NovelToon NovelToon

Bunda Bukan Wanita Malam

Prolog

Sebuah pernikahan harusnya menjadi babak baru dalam kehidupan seseorang, tak terkecuali bagi Alviana Andini. Seorang wanita muda yang akan dinikahi oleh seorang pria dewasa bernama Wiratama Abimanyu Sudarmadi.

Dengan balutan kebaya putih yang semakin memancarkan aura kecantikannya, Via duduk di sisi pria yang sebentar lagi akan berstatus sebagai suaminya. Lirikan penuh kebencian Wira terarah pada dirinya, yang membuat wanita itu menunduk takut.

"Saya terima nikah dan kawinnya Alviana Andini Binti Adam dengan mahar seperangkat alat shalat dibayar tunai." Suara lantang Wira terdengar begitu merdu mengucapkan ijab qabul. Via memejamkan matanya sesaat dengan tetesan air mata membasahi wajahnya. Beberapa orang saksi pernikahan yang hadir menyerukan kata sah.

Tangannya terulur, hendak menyalami sang suami. Namun yang diperoleh Via tidak seperti pengantin lain, tak ada senyuman, tak ada kecupan lembut di kening.

Malam pengantin yang seharusnya menjadi malam terindah bagi Via nyatanya menjadi malam paling menyedihkan dalam hidupnya. Bagaimana tidak, ia ditinggalkan di malam pertama pernikahannya. Lelaki tampan yang baru saja menjadi suaminya sangat membenci dirinya dan bersumpah akan membuat Via hidup bagai di neraka.

Kebencian Wira pada Via bukan tanpa alasan. Dengan julukan sebagai wanita murahan, Wira tak henti-hentinya menghina Via yang diketahuinya berprofesi sebagai seorang wanita penghibur.

Jika boleh memilih, Via bahkan tak ingin menginjakkan kakinya kedalam kubangan lumpur yang menodai nilai kesuciannya sebagai seorang wanita.

Wira memutuskan menikahi Via demi menjauhkan ayahnya dari godaan Via, yang ia duga merupakan wanita simpanan ayahnya. Yang membuat Wira seakan tak percaya adalah ayahnya sangat mendukung keputusannya menikahi wanita malam tersebut.

"Jangan pernah bermimpi untuk bisa menjadi istriku yang sebenarnya. Wanita kotor sepertimu bahkan tidak layak untuk laki-laki mana pun," ucap Wira seraya mendorong tubuh Via hingga terhempas ke atas sebuah kasur lantai yang lusuh.

Sekuat tenaga, Via menahan air matanya agar tidak terjatuh. Dalam hati masih ada keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Akan ada keajaiban baginya. Hanya doa dan harapan yang menguatkannya, bahwa suatu hari Wira akan melembutkan hatinya.

Namun, ucapan Wira seakan menorehkan sayatan sembilu di hati gadis rapuh itu. Pertahanan yang dibangunnya runtuh menahan lara di hati, manakala Wira meninggalkannya dalam sebuah kamar sempit yang lebih layak disebut gudang. Tangis pilunya memecahkan keheningan malam, kesunyian seolah memeluknya erat.

****

"Wira, kau sudah mulai mabuk. Pulanglah! Bukankah ini malam pengantinmu. Harusnya kau menikmati malam pertamamu di rumah bersama istrimu, bukannya malah mabuk-mabukan disini," ucap Ivan, seorang sahabat Wira.

"Haha, kau tau alasanku menikahi wanita malam itu, Van. Aku menikahinya hanya untuk membalas sakit hatiku pada ayah. Teganya dia berselingkuh dengan wanita murahan itu, sementara ibuku sedang sakit."

"Tapi ayahmu bukan orang seperti itu. Mungkin kau salah, Wira."

"Aku pernah melihat buktinya, Van. Aku melihat mereka keluar bersama dari tempat hiburan malam," jawabnya dengan yakin. "Dia wanita menjijikkan, dan kau malah menyuruhku pulang? Aku lebih baik minum di sini," sahut Wira yang suaranya sudah mulai berat.

