NovelToon NovelToon

Jangan Sebut Aku Pelakor

Bab 1

"Zoya, menikahlah dengan Mas Leo!" Wanita dengan mata berkaca-kaca itu menggenggam tangan temannya. 

"Hey, ini tidak lucu! Tiba-tiba minta ketemu tahunya cuma bikin prank. Aku tahu Minggu kemarin kamu lupa kasih aku hadiah ulang tahun, kan!" Terkekeh dan menggeleng pelan. 

"Lihatlah, apa aku terlihat sedang bercanda?"

Zoya menatap wajah sendu itu lekat-lekat. Mendadak jadi tak enak hati. "Sebenarnya kamu kenapa, Carissa?"

Perempuan berambut panjang bergelombang itu tertunduk. "Aku sedang sekarat. Entah berapa bulan lagi aku bisa bertahan. Aku terkena kanker otak."

Zoya melebarkan mata tapi belum bisa berkata-kata. Ini adalah kabar yang mengejutkan dan teramat buruk. Dia harap ini beneran prank.

"Untuk itulah aku ingin kamu menikah dengan suamiku. Aku tidak akan terlalu khawatir meninggalkannya nanti jika sudah ada kamu. Mas Leo tidak akan terlalu hancur karena masih ada istrinya yang lain." 

"Kamu gila, Rissa! Otakmu error karena terlalu banyak nonton sinetron istri tersakiti."

Carissa menatapnya tajam meski pandangan mata terhalang cairan memuakkan. "Aku sangat serius! Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Tiap hari selama seminggu aku memikirkan ini. Mempersiapkan dan meyakinkan diriku untuk mengatakannya padamu. Waktu semakin berkurang, aku tidak mau menunda lagi." Menyusut kasar kedua pipinya secara bersamaan kemudian membuang muka. 

"Aku rasa kamu tidak akan pernah siap berbagi suami. Siapa juga wanita bodoh yang mau dimadu apalagi dengan sahabat sendiri! Dan aku tidak mau jadi istri kedua. Dengar, meski Leo bukan suamimu dan masih single, aku tetap tidak mau menikah dengan pria sombong sepertinya. Riss, fokus saja dengan kesehatanmu dan jangan riweuh mencari istri baru untuk Leo! Keajaiban itu selalu ada. Lupakan ide konyolmu itu karena aku tidak akan pernah bersedia jadi madumu. Itu sangat menjijikkan, tahu!" Zoya menahan matanya agar tidak mengeluarkan bulir bening. Mengerjap-ngerjap seraya mengulas senyum lebar berharap bisa menenangkan keresahan Carissa. 

"Aku mohon, bantu aku untuk kali ini saja! Aku sangat mencintai Mas Leo. Jangan sampai dia kehilangan semangat hidup setelah nanti aku pergi."

Zoya melotot setengah membentak, "Riss, aku benci kamu mengatakan ini terus. Aku bilang lupakan dan fokus dengan kesehatan! Aku yakin kamu akan sembuh dan hidup bahagia dengan suamimu sampai kalian punya banyak cucu. Bertahanlah demi aku!" Memegang kedua pundak, tatapannya melunak.

"Menikahlah dengan suamiku!"

**

Pria dengan wajah lelah memasuki kamar. Berulang kali memanggil nama seseorang tapi tak ada sahutan. Menggerakkan mata liar ke seluruh ruangan tapi sosok indah yang membuatnya kembali bersemangat, tak muncul juga. 

"Carissa ke mana?" gumamnya berdiri termenung dengan sebelah tangan mencengkram pinggang. Tidak biasanya sang istri pergi tanpa pamit. 

Melonggarkan dasi dan mengempaskan bokong di tepian kasur. Mengotak-atik ponsel dan menunggu beberapa saat hingga akhirnya telepon terhubung.

"Maaf, Mas. Malam ini aku tidur di rumah Zoya. Tadinya mau pulang tapi dia sedang demam. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian."

"Kamu sekarang di rumah gadis urakan itu? Aku pernah bilang jangan terlalu dekat dengan Zoya. Dia itu bukan gadis baik-baik. Dia bisa memberi pengaruh buruk untukmu."

"Mas, please …! Zoya itu sebenarnya baik. Dia satu-satunya yang tulus berteman denganku. Aku sangat tahu karakternya seperti apa. Jangan menilai orang dari luarnya saja, Mas. Bayangkan, ada temanmu yang sakit dan tidak ada yang menemani. Apa kamu tega meninggalkannya sendirian?"

