuk pakaian kering.
"Iya, tolong ambilkan."
Terdengar bunyi plastik disobek sebelum langkah sepatu Afri mendekat menggema di seluruh ruangan.
"Saya ada rencana nge-gym makanya bawa handuk. Kalau Bu Aris tidak keberatan silahkan dipakai." Afri menyerahkan tumpukan kecil, paling atas ada handuk warna coklat gelap yang kelihatan lembut dan empuk.
"Kamu nggak usah repot-repot." Aku merasa tersentuh dengan kebaikan hati pemuda yang sudah tiga tahun bergabung dengan jajaran stafku.
"Tidak, Bu. Tidak repot. Kalau Ibu sungkan, Bu Aris bisa traktir saya makan buat gantinya," sahut Afri tetap kalem dan ramah.
"Aku pinjam dulu handuknya kalau begitu." Aku sudah balik ke shower ketika ingat sesuatu dan berbalik lagi.
Afri yang sedang jongkok, mendongak melihat ke atas. Aku sedikit bergeser ke samping agar wajahnya tidak terlalu dekat dengan bagian itu..
Tersenyum seolah tidak ada yang terjadi. "Saya tadi carikan selop untuk Ibu pakai sementara."
"Ah, iya ... Sekali lagi terimakasih," ujarku sebelum menutup pintu tepat di depan wajahnya.
Rasa malunya setengah mati sampai aku gerakan spontan, mudah-mudahan nggak sampai kelihatan celana dalamku.
Nanti kalau pas nraktir makan saja aku sekalian minta maaf. Sekarang mandi dulu saja deh.
.
Selain jam makan siang yang habis untuk mandi dan mengurus pakaian basah, sisa waktu kerja berjalan dengan aman. Kekhawatiranku suasana bakal aneh dengan Afri juga tidak terjadi. Dia tetap bekerja seperti biasa, membantu mencatat dan merapikan hasil rapat, membuat poin-poin, untuk kami ajukan sekali lagi ke bagian direksi sebelum ditindaklanjuti.
Aku menghela nafas lega waktu jam dinding menunjukkan pukul 4.30 sore.
Setengah jam lagi bisa pulang.
! Pik!
Muncul notifikasi pesan di chat kantor.
Asmoro Bangun : "Bu Aris, tolong naik sebentar."
Aristya Marwojo Putri : "Baik, Pak."
Aku penasaran karena tidak biasanya Pak Bangun memanggil langsung, apalagi lewat chat kantor.
"Nanti kalau pulang hati-hati, ya. Pastikan komputer dan alat lainnya sudah mati semua." Aku mengingatkan sambil berjalan mengitari deretan meja staf-ku.
"Mau kemana, Bu?" tanya Ika.
"Pak Bangun," jawabku singkat.
Karena semua sudah pada mindset bahagia 'sebentar lagi pulang', aku tidak terlalu memperhatikan waktu Afri menggerakkan bola matanya mengikutiku.
Kantor Pak Bangun, bersama direksi dan anggota eksekutif lain, ada di lantai 8. Aku memilih lewat tangga sebagai kompensasi akibat jarang berolah raga.
Aku yang lupa dengan berbagai insiden sejak pagi, melangkah pede ke anak tangga pertama dan kedua. Disitulah aku diingatkan dengan kondisiku yang tidak memakai daleman. Gerakan udara yang berhembus dengan kulitku yang mendadak sensitif, memberi stimulasi yang tidak pada tempatnya.
Ya sudah bagus tadi ada Afri yang bisa aku mintai tolong mengurus laundry sementara aku mandi setelah ketumpahan es lengket, mana mungkin juga aku menyuruh orang lain membeli pakaian dalam buatku. Jangankan menyuruh orang melakukan hal seperti itu, aku mau menyebut ukuranku ke petugas penjual di toko saja sudah malunya minta ampun!!!
Sambil terus berargumen dengan diriku sendiri, aku mempercepat langkah menaiki tangga dan sebentar saja sudah sampai di depan pintu kantor Pak Bangun.