"Hentikan ini! Ayo, aku akan mengantarmu pulang!"

"Tidak! Aku bahkan tidak mau melihat wajah wanita murahan itu. Bagiku dia sangat menjijikkan," imbuhnya seraya menenggak minuman.

"Kalau begitu istirahat di rumahku saja. Bagaimana?" tawar Ivan lagi.

Sejenak laki-laki itu mengerutkan dahinya, pertanda sedang memikirkan sesuatu.

"Baiklah ... Tolong bantu aku berdiri. Kepalaku terasa berat."

Ivan pun menggotong Wira keluar dari tempat itu lalu membawa pulang ke rumahnya untuk beristirahat.

***

Via PoV

Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di rumah laki-laki yang telah resmi menjadi suamiku, Mas Wira. Seorang pria dingin, sedikit arogan, pemarah dan kaku.

Mas Wira sudah pernah menikah sebelumnya. Aku dengar beberapa tahun lalu istri pertamanya pergi dengan membawa anak pertama mereka dan menuntut cerai. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti.

Menikah dengan seseorang yang teramat membenciku bukan sesuatu yang kuharapkan sebenarnya. Dan sampai sekarang, aku tidak tahu, apa alasan Mas Wira mengikatku ke dalam sebuah pernikahan dengan beberapa syarat yang bagiku sangat berat.

Yang aku tahu, Mas Wira memandang hina diriku karena pekerjaanku sebelumnya. Aku pernah bekerja sebagai seorang wanita penghibur. Bukan tanpa alasan, aku rela menjadi wanita malam. Demi membiayai pengobatan putri angkatku, Lyla.

Gadis kecilku yang kini berusia 4 tahun. Dia mengidap penyakit leukemia. Lyla divonis mengidap penyakit mematikan itu saat usianya satu tahun. Dan sejak saat itu aku berjuang untuk membiayai pengobatannya, sendirian. Aku tinggal di Panti Asuhan Kasih Bunda sejak masih bayi. Karena itulah aku tidak mengenal siapa orang tuaku.

Melihat kondisi tubuh Lyla yang semakin hari semakin lemah membuat hatiku seakan diremas, bagaimana anak sekecil dirinya bisa bertahan melawan penyakit mematikan itu. Tubuh lemahnya bahkan tak mampu membelenggu semangatnya untuk terus bertahan hidup. Tubuhnya rapuh, tapi semangatnya menyala seperti mentari. Bahkan dia tidak pernah menangis walau pun merasa sakit.

Jika seorang anak lemah seperti Lyla saja mampu berjuang melawan sakitnya, kenapa aku tidak bisa berjuang untuk membiayai pengobatannya yang mahal. Aku bersumpah pada diriku sendiri, akan ku lakukan apapun demi Lyla kecilku. Aku akan berjuang keras untuknya.

Dan kenyataan pahit adalah, aku tidak mungkin bisa membiayai pengobatan Lyla sementara aku hanya seorang karyawan biasa di sebuah butik. Kadang aku menerima pekerjaan lembur, walaupun bayaran tak seberapa.

Suatu hari aku mendapatkan tawaran kerja dari seorang teman semasa sekolahku, Laras. Ia menawarkan pekerjaan dengan penghasilan menggiurkan. Karena aku hanya lulusan SMA, sehingga hanya pekerjaan dengan gaji tidak terlalu besar yang bisa kudapat.

Dengan mata berbinar, aku menanyakan pada Laras tentang pekerjaan apa yang sedang digelutinya. Aku benar-benar ingin mendapatkan pekerjaan layak dengan gaji besar untuk bisa membiayai pengobatan Lyla

"Tidak begitu sulit. Tugas mu hanya menemani tamu mu duduk dan menyenangkan mereka," jelasnya.

Aku diam mematung mendengarkan penjelasan singkatnya. Apakah ada pekerjaan yang hanya menemani seseorang duduk dan membuatnya senang? Pekerjaan macam apa itu, pikirku.

