Seorang perempuan berbadan bunting sedang berjalan menyusuri jalan trotoar. Dia dalam perjalanan menuju klinik terdekat.
Meyra Adisti namanya. Perempuan cantik jelita yang sayangnya memiliki kehidupan tak seindah parasnya. Meyra hidup sebatang kara semenjak memutuskan untuk mempertahankan janin dalam perutnya.
Karena hamil di luar nikah, Meyra dibenci oleh keluarganya. Dia di usir dan tidak diakui lagi sebagai anak dan saudara.
Sejak itu, Meyra hidup sendirian. Dalam keadaan hamil, dia bekerja keras untuk mengumpulkan uang.
Sekarang usia kandungan Meyra sudah mencapai 9 bulan. Dia pergi ke klinik sesuai tanggal yang disarankan bidan kepadanya.
Meyra tak bisa menggunakan taksi untuk pergi. Mengingat uangnya harus disimpan untuk biaya persalinan. Dia juga tidak punya satu pun teman yang membantu. Jadi terpaksa Meyra pergi ke rumah sakit sendirian dengan berjalan kaki.
Sebelum ke rumah sakit, Meyra mendatangi sebuah mini market. Dia ingin membeli barang penting yang akan dibutuhkannya nanti saat menjalani perawatan.
Meyra juga tak lupa membeli perlengkapan untuk bayinya. Dia berusaha keras mengirit duitnya agar cukup untuk membayar persalinannya nanti.
Saat sibuk memilah-milih, Meyra tiba-tiba merasakan kontraksi. Dia lantas merintih kesakitan.
Orang-orang yang ada di mini market sontak panik. Terutama seorang lelaki yang kebetulan berdiri paling dekat dengan Meyra. Dia menjadi orang pertama yang membantu.
"Mbak! Mbak kenapa?" tanya si lelaki bersetelan jas dan dasi itu.
"Sa-sakit... Sepertinya sudah waktunya..." jawab Meyra dengan tergagap.
"Dia pasti akan melahirkan! Harus dibawa ke rumah sakit secepatnya!" seru seorang pekerja mini market yang juga membantu.
Tanpa pikir panjang, Meyra dibawa ke rumah sakit. Dia di antar oleh lelaki yang menolongnya tadi. Kebetulan lelaki tersebut memiliki mobil pribadi.
Di kursi belakang, Meyra terus berusaha menahan sakit. Air matanya sudah berlinang.
"Apa kau punya keluarga untuk dihubungi?" tanya si lelaki pemilik mobil.
"Ti-tidak ada! Bisakah kau cepat? Aku sudah tidak tahan..." ujar Meyra.
"Iya, iya. Ini aku sedang ngebut!" sahut sang lelaki.
"Antar aku ke klinik... Aarrkh..." Meyra tidak bisa meneruskan ucapannya saat perut terasa semakin sakit.
Lelaki yang menolong Meyra menghentikan mobil di rumah sakit. Tempat yang sebenarnya bukan tujuan Meyra. Namun karena mendesak, Meyra tak punya pilihan lain. Dia segera mendapatkan penanganan dari dokter.
Kini Meyra terbaring di atas hospital bed. Para petugas medis berdiri mengelilinginya. Ia benar-benar ketakutan sekarang. Terlebih ini adalah persalinan pertamanya dalam seumur hidup.
Sekilas bayangan masa lalu terlintas dalam benak Meyra. Karena pergaulan bebas, dia harus menerima akibatnya.
Dulu Meyra merupakan gadis nakal yang suka bergaul dengan lelaki berandalan. Dia agak tomboy. Namun itu bukan berarti memudarkan hasrat lelaki yang melihatnya.
Karena lengah, Meyra diperkosa oleh temannya sendiri. Itulah alasan kenapa perempuan itu hamil. Sementara pelaku yang memperkosanya telah lari entah kemana.
Setelah diketahui hamil, keluarga Meyra menyarankan untuk menggugurkan kandungan. Semua itu mereka sarankan demi nama baik Meyra dan keluarga.
Meyra menolak karena merasakan ikatan batin dengan bayinya. Sebab itulah dia mendapat kebencian dari banyak orang. Bukan saja dari keluarga. Tetapi juga orang-orang yang tinggal di lingkungannya.
Merasa tidak tahan terus dihina dan dikucilkan, Meyra pergi ke kota. Hingga di sinilah dia sekarang. Hidup sebatang kara dan menyendiri. Meyra yang awalnya ceria dan banyak bicara, menjadi pendiam. Ia juga enggan bergaul dengan orang. Rasa sakit hatinya terhadap penyesalan masa lalu begitu mendalam.
"Aaaarkhhh!"
Suara teriakan Meyra menggema. Keringat membasahi nyaris seluruh badannya. Dia hanya bisa berpegang pada seprei yang membalut kasur. Sakit, lelah, dan takut, itulah yang dirasakan perempuan itu sekarang.