Sekretaris muda yang duduk di dekat pintu, berdiri dan mengetuk pintu sebelum membukanya.
"Silahkan masuk, Bu. Pak Bangun sudah menunggu."
Aku mengangguk pada wanita itu sebagai ganti terimakasih.
Di dalam ruangan yang mulai dipenuhi sinar matahari senja, Pak Bangun duduk bersandar di meja sambil membalik halaman dokumen di tangannya.
"Maaf saya panggil pas mau pulang, Bu Aris." Dia meletakkan dokumen di meja.
"Tidak apa, ini masih jam kerja," jawabku mengatakan apa adanya.
"Benar. Karena itu saya mau bilang kalau minggu depan saya ada jadwal keluar kota selama 5 hari." Pak Bangun berbicara sambil menatap tajam ke arahku, seolah menantang diriku protes. "Karena pekerjaan cukup lama, aku berencana membawa Aya."
"Apa ada yang lain, Pak?" Aku berusaha tidak menunjukkan emosi apapun.
"Apa lagi? Ya seperti biasa, tolong bantu handle hal-hal kecil di sini sementara saya tidak di tempat. Bu Aris kan sudah sepuluh tahun jadi wakil direktur, jadi sudah paham benar apa saja yang perlu dilakukan."
"Ah, satu lagi." Pak Bangun mengambil amplop yang tergeletak di meja, tangannya lalu terulur ke arahku. "Ayo, ambil, jangan sungkan."
Dengan enggan, kuterima amplop putih polos tanpa penanda.
"Saya permisi dulu." Aku sudah berbalik dan akan meninggalkan ruangan waktu Pak Bangun kembali berbicara.
"Kamu tidak bertanya apa isinya?" Suaranya terdengar seperti menertawakan diriku.
"Kalau memang penting pasti Pak Bangun sudah menginformasikan lebih dulu," sahutku sambil membuka pintu. Kali ini aku tidak berhenti meski terdengar suara tertawa di belakangku.
Aku tidak berhenti berjalan sampai kembali duduk di mejaku. Rasa jengkel yang terus bertumpuk sejak pagi dengan adanya kejadian demi kejadian membuat aku ingin meledak. Tapi orang yang meledak-ledak itu nggak keren, jadi aku merasakan kepala berdenyut sebagai gantinya.
Amplop putih yang agak kucel karena kupegang dengan kasar, masih duduk manis tanpa dosa di atas mejaku yang masih berantakan.
"Nggak siap-siap pulang, Bu Aris?" tanya Afri.
Bahkan Afri yang biasanya pulang paling belakangan saja sudah siap menutup hari ini. Tanpa aku sadari tinggal kami berdua di ruangan yang makin oranye.
Aku tidak punya kata-kata untuk menjawab Afri.
Pria muda berambut cepak itu berjalan mendekat.
"Kamu bisa duluan, Afri, aku juga akan segera pulang." Aku mulai merapikan berkas-berkas yang ada di meja. Sebagian tetap dalam tumpukan rapi, sebagian masuk laci, beberapa alat tulis juga aku kembalikan ke wadahnya semula. Hanya tinggal amplop putih yang belum disortir.
"Pak Bangun bikin ulah apa lagi, Bu?" tanya Afri lagi.
Aku sedikit terkejut karena dia tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.
"Hati-hati kalau bicara." Aku mengingatkan dengan setengah hati.
"Siapa yang tidak tahu kalau Pak Bangun kerjanya cuma main-main. Selalu Bu Aris yang bekerja keras tapi mereka menutup mata seolah itu semua berkat Pak Bangun."
Dalam hati aku tahu kalau Afri marah menggantikan diriku, tapi dengan dia berdiri begitu dekat dan wajah penuh amarah itu menghadap ke arahku, aku sedikit terintimidasi.
"Bu Aris, kalau Ibu mau, saya bisa membuat biar Pak Bangun sendiri yang kena getahnya." Tangan Afri meraih sandaran kursi yang aku duduki. Dia masih berbicara menggebu-gebu.
