Kelas sudah mulai kosong, para murid mulai berangsur-angsur meninggalkan kelas. Bianca masih terdiam di kursinya tidak berniat untuk pulang lebih cepat. Dia hanya terdiam dengan tangan membuat coretan tinta di atas buku pelajarannya.
“Kamu enggak pulang?” tanya Adnan sang ketua kelas.
“Sebentar lagi,” jawab Bianca.
Adnan menyusun buku-buku murid yang ada di meja guru sesuai dengan urutan absen. Saat melihat nama Reagan yang masih dalam urutan membuat Adnan penasaran untuk bertanya. “Kamu sama Reagan sebenarnya dekat enggak sih? kalian kan saudara tapi aku lihat dia tidak pernah menyapamu padahal berpapasan.”
“Hubunganku dengan keluarga Reagan lagi enggak baik,” jawab Bianca lagi. Sekarang ia tak punya teman, meskipun Ignazio sudah membebaskannya tapi Bianca tidak berniat memiliki teman baru. Dia akrab dengan Adnan pun karena Bianca selalu diam di kelas sebelum pulang, dan Adnan harus mengurus urusan kelasnya seperti sekarang.
Adnan membuka laci yang ada di meja guru, untuk mengambil absen terbaru tanpa nama Anisa dan Reagan. Lalu kembali menyusun buku teman sekalasnya. “Rebutan harta?” tanya Adnan.
Bianca menghembuskan nafas sebalnya dengan wajah yang menatap Adnan dengan sedikit amarah. “Buat apa masalahkan harta, Daddy punya perusahaan sendiri begitu juga dengan Om Filio.”
“Lalu karena apa?” tanya Adnan kembali, seolah tak puas dengan jawaban Bianca.
“Karena kamu!” jawab Bianca dengan ketus. Ia memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tas dengan kasar. Dan berjalan keluar dari kelas.
“Mau ke mana?” tanya Adnan.
Bianca menghentikan langkahnya, ia berbalik dan menghadap Adnan. “Ya pulang lah.”
“Sini bantu aku dulu,” pinta Adnan ia menghampiri Bianca dengan seperempat buku teman sekelasnya. “Bawa ya,” mohon Adnan.
Dengan malas Bianca menerima buku tersebut dan berjalan lebih dulu. Adnan yang tidak ingin ketinggalan segera menyusul Bianca.
Saat berpapasan dengan Reagan, Bianca lebih memilih menegakkan wajahnya dengan pandangan lurus ke depan. Hatinya sedikit berdebar bahagia karena bisa bertemu Reagan, namun sebagian hatinya terasa sakit. Bagaimana tidak setelah malam itu Reagan bahkan tega meninggalkan Bianca di hotel begitu saja, belum lagi Bianca mencoba menghubungi Reagan namun pria itu tidak membalasnya sama sekali.
Adnan menyejajarkan langkah kakinya dengan Bianca. “Sok jual mahal ya,” ujar Adnan.
“Jual mahal apa, orang aku enggak jualan,” jawab Bianca tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Adnan.
“Sampai begitu ya kalian tidak saling akrabnya,” oceh Adnan lagi.
Bianca menghembuskan nafasnya kesalnya, pantas saja meskipun ketua kelas tidak ada yang mengidolakan Adnan jadi pacarnya. Kelakuannya saja melebihi ocehan ibu-ibu. Jika sudah terlalu kesal Bianca memilih diam tidak mau menjawab ucapan Adnan.
Sampai di ruang guru Bianca dan Adnan menyimpan buku teman kelas mereka di meja. Lalu berjalan keluar.
“Mau pulang bareng enggak?”
“Enggak, soalnya Bianca mau beli buku dulu,” tolak Bianca.
“Aku antar yuk, soalnya aku juga mau beli buku. Ada komik edisi terbaru,” ujar Adnan antusias. Ia tidak perlu pergi sendiri karena ada Bianca.
“Ayo.”
Sampai di tempat buku Adnan segera mencari ke bagian komik sementara Bianca menuju ilmu dan pengetahuan. Setengah jam lamanya mereka menjelajah akhirnya memutuskan bertemu di kasir.