Leo mengusap wajahnya lalu mengembuskan napas berat. "Oke. Nanti pagi-pagi aku jemput ke sana. Bilang sama dia supaya jaga kesehatan biar tidak menyusahkan orang lain!"

"Mas …, jangan begitu! Siapa juga yang mau sakit, sih? Semua orang juga inginnya selalu sehat dan bugar, berumur panjang dan bahagia dengan keluarganya. Tapi kalau Tuhan berkata lain, apa boleh buat selain pasrah?" Suara lembut Carissa berubah meninggi dan agak bergetar. 

"Sayang, maaf. Hey, jangan sedih begitu! Kenapa kamu jadi sensitif sekali? Iya, aku izinkan kamu tidur di sana tapi jangan begadang karena sibuk merawat Zoya! Kamu sudah makan?"

"Sudah, Mas. Ehm, maaf. Malam ini kamu makan masakannya Bik Tuti saja karena aku belum sempat masak."

"Never mind! Kamu lekas istirahat, ya!"

"Mas juga. Aku sayang kamu, Mas Leo."

Sejenak pria itu tertegun. Tidak biasanya Carissa mengatakan itu duluan. Tapi tentunya dia senang. Ah, apa ini sebagai imbalan karena dia mengizinkan istrinya menginap? Not bad.

"Aku lebih sayang kamu, Carissa!"

Di tempat lain.

Perempuan berambut panjang itu terisak setelah sambungan telepon terputus. Ini sebenarnya berat, tidak ada perempuan yang benar-benar rela berbagi suami. Tapi Carissa sanggup menahan sakit hatinya demi kebahagiaan Leo. Terdengar bodoh dan konyol bagi hampir semua orang, tapi tidak baginya. Inilah tingkatan cinta paling tinggi. Berkorban demi yang dicintai.

"Riss, kamu belum tidur?" Suara dari kamar sebelah yang merupakan ruangan khusus melukis. "Jangan nangis terus! Cepat istirahat! Aku masih lama selesainya. Jadi, tidur saja duluan!"

"Aku belum ngantuk, Zoya."

Si gadis berambut dicepol tertegun sejenak sebelum kembali menyesap nikotin. Sebelah tangannya mencoret-coret kanvas. "Dengarkan aku! Buang jauh-jauh ide gilamu tentang poligami! Suamimu itu sangat bucin. Harusnya kamu jaga baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan wanita lain. Ini malah mau dikasih secara cuma-cuma. Konyol! Nanti kamu yang akan menyesal."

"Aku tidak bisa pergi dengan tenang jika Mas Leo belum menikah denganmu."

"Ckkk, astaga! Kalau saja kamu itu bukan sahabatku, ingin sekali aku merendam kepalamu di ember penuh deterjen, biar bersih dari hal-hal gila." 

"Aku sadar mengatakan ini, Zo. Tidak bisakah kamu mengabulkan permintaanku?"

"Aku tidak mau dengar, diamlah! Pergi tidur! Kamu malah mengganggu konsentrasiku."

Carissa malah terkekeh, sudah biasa kena omel. "Pikirkan lagi rencanaku itu. Aku sangat berharap sama kamu, Zo."

"Tidak akan! Cepat tidur kalau tidak mau kuusir!"

"Silakan saja kalau kamu berani melakukannya!"

"Setidaknya, jangan bahas itu lagi kalau kamu masih ingin ngobrol! Ngeri, tahu!"

"Zo, kamu itu cewek normal, kan? Kenapa tidak mau menikah dengan Mas Leo? Dia itu ganteng dan tampan. Aku yakin banyak yang tergila-gila padanya. Kenapa kamu malah nolak?" Berdenyut nyeri di dada saat Carissa mengatakannya. 

Zoya bangkit lalu berdiri di ambang pintu kamar. "Dasar konyol! Mana ada istri yang mempromosikan suaminya sendiri. Dengar, aku tidak akan pernah mau menikah dengan Mas Leo-mu itu! Bukan berarti aku tidak normal dan suka sesama apem. Riss, aku tidak mau merusak kebahagiaanmu. Selain itu, aku sudah bilang kalau aku tidak suka dengan si Leo yang judes itu."

Carissa menoleh penuh harap. "Zo, pilih menikah dengan Mas Leo atau kamu lebih suka aku pergi jauh?"