"Hanya menemani duduk, lalu digaji sebesar itu?" tanyaku yang belum mengerti penjelasan Laras.

"Iya, kalau kau ingin mendapatkan lebih, kau bisa melayani mereka. Setelah mereka puas, mereka akan memberimu bonus yang besar," imbuh Laras kemudian.

Aku kembali membeku. Perlahan aku mulai bisa menebak pekerjaan macam apa yang sedang ditawarkan oleh temanku itu. Dengan perasaan berkecamuk aku memberanikan diri menanyakannya lagi.

"Ap... apa maksudmu pekerjaan ini adalah menjadi wanita penghibur begitu?" tanyaku ragu-ragu.

"Iya... benar. Memang pekerjaan apa yang bisa kudapatkan dengan bekal ijazah SMP?"

Aku membelalakkan mataku tak percaya. Ternyata selama ini temanku bekerja sebagai wanita penghibur. Tidak, aku tidak boleh menerima tawarannya sekalipun aku butuh. Dengan keyakinan penuh aku menolak tawaran kerja yang diberitahukan temanku tersebut.

Namun, hal lain justru terjadi, kondisi kesehatan Lyla semakin memburuk. Sedangkan kami tidak punya cukup uang untuk berobat.

Kata dokter, Lyla dapat tertolong dengan pencangkokan sumsum tulang belakang dari pendonor orang tua atau saudara kandungnya. Sementara aku sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua kandung Lyla, dimana mereka berada, dan mengapa mereka membuang Lyla-ku yang malang.

Aku pun teringat kembali pada tawaran Laras. Dengan sangat terpaksa, aku mendatangi Laras untuk menawarkan diriku dan memohon diberi pekerjaan itu.

Ya Tuhan, kenapa sepertinya takdir menarikku ke dalam lubang hitam itu. Aku seperti akan tenggelam ke dalam lumpur hitam yang dalam.

Langkahku terasa berat, bahkan bernafas pun aku sulit. Namun, inilah pilihan satu-satunya yang dapat kutempuh untuk mengobati Lyla. Laras pun mengenalkanku dengan seorang pria yang merupakan bos pemilik sebuah tempat hiburan.

Dan kisahku menjadi seorang wanita malam pun dimulai ....

🌵🌵🌵🌵🌵🌵🌵

Novel ini banyak kisah sedihnya jadi harap sedia kanebo untuk menyeka air mata.

Jangan lupa tinggalin like dan komen ya man teman. 🤭🥰🥰🥰

Hari pertama

Flashback on (Author POV)

Malam itu Laras membawa Via menemui seorang pria. Saat memasuki tempat terkutuk itu, Via merasa seperti ditarik ke dalam lumpur kotor. Rasanya ingin berlari keluar meninggalkan tempat itu. Namun, setiap teringat kondisi Lyla, ia mencoba menguatkan hatinya.

"Bos ini gadis yang akan bergabung bersama kita," ucap Laras pada seorang pria bertubuh kekar. Marco, seorang pria berusia 35 tahun yang diketahui sebagai pemilik tempat hiburan. Laki-laki itu tersenyum menatap Via, memperhatikan dari ujung kaki ke ujung kepala.

"Cantik juga temanmu. Namanya siapa?" tanya laki-laki itu.

Dengan perasaan malu bercampur ragu, Via menyebutkan namanya. "Nama saya Alviana, Tuan!" jawabnya.

"No no no...! Jangan pakai nama asli. Disini kau akan dipanggil dengan nama samaran. Bagaimana kalau aku memberimu panggilan, Cleopatra. Bagaimana Scarlet?"

"Bagus, Bos, sesuai," jawab Laras diiringi senyum khasnya. Laras menggunakan nama panggilan Scarlet di sana. Dan mulai hari itu Via menjadi Cleopatra. Laras pun mulai mengenalkannya pada dunia malam, dunia yang bagi Via sangat kelam.