Adnan membayar buku lebih dulu, sementara Bianca di Belakangnya.
Selesai membayar Adnan menarik Bianca untuk duduk sejenak makan siang di resto siap saji. Selesai membawa pesanan mereka lalu duduk di pojok agar tidak terganggu oleh orang yang berlalu lalang. “Aku lihat kamu beli buku tentang reproduksi, memang enggak cukup ya pelajaran dari sekolah. Atau ada yang kamu Enggak mengerti?” tanya Adnan.
“Ada yang aku enggak mengerti,” jawab Bianca berbohong. Padahal ia jelas-jelas ingin tahu tentang reproduksi. Apalagi ia sudah melihatnya secara langsung.
“Terus itu buku tentang kehamilan buat apa?” tanya Adnan lagi begitu detail.
“Oh, itu titipan kak Luisa dia kan lagi kuliah kedokteran katanya butuh buku tentang kehamilan,” jawab Bianca beralasan lagi yang pasti dirinya masih merasa waswas akan kejadian di malam pesta itu. Semuanya sangat mengejutkan, awalnya Bianca tidak mempedulikan kejadian malam itu hingga jadwal haidnya terlambat bahkan sudah dua bulan Bianca tidak mendapatkan haid hingga sampai saat ini yang akan menuju bulan ketiga belum menstruasi juga. Dan ia merasa harus mencari penyebabnya, belum lagi Fiona yang terus menerus bertanya jadwal haidnya dan berkata jika tidak kunjung haid harus di periksa ke dokter. Membuat Bianca sedikit ketakutan.
Adnan mengangguk dan memilih melanjutkan makannya sambil membahas beberapa tugas sekolah.
Seperti biasanya Adnan mengantar Bianca sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Bianca melambaikan tangannya saat mobil Adnan mulai berjalan.
Langkah kaki Bianca mengundang perhatian Fiona yang tengah duduk bersantai di ruang keluarga menikmati drama televisi. “Di antar siapa? Kenapa enggak minta jemput?” tanya Fiona.
“Di antar Adnan,” jawab Bianca.
“Sini kamu,” panggil Fiona dengan tangan bergerak memerintah Bianca untuk mendekat.
Akhirnya Bianca mendekat dan duduk di samping Fiona. Ia mengambil alih toples yang di pegang Mommynya.
“Belum haid juga?” tanya Fiona.
Bianca menggelengkan kepalanya dan memasukkan camilan ke dalam mulutnya sementara matanya fokus pada televisi.
_-Kamu itu harus bertanggung jawab, aku hamil anakmu-_
Bianca memperhatikan pemeran wanita yang menangis tersedu-sedu.
_-Kamu yang menjebakku malam itu. Jadi semua ini salahmu! Jangan memanfaatkan keadaan dan meminta pertanggung jawabanku-_
Bianca mulai tertarik menyimak film tersebut sambil memakan camilan yang ada di tangannya.
“Yah bersambung,” ucap Bianca dengan nada kecewa.
“Sejak kapan kamu suka menonton drama seperti ini?” heran Fiona. Tangannya mengambil toples lain dan mengganti saluran televisi.
“Enggak juga sih penasaran saja, memangnya apa yang mereka lakukan sampai hamil begitu, terus meminta bertanggung jawaban lagi,” tutur Bianca memandang serius Fiona.
“Ya apa lagi selain berhubung badan di luar pernikahan.”
“Memangnya tidak boleh ya?”
Pertanyaan polos Bianca membuat mata Fiona hampir keluar dari kelopaknya. “Jelas tidak boleh!”
“Apaan sih Mom, menyeramkan begitu mukanya.” Saking takutnya Bianca menggeser duduknya sedikit menjauh.
“Berhubungan badan di luar pernikahan itu jelas tidak boleh. Apalagi sampai hamil, memalukan nama baik keluarga,” ucap Fiona memberikan pengertian atas sudut pandang dirinya.
“Berhubungan badan di luar pernikahan itu jelas tidak boleh. Apalagi sampai hamil, memalukan nama baik keluarga.”