Bab 2

"Zo, bisa buka pintunya? Aku lagi nanggung masak takut gosong," teriak Carissa yang sibuk di dapur. 

"Ehm … iya!" Menggeliat lalu menguap, menyibak selimut kemudian turun dari ranjang. Zoya dengan mata bantalnya melangkah malas meninggalkan kamar. Garuk-garuk rambut lalu membuka pintu. 

"Mana Carissa?" Pria berjas biru tua menatap tajam. Reflek menutup hidung dengan tangan saat gadis di depannya menguap lebar tanpa ditutup. 

"Rissa ada di dapur, masuk saja!" Zoya menjawab dengan malas. 

Leo menggeleng tak habis pikir. Gadis berambut mirip singa itu benar-benar paket komplit. Sudah wajahnya pas-pasan, penampilan urakan, juga tak sopan. Satu lagi, jorok!

"Sayang, kamu sedang apa?" Bernada kesal Leo menemukan bidadarinya mematikan kompor. 

Carissa menoleh sesaat kemudian mengambil wadah untuk bakwan. "Masak buat sarapan." Senyum wanita itu tidak sanggup menurunkan tingkat kekesalan Leo.

"Dia enak-enakan baru bangun tidur sementara kamu sibuk di dapur. Kamu itu bukan pembantunya Zoya!"

Carissa masih dengan senyum menanggapi suaminya. "Ini inisiatif aku sendiri, Zoya tidak pernah nyuruh-nyuruh aku." Dengan santai menata makanan ke atas meja kayu kemudian membuka celemek dan membasuh tangan di wastafel. 

"Ini terakhir kalinya kamu ada di sini. Aku tidak mau --"

"Mas duduklah! Kita makan bareng," potong Carissa menepuk kursi di sebelahnya. 

Zoya mengelap wajah dengan handuk kecil yang ditaruh di pundaknya. "Wahhh, ada bakwan. Enak nih!" Mencomot gorengan dan duduk dengan posisi kaki dinaikkan ke kursi sedangkan punggungnya bersandar santai.

Leo melempar tatapan runcing yang tidak dipedulikan Zoya, sudah biasa! 

"Mas, mau nasi goreng?" tawar Carissa. 

"Sedikit saja. Jangan tambah gorengan!"

Carissa menurut kemudian mengambil bakwan untuk dirinya sendiri. 

"Sayang, jangan makan gorengan! Itu makanan yang tidak sehat."

"Tapi aku mau, Mas. Sudah lama tidak makan bakwan."

"Makan saja, Riss! Tidak ada undang-undang yang melarang kita untuk makan gorengan. Asal jangan berlebihan saja makannya," timpal Zoya yang kini menyantap nasi menggunakan tangan. 

"Kami sedang bicara berdua jadi jangan ikut campur! Lagipula, urusan makanan masa diatur undang-undang. Kalau kamu tidak paham, tanya saja ke dokter atau minimal googling, sana!" 

Zoya merotasikan bola mata, malas mendengar ocehan pria itu. Tiap mereka bertemu pasti ada saja debat. 

"Sudah, Mas. Lebih baik makan saja. Cobain, kamu pasti suka sama nasi goreng buatanku!" 

Demi menghargai istrinya, Leo pun mulai makan dalam diam meski sesekali masih menatap runcing pada gadis yang duduk di depannya. 

Zoya sama sekali tidak terpengaruh. Dengan santai mengisi ulang makanan lalu dalam waktu singkat piringnya pun kosong. Masih tambah satu bakwan lagi untuk cuci mulut. 

"Katanya Zoya itu sakit tapi sepertinya sehat-sehat saja, Sayang. Buktinya dia makan dengan sangat lahap, mirip orang yang puasa setahun." Tersenyum sinis pada gadis di depannya.

Carissa tersenyum kikuk. "Mas, Zoya baru sembuh jadi wajar kalau makannya banyak."

"Aku memang rakus! Sudah sering melihatku makan tapi kamu masih saja kaget." Untuk beberapa saat Leo dan Zoya lempar sorot tajam. 

Leo lekas menyudahi acara sarapan yang tidak asyik itu. Buru-buru mengajak Carissa pulang. 

"Aku ke toilet dulu sebentar sekalian ambil tas di kamar," pamit perempuan berambut panjang gelombang. 

Ruang makan yang menyatu dengan dapur itu menyisakan kedua orang yang tidak pernah akur. 

