Sofie Auliana. Dia selalu duduk tepat di pojok kiri kelas berdekatan dengan jendela, keberadaannya sangat mudah menarik perhatian orang-orang. Rambut hitam yang terurai panjang, pupil mata yang terlihat tenang dan indah serta pipi cuby yang membuat dia tambah imut.
Tak ada yang tidak mengenal gadis itu. Dia bisa dibilang top idol sekolah ini. Sifat tenang, dingin, dan diamnya membuat sebagian besar orang terpesona.
Dia bahkan tak akan berbicara bila tak diajak, dan meskipun Sofie berbicara mungkin hanya sekitar beberapa kata saja. Seperti "Ya" "Tidak" atau kata lainnya. Intinya dia sangat pendiam, tapi sifat itulah yang membuat Sofie menjadi populer.
Sofie sangat sering ditembak oleh siswa di sini baik itu para cogan dan orang cukup ber uang, tapi siapapun Sofie pasti akan menolak. Dia akan menjawab dengan satu kata "Tidak" dengan wajah datar.
Bahkan sekarang pada waktu ini Sofie sedang ditembak oleh seseorang yang terbilang populer, saat ini semua pandangan kelas menatap ke dua siswa itu.
"Sofie," sapa seorang murid laki-laki yang terlihat cukup ganteng, dia memiliki wajah yang cukup idol dan atletis.
"Apa?" Sofie menoleh, dia menatap kosong ke pemuda itu.
"Aku mencintaimu, maukah kamu menjadi pacarku?" Wajah pemuda itu menjadi merah padam karena mengatakan hal yang dia inginkan, tapi sangat disanyangkan jawaban dari Sofie sudah jelas.
"Tidak." Hanya satu kata yang keluar dari gadis itu, setelah menjawab dia kembali menatap ke jendela.
pemuda yang baru saja ditolak hanya bisa tersenyum paksa melihat Sofie, sungguh lelaki yang menyedihkan. Dia masih terdiam dan menatap Sofie berharap dapat mendapatkan jawaban yang lebih baik.
Tapi-
"Nice Trey bro." Salah satu temannya menepuk pundaknya, dia memberikan senyuman dan jempol ibu jari.
"....."
Pemuda itu tak menjawab, dia terdiam dalam kesakitan hati karena baru ditolak.
"Yang ceria lah, bro! Aku akan teraktir makanan nanti, jadi ayo!"
Beruntung dia memiliki teman yang peka, dia mengeret pemuda itu untuk menjauh dari Sofie.
Kejadian ini sudah ketiga kalinya untuk hari ini. Mungkin Sofie tak memiliki niat yang buruk, dia hanya muak akan semua kelakuan yang berlebihan ini, coba bayangkan saja kamu ditembak tiga kali hanya untuk satu hari dan tak berhenti di situ bahkan setiap hari Sofie akan mendapatkan surat cinta dari siswa lainnya, walaupun berakhir di tolak.
Sifat Sofie memang sangat dingin. Aku sudah tak bisa menghitung berapa kali dia menolak seseorang, yah. Tapi akan aku tulis kejadian ini di buku ah.
Aku mencatat semua kejadian yang terjadi, segala tentang Sofie, sifat, dan lain-lain aku selalu menulis di buku karena aku penulis.
Tapi tolong jangan salah paham, bukan berarti aku orang mesum yang menulis biografi orang tanpa ijin, ini ada alasan yang sangat penting.
Karena diriku yang seorang penulis, aku terpaksa melakukan pekerjaan tabu ini, hampir semua orang yang meminta kepadaku untuk menulis segala hal tentang Sofie, mungkin karena aku satu kelas Dengan Sofie serta status sebagai penulis maka dari itu aku diminta tolong.
Awalnya aku mencoba menolak karena ini merupakan hal melanggar privasi, namun pada akhirnya aku adalah siswa SMA aku butuh uang tambahan jadi aku terpaksa menulis hal tabu ini.
'Maaf Sofie, ini semua demi uang.. Bukan ini demi literasi membaca sekolah ini naik..'