Via masuk ke ruang ganti ditemani Laras. Ia membantu berhias diri layaknya wanita-wanita penghibur lainnya. Dandanan menor dengan pakaian cukup terbuka. Via bahkan malu menatap pantulan dirinya di cermin.

"Ras, apa tidak ada pakaian selain ini?" Via kembali meneliti tubuhnya dengan balutan pakaian itu. "Ini terlalu terbuka."

"Memang inilah pakaian yang cocok, Cleo ..." Laras sudah mulai memanggil nama samaran Via. "Kita disini untuk menghibur. Kalau pakaianmu tertutup, mana ada pria yang mau menyewa jasamu?" jelas Laras.

Mendengar ucapan Laras, Via meneteskan air mata. Seberat inikah ujian dalam hidupnya? Keterbatasan membuatnya memilih jalan pintas. Akan tetapi, Via tidak punya pilihan lain untuk ditempuh.

Aku harus kuat demi Lyla. ucapnya dalam hati.

"Via, awalnya aku juga begitu. Tidak ada satu wanita pun yang rela menjual diri jika bukan karena keadaan terpaksa. Awalnya aku juga berat, tapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Kau pun akan seperti itu," ucap Laras seraya mengusap bahu Via.

Via mengangguk pelan, namun segenap hatinya menolak.

Setelah selesai berhias diri, Via dan Laras keluar dari ruang ganti. Mereka berjalan menuju sebuah meja, dimana beberapa pria sedang minum. Tidak pernah menginjakkan kaki di tempat semacam itu sebelumnya membuat Via benar-benar ketakutan. Di tempat itu hanya ada pria hidung belang dan pemabuk, dengan seorang wanita yang setia menuang minuman di sisinya.

Di sanalah pertama kali Via bertemu dengan Wira. Seorang pria tampan yang duduk seorang diri di sudut, sementara temannya yang lain menikmati kebersamaan dengan wanita. Satu hal yang Via tahu, Wira berbeda. Laki-laki itu bahkan tidak ingin didekati atau disentuh, walau pun beberapa wanita cantik menawarkan diri padanya. Via kemudian melirik Laras, yang kini bergelayut manja di lengan seorang pria, sambil menuang minuman. Ia memberi Via kode dengan kedipan mata, seolah menunjukkan pada Via, cara untuk merayu.

Dalam hitungan detik, seorang pria menariknya untuk duduk bergabung di sana. Via mencoba menghindar, namun pria itu menyodorkan sejumlah uang padanya. Dan demi apapun, jika tidak mengingat biaya pengobatan Lyla, Via pasti sudah melemparkan uang itu ke wajah pria hidung belang itu. Akhirnya ia hanya mampu berdiam diri di tempat duduknya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sedangkan Laras begitu menikmati perannya.

*****

"Kau harus bayar harga yang pantas untuk dia," ucap Marco pada seorang pria.

"Baiklah, berapa aku harus membayarnya? Kau bisa menjamin dia barang baru, kan?"

Aldi, seorang pria hidung belang, yang juga merupakan teman minum Wira, malam itu mendatangi Marco untuk menyewa jasa Via untuk semalam.

Marco kemudian membisikkan nominal yang harus dibayar oleh pria tersebut untuk dapat menghabiskan malamnya bersama Via. Walaupun terkejut dengan nilai yang disebutkan oleh Marco, namun ia tetap menyanggupi.

"Mahal juga ya ..." ucap Aldi.

"Kalau kau tidak sanggup, aku akan memberikannya pada orang lain."

"Tidak ... tidak ... aku menginginkannya. Akan kubayar berapapun untuk mendapatkannya."

"Baiklah."

Via menyapu air mata yang menetes membasahi wajahnya, saat mendengar pembicaraan Aldi dan Marco. Akhirnya, ia benar-benar telah menjual harga dirinya. Sesuatu yang mungkin akan menodainya seumur hidup.

