Jika mencapai pernikahan saja sudah bisa dikatakan sebagai akhir yang sempurna. Maka tidak akan ada istilah mempertahankan pernikahan lebih sulit dari memulainya.
Mikaya pikir ketika dia sudah menjadi istri Andovi, memiliki buah hati pertama mereka yang lucu dan memperoleh cinta sepenuhnya dari laki-laki itu sudah menjadi akhir yang bahagia. Nyatanya, banyak sekali rahasia yang Andovi simpan darinya, yang laki-laki itu tidak mau istrinya tahu.
Kemudian ada seorang wanita yang justru lebih tahu tentang dirinya di banding Mikaya sebagai istri, membuat Mikaya berpikir kembali tentang akhir sempurna yang dia pikirkan sebelumnya.
Mikaya kembali berusaha memahami laki-laki itu dengan kesabaran yang ekstra. Kembali berusaha untuk mendapatkan kepercayaannya tentang banyak hal dengan hati-hati agar tidak melukai siapa pun dan mengundang pertikaian di dalam keluarganya.
Tapi bagaimana jika Mikaya sudah sampai pada titik paling lelah dalam hidupnya tapi Andovi masih tidak bisa mempercayakan banyak rahasia padanya? Mikaya merasa bahwa cinta Andovi padanya perlu dipertanyakan lagi.
Mikaya mulai berpikir apakah dicantumkan sebagai seorang istri hanya sebatas mengurus rumah tangga dan anak saja?
Apakah dirinya di hati Andovi sudah terganti? Andovi pernah berkata bahwa dia tidak akan menyakiti Mikaya. Pada kenyataannya Mikaya terluka karena segala hal yang laki-laki itu tutupi.
Mikaya terluka dengan semua keegoisan yang laki-laki itu simpan dengan alasan pekerjaan. Kemudian Mikaya mulai berpikir, apakah dia bisa mempertahankan pernikahan dimana didalamnya tidak ada rasa saling percaya? Bahkan Mikaya sudah mulai merasa jika dia tidak lagi menarik sebagai istri bagi suaminya.
***
Pov Andovi.
Aku merasa akhir-akhir ini Mikaya berubah drastis semenjak dia melahirkan putra pertama kami. Dia terlihat acuh tak acuh, bahkan lebih mementingkan putra kami di banding aku suaminya.
Ya, aku tidak berhak cemburu karena itu anakku. Hanya saja perhatian Mikaya yang berkurang, membuatnya kini berpikir jika Mikaya tidak lagi memiliki waktu untuknya.
Kesibukan Mikaya dalam mengurus bayi dan rumah membuat penampilan Mikaya terlihat seperti emak-emak yang berusia empat puluh tahunan. Wajah, badan, maupun penampilan yang tidak lagi terurus membuatku kurang betah tinggal di rumah.
Aku harus berpikir berulang kali dengan pernyataan jika aku bahagia atas pernikahan ini. Karena belum genap dua tahun pernikahan saja membuatku sudah mulai bosan dan pernah terlintas di benakku untuk mengakhiri semua ini.
Mikaya juga akhir-akhir ini sensitif sekali, dia kerap kali emosi dan sedikit cerewet. Padahal dulu dia tidak seperti itu. Setiap pulang kerja, aku selalu di sambut hangat oleh senyumnya. Tapi sekarang, sudah tidak lagi. Pulang kerja, aku justru di suguhkan oleh rumah yang berantakan, meja makan tanpa makanan, terkadang putra yang rewel terus menangis tanpa bisa di tenangkan. Jika tidak begitu, maka aku menemukan mereka sudah tertidur pulas.
"Oekk .. Oekk .."
Suara tangisan bayi jam dua dini hari membuat Andovi merasa terganggu akan hal itu. Padahal bayi itu merupakan putranya sendiri. Akan tetapi, karena dia lelah dan harus bangun lebih awal karena ada meeting dadakan membuatnya kesal dan merasa terganggu akan suara itu.
Andovi bangun dan mendapati Mikaya bisa bisanya tertidur pulas di saat bayinya sedang menangis. Dia segera membangunkan istrinya.
"Shtt .. Bangun .. Afgari nangis terus dari tadi .. Shttt .. Banguuunn .." Andovi mengguncangkan tubuh Mikaya agar wanita itu bangun.
Mikaya pun bangun dan kaget mendapati Afgari tengah menangis. Dia spontan mencari botol susu karena Afgari haus.