Ugh ... kenapa dia harus bicara dari jarak sedekat ini ...? Aku jadi bingung harus melihat kemana ....
Ke matanya? Ke pipinya? Ke bibirnya ...?
"Bu Aris..." Suara Afri mendadak berubah mengagetkanku.
Aku melihat ke arah mata yang sedang memandang balik dengan lekat. Cara Afri melihatku yang berbeda dari biasanya. Bulu tengkukku mendadak meremang mengikuti arus atmosfer yang berubah dari beberapa saat lalu.
Kilatan aneh yang terpampang di mata Afri belum sempat kutelaah saat pemuda itu mendadak menarik kerah bajuku.
"Bu Aris," panggil Afri sekali lagi dengan suara yang bergema di tenggorokannya. "Aku sudah berusaha menahan diri selama ini agar tidak mendekati Ibu. Terutama hari ini... Ibu kira nggak akan ada yang melihat garis ceIana dalam Ibu?"
What?!?!
Apa yang bocah ini bicarakan?!
"Saat Ibu berdiri di sorot lampu proyektor, atau saat pegawai wanita itu menumpahkan minum ke arah Ibu? Saya berusaha keras tidak merobek baju dan menyerang Bu Aris saat itu juga."
Kejadian demi kejadian yang telah berlalu, melintas di kepalaku, bercampur dengan realita saat ini. Tangan Afri yang mencengkram bagian depan bajuku, dan tangannya yang lain yang memegangi tanganku, seolah mencegah aku melakukan sesuatu.
Kadal! Harusnya aku yang megangi kamu agar tidak macam-macam ke aku!!
"Waktu Ibu mandi .... Kalau saja Ibu tidak menutup pintu waktu itu ... haaah .... Saya juga nggak tahu apa yang akan terjadi."
Memangnya apa yang akan kamu lakukaaan?!?! Teriakku dalam hati.
.
.
.
Afrizal Malik Sutrisna, atau Afri, bergabung dengan perusahaan setelah masa percobaan selama 3 bulan. Berbeda dengan intern lain yang rata-rata membutuhkan 6 bulan sampai setahun sebelum diangkat menjadi pegawai tetap yang mendapatkan banyak tunjangan di luar gaji pokok.
Sebagai sekretaris wakil direktur, Afri menunjukkan etika dan profesionalisme di atas rata-rata. Sebagai seorang individu, dia yang tingginya 183 cm, berparas menarik dengan berat tubuh ideal ditunjang selera berpakaian yang makin menunjang kelebihannya.
Tiga tahun lebih Aris mengenal pria itu, dia tidak terlihat dekat dengan karyawan manapun, hanya bersosialisasi sekedarnya saja. Dari banyak staff wanita di kantor, Afri mungkin paling dekat dengan Mak Jum di bagian serabutan. Itu juga dia selalu berbicara dengan sopan dan santun.
Image sempurna sekretaris muda berbakat, tampan dan punya masa depan karir cemerlang itu hancur saat dia terengah-engah penuh nafsu di depannya.
Aris berontak dengan mencoba lepas dari cengkraman tangannya. Tapi kekuatan janda yang sudah bertahun-tahun hanya bekerja dari balik meja jauh berbeda dari pemuda dua puluhan tahun yang masih rajin berolahraga dan aktivitas fisik lainnya.
"Tenanglah sebentar biar ini cepat selesai ... " bisiknya dengan suara berat tepat di telinga Aris, bersamaan tubuh Afri yang makin merapat.
Panik, wanita tiga puluh lima tahun itu berusaha mendorong dengan menjejakkan kaki dan meronta ke kiri, ke kanan. Apapun agar dia bisa lepas.
"Sialan ... Bu Aris, jangan bergerak!"
Terlambat. Kursi kantor yang di duduki tidak bisa menahan berat mereka berdua, terlebih karena insting Aris untuk kabur, hingga kursi condong dan jatuh ke belakang. Aris sudah menutup mata, bersiap menerima benturan kepala dengan lantai.