Setelah menyelesaikan urusannya dengan Marco, Aldi pun mengajak Via meninggalkan tempat itu menuju sebuah hotel mewah. Saat hendak keluar, bersamaan dengan Wira yang juga akan pergi dalam keadaan setengah mabuk. Wira sempat melirik sinis pada Via, membuat wanita itu menunduk malu.

Sepanjang perjalanan Via diam membisu, walaupun Aldi beberapa kali membuka suara, namun ia bagai tidak mengindahkan keberadaan Aldi di sana. Pikirannya melayang, dan pandangannya hanya mengarah pada keramaian jalan malam itu.

"Cleo ... kau dipanggil Cleopatra kan?" tanya Aldi memulai pembicaraan untuk yang kesekian kalinya.

"Ii-iya..." jawabnya gemetar.

"Kenapa kau mau menjadi seorang wanita penghibur? Bukankah dengan begitu kau baru saja menghancurkan hidupmu?" tanya-nya kemudian.

Via hanya mendengar pertanyaannya tanpa menjawab. Ia lebih memilih diam. Hingga kurang dari satu jam, mereka tiba di sebuah hotel mewah. Memasuki sebuah kamar, hal pertama yang dipikirkannya hanya kehancuran masa depannya. Terutama dosa yang mungkin tidak bisa dipertanggungjawabkan nantinya pada sang pencipta.

"Kau suka tempat ini?"

"Tidak," jawabnya datar.

Perlahan Aldi melangkah mendekati Via, seiring dengan langkah kaki Via yang terus mundur ke belakang. Ia bahkan sudah gemetar ketakutan.

"Ada apa Cleo? Kenapa kau terus melangkah mundur?"

Cairan bening mulai menggenangi bola mata Via, saat punggungnya telah menempel dengan dinding. Akan tetapi Aldi tidak begitu peduli. Ia menelan saliva, saat pandangannya menjelajahi tubuh indah dan seksi yang kini berdiri di hadapannya. Rasanya sudah tidak sabar untuk menyentuh setiap bagiannya. Laki-laki itu menarik dengan kasar pergelangan tangan Via dan berusaha memeluknya. Namun, Via mendorongnya hingga mundur beberapa langkah.

"Tolong jangan sentuh aku!"

"Apa maksudmu, Cleo? Aku sudah membelimu. Aku membayarmu dengan harga yang sangat mahal untuk malam ini. Jadi sekarang layani aku," teriak Aldi seraya menarik tangan Via dan menghempasnya ke atas tempat tidur.

Via berusaha memberontak dengan sekuat tenaga, hingga pakaiannya sobek di beberapa bagian, namun Aldi yang telah dikuasai oleh nafsu tidak memberi celah. Saat ingin menciumnya, Via menendang perut lelaki itu dengan keras hingga meraung kesakitan. Tak ingin kehilangan kesempatan, Via memanfaatkan keadaan itu melarikan diri.

Sambil menahan tangis, Via berlari melewati lorong panjang, mencari jalan keluar. Saat tiba di sebuah lift, ia menabrak seorang pria paruh baya.

Ma-- maaf," ucapnya terbata-bata seraya menoleh kebelakang, takut jika Aldi menemukannya di sana.

"Tidak apa," ucap pria itu. Melihat ketakutan di wajah Via, ia kembali bertanya. "Ada apa, Nak? Apa seseorang mengejarmu?"

Via belum sanggup menjawab. Hanya sesekali menoleh kebelakang sana.

Pria paruh baya itu memperhatikan penampilan Via dengan pakaian sedikit terbuka dan sobek di beberapa bagian. Merasa kasihan, ia pun memberikan jas miliknya untuk menutupi tubuh Via, lalu mengajaknya masuk ke sebuah kamar besar.

"Tenanglah, kau aman di sini," ucapnya berusaha meredam tangisan Via yang semakin menjadi.

Kata orang, Tuhan tidak akan memberi manusia ujian melebihi batas kemampuannya. Via merasa yakin, karena itulah Tuhan mengirim seorang malaikat untuk menolongnya malam itu, seorang pria baik hati bernama Tuan Gunawan.

