NovelToon NovelToon

Bulan Di Antara Bintang

1

Malam ini, bulan purnama terlihat sangat cantik berada di antara bintang yang berkelap kelip di langit. Cahaya bulan purnama begitu terpancar aura keindahannya. Bintang pun ikut bersinar dan terlihat indah menguasai langit malam.

"Ayumi!!" panggil Bunda Ayumi dari arah dapur.

Ayumi yang sedang berdiri di teras rumah neneknya dan memandang terang bulan purnama yang terlihat berbeda dari biasanya. Mendengar suara Bunda memanggil namanya, Ayumi segera membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah asal suara.

Langkah kakinya yang mungil berlari dengan sangat cepat. Melewati ruang keluarga yang cukup luas, disana terlihat Ayah Ayumi dan Nenek Arsy sedang berbincang dengan sangat serius.

Nenek Ayumi sedang duduk bersantai di kursi goyangnya dan berbincang serius dengan Ayah Ayumi. Nadanya memang tidak keras, namun guratan wajah kesal Nenek pada Ayah Ayumi sangat terlihat jelas.

"Bunda memanggil Ayumi?" tanya Ayumi dengan wajah yang sangat polos saat berdiri di belakang Bundanya.

"Iya Nak. Bantu Bunda menyiapkan makan malam ya. Anak perempuan harus bisa mengerjakan pekerjaan yang ada di dapur tanpa memilih-milih," ucap Bunda Ayumi dengan pelan.

Ayumi bergegas menata piring diatas meja makan. Hanya ada Nenek, Ayah, Bunda dan Ayumi saja. Sudah tiga hari hari Ayumi menginap di rumah Nenek di Yogyakarta.

Semenjak usaha Ayah gulung tikar karena ditipu sahabatnya sendiri. Keluarga Ayumi pun memilih untuk kembali ke kampung halamannya di Yogyakarta.

"Panggil Nenek dan Ayah untuk segera makan malam," ucap Bunda Ayumi menitah.

"Ya Bunda," jawab Ayumi pelan.

Ayumi bergegas menuju ruang keluarga, lalu memanggil Nenek Arsy dan Ayahnya sesuai titah Bundanya.

"Nenek, Ayah. Makan malam sudah siap, kata Bunda segera untuk makan selagi hangat," ucap Ayumi pelan.

"Iya Ayumi. Nanti Nenek dan Ayah akan segera menyusul," ucap Ayah pelan dan tersenyum kepada Ayumi.

"Lihat anak gadismu itu Bayu. Cantik, pintar, sholehah. Jangan biarkan apa yang menjadi cita-citanya terkubur begitu saja karena masalahmu," ucap Nenek Arsy dengan tegas.

"Iya Bu. Mau tidak mau Bayu harus ke Bali ikut bekerja dengan Mas Agung disana. Alisha akan ikut bersamaku, sementara Ayumi dengan Ibu disini. Apakah Ibu keberatan?" ucap Bayu pelan kepada Sang Ibu.

"Kalau itu jalan terbaik untuk kalian, Ibu hanya bisa ikut mendoakan yang terbaik saja," ucap Nenek Arsy dengan suara pelan. Tatapan matanya kosong menatap wajah Bayu anaknya yang terlihat berbeda malam ini.

"Terima kasih Bu. Ayo kita makan malam dahulu. Alisha sudah masak makanan kesukaan Ibu," ucap Bayu pelan.

Saat di meja makan, tidak ada satu orang pun yang berbicara saat makan. Nenek Arsy yang terlihat begitu menikmati makan malamnya dengan sangat tenang. Ayah Bayu dan Bunda Alisha yang ikut menikmati makan malamnya dengan segala pikiran yang masih kacau, sedangkan Ayumi yang terlihat tenang dan santun menghabiskan makanan yang ada di dalam piringnya.

Nenek Arsy memecah keheningan malam itu. Meletakkan sendok dan garpu nya lalu meneguk air putih yang sudah ada dimeja makan.

"Setelah ini kita bicara di Kamar Ibu. Ayumi setelah ini ke kamar dan istirahat." ucap Nenek Arsy dengan tegas tanpa ada yang berani membantah.