"Jangan dekat-dekat dengan istriku lagi! Kamu itu tidak pantas bersahabat dengan Carissa. Lihatlah, kalian itu sangat berbeda jauh. Aku tidak mau kamu membawa pengaruh negatif untuk Rissa."

Zoya tersenyum sinis sedangkan tangannya saling menyilang di depan dada. "Kami bersahabat sejak zaman SD, jauh sebelum Rissa ketemu kamu. Kalau dia terpengaruh olehku, harusnya itu terjadi sejak lama. Kamu lihat sendiri karakternya bagaimana. Apa kamu hanya cari-cari alasan untuk memisahkan kami? Dengar, aku tidak akan pernah melepaskan Carissa karena dia adalah separuh dari jiwaku!"

Leo makin melotot. "Kamu tidak normal? Kamu diam-diam menyukai istriku?"

"Aku menyayangi Carissa." Tapi hanya sebagai teman tentunya. Sungguh, Zoya itu masih normal. Sekarang dia hanya ingin mengerjai Leo.

Pria berjas itu bangkit menahan amarah. Jika saja Carissa belum muncul mungkin dia akan menampar Zoya. 

"Zo, aku pulang sekarang." 

Leo menarik tangan istrinya yang hendak melakukan ritual cipika-cipiki. Setelah tahu bahwa Zoya mengincar Rissa, tentu saja dia tidak akan tinggal diam. "Ini terakhir kalinya istriku berkunjung ke sini. Kamu jangan pernah menghubunginya lagi!"

"Mas!" 

"Sayang, jangan membantah karena ini demi kebaikanmu!" 

Carissa menatap Zoya sendu seolah ingin menyampaikan permintaan maaf atas kelakuan suaminya. Si gadis tomboi tersenyum tipis. 

Mengunci pintu setelah pasangan suami istri itu pergi, Zoya kemudian mengambil sebatang rokok dan membakarnya. Duduk di ruang tamu dengan sebelah kaki diangkat ke kursi. 

Kembali teringat akan penyakit yang menyerang Carissa. Tak bisa dipungkiri, hal inilah yang membuatnya susah tidur. Lebih dari seorang sahabat, Zoya menganggap perempuan itu seperti adiknya sendiri. 

"Harusnya dia fokus dengan kesehatan, bukannya sibuk merayuku untuk jadi madunya." 

Tiap Zoya menolak rencana konyol itu, Carissa makin bersikeras memohon. Bahkan, semalam nyaris berlutut jika saja Zoya membiarkan. 

"Riss, sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau menuruti permintaanmu."

**

"Mas, jangan pernah melarangku untuk berhubungan dengan Zoya! Dia sudah seperti saudara bagiku. Apa kamu tidak kasihan padanya? Zoya itu yatim piatu dan dibesarkan di panti. Dia tidak punya siapa-siapa selain aku."

"Dia bukan anak kecil yang butuh perlindungan. Jadi, jangan terlalu cemas. Pokoknya aku tidak suka kalau kamu menemuinya lagi. Dia itu bukan gadis baik. Tolong, mengertilah kekhawatiranku!" 

Carissa mengempaskan tangan suaminya yang berada di bahu. "Mas salah menilai Zoya. Aku tidak akan menjauhinya."

Baru sekarang Leo melihat Carissa memelototinya. Biasanya perempuan itu selalu menurut, punya tatapan lembut. Kali ini Leo menggenggam tangan Carissa. "Sayang, baiklah. Kamu boleh menemuinya asalkan jangan datang sendirian. Jangan tidur di rumah Zoya. Bisa, kan?" 

Perempuan itu diam sejenak sebelum kembali bersuara. "Oke, tapi aku maunya Mas yang antar." Siapa tahu dia bisa mendekatkan Leo dengan Zoya. 

Mengembuskan napas kasar. "Oke." Yang penting Carissa berhenti marah. 

Leo meraih tubuh istrinya ke dalam dekapan. Mengecup puncak kepala seraya mengelus rambut. 

"Mas, kamu tidak berangkat ke kantor?"

"Nanti saja. Masih ada waktu untuk berduaan denganmu. Masih kangen." Leo mengecup kening, pipi, dan bibir istrinya.

"Memangnya kamu tidak kangen padaku, Sayang?" 

"Apa perlu aku jawab, Mas? Harusnya kamu tahu perasaanku." Dua pasang mata beradu.

Leo tersenyum lebar. "Berarti kamu tidak akan menolak jika aku melakukan ini." Memangku Carissa dan membaringkannya di ranjang pelan-pelan. 