Berpikir seperti itu aku masih menulis kejadian yang baru saja terjadi. Sampai istirahat berakhir.
Ting
Ting
Jam istirahat berakhir sekarang adalah waktunya pelajaran dimulai. Aku menutup buku yang kutuliskan itu dan menaruhnya dalam laci.
Kemudian aku mengambil buku mapel MTK di tas dan menaruhnya di meja. Aku menghentikan aktivitas menulis dan fokus ke pembelajaran.
Saat sedang fokus entah kenapa aku merasakan bahwa seseorang sedang menatap ke sini, jadi aku menoleh ke arah kiri dan mendapatkan bahwa Sofie sedang menatap ke arahku.
Dia tak mengeluarkan ekspresi satu pun, hanya kosong. Aku sempat berpikir mungkin dia sedang menatap sesuatu hal lain.
Tapi, dia tak berhenti menatap. Mata kami bertemuan untuk beberapa menit.
'Kenapa dia menatapku?'
'Apa ada yang aneh dengan wajahku?'
Aku bertanya kepada diri sendiri. Sebelum menyadari bahwa pipiku telah memanas, jika aku bercermin mungkin akan terlihat seperti tomat.
"SEBASTIAN GILANGSYAH!"
suara sangat nyaring terbunyi. Aku spontan menoleh ke arah pak guru yang terlihat marah, mungkin karena aku tak terlihat memperhatikan.
"A-apa pak guru?" tanyaku dengan senyuman gugup.
"Apa? Dengkulmu! Perhatikan pelajaranku! Aku tahu bahwa Sofie cantik, tapi jangan terus menatapnya!" Pak guru menaikan nada membuat semua orang tertawa.
"M-maaf."
Aku hanya bisa menundukkan kepala karena malu jadi bahan candaan. Kemudian sekali lagi aku menoleh ke Sofie mencoba mencari tahu apa reaksi dia.
Dan sangat diluar dugaan dia masih menatapku tanpa ekspresi apapun.
'Asal kamu tahu pak, justru Sofie yang menatapku.'’
...****...
Langit telah menjadi orange waktu pulang telah dimulai.
Tanpa basa-basi aku pulang ke rumah sendiri. Ya, sendiri itu adalah hal normal bagiku.
Aku berjalan kaki dari sini karena memang jarakku antar rumah cukup dekat, aku juga yakin bahwa beberapa siswa juga sama, karena kebanyakan siswa di sekolah ini memiliki jarak rumah yang dekat.
waktu lima menit berlalu, aku sampai ke rumah dan langsung merobohkan tubuh ke kasur di kamar.
Aku berpikir kenapa Sofie tadi menatapku, tapi tak peduli seberapa keras berpikir aku tak tahu jawabannya.
"Huh.." Aku menghela napas.
Kalau berbicara tentang Sofie, aku harus menuliskan sesuatu tentang dia, atau teman-temanku, tidak kusebut saja para brengsek itu tak emosi dan kecewa.
Aku mencari buku itu di sekujur tas, namun tak bisa kutemukan.
"Loh Kenapa tidak ada?"
Aku makin panik, keringat bercucuran di wajah, mungkin kini aku terlihat pucat.
Tunggu ini aneh aku tak sebodoh itu hingga lupa dengan hal penting.
Aku sangat yakin sudah memasukkan semua ke tas-
Ingatan kecil melewati kepalaku. Aku ingat aku menaruh buku itu di laci kelas.
"Sial! Betapa bodohnya aku!"
"Ini beneran gawat buku itu tertulis namaku, jika seseorang melihat pasti aku akan dikira orang mesum."
Frustasi, aku menjambak rambutku hingga tenang. Setelah itu berlari dengan cepat menuju sekolah.
Setelah berlari beberapa saat akhirnya aku sampai sekolah. Segera menaiki tangga dan menuju kelasku.
Tapi langkah terhenti. Aku dibuat terkejut dengan sosok yang berdiri di depan jalanku.