"Iya Nek." ucap Ayumi pelan dan dengan cepat menghabiskan makanannya.

Ayah Bayu dan Bunda Alisha hanya mengangguk setuju dengan hormat.

Malam telah larut, saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ayah Bayu, Bunda Alisha dan Nenek Arsy sudah berada di dalam kamar Nenek Arsy.

"Ibu tidak tahu harus membantu kalian dengan cara seperti apa. Ibu hanya bisa memberikan ini untuk bekalmu nanti selama di Bali. Pergunakan semuanya dengan baik. Jangan risaukan Ayumi, Ibu akan merawat Ayumi dengan baik." ucap Ibu yang terdengar sangat lirih.

"Ibu .. kami hanya sementara disana. Kami berdua pasti kembali dan akan merawat Ibu disini. Bayu janji Bu." ucap Ayah Bayu pelan dan memeluk Nenek Arsy dengan penuh ketulusan.

"Bersiap-siaplah, bukankah tiket kapal sudah kalian beli sejak kemarin." tanya Nenek Arsy kepada Ayah Bayu.

"Sudah Ibu." jawab Ayah Bayu dengan singkat.

Bunda Alisha melepaskan kalung emas dengan liontin hijau yang nampak kemilau.

"Ibu titip ini untuk Ayumi. Kami tidak pernah terpisah walau sedetik saja. Perpisahan ini akan sangat berat baginya. Berikan kalung ini, agar Ayumi tidak merasa sendirian." ucap Bunda Alisha dengan singkat dan senyumnya terlihat sangat berbeda sekali.

Nenek Arsy menerima kalung itu dan menatap kalung cantik itu. Air matanya tak terasa menetes dan membasahi pipi.

"Setiap kehidupan akan selalu berubah-ubah. Bagaimana kita bisa membawa diri disetiap suasana. Jika roda itu terus dikayuh maka kehidupan juga akan bergerak mengikuti laju kayuhan kita. Kalian mengerti maksud Ibu?" tanya Nenek Arsy kepada Ayah Bayu dan Bunda Alisha.

"Kami mengerti Ibu. Ibu selalu mengajarkan kepada kami arti sabar, ikhlas, sederhana, sedekah dan bersyukur. Mungkin ini semua cobaan Ibu. Aku dan Alisha menerima semuanya dengan ikhlas walaupun itu berat tapi kami berdua berusaha bangkit dari keterpurukan itu semua." ucap Ayah Bayu pelan mencium kedua tangan Sang Ibu dan memeluk Sang Ibu dengan sangat erat.

"Alisha dampingi Bayu dalam keadaan apapun. Sebagai istri, doakan selalu suamimu agar setiap pergi ke luar rumah, Bayu selalu mendapatkan keberkahan." ucap Nenek Arsy sambil memeluk menantu kesayangannya itu.

"Iya Ibu. Alisha akan selalu mendampingi Mas Bayu, hingga maut yang akan memisahkan kita berdua." jawab Alisha pelan kepada Nenek Atau Sang Mertua.

"Kalian akan berangkat jam brapa?" tanya Nenek Arsy kepada keduanya.

"Malam ini juga Ibu, kita berdua akan berangkat ke Surabaya. Agar sampai di pelabuhan tidak terlambat." ucap Bayu pelan menjawab pertanyaan Ibu.

"Salam untuk Agung Kakakmu itu. Sudah lama Agung dan Marsha tak pulang sekedar menengok Ibu." ucap Nenek Arsy yang begitu rindu kepada anak sulungnya itu.

"Salam dan rindu Ibu akan Bayu sampaikan kepada Mas Agung dan Mbak Marsha." ucap Bayu pelan.

Ayah Bayu dan Bunda Alisha kembali ke kamarnya dan merapikan barang-barang yang akan dibawanya. Taksi online yang sudah dipesannya telah datang untuk mengantarkan ke terminal dan melanjutkan perjalanan menuju kota Surabaya berakhir di Pelabuhan Tanjung Mas.