Ucapan Fiona membuat Bianca menelan salivanya dengan susah payah.
“Kenapa muka kamu pucat begitu?” tanya Fiona saat mendapati wajah anaknya berubah.
“Kurang akua Mom, Bianca dehidrasi.” Bianca bangkit dari duduknya. “Bianca mau minum dulu ya Mom,” ucap Bianca dan segera berlari menuju ruang makan. Sampai di sana Bianca mengeluarkan minuman dari lemari pendingin, ia membuka frezer dan melihat ice cream miliknya pemberian Reagan masih utuh. Bianca juga tidak berselera memakannya terlebih hatinya sering merasakan sakit jika mengingat betapa baik dan perhatiannya Reagan yang dulu.
Tangan Bianca menutup pintu lemari pendingin, ia bersandar pada dinding. Tangannya membuka penutup botol dan segera meminumnya.
“Bianca mommy sudah membuat janji untuk bertemu dokter besok setelah jam makan siang, jadi mommy akan menjemputmu besok,” ujar Fiona ia mendekati Bianca.
“Baik Mom,” jawab Bianca pasrah. Pikirannya melayang pada film tadi jika berhubungan badan dapat membuat wanitanya hamil, Bianca merasa harus memastikan itu tidak terjadi padanya. Ia tidak ingin membuat kejutan yang akan membuat gempar keluarganya. “Bianca ke kamar dulu ya Mom,” ucap Bianca.
Fiona mengangguk memberikan persetujuan. Meskipun kini Bianca mendapatkan kebebasan namun Fiona merasa lebih dekat dengan anak terakhirnya.
Bianca masuk ke dalam kamar, ia membaca seluruh buku yang ia beli. Tidak hanya itu ia juga mencari sumber yang ia ingin ketahui di internet. Namun semakin ia mencari membuatnya merasa takut dan khawatir. Beberapa sumber mengatakan kemungkinan besar hamil itu akan terjadi jika berhubung tanpa (kon tra sep si).
Bianca akhirnya memberanikan diri untuk memesan beberapa alat tes kehamilan dan vitamin agar tidak mencurigakan. Kini ia hanya menunggu kurir. Tidak hanya diam saja Bianca bahkan mencoba menghitung perkiraan usia janinnya jika memang pembuahan itu terjadi. Bianca cukup tercengang saat menghitung terakhir haidnya, perhitungan kalkulator kehamilan menyatakan bahwa usia kehamilan Bianca memasuki sembilan minggu. Bianca mencari usia janin sembilan minggu, ukurannya masih kecil bahkan tidak menonjol sama sekali. Iseng tangan Bianca meraba perutnya namun ia tidak merasakan apa-apa bahkan ia menekan sedikit bagian perutnya namun tidak terjadi apa ppun
Bianca mendengar suara pintu kamarnya di ketuk, ia melompat dari tempat tidur dan berlari ke arah pintu. Begitu pintu terbuka Bianca melihat asisten rumah tangganya yang berdiri di depan pintu.
“Ini non paket.”
Bianca menerima kotak tersebut dengan senyuman di bibirnya. “Terima kasih ya Bi.” Dengan antusiasnya Bianca masuk ke dalam kamar, tidak lupa ia mengunci kamarnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Bianca membuka kotak pesanannya, sepuluh macam merek alat tes kehamilan Bianca beli. Ia membaca caranya satu persatu. Setelah puas membacanya hal yang harus Bianca lakukan adalah menampung urine, ia mengambil wadah yang di sediakan alat tes kehamilan tersebut dan membawanya ke kamar mandi.
Bianca ke kembali ke kamar dengan urine yang sudah berhasil ia tampung. Bianca memilih melakukan hal tersebut di meja belajarnya, karena dari petunjuknya ia harus menyimpannya di atas bidang datar. Bianca membuka salah satu alat tes tersebut dan mencoba mencelupkannya, ia mengikuti aturan yang tertera di sana dan menunggu aliran air yang tampak mulai naik. Setelah waktunya selesai Bianca menaruhnya di bidang datar, betapa terkejutnya ia saat garis yang awalnya satu kini bertambah menjadi dua. Bianca mengambil bungkus petunjuknya dan membaca dengan teliti. Ia menelan salivanya dengan susah payah saat keterangan tersebut menyatakan bahwa Bianca hamil.