Dia adalah gadis yang sangat imut, dia adalah Sofie. Sofie terlihat berdiri dan membaca buku itu.
Dan buku itu adalah barang yang kucari, sudah berakhir.
Aku menulis hal pribadi tentang seseorang dan orang tersebut mengetahuinya, aku pasti akan dianggap mesum apalagi Sofie adalah perempuan.
Jadi ini adalah balasan bagi orang rakus, seharusnya aku menolak pekerjaan tabu itu. Maaf ibu, ayah. Sepertinya anakmu akan berakhir mengenaskan setelah ini.
Bertarung dengan pikiranku sendiri tanpa kusadari Sofie berjalan ke sini, wajahnya yang datar entah kenapa kini sedikit tersenyum.
"Kamu tahu banyak tentangku ya?"
Sofie berjalan makin dekat dan sedikit sangat sedikit menyeringai.
Jleb. Kalimat barusan sedikit menusuk, kalau seperti ini aku terlihat seperti stalker. Yah, walaupun kenyataan memang seperti itu, aku sempat menstlakingnya untuk beberapa hari, karena butuh informasi untuk ditulis.
Aku terdiam dan berencana untuk membalikkan badan.
"Kamu juga sepertinya mengikutiku untuk beberapa hari ini."
Jleb. Serangan ke dua. Jadi Sofie sadar dan dia diam saja? Kalau begini dilihat bagaimanapun aku adalah orang mesum.
"Maaf!"
Aku membalikkan badan dan langsung berlari, takut bila dia marah. Namun sesuatu yang lembut menghentikanku, Sofie menyentuh tangan kananku agar aku bisa berhenti.
"Ne, Sebastian." ucap Sofie berusaha menghentikanku. Tak tahu bagaimana ekpresi gadis ini, tapi aku yakin dia pasti marah.
Dengan wajah yang terasa berat aku menoleh "A-apa?" sahutku. Aku benar-benar merasa bersalah mungkin setelah ini aku berhenti menulis saja ah.
Saat aku menatap Sofie, dia tak terlihat marah satu pun malah justru sebaliknya. Dia tersenyum dengan sangat manis, orang sedingin Sofie baru saja tersenyum untukku.
"Maukah kamu menjadi temanku?" Dia tersenyum sangat riang tak seperti Sofie yang biasanya.
Aku mematung dan terdiam, tak tahu apa yang harus kulakukan.
Aku terdiam, lebih tepatnya kebingungan. Sofie gadis yang terkenal populer, tenang, dan dingin sekarang sedang tersenyum ke arahku bahkan memegang tangan kananku.
Untung saja situasi sedang sepi kalau tidak pasti banyak yang akan menatap cemburu. Aku bisa membayangkan tatapan cemburu mereka.
"Jadi bagaimana, Sebastian. Apakah kamu mau menjadi temanku?"
'Silau, senyuman itu terlalu silau, pipinya kini sedikit merona dan matanya agak bercahaya. Dia seperti tokoh komik yang biasanya aku baca'
"T-tentu saja kenapa tidak?"
Aku menjawab dengan sedikit terbata-bata, di jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma wangi dari rambut panjang milik Sofie. Hal ini sedikit membuat hatiku hampir copot.
"Horee!!"
Sofie sangat terlihat senang, dia melompat kegirangan layaknya anak kecil
'Tunggu, di mana sikap dingin yang biasanya kamu gambarkan? Sofie kamu bukan orang yang segirang itu kan?' pikirku
Aku merasa sangat aneh. Bagaimana bisa orang tenang sepertinya dia bersikap kegirangan layaknya anak kecil. Maksudku lihatlah, Sofie sekarang sedang tersenyum sambil melompat karena kegirangan.
Sofie seharusnya adalah orang yang tenang, cool, pendiam, dan siapapun akan hanyut karena prilaku itu. Oleh sebab itu dia sampai disebut "bunga yang tak bisa digapai"
Tapi, orang seperti itu sedang lompat kegirangan hanya karena aku menjadi teman dengannya. Siapapun tak ada yang menyangka kalau seorang yang dingin seperti Sofie bisa seceria ini.