"Tapi sebelum itu, ada yang ingin aku katakan," ucap Carissa memegang leher sang suami. 

Bab 3

"Kamu mau ngomong apa, Sayang?" Leo mengusap pipi Carissa lembut.

"Apa kamu bersedia …."

"Hem, bersedia apa?" Kening Leo mengernyit.

"Ehm, nanti saja." Sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Leo kurang berkonsentrasi saat diajak bicara meski merespon. Tatapan mata lelaki itu sayu dan mendamba. 

"Kamu cuma ingin mengalihkan pikiranku, ya? Oh, tidak bisa! Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan kamu. Jadi, jangan --"

Carissa menghentikan ocehan suaminya dengan sentuhan bibir. Lidah mereka kini menari seiring hasrat yang makin memuncak. 

Leo terkulai lemas menutup mata di samping sang istri. Tenaganya terkuras setelah tadi mengerjai Carissa habis-habisan. Tangannya melilit di pinggang wanita itu. Deru napasnya teratur.

Tak tega untuk bergerak sedikit pun apalagi membangunkan Leo, Carissa hanya menatapnya lekat-lekat. 

"Aku sangat mencintaimu, Mas," lirihnya. 

Sesak memikirkan bahwa mereka akan berpisah suatu saat nanti. Carissa ingin terus mendampingi suaminya. Jika bisa, dia ingin selalu bersama Leo hingga tua. Namun, takdir berkata lain. Sekeras apapun dia berusaha, dia tahu bahwa mereka tetap akan berpisah. Tidak ada yang bisa selamat dari penyakit mematikan yang kini dideritanya. 

**

Sebuah kalung putih dengan liontin berlian. Sudah lima belas menit Leo memindainya, memastikan barang itu tidak cacat sedikit pun. "Carissa pasti menyukainya."

Benda berkilauan itu disimpan kembali ke dalam kotak perhiasan lalu dimasukkan ke dalam laci. Carissa memang tidak meminta apa-apa untuk hadiah ulang tahun tapi mana mungkin Leo tidak menyiapkannya. 

Pria itu kembali membuka berkas di atas meja. Belum lama berkutat dengan pekerjaan, ponselnya bergetar. Senyum sumringah terbit saat melihat nama sang istri di layar handphone. Leo memang menunggu bidadarinya menelpon. Kenapa tidak menghubungi Carissa duluan? Always, dia selalu melakukan itu tapi kali ini sekali-kali ingin posisinya dibalik biar merasa lebih disayang. 

"Mas, maaf aku ganggu. Aku mau bicara sesuatu." Suara dari jauh.

"Jangan minta maaf, Sayang. Bicara saja! Aku selalu punya banyak waktu khusus untuk istriku tercinta."

"Untuk ulang tahunku besok, aku cuma ingin dinner berdua denganmu. Jangan adain pesta, aku bosan."

"Aku terserah kamu tapi bagaimana dengan keluarga kita? Mereka selalu antusias dengan ulang tahun kamu. Kita tidak bikin pesta pun pasti mereka ngadain sendiri."

"Aku tidak bisa melarang mereka tapi khusus besok malam aku maunya cuma sama kamu, Mas."

"Oke, sebenarnya itu ide yang sangat bagus."

Di sebuah restoran yang terletak di atas rooftop, hanya ada dua orang yang duduk berhadapan, tak ada pengunjung lain. Leo memang sengaja menyewa tempat itu untuknya dan Carissa. 

Kursi mereka dikelilingi kelopak mawar merah yang membentuk gambar love. Di tengah-tengah meja terdapat kue berukuran sedang.

Musik lembut menemani mereka menambah suasana kian romantis. 

"Kamu suka tempat ini?" Jika tidak maka Leo akan membawanya ke restoran lain. 

"Suka." Di manapun itu asalkan bersama Leo, maka Carissa akan senang. 

"Selamat ulang tahun yang ke-28. Aku harap kamu selalu bahagia." Leo menggenggam tangan sang istri.

"Bahagia dan sehat. Nomor satu yang paling penting itu sehat, Mas!" Ah, mata Carissa perih. Pembahasan ini mengingatkan pada penyakitnya.

"Iya, tentu. Aku harap semua yang baik-baik menghampirimu."

Memotong kue dan menyuapi Leo, Carissa merasa sesak. Apakah ini ulang tahun terakhirnya?