Tubuh mereka terhempas tapi rasa sakit itu tidak kunjung datang. Saat Aris membuka mata, dia terkejut melihat lengan Afri telah menahan kepalanya.
"Kamu tidak apa, Afri?"
"Iya, saya .... " Afri bergeser sedikit sehingga telah memerangkap wanita di bawahnya dengan sempurna. Dia tidak ingin melepaskan kesempatan ini apapun yang terjadi nanti. Dengan cepat dia melepaskan anggota tubuh yang sedari tadi sudah merasa sesak dan tidak sabaran.
"Biar saya selesaikan sebentar, setelah itu saya akan lepaskan Ibu."
Aris yang akhirnya pasrah dengan keadaan, mendengarkan suara deru nafas Afri dalam diam. Dia tidak berani bergerak atau membuat suara sekecil apapun agar semuanya segera berakhir. Rasa malu yang di tahannya dan insiden jatuh barusan membuat degupan jantungnya bersaing dengan ******* erotis dari bibir Afri.
Wanita yang sudah menjanda itu bisa menduga apa yang tengah dilakukan sekretarisnya saat ini.
Dari suara yang timbul akibat gesekan antar kulit pada permukaan yang basah.
Dirinya juga pernah menikah dan pernah muda.
Meski Aris dulu tidak pernah melakukannya di depan orang lain, terlebih lagi di kantor. Di ruangan dimana siapa saja yang berkepentingan bisa keluar masuk setiap saat.
Apa yang akan dia lakukan kalau sampai ada yang melihat mereka berdua? Hatinya berdegup kuat.
Tapi suara yang ditimbulkan Afri, dari tangannya ... dari berat nafasnya ... dari desah dan erangannya ... dan wajah yang kini menghujani leher dan pipinya dengan kecupan kecil dan basah ....
Aris tidak bisa menghentikan stimulus dari luar yang mempengaruhinya. Afri terdengar sangat erotis, jadi wajar kalau bagian dirinya ikut terpengaruh meski sebisa mungkin tidak melihat ke bawah.
"Ugh ... Bu Aris...."
Tubuh Afri yang lebih besar dan lebar, adalah tubuh pria dewasa. Tubuh yang tengah menindihnya, memanggil namanya ....
Aris bisa merasakan saat tubuh di atasnya mengejan dan kaku, seiring dengan makin tajamnya aroma vulgar yang menyeruak ke udara. Dia bisa menciumnya di antara bau perspirasi dan wangi cologne Afri.
Gila! Apa yang dia pikirkan?!
Dia tidak sekering itu hingga menggunakan masturbasi orang lain sebagai sumber imajinasi!
"Menyingkir!!" Aris meninju wajah Afri hingga tubuhnya terpelanting ke sebelah.
Afri yang tengah berada dalam status terpuaskan setelah kIimaks tidak bisa menghindari pukulan yang dilontarkan atasannya itu. Tidak ada keinginan baginya untuk membalas. Hasratnya saat ini sudah terpenuhi.
Aris berdiri dan hendak mengibaskan debu di pakaiannya saat tangannya terhenti. Sebagian kemeja dan celananya terkena cairan putih hasil perbuatan pemuda yang tengah terlentang santai.
"Hari ini aku sial sekali ...." Aris mengambil tas dan ponselnya sebelum meninggalkan kantor.
Afri duduk dan merapikan dirinya sebelum berjalan pergi seolah tidak terjadi sesuatu. Dia hanya berhenti sebentar saat akan memakai helm. Di spion motor, pemuda itu melihat tulang pipinya berwarna kemerahan. Bibirnya sedikit terangkat mengingat penyebab memar di wajahnya.
. . .
Besok paginya Aris menggeser layar ponsel saat alarmnya berbunyi.
Setelah semalaman merasa gelisah dan tidak bisa tidur, janda yang rambutnya mulai ditumbuhi rambut putih itu menghabiskan sisa malam dan dini hari menyelesaikan pekerjaan rumah termasuk memasak.