Setelah melompat kegirangan Sofie berjalan ke arahku, dia sekali lagi mengelus tanganku dengan jari-jari yang lembut.
Dia melakukan elusan itu dengan senyuman di wajahnya.
"A-apa yang kamu lakukan, Sofie?"
Tak menjawab, Sofie masih mengelus tangan kananku kemudian dia menatap ke arahku dengan wajah sangat ceria.
"Sudah kuduga!"
"Hah?"
Aku sangat kebingungan, dia tiba-tiba mengatakan hal yang tak bisa kupahami. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini?
"Sebastian, kamu penulis kan?"
Aku menganguk berusaha melupakan Sofie yang masih memegang tanganku.
"Ya, seperti itulah."
"Wow hebat ya! Aku menyukai novel loh, biasanya apa yang kamu tulis? Apakah aku boleh membacanya lain kali? Ah aku suka cerita romance sih, kalau kamu pribadi bagaimana? Kalau lelaki pasti suka fantasi atau semacamnya?" Gadis ini terus mengoceh dan kegirangan.
Dia memberikan beberapa pernyataan tanpa henti dalam waktu singkat.
"...."
"Kenapa kamu diam saja?"
Aku menoleh ke arah lain. 'Itu karena senyumanmu terlalu silau' aku ingin mengatakan itu, tapi mana bisa seperti itu.
"....Tidak, aku cuma sedikit terkejut"
"mengapa kamu terkejut? Apakah aku melakukan sesuatu yang mengejutkanmu? Jika begitu, aku ingin meminta maaf, tetapi itu akan aneh untuk meminta maaf tanpa tahu alasannya." tanya Sofie, dia masih memang tangan dan tersenyum.
"Hah, lupakan tentang itu! Bisakah kamu melepaskan tanganmu?"
Aku tak mengatakan hal yang salah, seorang gadis populer tiba-tiba berprilaku seperti ini kepadaku siapapun pasti akan terkejut serta malu.
Tapi tampak ini juga berlaku bagi Sofie, seolah baru saja sadar sama yang dia lakukan. Sofie langsung tersipu malu dan melepaskan tanganku.
"M-maaf, ini karena kamu mencoba kabur, padahal aku belum selesai berbicara." Sofie melepaskan tanganku dia sedikit melangkah mundur.
"Jadi, bagaimana denganmu. Genre apa yang kamu suka? Fantasy? Romance? Dan juga aku ingin membaca buku yang kamu tulis!" Seolah lupa akan rasa malunya yang barusan Sofie kembali bertanya dengan senyuman lagi.
"Ya.... Aku lumayan suka dengan fantasy, tapi kalau harus ditanya aku akan lebih memilih Romance dan fantasy, kedua gabungan itu akan menghasilkan maha karya!"
Aku berbicara dengan lebih tenang sekarang dan mungkin kali ini sedikit bersemangat, karena sangat jarang aku memiliki teman yang mungkin satu frekuensi.
Jika dibilang aku juga seorang yang sedikit tenang walaupun tak separah Sofie yang hanya biasanya mengatakan "ya" dan "tidak" Setidaknya aku masih bisa bergaul normal dengan temanku. Tapi ini pertama kali seseorang sehobi denganku, tentu saja ini membuat sedikit bersemangat.
Sofie juga tampak terkejut dengan semangatku, dia tertawa kecil. "Sudah kuduga kamu memang menarik."
"Asal kamu tahu, sejak dulu aku sudah ingin berbicara seperti ini denganmu, tapi karena aku sedikit pemalu aku sedikit takut bila kamu orang yang susah didekati, tapi ternyata aku salah. Kamu orang yang menarik, jika bersama denganmu aku rasa aku bisa melakukan apapun tanpa cemas dan malu."
"Aku tak tahu apa alasannya, tapi saat aku bersamamu aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa harus malu." Sofie menjelaskan semuanya dengan panjang lebar.
"Sofie, kamu pemalu?"
"?"
