Maria Lili menarik Dolken masuk ke ruangan kantornya yang mewah, tergesa menutup pintunya. "Kenapa sampai sekarang aku belum di konfirmasi," tanyanya memburu.
Dolken yang berdiri di depan Wakil President JSP Investment itu bisa mendengar detak jantungnya yang berdebar kerena tak sabar, so cute dalam hatinya. "Apa kamu sangat merindukanku." Pria itu memeluk pinggang Maria Lili tak lupa ia menebar senyum genitnya.
Ck, "seriuslah, Ken!"
Asisten dari suami Maria Lili itu bergegas saat dipanggil dan siapa yang bisa menolak panggilan Nyi Roro kidul, pemilik perusahaan paling cantik nomor satu di JSP Investment. "Aku serius Mary, sayang."
Dolken mengedip mata genit, Maria Lili memandangnya dengan tatapan mengintimidasi. "Kenapa kamu tidak mendesaknya?"
"Mary sayang, apa kamu tidak mengenal suamimu? Setelah meeting aku akan memaksanya menentukan pilihan," jawab Dolken pada sepupu tercintanya itu. Semakin erat merangkul pinggangnya dengan ekspresi dibuat seimut mungkin.
Ck.
"Berapa kali aku beritahu agar kamu menjaga sikap saat kita di kantor," marah Maria Lili.
"But i miss you my Barbi doll."
Rengek Dolken mengendus di pipi Maria Lili, wanita itu menepisnya. Jika Jacob tidak dikirim pergi bermain perempuan, cepat atau lambat suaminya itu akan melayangkan gugatan cerai. "Tinggal dua hari lagi dari waktu yang ditentukan, kamu taukan kalau aku masih harus melakukan persiapan?"
Dolken sangat mengerti persiapan apa yang dimaksud Nyonya Besar Kidul. Yang tidak ia mengerti adalah kenapa masih harus melakukan persiapkan, padahal tidak mungkin apa yang ditakutkannya bisa menjadi kenyataan. "Aku gak ingin kau kecewa tapi Jack menolak layanan kamar," lanjutnya hati-hati. "Dia akan mengurus sendiri disana, katanya."
Haaaa...
Keningnya mengerut. "Apa kau memihak padanya sekarang?" Kecam Maria Lili.
"Aku?" Tunjuk Dolken ke wajahnya. "Memihak padanya, no way." Seru pemuda itu kemudian mencium di leher kakak sepupunya itu untuk menghilangkan kegugupan. "Sayangku, apa kamu uring-uringan karena belum disentuh olehku," rayunya semanis madu.
"Ck," decak Maria Lili mendorong Dolken. "Apa kamu sudah bosan hidup," katanya sembari membenahi kancing baju atasnya. Kapan dia telah terbuka..
Dolken bergeming kembali melingkarkan lengannya di tubuh ramping Maria Lili. "Mana bisa bosan sayang, di dekatmu semua organ-organ ditubuhku terbangun. Coba pegang," ujarnya tersenyum genit.
"Dolken," sergah Maria Lili menepis pemuda yang menggenggam tangannya. "Apa perlu aku mengetuk kepalamu agar kau sadar bahwa ini di kantor!"
"But i miss you baby," rengek Dolken kekanakan, itu karena sudah dua minggu dirinya dicuekin Bos idolanya ini.
"Aku gak mau tau! Pastikan Jack pergi dengan perempuan yang aku pilihkan. Tidak boleh perempuan sembarangan. Masih harus menikah serta menandatangani surat perjanjian, kan!"
"Mary, hanya sepuluh hari kenapa kamu harus repot-repot menikahkan nya dan gak mungkin hamil juga kan. Kita gak nikah, sayang?"