“Tenang Bianca, mungkin yang pertama sebuah kesalahan,” ucap Bianca mencoba menangkan dirinya sendiri.
Bianca mencoba yang kedua, hasilnya masih sama. Tidak pantang menyerah ia mencoba lagi yang ketiga, dan hasilnya masih sama.
Satu jam berlalu bahkan sepuluh tes kehamilan yang ia beli sudah di coba semuanya dan hasilnya sama, garis dua.
Tubuh Bianca lesu dengan wajah frustrasinya, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dan memejamkan matanya, ia harus mengambil langkah seperti di film tadi untuk meminta pertanggung jawaban Reagan.
Bianca mengambil kotak dan memasukkannya seluruh tes kehamilan yang sudah ia pakai. Dan mencoba menghubungi nomor Reagan, namun tidak di angkat. Bianca akhirnya mencoba mengirim pesan [Ada hal penting yang harus Bianca bicarakan, kita ketemu di taman dekat mal x sekarang juga].
Bianca menunggu balasan dari Reagan, di menit ke lima centang dua berubah menjadi biru tanda sudah di baca. Bianca menunggu siapa tahu Reagan membalas, namun di menit ke sepuluh tidak kunjung di balas.
Dari pada menunggu yang tidak pasti Bianca memilih mengganti baju sekolahnya dengan pakaian santai. Ia membawa tas dan memasukkan kotak berisi tes kehamilan tersebut, beserta dompet dan ponselnya.
Bianca keluar dari kamar, dan berjalan menuju kamar Fiona. “Mom,” panggil Bianca sambil mengetuk pintu.
Mendengar panggilan dari anaknya Fiona keluar dari kamar. “Ada apa?”
“Bianca mau jalan ya, bosan,” ucap Bianca.
“Sama siapa?” tanya Fiona. Ia harus memastikan siapa yang akan menemani anak gadisnya pergi.
“Sendiri aja, di antar sopir.”
“Pulang sebelum jam makan malam, jangan terlambat,” ucap Fiona mengingatkan peraturan yang berlaku.
“Baik Mom, Bianca berangkat dulu, bye.”
Bianca berjalan menuju gerbang depan tempat sopir bersantai menunggu perintah. “Pak antar Bianca ke Mall,” ucap Bianca saat bertatapan dengan sopirnya.
Dari rumahnya hingga ke mall memakan waktu tiga puluh menit. “Bapak pulang saja, nanti Bianca hubungi.”
Setelah kepergian sopir, Bianca tidak masuk ke dalam mall melainkan tempat ia dan Reagan hendak bertemu. Keadaan taman sore itu tidak begitu ramai, Bianca duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Sambil melihat ke segala arah untuk menemukan Reagan.
Bianca terkejut dengan hati yang berdebar mendapati Reagan yang berdiri tepat di depannya. “Reagan,” panggil Bianca dengan suara yang sangat pelan.
“Ada apa?” tanya Reagan.
Bianca mengeluarkan kotak dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Reagan.
Reagan yang merasa penasaran segera membuka kotak pemberian Bianca. Begitu kotak terbuka tubuh Reagan terpaku, bahkan untuk menarik nafas pun rasanya sulit. Garis dua dari beberapa tes kehamilan di dalam kotak tersebut sangat mengejutkan.
Manik Reagan bergerak menatap Bianca. “Kita perlu memeriksanya,” usul Reagan.
Bianca mengangguk. “Tapi aku harus pulang sebelum jam makan malam.”
Reagan menganggukkan ia memegang tangan Bianca dan berjalan.
Bianca berjalan di belakang Reagan, pipinya bersemu merah melihat tangannya di genggam Reagan. Sesuatu hal yang tidak pernah Bianca duga akan terjadi, ia pikir Reagan akan mengacuhkannya atau bersikap menolak seperti film yang di tontonannya. Hati Bianca berdebar gembira.