"Apa tak terlihat seperti itu? Aku jarang berbicara karena sifat menyebalkan itu." Sofie memiringkan kepala tanda kebingungan.
"Jadi sifat tenang, dingin, dan pendiam itu hanya murni karena malu?" Aku syok. Ini fakta yang sangat mengejutkan.
Aku tak menyangka alasan seseorang seperti Sofie yang elegan, tenang, cool, dan menghanyutkan itu ternyata hanya karena malu. Aku dan semua orang berpikir bahwa Sofie memang memiliki sifat yang murni dari lahir, tapi ternyata salah.
Sofie menganguk, tapi dia terlihat sedikit terganggu ketika mendengar kata itu. "Aku tak terlalu suka dengan julukan itu, aku bisa seperti ini karena sifat menyedihkan ku. Aku ingin bisa seperti orang normal, tapi ketika aku denganmu aku bisa menjadi normal!"
"Aku tadi mengelus tanganmu untuk mengecek itu. Biasanya jika seseorang menatapku aku akan menjadi gugup, tapi sepertinya itu tak berlaku untukmu."
"Jujur saja saat kamu datang dan menatap aku yang membaca buku itu, aku sempat terkejut takut bila menjadi gugup, tapi aku tak menjadi cemas saat bersamamu."
...********...
'Ini sedikit aneh? Jika ini adalah novel maka plot ini adalah cerita dimana Sofie memiliki keterkaitan kepadaku, tapi ini bukan novel. Mana mungkin gadis populer memiliki perasaan terhadapku.' pikir Sebastian, pemuda itu sedikit kebingungan.
Tapi, dia menggelengkan kepala agar pikiran itu hilang, dia kembali menatap Sofie yang masih tersenyum. Dia mencoba untuk bertanya langsung ke Sofie.
"Kenapa kamu bisa tenang saat bersamaku?" tanya Sebastian.
Hanya satu kalimat yang normal, tapi Sofie bisa merasakan pipinya telah menjadi hangat hanya karena pertanyaan seperti itu. Dia memalingkan wajahnya dari Sebastian.
"Mungkin ini karena aku pernah bertemu denganmu sebelumnya?" Sofie berusaha menebak, tapi tak terlalu yakin.
Sebastian sedikit terkejut, pernah bertemu? Dia sangat yakin pertemuan dengan Sofie baru saja tahun ke tiga ini yaitu saat kelas 3 sekarang.
Sekolah Sebastian selalu berganti kelas ketika naik kelas, jadi bisa dikatakan bahwa sebelumnya Sebastian tak pernah bertemu langsung dengan Sofie. Dia hanya mendengar kabar angin.
Tapi gadis ini berkata bahwa dia pernah bertemu, tentu saja itu membuatnya terdiam dan kebingungan.
"Kita pernah bertemu? Maaf, tapi sepertinya kamu salah orang. Maksudku aku tak ingat pernah bertemu denganmu."
"....."
"Jadi begitu, kamu sudah lupa ya? Yah, wajar saja itu sudah sangat lama." Gumam Sofie.
Tapi itu tak sampai ke Sebastian, dia tak bisa mendengar Sofie dengan lebih jelas.
"Apa yang kamu katakan?" tanya Sebastian.
Sofie melirik dengan mata malas, dia menghela napas. Mungkin dia sedikit syok karena Sebastian melupakannya.
"Bukan apa-apa mungkin aku hanya salah orang. Karena orang yang kumaksud sangat keren, setelah dipikirkan lagi itu pasti bukan Sebastian. Aku sangat bodoh!"
Sofie terlihat sangat cemberut, pipinya yang merah mengembung. Dia marah karena si Sebastian lupa akan dirinya di masa lalu.
Orang yang dimaksud Sofie tak lain lagi adalah Sebastian, tapi Sofie menolak untuk mengatakan hal ini. Dia berpikir bahwa terlalu cepat untuk membahasnya. Jadi dia menyimpan masa lalu itu untuk diri sendiri, setidaknya untuk sekarang.
"...."