Sungguh malang nasib Meyra. Tidak ada satu pun keluarga yang menemaninya saat melahirkan.
Untung saja saat terjadi kontraksi, Meyra sedang berada di tempat umum. Jadi ada orang baik yang membantu dan membawanya ke rumah sakit.
Orang yang menolong Meyra adalah seorang lelaki bernama Adnan. Dia terpaksa harus menunggu karena Meyra tidak memiliki keluarga yang bisa dihubungi. Parahnya Adnan sempat dikira sebagai suami Meyra. Dia tentu tak terima dan langsung membantah.
"Harusnya tadi aku suruh taksi saja yang mengantarnya ke sini!" keluh Adnan sambil melonggarkan dasinya. Kebetulan dia baru saja pulang dari bekerja.
Keinginan Adnan untuk singgah ke mini market, membuat takdir mengharuskannya menjadi penolong Meyra. Memang perempuan itu juga ada di mini market sebelum kontraksi terjadi.
Setengah jam sudah berlalu, Adnan bisa mendengar suara teriakan Meyra sedang berjuang di dalam ruangan. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, tentu ada perasaan empati. Adnan berharap persalinan Meyra berjalan lancar.
Waktu semakin larut. Sudah satu jam lebih proses persalinan Meyra belum selesai. Sampai akhirnya dokter yang menangani keluar dari ruangan.
Adnan bergegas berdiri. Lalu bertanya mengenai keadaan Meyra.
"Tunggu sebentar. Kau siapanya pasien?" tanya Dokter bernama Reza itu.
"Aku orang yang menolong dan membawanya ke sini," jawab Adnan.
"Oh, pantas saja. Kalau begitu aku akan beritahu keadaan pasien padamu," ujar Reza. Ia segera memberitahu bagaimana hasil persalinan Meyra.
Adnan dibuat kaget saat mendengar bahwa bayi Meyra tidak berhasil selamat. Sementara keadaan perempuan itu dalam keadaan tak sadarkan diri sekarang.
"Tunggu, Dok!" panggil Adnan saat melihat Reza nyaris beranjak.
"Ya?" Reza lantas berhenti dan menoleh.
"Apa pasien benar-benar tidak memiliki satu pun keluarga untuk dihubungi?" tanya Adnan memastikan. Sebenarnya saat membawa Meyra ke rumah sakit, dia sudah bertanya tentang seseorang untuk dihubungi. Tetapi Meyra bilang tidak mempunyai orang yang bisa dihubungi.
"Kita bisa memastikan itu saat pasien sadar," tanggap Reza. Kemudian lanjut beranjak.
Adnan menghela nafas panjang. Dia mengusap kasar wajahnya berulang kali. Sampai Adnan terpikirkan untuk membayar seluruh biaya rumah sakit Meyra.
"Oke, aku akan melakukannya. Dari pada terus-terusan terjebak di sini," gumam Adnan. Ia segera mengurus pembayaran rumah sakit Meyra.
"Maaf, Tuan. Untuk sekarang anda hanya bisa membayar biaya operasi pasien. Ini belum termasuk obat dan juga rawat inap yang dilakukannya," sahut gadis yang bertugas mengurus masalah pembayaran.
"Ya sudah. Aku akan membayar biaya operasinya saja," ucap Adnan seraya memberikan kartu debitnya. "Oh iya, hubungi saja aku kalau sudah bisa membayar sisanya," tambahnya yang tak lupa memberikan kartu nama.
Usai melakukan pembayaran, Adnan berniat ingin secepatnya meninggalkan rumah sakit. Dia merasa sudah membantu semaksimal mungkin.
Ketika baru masuk ke mobil, ponsel mendadak berdering. Adnan segera memeriksa. Ia menemukan sahabat dekatnya menelepon.
"Tumben sekali dia menelepon malam-malam begini," komentar Adnan. Dia langsung mengangkat panggilan sahabatnya tersebut.
"Kenapa, San! Tumben malam-malam begini kau--"
"Halo? Ini dengan Mas Adnan?" potong seorang pria asing dari seberang telepon. Adnan yang sangat kenal bagaimana suara sahabat karibnya, tentu tahu kalau orang itu bukan Ehsan.
"Pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan. Mobilnya menabrak sebuah truk. Sekarang sedang dilakukan evakuasi. Para korban sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit!" jelas pria dari seberang telepon.
Adnan merasa sangat syok. Dia sampai tak bisa berkata-kata lagi. Ehsan memang merupakan sahabat yang sangat dekat dengannya. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
"Aku menghubungi nomormu karena melihat ini adalah satu-satunya kontak yang sering dihubungi," ungkap si pria asing lagi.