Tangisan ketiganya pecah saat Bayu dan Alisha sudah menaiki mobil yang akan mengantarkan mereka menuju terminal.

Nenek Arsy tidak bisa menahan rasa iba dan sedih dengan kehidupan yang sedang dialami oleh anak bungsunya itu. Kepergian Bayu dan Alisha seperti berbeda ketika melepas mereka untuk pergi seperti biasanya.

Ayumi yang sudah terlelap, tidak mengetahui kepergian kedua orangtuanya yang ingin mengadu nasib ke pulau seberang untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga kecil mereka. Cita-cita Ayumi sebagai dokter menjadi semangat bagi Bayu dan Alisha untuk terus mencari rejeki untuk bisa menyekolahkan Ayumi setinggi mungkin.

"Arghhhhhh Ayah ... Bunda ... !!!!" teriak Ayumi dengan sangat keras.

Ayumi terbangun dengan keringat yang membasahi disekitar dahinya. Napasnya tersengal-sengal dan kedua matanya membola menatap ke sekeliling kamarnya yang gelap gulita. Hanya sinar rembulan yang masih menyorot ke arah jendela kamarnya.

2

Ayumi masih terjaga dalam tidurnya, setelah mimpi buruk semalam sempat membuatnya takut dan tidak bisa tidur kembali.

Hordeng dikamar di sibakkan dan dibukalah jendela kamar tidurnya. Hawa pagi yang begitu segar dengan aroma wangi embun pagi yang khas menusuk rongga hidung untuk terus menarik napas dalam.

Terlihat Nenek Arsy yang sedang menyapu halaman rumah. Peluhnya sudah memenuhi seluruh wajah tua Nenek Arsy.

Ayumi keluar kamarnya dan menghampiri Nenek Arsy.

"Nek, Ayah dan Bunda kemana?" tanya Ayumi pelan dengan mengambil alih sapu dari tangan Nenek Arsy.

Nenek Arsy tersentak cukup keras mendengar pertanyaan Ayumi yang terlontar dengan begitu polosnya.

"Ayah dan Bunda sedang mengadu nasib Ayumi. Mungkin selama beberapa waktu, Ayumi bersama Nenek disini dan melanjutkan sekolah disini," jawab Nenek Arsy pelan.

"Nek Arsy!! Nenek!!" teriakan seorang pemuda memanggil Nenek Arsy.

Seorang laki-laki muda berlari menuju halaman rumah Nenek Arsy dan berlari mendekati Nenek Arsy dan Ayumi yang berdiri tepat disebelahnya.

"Ada apa Nak Kahfi?" ucap Nenek Arsy pelan kepada pemuda itu.

"Anu .. Itu .. Pak Bayu, Nek. Pak Bayu kecelakaan!" ucap pemuda itu dengan panik dan tergagap.

"Pelan-pelan Nak Kahfu. Coba katakan dengan perlahan, apa maksudmu?" ucap Nenek Arsy pelan sambil mengusap punggung pemuda itu dengan lembut.

Tampak sekali kelelahan karena berlari. Pemuda itu bernama Kahfi. Putra bungsu dari salah seorang Kyai ternama di desanya.

"Nek Arsy. Bapak baru saja mendapatkan kabar kalau Pak Bayu dan Bu Alisha mengalami kecelakaan, saat berada di kapal yang akan menyeberang tujuan pulau Bali," ucap Kahfi pelan dengan terbata-bata.

"Ayah!! Bunda!!" teriak Ayumi dengan sangat keras.

Sekilas bayangan mimpi tadi malam seakan menari-nari kembali dalam benaknya. Ayumi melempar sapu yang masih dipegangnya. Air matanya sudah luruh begitu saja membasahi pipinya.

Ayumi berlari menuju rumah dan masuk ke dalam kamarnya, pintu kamar ditutup dengan terbanting. Teriakan histeris menyelimuti ruangan kamar kecil itu.

"Kenapa!! Kenapa harus Ayumi yang mengalami hal ini. Kenapa bukan yang lain, Ya Allah. Bolehkah Ayumi berteriak dan marah padamu, Ya Allah?" teriak Ayumi yang semakin histeris.