"Maaf ya kalau aku bukan orang keren. Pasti kamu kecewakan, orang biasa sepertiku ini memang menyedihkan."
"Itu benar, kamu menyedihkan! Tak keren!"
'Bisa-bisa lupa akan hari itu, kamu benar-benar yang terburuk.' Sofie sangat ingin mengatakan itu, tapi tertahan di hatinya.
Sofie sedang sangat cemberut dan pipinya sedikit mengembung, mungkin masih marah karena Sebastian tak ingat akan hari itu.
Sedangkan orang yang dimaksud malah celingak-celinguk menatap ke segala arah seperti orang hilang dan memastikan tak ada orang. Setelah itu dia tertawa kecil.
Dia mengelus kepala Sofie dengan sangat halus dan tersenyum menatapnya.
"Maaf, jangan marah seperti itu."
Sofie makin cemberut tak bisa menerima fakta bahwa orang yang membuatnya emosi sedang mengelus kepala dan dia menikmati itu. Dia menepis tangan dengan kasar dan memalingkan wajah.
"Jangan sentuh aku seperti anak kucing!" katanya dengan cemberut.
"Hahaha, maaf."
Sebastian, orang ini sekali lagi tertawa tanpa dosa,pemuda bodoh ini bahkan masih mengira bahwa orang yang dimaksud Sofie bukan dirinya.
Pipi Sofie makin mengembung tanda dia sangat marah, tapi itu malah membuat Sofie makin imut. Sebastian tak bisa menahan diri untuk tak mengelus kepala Sofie.
Dia sekali lagi membelai rambut indah milik Sofie dan meminta maaf, kali ini Sofie tak cemberut lagi dan menganggukan kepala.
"Tapi, aku masih tak menyangka kalau kamu orang yang pemalu.. Habisnya, pfft~ orang pemalu tak mungkin bicara panjang lebar seperti tadi kan? Apakah kamu punya alasan lain telah menjadi pendiam seperti itu?"
Sebastian bertanya dan tersenyum, dia hanya sedikit bercanda. Karena tak mungkin gadis populer seperti Sofie punya hal yang tragis.
Karena bagi Sebastian, dia orang beruntung. Tak seperti dirinya yang menyedihkan dan memiliki masa lalu yang ingin dilupakan.
Sebastian pernah dikhianati oleh orang-orang, dia terlalu mudah percaya dengan orang lain hingga sangat mudah diperdaya.
"Ya, aku punya alasan." Dengan nada ragu Sofie menjawab pertanyaan dari Sebastian. Dari ekspresi serius Sebastian tahu, bahwa Sofie tak bercanda.
Sofie terlihat sedikit lebih tenang kembali ke dirinya yang dingin seperti awalnya, Sebastian sedikit risih dengan sifat itu. Mungkin dia terlanjur nyaman akan sifat ceria milik.
"Ne, Sebastian. Apa menurutmu menjadi populer itu menyenangkan?" Gadis menundukkan kepala, tampak sedikit murung dari biasanya.
"Tentu saja, kenapa tidak?" Spontan Sebastian menjawab pertanyaan dari Sofie, namun jawaban itu malah membuat Sofie mencibirkan bibir.
"Tidak! Menjadi populer itu merepotkan."
"Menjadi Populer itu merepotkan." ucap Sofie, dia kini memegang baju Sebastian dengan erat seolah takut dengan sesuatu.
Sebastian menyadari bahwa Sofie sedikit ketakutan, dia berhenti menganggap ini candaan dan mulai menatap serius ke arah Sofie.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
Sofie masih terdiam seolah takut akan sesuatu, dia mencengkram baju milik Sebastian dengan erat, seolah berharap rasa takut itu menghilang.
Setelah beberapa menit, Sofie menghirup napas dan menatap Sebastian, tapi tatapan itu bukan wajah ceria seperti sebelumnya.
Dengan cepat Sofie sekali lagi berubah ke mode dinginnya.
"Jawabannya sederhana, apa kamu tahu perasaan terlalu di idolakan?"