_Bersambung_
Andovi bangun dan mendapati Mikaya bisa bisanya tertidur pulas di saat bayinya sedang menangis. Dia segera membangunkan istrinya.
"Shtt .. Bangun .. Afgari nangis terus dari tadi .. Shttt .. Banguuunn .." Andovi mengguncangkan tubuh Mikaya agar wanita itu bangun.
Mikaya pun bangun dan kaget mendapati Afgari tengah menangis. Dia spontan mencari botol susu karena Afgari haus.
"Mas, kamu jagain Afgari sebentar, ya. Aku mau cuci botol susu dulu."
Andovi berdecak. Jujur ia ngantuk sekali.
"Iya, cepetan."
Mikaya bergegas keluar kamar untuk mencuci kelima botol susunya yang kotor. Biasanya Afgari hanya minum susu tiga sampai empat kali dalam semalam. Tapi malam ini sudah lima kali dan masih haus.
Andovi berusaha menangkan Afgari, akan tetapi tangis Afgari kian mengeras.
"Ayolah Afgari .. Kamu bisa diem gak, sih? Sabar, ibu kamu lagi cuci dulu botol susunya. Udah ya nangis nya."
Alih-alih tenang, tangisan Afgari lebih keras lagi karena sudah tidak sabar untuk minum susu. Bayi berusia lima bulan itu membuat Andovi ingin mengumpat dan memakinya.
Lima menit yang terasa sangat lama, akhirnya Mikaya kembali. Wanita itu mulai membuat susu dengan kecepatan ekstra.
"Lama banget, sih! Anak kamu udah gak sabar tuh mau minum susu," ucap Andovi merasa kesal.
"Iya, mas. Sabar. Ini aku juga udah cepet, kok."
"Anak kamu tuh yang gak sabaran. Bisanya cuma nangis. Gak tahu apa kalau aku itu besok harus bangun pagi ada meeting penting. Malam-malam nangis kejer kayak orang di gebukin aja. Emaknya malah enak-enakan tidur sampe gak denger anaknya nangis."
Andovi terus saja menggerutu. Akhirnya Mikaya ikut kesal juga.
"Anak aku itu anak kamu juga, mas. Bisa bisanya kamu bilang kayak gitu sama anak kita. Kamu pikir yang ngantuk cuma kamu aja apa? Aku juga. Aku baru tidur setengah jam lalu. Enak aja kamu bilang aku enak-enakan tidur. Kamu pikir aku gak capek apa ngurusin Afgari? Selama Afgari lahir, kamu pernah gak semalam aja full gadang buat jagain dia? Pernah gak? Tiap hari kamu alasan meeting aja terus."
Mendengar Mikaya mulai berani padanya bicara demikian, Andovi kian marah.
"Terus kamu maunya apa, hah? Kamu pikir aku gak cape juga kerja tiap hari buat biaya hidup kita? Buat beli susu mahal Afgari yang cukup menguras dompet?"
"Seenggaknya gantian lah, mas. Aku juga capek seharian harus ngerjain rumah. Belum lagi harus ngurusin anak kita."
"Jadi kamu itung-itungan sekarang? Ngurus anak sendiri aja kamu ngeluh. Kamu maunya kita punya baby sitter gitu? Biar kamu bisa enak-enakan leha-leha santai-santai di rumah sementara suaminya kerja keras banting tulang buat nafkahin keluarga."
"Bukan gitu juga, mas."
"Ya terus apa!?"
Nada tinggi Andovi membuat Afgari yang sudah berhenti nangis dan tengah minum susu kini kembali menangis. Akhirnya Mikaya memilih mengalah dan diam agar Afgari bisa tidur lagi.
Sementara dirinya menunggu Afgari sampai tidur lagi, Andovi ikut melanjutkan tidur. Ada perasaan kesal dan hatinya luka mendapati sikap Andovi barusan. Bagi Mikaya, Andovi egois. Seakan-akan mengurus putra mereka merupakan kewajiban sendiri untuknya.
Mikaya berharap, secapek dan selelah apapun Andovi, sebagai seorang ayah seharusnya menjalankan peran sebagaimana mestinya. Setidaknya mengajak Afgari main sebentar, paling tidak ikut bangun dan menunggu di saat Afgari terbangun sampai Afgari tidur lagi.