Senyum Dolken memonyongkan bibirnya, Maria Lili mengecupnya kilas. "Sana keluar!" Usir Perempuan itu kesal. "Selesai meeting pastikan Jack memilih dari model-model yang disediakan, mengerti kamu!" Ketusnya melotot pada adik sepupunya itu. "Iya ya. Baik bos, laksanakan!" Dolken paling takut jika Maria Lili membuka lebar biji matanya, percayalah itu benar-benar menyeramkan. Meski begitu, pemuda itu tetap memeluk Maria Lili. "Sayangku," rayunya. "cup!" Satu kecupan di pipi wanita itu sebelum keluar tanda kesetiaan.
*
Tiba di ruangan Direktur, terkejut hampir terkentut pemuda itu saat melihat ternyata Jacob telah duduk manis di ruangan kantornya. "Sudah lama, Jack?" Tanyanya berusaha bersikap sesantai mungkin.
Hm, desah dalam hati Jacob. Ia paling tidak suka dengan sikap sok akrab Dolken. Memanglah anak ini masih keluarga istrinya tapi disini kantor dan dia bawahannya, serta umur Dolken jauh dibawah umurnya. Dengan jelas Jacob melihat kegugupan disana saat masuk ke ruangannya. "Kenapa dengan ekspresi wajahmu, Ken?" Tanya pria itu.
Wajahku? Kenapa, batin dolken. Apa kelihatan seperti orang yang takut ketahuan selingkuh...
"Tentu saja kaget, Bos. Rapat dua jam dan ini baru satu jam, apa pekerjaan sudah bisa ditinggal? Mary menanyakannya barusan," jawab Dolken jujur memang dia dari ruangan Maria Lili. Siapa tau Jacob mencurigai nya ada main dengan istrinya itu. Karena Jacob hanya diam, Dolken mengambil remot tv. "Yang mana?" tanyanya menunjuk layar monitor seluas meja bilyard yang menempel di dinding. Mereka adalah perempuan-perempuan cantik dan seksi yang dipilih untuk diseleksi ulang oleh Jacob guna menemani Ceo tampan itu selama lebih kurang sepuluh hari di Maldives.
Jacob melirik sekilas pada slide gambar. "Tidak ada. Aku sudah katakan akan mencari sendiri," ujarnya melengos membuang muka.
"Kata Nyonya harus perempuan yang dikenalnya, Bos. Tidak diperkenankan sembarang mencomot di jalan," jawab Dolken.
Ck, decak Jacob.
"Bagaimana? Siapa diantara mereka yang harus saya hubungi, Jack."
Desak Dolken, Jacob merenungnya. Selama dua tahun menjadi asistennya, pemuda ini tidak terlalu menunjukkan kinerja yang bisa dibanggakan. Malah manambah beban pikirannya. Lebih patuh kepada Mary. Jika bukan karena Mary menunjuknya langsung sudah lama Jacob ingin memecatnya. Baiklah, mari kita ikuti permainan kalian dalam hati Presiden Direktur itu.
"Gadis klining servis yang baru bergabung sebulan yang lalu, bernama Rose Diana. Aku mau dia yang menemaniku," kata Jacob.
"Ha!" Dolken membelalak mulutnya ternganga. Kenapa selera si jack turun drastis dalam hatinya. Ia tau orangnya, karena dirinya sendiri yang merekomendasikan adik kelasnya itu sehingga diterima jadi karyawan di JSP Investment. Maksudnya untuk dirinya sendiri, hais. Tau aja si Bos barang bagus keluhnya.
"Kamu keberatan?" Tanya Jacob.
Oh!
"Tidak tidak!" jawabnya cepat. Ck, kenapa harus dia sih. Dolken ragu-ragu.
"Ya sudah sana! Pergi panggil," perintah Jacob menyeringai Dolken yang terbengong.
"Baik Bos, permisi." Dengan malas pemuda itu keluar dari ruangan Direktur, mencari Rose Diana si cantik dari bagian kebersihan.
*
"Apa! Biar benar kamu, Ken?" Bola mata indah Maria Lili membesar mendengar kabar dari asisten suaminya itu.