"Tidak, pada dasarnya orang-orang bahkan tak tahu namaku."
"Huh," Sofie menghala napas kasar dan melepaskan tangannya dari baju Sebastian.
Sofie menatap Sebastian, dia mulai menceritakan beberapa cerita masa lalunya.
...-------------...
Auliana Sofie, sejak kecil dia telah diberkahi dengan wajah bak model. Dia sudah cantik, putih, dan dengan mudah memikat orang-orang.
Tapi apakah, dia menikmati kehidupannya sebagai orang yang dikelilingi oleh rasa kagum?
Jawabannya adalah tidak. Kecantikan Auliana Sofie terlalu terang, semua orang selalu memujinya dan menginginkan dia.
Pada saat sekolah Dasar Auliana Sofie pernah diundang oleh beberapa orang untuk menjadi idol, atau semacamnya. Namun Sofie menolak itu dengan keras.
"Aku tak ingin jadi populer, aku hanya ingin hidup normal." Seperti itulah yang dia katakan sebagai alasan.
Bukan berarti Sofie benci anugrah dari Tuhan dan tak bersyukur, Auliana Sofie hanya menganggap bahwa ini adalah pembawa mala petaka.
Karena wajah ini, dia mendapatkan banyak rasa cemburu dari para warga, meskipun banyak yang mengidolakan Sofie, namun tentu saja banyak juga yang membencinya. Itulah kenyataan sosial, mau sebaik apapun seseorang, pasti tetap ada yang membencinya.
Dan Sofie tahu fakta itu saat dia masih SMP, lebih tepatnya saat dia masih kelas 8.
Saat itu kehidupan Sofie yang tentram dan menyenangkan perlahan berubah. Dirinya yang telah bertambah dewasa tentu saja membuat beberapa orang jahat melirik kearahnya banyak tindakan kejahatan yang menanti.
Sofie juga pernah dituduh oleh temannya dengan sebutan pelac*r hanya karena, pacar dari temannya menyukai dia.
Sofie sebenarnya telah berusaha menolak cinta dan menjauhi pacar itu, tapi pacar dari temannya sangat keras kepala.
Dia terus membuntuti dan mengejarnya, hal ini sedikit membuat Sofie ketakutan. Untuk pertama kalinya Sofie takut dengan wajah cantik itu sendiri.
Itu pertama kalinya Sofie diikuti oleh seseorang, banyak mata genit menatap ke arahnya, banyak orang menembaknya, banyak orang yang berusaha mendekati hanya untuk memanfaatkan paras dari Sofie, mereka memanfaatkan Sofie agar bisa mengenal cowok yang lebih keren.
Pada usia itu Sofie menyadari tenang fake people.
Dia juga kehilangan teman dekat karena sebagian temannya iri karena dia punya banyak lelaki yang menyukainya, para pacar dari temannya juga perlahan selingkuh. Dan setelah itu Sofie akhirnya sadar bahwa temannya perlahan berjalan menjauh dan hilang.
Beruntungnya Sofie masih punya teman setia di sisi dia. Teman Sofie yang setia itu bernama Zila Yahla putri. Atau sering disebut Zila.
Zila masih mau dekat dengan Sofie walaupun Setelah peristiwa itu Sofie sudah mulai tak seperti biasa.
Dia sudah tak tertawa dan menjadi orang yang dingin, namun Zila sadar apapun itu Sofie tetaplah Sofie. Tak akan berubah.
Hingga akhirnya Sofie telah menginjakan kaki di SMA, dan itu sama saja tak berubah. Banyak lelaki yang mendekatinya banyak perempuan munafik yang mencoba dekat dengannya hanya agar bisa mempunyai lelaki yang lebih baik.
Sifat Sofie perlahan menjadi berubah dingin, pendiam, dan tenang. Disamping itu Sofie memang pemalu itu tak akan berubah, tapi dia sudah bosan dengan semuanya.Sofie sudah menyerah dengan hubungan masyarakat.