Tapi sayang, ternyata rumah tangga tidak seperti yang mereka bayangkan semasa masih pacaran. Ini justru seperti mimpi buruk yang terasa begitu nyata.
_Bersambung_
Sebelum Afgari bangun, Mikaya harus sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah beserta membuat sarapan untuk suaminya. Tidak mudah, akan tetapi sebagai seorang istri Mikaya berusaha memenuhi tugas tersebut.
Bagi Mikaya, tugas rumah bukanlah suatu kewajiban istri. Melainkan semua itu harus di lakukan berdua bersama suami. Sebab bagaimanapun, kodrat seorang wanita itu hanya haid, melahirkan dan menyusui. Di luar itu, seharusnya tugas rumah di kerjakan oleh suami. Hanya saja, karena sebagai istri patuh terhadap suami, akhirnya istri lah yang mengerjakan tugas rumah tersebut.
Meski demikian, seorang suami harusnya tidak membiarkan istri untuk mengurus tugas rumah sendiri. Dalam keadaan secapek apapun, suami harus ikut serta membantu. Terlebih mengurus anak, karena itu sudah menjadi kewajiban berdua.
Mikaya pikir, kehadiran Afgari sang buah hati akan semakin mempererat hubungan mereka sebagai suami istri. Namun itu semua terjadi di luar dugaannya. Andovi justru malah berubah seratus delapan puluh derajat, bahkan dia bersikap seolah-olah tidak menginginkan kehadiran Afgari.
Setelah semua pekerjaan selesai termasuk menyiapkan sarapan, Andovi datang ke arah meja makan dan di sambut hangat oleh Mikaya.
"Pagi, mas. Aku udah buatin sarapan untuk kamu. Kamu sarapan dulu, ya."
"Gak usah sok baik," sahut pria itu ketus.
Mikaya sampai kaget dengar jawaban suaminya, mungkin pria itu masih kesal soal perdebatan kecilnya semalam.
Tak ingin menimbulkan perdebatan lagi, Mikaya berusaha menjaga sikap dan ia memilih untuk tidak mempermasalahkan itu.
Mikaya ikut duduk di kursi sebrang yang berhadapan dengan suaminya. Sementara Andovi mulai menikmati roti sandwich dengan sosis di dalamnya.
Mikaya rasa, ini waktu yang tepat untuk ia meminta maaf atas kejadian semalam. Jujur semalam ia terbawa emosi karena lelah menjaga Afgari seharian, belum lagi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.
"Mas, aku-" Belum sempat Mikaya mengatakan permintaan maafnya, akan tetapi sudah di stop oleh Andovi lantaran ponsel pria itu berdering.
"Halo, Mira. Kenapa?" Andovi menjawab telepon tersebut.
"Ah baiklah, saya berangkat sekarang."
Andovi tampak terburu-buru usai menerima telepon dari seseorang. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan pada istrinya.
"Mas, sarapannya belum habis!" Mikaya berusaha mencegah suaminya, akan tetapi pria itu seolah tidak memperdulikan panggilannya.
Mikaya hanya bisa menghela napas. Mikaya seolah tidak lagi mengenali pria itu, dia bukan lagi Andovi yang ia kenal. Andovi terasa seperti pria asing baginya.
Mikaya duduk kembali. Dia tertegun sejenak.
"Mira?" gumamnya mengingat nama yang sempat Andovi sebut barusan.
"Siapa Mira?" pikir Mikaya.
Entah kenapa, perasaannya mulai berubah tidak enak. Ia memang tidak tahu betul siapa wanita itu sebenarnya. Akan tetapi ada rasa takut yang terbesit di pikirannya.
"Aku harap dia hanya rekan kerja mas Andovi saja, bukan seseorang yang membuat sikap Andovi jadi seperti ini."
Mikaya tampak sedikit gelisah. Ia harus mempertanyakan siapa Mira pada suaminya nanti setelah dia pulang dari kantor.
Lamunan Mikaya buyar seketika, pada saat ia mendengar suara tangisan Afgari dari kamar. Bayi berusia lima bulan itu sudah bangun. Mikaya bergegas pergi guna menghampiri putra kecilnya.
Mikaya langsung membuatkan susu ketika Afgari bangun, memberi susu seraya menggendong Afgari. Pikirannya masih saja tertuju pada nama wanita yang tadi sempat di sebut-sebut oleh suaminya. Bagaimanapun caranya ia harus tahu siapa itu Mira.
_Bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!