Menu sarapan sayur sop dengan tempe goreng dan ayam ukep sudah siap. Bahkan dia sempat membuat jus, puding pisang, dan menyiapkan bekal makan siang. Semua itu demi menyingkirkan bayangan kejadian kemarin sore.
"Pikirkan hal tidak menyenangkan ... Pikirkan hal menyebalkan ...," gumam Aris sambil mencari hal yang membuatnya bad mood.
Wajah tertawa seseorang berhasil membuat Aris kembali ke alam nyata. Terutamanya jika yang bahagia itu seseorang bernama Asmoro Bangun, direktur yang menjabat sejak lima tahun lalu. Anak laki-laki direktur sebelumnya, yang baru pulang kuliah setelah mendapat gelar MBA di luar negeri.
Aris mungkin tidak akan sekesal ini kalau Pak Bangun melakukan tugas sesuai jabatan dan gelarnya. Sambil berdiri di depan cermin, wanita setinggi 161cm itu menatap balik mata coklat gelap yang tengah memandangnya. Meyakinkan diri kalau dia telah mengambil keputusan terbaik saat itu sesuai dengan kapasitas berpikirnya. Dan bahwa tidak apa-apa meskipun hidupnya tidak sempurna. Dia masih bisa hidup dengan baik, lebih baik dibanding banyak orang seumurannya.
Setibanya di kantor, Aris yang sudah sama sekali lupa, terkejut waktu Afri menyapanya pagi itu.
"Selamat pagi, Bu. Mau dibuatkan kopi?"
Mata Aris tertuju pada plester kecil yang tidak bisa menyembunyikan warna merah gelap kebiruan. Selain itu, Afri juga memakai kacamata.
"Wajahmu ... " Aris sedikit menyesal melihat wajah idola kantor mereka itu.
"Ah, iya, kemarin saya jatuh dari kursi, jadi untuk sementara tidak pakai contact lens dulu," jawab Afri dengan senyum sumringah.
Penyesalan Aris bertambah dalam, Harusnya aku hajar dia sampai bonyok!!
"Iya, tolong buatkan kopi hitam. Dan bilang ke bagian marketing, aku minta analisis data penjualan semua produk besok selama tiga bulan terakhir, paling lambat hari sabtu. Hari ini tolong kumpulkan semua event dan promo selama tiga bulan terakhir, dan hari rabu nanti aku ingin mereka sudah punya rencana promosi untuk tiga bulan mendatang."
Kalau sudah kepalang basah, sekalian nyebur!
Aris yang memantapkan hati akan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin, tidak ada lagi yang akan memonitornya selama seminggu kedepan. Dia akan membuat perusahaan ini, tidak bisa bergerak tanpa dirinya.
"Baik, Bu." Afri tidak berlama-lama berdiri di sebelah meja wakil direktur.
"Nisa!" Aris ganti memanggil staffnya yang lain.
"Iya, Bu!" Nisa menyahut dan tidak lama sudah berdiri di samping meja Aris.
"Tolong buatkan notif atk tiap departemen, stok masih berapa, keperluannya berapa, nanti kita pesankan. Tolong kamu survey, ya, carikan yang harganya murah aja. Kertas ganti yang 60gram."
"Kertasnya kalau murah gampang sobek, Bu. Lalu untuk stempel merek Burung lebih cepat kering daripada merek Ayam."
"Tidak apa, kertasnya suruh lebih hati-hati saat handling. Stempel dicampur saja mereknya, nanti minta tolong anak CS bantu oplos. Sekalian cek stok sabun dan lainnya, kamu bisa tanya Pak Umar, kepala CS."
"Baik, Bu."
"Dananya seperti biasa nanti kamu laporan ke bagian pembiayaan, ya. Belanjanya kamu ajak satu dari sana, kalau mereka mau bantu."
"Iya, Bu Aris."
Sementara ini untuk urusan pekerjaan sudah sebagian besar beres. Tapi hati Aris tetap merasa tidak nyaman saat dia kembali mengingat apa yang dilakukan sekretaris pria itu pada dirinya kemarin. Dalam hati dia berdoa itu hanyalah kegilaan sesaat.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!