Nenek Arsy dan Kahfi berlari mengikuti Ayumi ke kamar. Pintu kamar sengaja dibuka dengan keras oleh Kahfi. Nenek langsung berlari memeluk Ayumi dengan sangat erat.

Ayumi membalas pelukan Sang Nenek mencari kenyamanan di ceruk leher Sang Nenek.

Kahfi melihat keduanya sungguh merasa iba. Perasaannya tergerak untuk menolong kedua wanita ini hingga bisa tersenyum kembali.

"Nenek, Kahfi pulang dulu. Nanti biar Bapak yang mengurus semuanya," ucap Kahfi dengan sopan.

Nenek Arsy hanya melirik sekilas dan menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Kahfi kembali ke rumahnya dengan pikiran yang terus tertuju pada Ayumi. Ayumi gadis yang lemah lembut, ayu dan terlihat sholehah itu kini telah mengganggu pikirannya.

"Kahfi, berita duka itu sudah kamu sampaikan pada Nenek Arsy?" tanya Kyai Toha kepada Kahfi anak bungsunya.

"Sudah Pak. Mereka berdua menangis, dan Kahfi bingung harus berbuat apa? Tidak tega melihat kesedihan yang mereka alami seperti itu," ucap Kahfi menjelaskan kepada Bapaknya.

Bayangan Ayumi terus saja menari-nari dalam pikiran Kahfi sejak tadi.

'Perasaan apa ini sebenarnya, seperti tidak biasanya. Melihat perempuan cantik itu hal biasa bagi Kahfi, namun gadis ini seperti berbeda,' ucapnya dalam hati.

"Afnan ... " panggil Sang Ayah kepada Afnan anak sulungnya.

"Iya Pak. Ada apa?" tanya Afnan pelan dan sopan.

"Pergilah ke rumah Nenek Arsy. Bantu jika ada sesuatu yang harus kamu lakukan disana dan hibur Nenek Arsy serta cucunya yang baru saja kehilangan anak, menantu sekaligus orang tua," titah Kyai Toha kepada Afnan.

"Baiklah Pak. Afnan pamit untuk menemani Nenek Arsy disana," ucap Afnan pelan.

Kahfi hanya terdiam dan menatap ke arah Sang Ayah, berharap dirinya juga dititah untuk menemani keluarga Nenek Arsy.

"Kahfi, bagaimana sekolahmu?" tanya Kyai Toha dengan tegas.

"Baik Pak." jawab Kahfi dengan sangat pelan.

Kedua tangannya mengepal cukup erat. Sekolah dan tinggal di Pesantren adalah impian Kahfi sejak dahulu. Kahfi memiliki cita-cita yang cukup mulia, ingin menjadi Kyai seperti Ayahnya.

"Jangan lupa pada hapalanmu Kahfi. Kamu pasti bisa menjadi seorang Hafidz Qur'an," ucap Kyai Toha dengan sangat antusias.

"Doakan Kahfi Pak. Pak, ada yang ingin Kahfi bicarakan," ucap Kahfi pelan dengan sedikit gugup.

"Apa itu? Katakanlah anakku," ucap Kyai Toha dengan pelan.

Sementara waktu di lain tempat. Di kediaman Nenek Arsy, banyak orang datang untuk berbela sungkawa atas meninggalnya Bayu dan Alisha dalam kecelakaan kapal.

Jenazahnya belum ditemukan, tapi sudah dipastikan semua awak kapal dan penumpang meninggal.

Ayumi masih saja bersedekap pada kedua kakinya yang di tekuk. Sesekali wajahnya di benamkan di dekat kedua kakinya. Tangisannya masih terdengar walaupun hanya sesegukan.

"Gadis cantik, makan dulu ya?" ucap Afnan yang sudah membawa semangkok bubur dan teh hangat manis untuk Ayumi.

Ayumi tidak menjawab pertanyaan Afnan. Melirik juga tidak, bahkan malah membuang muka ke arah luar jendela kamar.

Afnan mencoba mendekat dan meletakkan mangkuk bubur dan segelas teh hangat di atas nakas. Lalu duduk di atas kasur dekat dengan Ayumi yang masih saja menangis.