Reagan membawa Bianca pada salah satu klinik terdekat dari sana.
Penjaga administrasi yang berjaga memandang ke arah Reagan dan Bianca bergantian. “Ada yang bisa kami bantu?”
“Saya mau periksa kehamilan,” jawab Bianca.
“Sebelumnya pernah periksa di tempat lain?”
“Tidak, ini pertama kalinya.”
Suster menanyakan beberapa hal untuk pengisian data diri, lalu meminta Bianca untuk menunggu antrean bertemu dengan dokter.
Reagan berjalan di samping Bianca dan kembali duduk di samping Bianca. Tidak berapa lama nama Bianca di panggil dan mereka masuk ke dalam untuk menemui dokter kandungan.
Dokter tersebut menatap ke arah Bianca dan Reagan bergantian. “Apa kalian ini suami istri?”
Reagan menggelengkan kepalanya lebih dulu. Sementara Bianca hanya terdiam dengan wajah menunduk.
“Kita periksa rahimnya dulu ya,” ucap dokter. Suster mengarahkan Bianca untuk naik ke atas tempat pemeriksaan.
Dokter melihat layar yang menampilkan hasil USG. Begitu juga dengan Reagan dan Bianca.
“Kita bicara di kursi saja,” ucap Dokter.
Suster membersihkan jel yang menempel di kulit Bianca lalu menuntun Bianca untuk bangkit dengan cara yang harus di lakukan oleh ibu hamil, miring terlebih dahulu lalu bangun dengan perlahan.
Bianca kembali duduk di kursinya bersama Reagan.
“Keadaan janinnya cukup bagus, usianya kini menginjak sembilan minggu. Namun di usia Bianca yang masih muda sebetulnya kehamilan ini sedikit berisiko, namun kita berdoa saja untuk kelancarannya.”
Bianca merasa lega mendengar penuturan dokter.
Selama di dalam Reagan tidak banyak bicara bahkan sampai selesai pemeriksaan dan mengambil vitamin pun mulut Reagan masih terkatup rapat.
Bianca ikut masuk ke dalam mobil Reagan, dan duduk di kursi penumpang samping kemudi. “Reagan,” panggil Bianca.
Reagan menengok ke arah Bianca yang memanggilnya.
“Apa yang sekarang harus kita lakukan? Sekarang Bianca hamil, Reagan harus bertanggung jawab,” ucap Bianca mengikuti kata-kata di film tadi.
“Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Reagan mengalihkan topik pembicaraan.
“Jangan, yang ada semuanya akan semakin kacau.” Bianca tidak ingin hubungannya dengan Reagan renggang lagi, apalagi kini ia sedang mengandung anak Reagan.
“Antar Bianca ke mal saja, nanti Bianca pulang bersama sopir.”
Saat mobil melaju beberapa kali Bianca melirik ke arah Reagan. Rasanya tidak aneh jika Reagan tidak banyak bicara, karena itu memang sifatnya. Namun Bianca penasaran akan kelanjutan hubungannya. Tetapi ia juga merasa tidak enak jika menanyakan hal ini sekarang juga, Reagan pasti terkejut dengan keadaan ini. Sejujurnya Bianca juga terkejut, namun ia lebih senang karena ia mengandung anaknya Reagan. Dan ia berharap hubungannya dengan Regan akan membaik. Karena sampai saat ini Bianca masih mencintai Reagan, meskipun orang tuanya melarang tapi rasa cinta itu tidak bisa pergi begitu saja.
Andai Reagan tidak memilih menghindar sampai kapan pun Bianca tidak akan menuruti perintah orang tuanya untuk menjauhi Reagan. Namun Reagan sendiri yang menjauh, bahkan sampai tidak bisa Bianca gapai. Namun dengan kehadiran bayi di kandungannya Bianca berharap Reagan akan berjuang.
Sesampainya di mal Bianca turun dari mobil Reagan.
Reagan membuka pintu kaca mobilnya. “Hati-hati,” ucap Reagan sebelum melajukan mobilnya.