"Hum...benar sayang," angguk Dolken. "Lihat sendiri, sana! Sekarang perempuan itu ada di ruangan Jack," jawabnya memanasi Maria Lili. Semoga Rose Diana batal kencan dengan Jacob dalam hatinya. "Bukankah kamu harus mencegahnya? Perempuan itu gak pantes jadi sainganmu."
Hais. "Kenapa kamu membawanya kehadapan Jack sebelum konfirmasi padaku," marah Maria Lili bergegas keluar dari ruangannya berlari ke ruangan suaminya.
Gubrak!
Terlihat Jacob dan seorang perempuan belia dengan kemoceng di tangannya, terkejut di ruangan Presiden Direktur itu. Memang keduanya serentak menoleh ke pintu, penasaran siapa gerangan yang datang membawa angin topan.
"Ma-af Jack. Dolken mem-beritahu ku..." Maria Lili berkata dengan suaranya ngos-ngosan.
"Hum," desis Jacob mengerti untuk apa istri yang telah dinikahinya selama sepuluh tahun lebih itu datang menemuinya.
Maria Lili memandang Rose Diana dari ujung rambut sampai ujung kaki. Astaga, berkerak nian gadis ini batinnya. Apa penglihatan Jack sudah rusak. "Kamu yakin mau membawanya?" Tanya Maria Lili menatap Jacob.
"Ehm," angguk Jacob. "Kamu keberatan?"
"Bagaimana kalau iya," tantang Maria Lili ke mata suaminya.
"Dengannya atau tidak sama sekali!" Jacob menjawab tegas.
No way dalam hati Maria Lili. "Apa dia sudah setuju?" Tanyanya penasaran semurahan apa perempuan ini.
"Itu urusan kamu membuat nya setuju," jawab Jacob.
Maria Lili terhenyak. "Aku," tunjuknya ke wajahnya sendiri.
*****to be continued.
Jadi belum ada kesepakatan. Jika semua masih dalam kendaliku tidak akan ada masalah dalam hatinya. "Aku akan mempersiapkan nya untukmu," kata Maria Lili mengalah.
"Beri dia harga seharunya jangan dikurangi," kata Jacob. "Aku tidak mau ada penolakan dengan alasan uang!" Tegasnya.
"Hum," angguk Maria Lili mengerling jijik pada gadis berbaju seragam Office Girl yang berdiri di depan meja kerja Jacob. "Kamu ikut aku," titahnya.
Walaupun bingung terhadap drama yang baru disaksikan nya. "Baik Bu," jawab Rose Diana sembari menunduk hormat, apa salahku dalam hatinya. Dipanggil ke ruangan Direktur hanya untuk dicuekin, sekarang diseret keruangan Wakil Direktur. Namun ia manut berjalan mengikuti ke mana langkah kaki Bos Perempuan itu membawanya. Karena penasaran, ada apa Direktur serta Wakilnya sampai memperebutkan dirinya.
*
Rose Diana diperbolehkan pulang setelah tanda tangan kontrak dengan alasan mau permisi pada pamannya. Meski Maria Lili sempat menolak memberi izin karena ini rahasia yang harus disimpan rapat, Rose Diana bersikeras tidak akan pergi sebelum bertemu keluarganya barang sebentar.
Disinilah ia sekarang di ruang tamu keluarga pamannya. Duduk lesehan di lantai mengelilingi satu meja persegi panjang. Sejak diterima bekerja di JSP Investment, Rose memberanikan diri ngekos dengan alasan biar hemat waktu perjalanan pulang pergi ke kantor. Dan ongkos transportasi dipakai buat bayar kos, memang bali tak bali sama banyak. Untungnya ya Rose pulang kerja bisa santai, tidak habis waktu diperjalanan jika ia pulang pergi dari rumah Paman.
Dalam satu bulan kerja, ia baru sempat pulang hari ini. Rose membawa oleh-oleh martabak manis dua loyang gede, kedua anak Paman dan Bibinya senang atas kepulangannya. "Kak Rose sering-sering pulang, dong. Seminggu sekali gitu bawa martabak, Ina suka kalau gini." Erina si bungsu yang kini duduk di kelas 2 SD berkata dengan manja di sampingnya.