"Bagaimana kedua orang tuamu bisa bahagia jika anak gadisnya menangis terus seperti ini, ucap Afnan pelan lalu mengambil boneka bebek yang ada di sekitar Ayumi.

Ayumi tetap diam dan tidak menggubris sama sekali ucapan Afnan.

"Ayumi, makan yuk? Kakak suapin, mau ya?" ucap Afnan dengan suara yang mirip dengan bebek dan mendekatkan boneka bebek itu pada Ayumi.

"Tolong pergi, biarkan Ayumi sendiri!" jawab Ayumi dengan sangat lirih. Tenaganya sudah habis untuk menangis. Perutnya juga mulai berdemo meminta untuk diisi dengan bubur yang tercium sangat enak dari mangkuk yang dibawa Afnan.

"Yakin pergi, itu perutnya berbunyi. Gak mau makan?" tanya Afnan pelan menggodanya Ayumi yang sudah jelas terlihat lapar.

Ayumi melirik ke arah mangkuk bubur di atas nakas. Hanya bisa menelan air liurnya.

"Makan ya?" ucap Afnan sambil mengambil mangkuk bubur dari atas nakas.

Afnan mengaduk bubur didalam mangkuk lalu menyendokkan bubur tersebut untuk disuapkan kepada Ayumi.

"Makan ya?" ucap Afnan mengulang ucapannya dan mendekatkan sendok tersebut ke bibir Ayumi.

Tanpa rasa malu-malu Ayumi sudah membuka mulutnya untuk menerima suapan bubur dari Afnan. Perutnya sudah benar-benar lapar, kepalanya juga sedikit pening karena lelah menangis.

Setiap suapan demi suapan, Afnan memberikan nasihat dan motivasi untuk Ayumi agar tetap semangat menjalani kehidupannya nanti.

"Namamu Ayumi? Nama yang cantik seperti orangnya," ucap Afnan pelan dan menatap kedua bola mata Ayumi yang masih bengkak karena sepanjang hari menangis.

"Kakak siapa?" tanya Ayumi pelan membalas tatapan Afnan. Suapan terakhir itu menutup pembicaraan mereka yang membuat Ayumi penasaran tentang Afnan.

"Ingat pesan Kakak. Jangan meratapi apa yang sudah menjadi takdir Allah," ucap Afnan singkat dan memberikan segelas teh manis hangat kepada Ayumi.

Ayumi menerima gelas tersebut dan meneguk teh manis hangat itu. Senyuman Ayumi mengembang saat Afnan menatap Ayumi tanpa berkedip.

3

Tepat seminggu Ayumi hidup berdua saja dengan Nenek Arsy. Ayumi sudah mulai ikhlas dengan semua takdir yang sudah digariskan dari Allah SWT.

"Ayumi, sudah siang Nak. Cepat berangkat ke sekolah. Ini hari pertama kamu sekolah," ucap Nenek Arsy yang masih mencuci piring.

Ayumi hanya terdiam, satu tangannya memegang gelas berisi susu putih kesukaannya yang sudah tinggal setengah gelas. Pandangannya terus menatap ke arah luar jendela dapur.

Hari ini adalah hari pertama Ayumi bersekolah sebagai siswi kelas IX di salah satu Sekolah Negeri terkemuka di daerahnya. Ada perasaan takut dan rasa tidak percaya diri saat menjadi siswi baru di sekolah dan lingkungan yang baru.

"Ayumi!!" teriak Nenek Arsy tepat di telinga Ayumi hingga membuat Ayumi terlonjak kaget mendengar suara keras menggema ditelinganya.

"Astagfirullah Nenek. Telinga Ayumi masih bagus pendengarannya, Nek, jadi tidak perlu berteriak seperti itu," ucap Ayumi sedikit kesal.

Nenek Arsy hanya terkekeh kecil dan tersenyum melihat tingkah kesal Ayumi yang mengerucutkan bibirnya hingga maju beberapa sentimeter ke depan.