Bibir Bianca tersenyum dengan pipi yang bersemu merah. Ia sangat bahagia mendapatkan perhatian Reagan lagi.
Bianca menatap kepergian mobil Reagan, lalu ia mengeluarkan ponselnya menghubungi sopir. Sambil menunggu Bianca masuk ke dalam mal untuk membeli minuman dingin.
Setelah pesanannya selesai Bianca kembali ke depan dan mendapati mobil sopirnya terparkir. Ia masuk ke dalam mobil. “Ayo pulang pak sebelum mommy marah,” ucap Bianca setelah duduk dengan tenang.
Sopir melajukan mobil keluar dari area parkir sementara di sisi lain mobil Reagan masih terparkir. Ia merasa cemas meninggalkan Bianca sendirian sehingga menunggunya dari kejauhan memastikan Bianca baik-baik saja. Kini perasaannya tenang setelah melihat Bianca masuk ke dalam mobil. Reagan bisa kembali bekerja dan fokus pada pekerjaannya.
Sesampainya di rumah Bianca segera menuju ruang makan. Menu makan malam sudah tertata rapi di atas meja. Bianca duduk di samping Luisa dengan senyuman di bibirnya.
“Kenapa lama?” tanya Fiona.
“Keasyikan jawab Bianca.” Tangannya membalikan piring dan mengisinya dengan makanan.
“Jangan di ulangi lagi ya,” ucap Fiona memperingati.
“Kamu kok enggak ajak kakak sih kalau mau jalan, kan bisa Kaka temani,” timpal Luisa. Ia mendapat perintah dari Ignazio untuk menemani adiknya, apalagi yang Luisa tahu setelah kejadian Anisa di pindahkan kelas Bianca tidak punya teman selain Adnan.
“Mendadak sih, soalnya bosan di rumah. Ingin jalan saja, lagian kak Luisa belum pulang saat Bianca berangkat.”
“Lain kali ajak kakak ya.”
Bianca mengangguk dan mulai menikmati makan malamnya.
Iganzio dan Fiona sedikit merasa tenang saat melihat wajah Bianca yang tampak bahagia, sebelumnya mereka tidak pernah melihat hal ini beberapa bulan ke belakang. Kini mereka merasa sedikit tenang melihat perubahan Bianca.
***
Seharian ini Bianca merasa sangat resah, pasalnya ia belum mendapatkan alasan untuk menolak ajakan Fiona yang akan membawanya ke dokter.
‘Ayo Bianca berpikir,' ucap Bianca pada dirinya sendiri.
“Kamu enggak pulang?” Tanya Adnan.
“Sebentar lagi,” jawab Bianca. Ia melihat ponselnya yang bergetar tanda panggilan masuk dari Fiona.
“Mau bareng?” tanya Adnan.
“Enggak perlu, di jemput Mommy kok. Ini lagi di jalan katanya,” jawab Bianca. Tangannya mulai berkeringat dingin memandangi panggilan dari Fiona. Ia tidak tahu harus beralasan apa.
“Oke deh. Kalau begitu aku pulang dulu ya,” pamit Adnan.
Bianca mengangguk. Ia bernafas lega saat telepon dari Fiona mati. Ia segera mengirim pesan pada Reagan.
[Reagan tolong, aku ada di kelasku.]
Bianca menunggu dengan perasaan cemas, tidak sampai lima menit Bianca sedikit merasa lega saat melihat Reagan masuk ke dalam kelas.
“Ada apa?”
“Mommy mau mengajakku ke dokter karena khawatir aku tidak kunjung datang bulan, sekarang Mommy ada di depan mau menjemputku untuk ke dokter sekarang juga,” ucap Bianca.
Reagan diam beberapa saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Bianca. “Kamu ada jangka?”
“Ada,” jawab Bianca ia mengambil tempat pensil dan menyerahkan jangka yang di minta pada Reagan. Bianca terkejut saat melihat Reagan melukai tangannya dengan ujung jangka yang runcing.
“Kamu mau apa? jangan bunuh diri,” ucap Bianca panik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!