"Gajian pun sebulan sekali, kamu mau Martabak seminggu sekali. Mikir dong?" Rahmat yang sekarang kelas 6 SD menyela adiknya.
"Ya gak juga, ntar Ina bosan kalau martabak mulu. Gantian maksudnya, minggu depan Korean fried chicken gitu, hehe."
"Kamu gak ngerti bahasa atau pura-pura gak ngerti! Memangnya buat beli semua itu gak pakai uang," marah si Kakak sembari geleng kepala. "Dasar lemot."
"Siapa yang lemot!" Erina melotot pada Rahmat, benar-benar gak suka setiap kali kakaknya itu mengatai dirinya lemah otak.
"Sudahlah Mad, jangan digodain adiknya." Rose melerai kedua sepupunya. "Nanti kakak usahakan ya, pulang seminggu sekali seperti yang kamu mau," katanya sembari mengusap rambut Erina agar anak itu menahan emosi.
Erina senang dibelain Rose. "Uwek," cibirnya menjulurkan lidah pada Rahmat.
Marlia, istri Pamannya menghampiri mereka dengan ceret dan gelas di nampan. "Jangan di paksa seminggu sekali ntar kamu capek, Rose. Kerja yang tekun pulang kalau sempat. Tapi jangan lupa kirim kabar," katanya sembari meletak barang bawaannya di atas meja. "Rencanamu mau kuliah, nabung dong!"
"Sudah disisihkan untuk itu mah," jawab Rose pada Marlia. "Nanti kakak usahakan sering-sering pulang ya Ina," senyumnya pada si bungsu.
"Ehm," angguk Erina. "Ntar Wassup dulu ya kak, biar Ina yang tentuin oleh-olehnya...Hehe."
"Astaga...Erina Banowati!" Rahmat memelototi adiknya. Si Erina kembali menjulurkan lidah, "uwek."
"Gak apa Mad," sela Rose Diana. "Kamu mau apa jangan segan bilang ke Kak Rose. Pas gajian kalau cukup uang kakak usahakan, oke!"
"Kak Rose simpan saja uangnya buat biaya kuliah jangan boros beli makanan junk food yang tidak bermanfaat," tolak anak laki-laki itu. "Dasar gak pernah makan enak," lanjutnya mengejek Erina.
"Kamu juga, kan!" Balas si adik.
"Sudah, sudah. Ada makanan ribut, gak ada juga ribut." Marah Marlia melerai kedua anaknya yang gak pernah akur itu. "Kamu makin cantik Rose, enak ya kerjanya?" Tanya si Bibi menatap bangga pada ponakan suaminya. Derajat mereka ikut terangkat sejak Rose bekerja di Perusahaan sebesar JSP Investment, semua tetangga membicarakan nya sebagai contoh teladan. Berbagai pujian dilontarkan membuat telinganya mekar seperti kue kembang loyang.
"Haha, masa sih Bi. Alhamdulillah...kerja masih betah," senyum Rose, dipaksa.
Hum.
Marlia mengerut kening merasa ada sesuatu yang janggal dengan sikap Rose. Sejak datang gelagatnya mencurigakan. Sebagai orang dewasa ia masak betul dengan perangai anak-anak. Jangankan itu, gelagat suaminya pun dia hapal jika ada sesuatu yang tidak biasa. Maka Marlia tidak menunggu lama akan to the point. Suara hati perempuan, judulnya. "Kamu sengaja pulang tidak hanya untuk berkunjung, kan?" tanyanya.
Gleg.
Mati gue dalam hati Rose tak sadar mengangguk kaku. Jika bukan karena perkara hidup dan mati yang disetujuinya dengan Nyonya besar tadi siang di kantor, ia bahkan lupa kalau punya keluarga di pinggiran kota ini. "Bibi tau aja, hehe." Jawab Rose salah tingkah.