"Nenek sudah beberapa kali panggil kamu. Tapi tetap saja melamun, kayak lagi jatuh cinta aja," ucap Nenek Arsy pelan dan meneguk sisa teh manis di gelasnya.

Ayumi menatap ke arah Nenek Arsy dengan perasaan bersalah. Lalu menghabiskan sisa susu yang masih ada. Tidak seharusnya Ayumi menjawab ucapan Nenek Arsy karena itu hal yang tidak baik dan tidak sopan.

"Ayumi berangkat dulu Nek," ucap Ayumi singkat. Ayumi segera beranjak dari kursinya dan mengambil tas dan perlengkapan sekolah lainnya untuk dibawa ke sekolah.

Nenek Arsy ikut berdiri mengantarkan Ayumi cucu kesayangannya hingga depan rumah.

"Kalau sudah waktunya pulang. Pulang dulu Ayumi agar Nenek tidak khawatir," ucap Nenek Arsy kepada Ayumi.

"Iya Nek. Ayumi berangkat dulu," ucap Ayumi pelan dan mencium punggung tangan Nenek Arsy dengan sopan.

Tin ... Tin ... bunyi klakson motor Kahfi yang sengaja datang untuk menjemput Ayumi. Kahfi turun dari motornya dan menyalami Nenek Arsy sekaligus meminta izin untuk mengantarkan Ayumi ke sekolah dengan alasan satu arah dengan arah sekolahnya.

"Nek, Ayumi biar Kahfi antar ke sekolah, kebetulan sekokah kita bersebelahan, sekalian satu arah." ucap Kahfi pelan sambil mengedipkan satu matanya kepada Nenek Arsy.

Melihat kelakuan Kahfi yang serba spontan itu, Nenek Arsy hanya menggelengkan kepalanya.

"Iya. Tapi cucu Nenek dijaga dengan benar ya?" ucap Nenek Arsy pelan kepada Kahfi.

"Siap Nek. Gak cuma dijaga. Tapi juga Kahfi sebut namanya di sepertiga malam Kahfi biar jadi Bidadari Surganya Kahfi. Aamiin," ucap Kahfi penuh semangat.

Nenek Arsy hanya melongo mendengar ucapan Kahfi yang terlihat spontan namun serius itu.

"Belajar dulu yang bener. Gak perlu mikirin cinta," ucap Nenek Arsy pelan kepada Kahfi.

Ayumi sejak tadi hanya terdiam menatap ke arah Kahfi. Tidak ada perasaan simpatik sedikitpun. Tampangnya memang ganteng, tapi tingkat rasa percaya dirinya terlalu tinggi dan terlihat sombong.

"Kok, Bidadarinya Kakak cemberut gitu." ucap Kahfi kepada Ayumi.

"Apa? Bidadarinya Kakak? Ayumi gak salah denger?" ucap Ayumi sedikit sewot. Kedua tangannya dilipat didepan dada dan wajahnya terlihat kesal.

"Awas nanti jatuh cinta lho," ucap Kahfi sekenanya dan menaiki motor besarnya.

"Gak akan!" jawab Ayumi tegas.

"Kita lihat aja nanti. Ayo naik nanti terlambat," ucap Kahfi pelan.

Kahfi hanya tersenyum dibalik helm full facenya. Hatinya sudah tertambat pada gadis manis yang akan diantarnya.

"Nek, berangkat dulu," pamit Kahfi pelan lalu memencet klakson motor tanda akan berangkat.

Ayumi sudah duduk di atas motor besar Kahfi. Kedua tangannya hanya bertumpu pada kedua pahanya sendiri tanpa memegang sang pengendara.

Kahfi hanya diam dan tidak mempermasalahkan itu. Bisa mengantarkan gadis kesayangannya saja sudah senang rasanya.

"Itu sekolahku, tepat disebelah sekolah kamu," ucap Kahfi pelan membuka pembicaraan.

Ayumi hanya diam dan tidak menanggapi ucapan Kahfi karena memang tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Kahfi.

Kahfi hanya terdiam tidak mendapatkan respon dari Ayumi. Motor besar itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah Ayumi.