Adnan masih terdiam. Tubuhnya mematung sambil memasang tatapan getir. Sungguh, berita yang dia dapat sekarang benar-benar tak terduga. Padahal baru saja kemarin dia olahraga bersama Ehsan di tempat gym. Dirinya berharap Ehsan dan keluarganya selamat.
Kebetulan rumah sakit yang dituju Ehsan dan keluarganya adalah rumah sakit dimana Adnan berada sekarang. Jadi lelaki itu hanya perlu menunggu.
Adnan berlari ke depan rumah sakit. Menanti kedatangan Ehsan. Jujur saja, hatinya sedang tidak karuan.
Setelah lama menunggu, Ehsan dan keluarganya tiba. Adnan semakin panik dan takut saat melihat keadaan sahabat karibnya bersimbah dengan darah.
"Tolong, Dok! Selamatkan temanku dan keluarganya!" mohon Adnan. Tepat sebelum Ehsan mendapat penanganan lebih lanjut.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin!" sahut dokter yang bertugas.
Kini Adnan hanya perlu menunggu. Dia menemani Azam yang kebetulan mendapat pengobatan karena hanya mengalami luka-luka. Ajaibnya, anak bungsu Ehsan yang masih bayi selamat dan tidak terluka sedikit pun. Bayi perempuan bernama Amena itu sedang digendong oleh seorang perawat untuk ditidurkan.
Adnan menatap nanar Azam yang terdiam. Anak lelaki berusia tujuh tahun itu terlihat menangis dalam diam. Mulutnya komat-kamit seperti melafalkan sesuatu.
Usai luka Azam diobati, Adnan mendekat. Dia duduk ke sebelah Azam dan merangkulnya. Saat itulah Adnan bisa mendengar dengan samar kalau Azam berulang kali membaca istighfar.
Adnan tak bisa berkata-kata. Apalagi jika harus mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Mengingat kondisi Ehsan dan istrinya yang bernama Naomi mengalami luka cukup parah.
"Abi pasti akan baik-baik saja kan, Om?" tanya Azam.
"Berdoalah semuanya akan begitu," jawab Adnan sembari merangkul Azam.
Tak lama kemudian, seorang perawat datang menghampiri Adnan dan Azam. Dia tampak menunjukkan ekspresi sedih.
Adnan dan Azam sontak heran. Mereka bertanya dengan tatapan mereka.
"Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Ehsan dan istrinya tidak bisa diselamatkan," ungkap perawat tersebut.
"Abi... Umi..." Tangisan Azam semakin gencar. Dia sampai mematung di tempat karena merasa sedih dan juga takut. Bagaimana dirinya dan Amena bisa melanjutkan hidup tanpa orang tua mereka?
Berbeda dengan Azam, Adnan merespon dengan tangisan histeris. Dia meninggalkan Azam dan mencoba berlari memasuki kamar dimana Ehsan berada.
"Kalian pasti bohong! Kalian hanya tidak mencoba menyelamatkannya dengan maksimal!" pekik Adnan. Memarahi dokter dan para petugas medis lain. Dia menghampiri jasad Ehsan. Membuka kain putih yang menutupi seluruh tubuh Ehsan.
Tangisan Adnan kian menjadi-jadi tatkala melihat bagaimana keadaan Ehsan. Teman karibnya itu sudah tak bernyawa. Adnan juga bisa menyadarinya dengan merasakan betapa dinginnya badan Ehsan.
"Kenapa kau tinggalkan aku secepat ini, kawan? Bukankah kau ingin melihatku menikah? Kau juga bilang akan mengajariku segala hal tentang islam. Lalu apa ini?!!!" ucap Adnan. Dia mengguncang tubuh Ehsan. Lalu menangis sampai terduduk ke lantai. Kedua kaki Adnan rasanya melemah dan tak bisa menopang lagi.
Di sisi lain, Meyra perlahan membuka mata. Dia terbangun setelah melakukan proses persalinan yang panjang dan menyakitkan.
Pandangan Meyra mengedar ke segala arah. Berusaha mencari bayinya. Namun dia tidak menemukan apapun. Hanya ada keheningan yang menyambut.
"Bayiku..." lirih Meyra seraya perlahan merubah posisi menjadi duduk. Ia mencoba meraih tombol yang berfungsi untuk memanggil petugas medis.
Meyra menekan tombol tersebut satu kali. Hingga seorang perawat perempuan datang menemuinya.
"Mbak Mey baru saja siuman?" tanya perawat itu.
"Iya, baru saja. Aku ingin melihat anakku..." pinta Meyra sambil meringiskan wajah. Sebab rasa sakit masih bisa dirasakannya.
Perawat itu seketika terdiam. Dia merasa sulit memberitahu kebenaran pada Meyra.
"Mbak Mey belum benar-benar pulih. Sebaiknya istirahat dahulu ya," saran sang perawat.
"Tidak! Aku ingin melihat anakku. Kumohon..." Meyra bersikeras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!