"Ya taulah!" Jawab Marlia bangga dengan instingnya, begitu juga dengan ketiga anggota keluarga lainnya menjadi tidak fokus pada martabak.
"Apa tuh! Ayo bicara cepat," tegas Bibi. "Kamu dipecat? Dirundung teman sejawat jadi ingin pindah kerja? Ingat Rose! Kamu sudah ku anggap anak sendiri, pulanglah kalau gak betah di Jakarta. Ini rumah kamu juga, satu lagi. Jangan segan curhat sama Bibi kalau ada masalah!"
"Mama ih! Kok Do'ain yang gak benar!" Suara Erina melengking memekak telinga yang mendengar.
Ahh, semua terkejut memandang anak kecil itu setelah tadi terpelongo mendengar ocehan Marlia yang over drama.
"Ini martabak super mahal, kalau bukan gaji besar gak mungkin sanggup beli. Buktinya Papa gak pernah bawa martabak segede dan setebal ini! Tadi kan Kak Rose bilang masih betah, Alhamdulillah. Dasar Mama yang pikun," sambung si bungsu masih suara kencang. "Aku memang kangen Rose, tapi terbalas dengan adanya oleh-oleh. Jadi jangan berhenti kerja ya, kak. Please," mohonnya.
"Erina, ini pembicaraan orang dewasa. Anak kecil bisa tolong diam," kata Marlia mendelikkan matanya.
"Aaah..takut," pelik Erina mendekat ke Papanya, karena memang ia duduk ditengah antara Rose dan Muliyardi.
Ck, decak Marlia. Penasaran selalu membuatnya insomnia tidak baik untuk kesehatan jantung. "Ada apa? Cepat katakan," desaknya pada Rose Diana.
Rose maju mundur mau jujur atau nggak. Bibinya sudah terlanjur penasaran...hais kenapa juga tadi aku mengangguk batinnya jadi ragu.
"Ayo, cepat katakan!" Desak Marlia lagi.
Ketiga orang lainnya ikut memandang Rose dengan ekspresi sama seperti Marlia, penasaran! Paman si pendiam, Rahmat dan Erina berhenti makan seketika, momen penting tidak boleh terlewatkan.
"Hehe," tawa Rose hambar melihat keseriusan empat orang yang menatapnya...tajam.
"Apa! Cepat katakan," desak Marlia semakin gak sabar.
"Kak Rose, ih! Cepetan ngomong." Erina ikutan keki.
Rahmat dan Muliyardi mengangguk bareng. "Ada apa?" Tanya mereka serempak.
"Aku ditugaskan ke luar kota selama dua minggu," kata Rose akhirnya.
"Yeah! Kirain apa," keluh Erina diikuti helaan nafas lega semua orang. "Itu berita bagus, kan. Dapat uang tambahan," sambung si kecil itu kembali menikmati martabaknya dengan lahap.
Marlia memandang suaminya, ada keresahan diwajahnya. Paman kandung Rose itu memang agak pendiam, bersyukur ia dapat istri yang ramah jadi Rose betah menumpang dirumahnya.
***to be continued.
"Kamu bukannya cuma Office girl, Rose. Ehm, maksudnya bukan merendahkan tapi setahu bibi, yang biasa dikirim tugas ke luar kota itu bukankah setingkat sekretaris ke atas?" Tanya Marlia sembari menoleh pada suaminya. Karena menurutnya ini bukan perkara sederhana. "Kamu masih di JSP, kan? Bukan kerja aneh-aneh."
"Masih, Bi." Jawab Rose cepat. "Sumpah," katanya mengangkat dua jari tengah dan telunjuk.
Sebagai orang yang dititipin anak, ia berkewajiban menjaga Rose. Anak kakaknya ya anaknya juga. "Pergi dengan siapa? Tanya Muliyardi.
"Dengan Bapak direktur," jawab Rose pelan. Namun cukup membuat terkejut seisi ruang tengah itu.