Ayumi membaca nama sekolah yang ada di depan gerbang sekolah untuk memastikan nama sekolahnya. Setelah memastikan itu sekolah barunya. Ayumi turun dari motor besar itu dan melenggang masuk ke dalam halaman sekolah tanpa memperdulikan Kahfi yang sudah mengantarkannya.

Kahfi hanya terdiam dan menatap tubuh Ayumi dari belakang. Tidak ada amarah, atau rasa kesal. Kecewa sudah pasti, namun Kahfi tetap bisa menyembunyikan rasa kecewanya itu. Merasa gadisnya sudah masuk ke dalam, Kahfi pun segera tancap gas menuju sekolahnya.

Kahfi adalah siswa berprestasi di Sekolahnya. Kahfi tercatat sebagai santriwan aktif di Sekolahnya.

Motor besarnya sudah masuk ke dalam parkiran sekolahnya.

"Kahfi!!" teriak Bella keras dari arah halaman depan sekolah.

Kahfi hanya melirik sekilas dan melenggang masuk ke dalam koridor sekolah menuju kelasnya. Bella berlari mengejar Kahfi dan menarik lengan Kahfi dengan keras.

"Kamu kenapa Fi?" tanya Bella pelan menatap ke arah Kahfi yang tidak membalas tatapannya.

"Bella ... belajar! Kita mau ujian," ucap Kahfi singkat dan pergi meninggalkan Bella yang mematung menatap Kahfi dengan rasa kesal.

Kahfi memang dingin terhadap semua perempuan. Karena menurutnya perempuan itu bisa menjadi setan bagi cita-citanya sebagai hafidz. Tapi berbeda dengan Ayumi yang selalu membuat Kahfi semangat menggapai semua cita-citanya.

Di lain tempat, Ayumi berjalan menuju ruang kepala sekolah untuk memastikan kelas mana yang akan menjadi kelasnya nanti. Tepat di depan ruang kepala sekolah, Ayumi mengetuk pintu itu. Mendengar ada jawaban dari dalam, Ayumi membuka daun pintu dan masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.

"Namamu Ayumi? Baiklah kamu masuk di kelas IX B. Nanti biar diantar wali kelasmu," ucap Kepala Sekolah pelan.

Ayumi hanya menganggukkan kepalanya pelan dan menjawab ucapan Kepala sekolah.

"Baik Pak. Terima kasih," ucap Ayumi dengan sopan.

Terdengar suara pintu diketuk. Ada seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan tersebut dan duduk tepat di depan Kepala Sekolah.

"Permisi, bapak memanggil saya?" ucap seorang guru laki-laki itu. Suaranya terdengar sangat dikenali, namun wajahnya membelakangi Ayumi.

"Betul sekali Pak Afnan. Ini murid baru kita, Ayumi. Ayumi akan masuk di kelas Pak Afnan," ucap Kepala Sekolah pelan sambil menunjuk ke arah Ayumi menggunakan dagunya.

Afnan membalikkan tubuhnya dan menatap Ayumi yang terlihat berbeda dari beberapa hari yang lalu.

"Ayumi?" ucap Afnan terdengar pelan namun masih bisa di dengar oleh Ayumi dan Kepala Sekolah.

"Pak Afnan sudah kenal Ayumi?" tanya Kepala Sekolah sambil menatap heran kepada Afnan.

Afnan yang terlihat kaget dengan pertanyaan Kepala Sekolah hanya menjawab dengan anggukkan kecil kepalanya.

"Kak Afnan eh Pak Afnan," ucap Ayumi pelan.

"Ini tetangga saya Pak Kepala," ucap Afnan sedikit gugup. Hatinya sedikit berdesir setiap menatap Ayumi.

"Oh baiklah. Silahkan ke kelas, sudah waktunya masuk," ucap Kepala Sekolah menitah.

Ayumi dan Afnan menuju kelasnya. Sepanjang koridor mereka berdua hanya diam tanpa satu kata. Ayumi berjalan dengan menunduk dengan perasaan yang berkecamuk. Sedangkan Afnan berjalan lurus menatap koridor jalan, tetap dengan suasana hati yang tidak biasa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!