Selama dua tahun dia di SMA tak ada perubahan, Sofie justru menjadi makin buruk, Sofie menjadi takut akan mata orang. Mata yang menghakimi dan menjauhinya, mata yang melihat dengan nafsu bejad itu semua ada di otak Sofie.
Di kelas ketiga hampir sama, Sofie sudah menerima berbagai penyataan cinta bahkan sudah tak terhitung berapa jumlahnya, Sofie juga sadar bahwa orang-orang hanya ingin bersama dengannya karena paras yang cantik dia yakin kalau dia tak terlahir cantik mungkin semua orang menjauhinya.
Hingga akhirnya dia mengenal Sebastian, tidak lebih tepatnya bertemu dengannya lagi. Meskipun Sebastian lupa akan pertemuan pertama kali dengan Sofie, namun gadis ini tak mungkin lupa dengannya.
Mungkin Sebastian agak sedikit berbeda, tapi Sofie sangat kenal dengan Sebastian.
Sebastian sangat berbeda dengan pria lain, dia tak pernah berusaha menembaknya, dan mendekatinya dia bahkan tampak tak terlalu mengidolakan dirinya.
Hal ini menunjukkan bahwa Sebastian tak pernah melihat Sofie dari parasnya. Itulah yang dia pikirkan.
Sofie makin tertarik dengan Sebastian, tak ada hari yang terlewat ketika tak memikirkannya, dia sangat ingin mendekati Sebastian bahkan dia menghabiskan banyak uang agar tampak menarik di depan Sebastian walaupun Sebastian masih tak menatapnya, namun fakta itu makin membuat Sofie senang, artinya Sebastian memang tak melihat dia dari parasnya.
Tapi bagaimana bila dia tak menerimanya seperti orang lain? Bagaimana kalau Sebastian sama saja? Pemikiran itulah yang membuat Sofie berhenti melangkah untuk mendekat.
Waktu telah berlalu berbulan-bulan, dia mulai menyerah untuk mengejar Sebastian, dia takut bila Sebastian sendiri membencinya
Hingga hari ini Sofie akhirnya menemukan buku milik Sebastian, di lacinya.
"Bukankah ini milik Sebastian?" Dia bertanya sendiri di kelas.
Karena penasaran Sofie membuka buku itu dan membaca, hingga selesai. Dia dibuat tersipu malu, dia tak menyangka Sebastian tahu banyak hal tentangnya.
"Tunggu dari mana dia tahu hal tentangku sebanyak ini?" Pipi Sofie makin memerah jantung terus berdetak.
Ini mungkin menakutkan bila dilihat dari sudut pandang orang lain, tapi Sofie justru senang. Setidaknya Sebastian orang yang dia anggap berbeda tahu tentangnya.
Harapan muncul sedikit demi sedikit, dia percaya bahwa Sebastian dan dia bisa dekat.
Tap!
Tap!
Seseorang menaiki tangga, Sofie sedikit gugup karena menyadari seseorang datang.
'Apa ada orang yang mau datang?'
'Duh apa yang harus kulakukan? Aku takut.'
Sekarang Sofie jadi sangat takut, dia lebih tepatnya takut dengan mata pria. Banyak sekali para pria yang menatap genit kearahnya, menggoda dia, menembaknya, Sofie sedikit demi sedikit mulai marah dan jengkel. Bahkan pernah ada yang hampir menyentuh aset pentingnya.
Semua itu membuat Sofie hampir gila, siapapun akan takut setelah mengalami peristiwa itu.
Sekarang Sofie takut, dia gemeteran. Di sore hari yang sepi, dia bisa saja bertemu pria yang memiliki niat buruk seperti hari itu.
Tapi pikiran hanyalah pikiran negatif, dia bertemu dengan Sebastian dan bertatap muka untuk beberapa detik.
Sofie tersenyum manis, walaupun pria mendekatinya, tapi dia tak mengalami rasa takut satupun terhadap Sebastian, dia merasa bahwa Sebastian adalah orang spesial yang memang datang untuk merubah hidup menyedihkannya.
Dia tersenyum dan melangkah mendekati Sebastian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!