"What?" Marlia tidak bisa tidak terperangah.
"Wow, eonni hebat!" Seru Erina tersenyum lebar sembari mengangkat jempolnya.
"Hebat pala lu," ketus Rahmat. "Direktur mana yang bawa klining servis ke luar kota? Tidak bisa dipercaya," sambung anak laki-laki itu merasa khawatir serupa dengan perasaan Muliyardi sekarang.
"Benar kata Rahmat Rose," ujar Marlia setuju.
"Direktur usia berapa, kak?" Tanya Erina santai tidak khawatir seperti atasannya. Berhubung ia korban drakor dan dracin. Sampai-sampai ia memimpikan suatu hari dicintai oleh Ceo tampan setingkat Wang Ziqi.
"Tiga puluh tujuh," jawab Rose.
"Yeah, jangan mau Kak Rose. Ketuaan itu!" Bantah Erina.
"Hum," angguk Marlia setuju dengan putrinya.
"Ini urusan kerja, Bibi. Bukan seperti yang Erina pikirkan," jawab Rose. "Membersihkan villa selama dua minggu karena satu karyawan disana ada yang cuti jadi Rose disuruh mengcover," sambungnya. Baru kali ini ia berbohong lancar pula itu tapi jantungnya berdegup kencang seperti mau keluar dari rongganya.
"Yakin hanya itu?" Tatapan Marlia tembus ke dalam retina Rose. Gleg, gadis itu meneguk ludah susah payah. Matilah saya batinnya, kenapa ia bisa lupa julukan Bibi Marlia si ratu gosip komplek. Apa ia bisa lepas dari investigasi intel nomor satu di kelurahan Mangga?
"Sure, Bi." Rose mengangkat jari tengah dan telunjuknya lagi, ✌️ "Peace."
"Dikasih bonus berapa?" Tanya Erina.
"Eh, kamu diam anak kecil!" Marah Rahmat menegur adiknya. "Sejak kapan kamu jadi perempuan mata duitan."
Erina balas membelalak pada kakak laki-lakinya. "Kita satu keluarga harus kompak dan jujur. Tidak boleh ada yang disembunyikan. Orang besar atau anak kecil kalau penasaran ya nanya jangan diam saja! Siapa tau bisa membantu memberi solusi, heh!" Marahnya pada Rahmat. Dia keturunan Intel Marlia jadi ya bisa apa kalau ketularan kepo.
"Iya, sudah sudah!" Marlia melerai kedua anaknya yang tiap hari ribut seperti Tommy and doggy itu. "Berapa?" tanyanya mengerling mata genit pada Rose. Hehe...
Muliyardi menggeleng melihat istri matrenya. "Jangan hanya pikirkan uang. Keamanan dan keselamatan yang utama. Kamu baru kerja sebulan apa tidak ada orang lain," kata kepala rumah tangga di keluarga kecilnya itu.
Rose menggeleng. "Ini spesial. Istri Direktur sendiri yang memerintah," jawabnya. "Dari pada dipecat."
"Jadi, istri Direktur juga ikut?" Tanya Marlia lega.
"Ehm," angguk Rose ragu benar gak sih dalam hatinya.
*
Sebelum kembali ke Jakarta Rose mampir dulu ke rumah teman karibnya untuk curhat. Kepada Paman dan Bibi ia tidak sanggup berkata jujur, maka harus ada orang yang tau kemana ia pergi sebenarnya dan dengan siapa. Dan doi paling bisa diandalkan menyimpan rahasia.
"Lusa aku ke Maldives diajak Pak Direktur," kata Rose. Dan teman yang bernama lengkap Elisa Beauty itu lebih perduli pada oleh-oleh yang dibawa nya.
"Hei! Dengar tidak?" tanya Rose melihat Elisa tidak ada ekspresi. Duduk pun menyamping kayak gak senang dengan kehadirannya, telinga pun disumbat headset.
"Hei!" Rose mentoel pundak Elisa.