Tak ayal air mata sialan itu tumpah juga ke wajahnya meski Carissa berusaha membendung. Leo gegas mengambil tissue dan mengusapnya lembut. 

"Kamu pasti terharu padahal aku belum kasih hadiah apa-apa."

"Ada kamu saja sudah cukup, tapi … sebenarnya ada satu hal yang ingin aku minta dari kamu, Mas."

"Apa itu, Sayang?"

"Bukan sekarang, nanti saja." Carissa ingin menikmati momen ini dengan maksimal. Lupakan dulu masalah karena belum tentu malam ini bisa terulang lagi. 

Leo mengulurkan tangan. "Mau menari denganku?"

Carissa mengangguk. "Bodoh jika aku menolak."

Berdiri di dekat para pemain musik, kedua insan itu saling berhadapan. Leo memegang pinggang ramping istrinya dan Carissa merangkul lehernya. Mata saling terpaut seiring senyum yang tak luntur. Kaki bergerak perlahan mengikuti alunan musik.

"Mas Leo, aku beruntung bisa bertemu kamu dan jadi istrimu. Terima kasih karena sudah memperlakukan aku dengan baik selama ini. Aku sangat mencintaimu, Mas." Sebisa mungkin mengatur agar suaranya tidak bergetar meski dada makin pengap. 

"Aku yang harusnya bilang begitu. Dalam hidupku aku hanya pernah mencintai satu wanita dan itu kamu. Tidak akan berubah sampai kapan pun."

"Jika aku mati, bagaimana?" Bibir boleh tersungging tapi hati perih.

Leo menghentikan gerak kaki dan menatap wanitanya tajam. "Jangan pernah mengatakan ini, Carissa! Jika kamu pergi maka aku pun akan pergi."

Wanita itu terkekeh. "Kamu bodoh, Mas! Harusnya kawin lagi!"

"Aku bukan lelaki seperti itu. Ah, sudah. Lebih baik kita segera makan agar pikiranmu kembali lurus. Lain kali jangan membahasnya lagi meski kamu cuma bercanda!" Leo menuntun wanitanya kembali ke meja. Menarik kursi dan membiarkan Carissa duduk lebih dulu. 

"Mas, kalau aku serius?"

"Aku lapar!"

Pelayan segera membereskan meja setelah mereka selesai makan. Leo memberikan kotak perhiasan. Carissa tertegun takjub menatapnya. "Ini sangat cantik." Tuhan, dia sangat bahagia tapi juga sedih di saat bersamaan. Bagaimana bisa dia meninggalkan suami semanis Leo?

Sebuah buket bunga besar juga diulurkan oleh Leo. Tuhan, Carissa makin berat.

**

Benar saja. Esok malamnya keluarga membuat pesta kecil di kediaman Putri, ibunda Carissa. Keluarga Leo juga ada di sana. Semua berkumpul di area taman yang dihiasi dengan lampu lampion. Tempat duduk melingkar mengelilingi air mancur mini. 

Semua orang menoleh saat Carissa membawa seorang gadis aneh. Bagaimana tidak unik, penampilannya seperti preman. Celana jeans panjang dengan sobekan di sebelah lutut, kaos oblong yang dilapis dengan jaket kulit. Wajahnya polos tanpa make up dan rambut sebahunya yang lepek dibiarkan tergerai menutupi telinga. Sebenarnya sosok itu tidak asing bagi keluarga Carissa, hanya saja penampilannya bikin sakit mata. 

"Siapa yang kamu bawa itu, Sayang?" Mirna, ibunda Leo bersuara agak ketus. 

Carissa tersenyum pada sang mertua kemudian beralih pada keluarga yang lain. "Untuk kalian yang belum kenal, ini adalah sahabatku. Namanya Zoya. Dia adalah tamu spesial yang paling aku tunggu."

Zoya tersenyum canggung menatap semua orang. Jika saja Carissa tidak memohon-mohon, Zoya enggan datang ke rumah Tante Putri. Lihatlah, dia selalu mendapat tatapan aneh dan sinis!

Hampir semua menganga mendengar perkataan Carissa tapi mereka tidak mau protes karena takut mengganggu kebahagiaannya. Tante Putri yang biasanya ramah pun enggan menyapa Zoya karena malu pada keluarga besan.

Carissa menarik Zoya agar duduk di sebelah kirinya. Leo yang ada di samping kanan berbisik, "Kenapa kamu bawa dia ke mari?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!