"Apaan!" Kata Elisa pura-pura terkejut.
Kedua gadis itu duduk di lantai beralas karpet menikmati pentol tahu yang dibawa Rose. Pentol tahu viral di daerah perkampungan mereka, kelurahan Mangga.
"Buka neh headset makanya biar gak budek!" Rose menarik alat pendengaran dari telinga temannya itu. "Besok aku ke Maldives bareng Direktur," ujarnya di telinga Elisa.
"Hum," sinis Elisa buang muka. "Kamu ke Maldives sama direktur, no way! Aku cemburu, tidak bisa aku cemburu!" Gadis itu memang sedang merajuk pada Rose tapi tidak dengan pentol tahu yang dibawanya, terbukti dengan betapa lahapnya ia mengunyah. "Bahkan saat kamu diterima kerja di Juan Sandy Purnomo Investment, aku jadi benci padamu," ujarnya marah tidak dibuat-buat.
Rose tau, Elisa berkata jujur dari hati. Jika ia di tempat Elisa mungkin akan sama, iri dengan keberhasilan teman. Meskipun itu teman karib. Tapi Rose nyaman berteman dengan Elisa yang apa adanya. Dari SD mereka bersama. Perasaan iri bukan dari segi negatif, kok. Saat ia ditinggal oleh kedua orang tuanya, perhatian Elisa salah satu sumber kekuatan bagi Rose selain keluarga Paman dan Bibi.
"Lisa, please. Nanti deh kalau ada lowongan, aku cepat beritahu kamu." Rose membujuk temannya dengan mengeluarkan sebatang Toblerone ukuran besar dari tas kecilnya.
Elisa membelalak. "Thanks, tapi aku masih cemburu," katanya kemudian merampas coklat yang belum pernah kesampaian dibelinya itu. "Aku gak percaya kamu kesana hanya jadi tukang sapu nge-pel. Kamu ada main dengan Bos kan," sindirnya.
"Ehm." Rose mengernyit. "Kenapa kamu berpikir begitu? Dengan tampang ku yang buluk ini mungkinkah Direktur sekeren Jacob Pattinson selera," ujarnya menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuk tepat ke hidungnya.
"Siapa tau Pak Direktur sedang bosan dengan gadis cantik dan seksi," jawab Elisa sambil mencium coklat yang sering diliriknya di Market 24jam itu.
Tidak tanggung-tanggung gedenya, ini ukuran terbesar batin gadis itu. Toblerone milk chocolate with honey and Almond nougat 360gram. Elisa mengeja dalam hati, berharap ia di endorse setiap hari. "Kamu sekarang mampu beli jajanan mahal, gaji office girl berapa sih?" tanyanya gak percaya kalau ini hasil kerja keras Rose.
Hidup di kota itu terkenal dengan apa-apa mahal, mana harus bayar kosan. Ia sendiri yang mengantar Rose ke Jakarta, jadi Elisa tau betul uang bulanan Rose pas pasan untuk kontrakan dan makan.
"Bukan karena banyaknya gaji," jawab Rose. "Tapi keikhlasanku membelikan coklat ini untukmu," lanjutnya. "Banyak gaji pun kalau temanmu ini pelit, permen sebiji pun gak akan kebeli."
Elisa manyun, setuju dengan ucapan Rose. "Iya, kamu benar. Thanks anyway," ucapnya. Kemudian mengopek seruas coklat. Mulut yang kepedasan paling mantap dinetralisir dengan yang manis-manis. "Jadi hanya itu curhatan kamu. Sengaja mampir ke rumahku bukan karena kangen, kan?"
Hehe, senyum Rose. "Kamu benar, Lisa. Kalau ngandelin gaji mana berani aku beli jajanan mahal ini," desisnya.
Elisa membelalak. "Jadi benar kamu ada main deng..."
His, dengan cepat Rose menutup mulut Elisa dengan tangannya. "Suara kamu gak bisa pelan, apa ya!" Kesalnya.
*** to be continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!