****

Di paksa kembali

Malam itu, masih dengan sisa ketakutannya, Via menceritakan segala yang dialaminya pada Tuan Gunawan. Tentang hidupnya dan alasan yang membuatnya rela menjadi wanita penghibur, membuat pria paruh baya itu menatapnya dengan iba.

"Jadi kau melakukan semua ini demi anakmu yang sakit?" tanya Tuan Gunawan diiringi anggukan kepala oleh Via.

"Aku juga tidak mau masuk ke dunia itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain."

"Aku bisa mengerti, Nak. Pasti semua ini berat bagimu. Tapi bukankah kau bilang anak itu hanya anak angkatmu? Dan kau rela melakukan semua ini demi anak yang tidak memiliki hubungan darah denganmu?"

Via mengusap setitik air matanya. "Bagiku Lyla adalah segalanya. Dari ibu manapun dia terlahir, bagiku dia tetap anakku."

Pria itu tersenyum tipis, ada kekaguman besar pada sosok wanita muda di depannya, yang baginya memiliki hati yang begitu lembut.

Tidak lama kemudian, seorang karyawan hotel masuk ke kamar itu dengan membawa sebuah paper bag. "Permisi, Tuan. Ini pesanan anda."

"Letakkan di meja saja, terima kasih." Ia meraih dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang, dan memberikan pada karyawan hotel itu. Setelahnya menggeser paper bag itu ke hadapan Via. "Ini pakaian untukmu. Gantilah pakaianmu di kamar mandi."

Ragu-ragu, Via meraih benda itu dan melangkah masuk ke kamar mandi. Dalam hati ada sedikit rasa lega, namun juga bingung, mengapa pria paruh baya itu sangat baik pada seseorang yang baru dikenal.

*********

_

_

"Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya sesaat setelah Via keluar dari kamar mandi.

"Tidak usah, Tuan. Saya akan pulang sendiri. Anda sudah menyelamatkan saya tadi."

"Tidak apa-apa. Aku akan mengantarmu. Di luar malam-malam begini berbahaya untuk seorang gadis."

Bersama seorang asisten, Tuan Gunawan mengantar Via pulang dengan sebuah mobil mewah. Sepanjang jalan, pria paruh baya itu menanyakan banyak hal dan Via menjawab apa adanya walaupun masih terlihat cukup malu. Dua pria yang duduk di kursi depan bahkan terlihat cukup heran dengan tuannya yang tidak biasanya senang berbicara dengan orang asing.

Kurang dari tiga puluh menit, mereka tiba di panti asuhan ...

"Jadi kau tinggal di sini?"

Via menyahut dengan anggukan, diiringi senyum tipis. "Tuan, terima kasih sudah menolong dan mengantar saya pulang. Semoga suatu hari saya bisa membalas kebaikan Tuan."

****

_

_

_

_

"Assalamu alaikum ..." ucap Via saat masuk ke dalam rumah.

"Walaikum salam." Seorang wanita paruh baya datang menghampiri, dengan raut wajah khawatir. "Via ... kamu darimana, Nak? Kenapa baru pulang?"

Bu Retno, seorang wanita paruh baya pengurus panti asuhan. Seorang wanita yang telah dianggap Via bagai ibu sendiri.

"Lembur, Bu... Aku menerima pekerjaan sambilan."

"Kerja sambilan? Apa itu?"

"Bantu teman menyelesaikan orderan, Bu," jawab Via berbohong. Ia tidak mungkin jujur pada wanita itu bahwa dirinya menerima pekerjaan sebagai wanita penghibur. Jika Bu Retno tahu, beliau pasti akan sangat sedih. Sebab setahunya Via adalah anak yang baik, sopan, dan rajin beribadah.

Wanita itu mengusap puncak kepala gadis yang telah dibesarkannya itu, ada rasa sedih terlihat di sana, menyaksikan betapa Via berjuang untuk seorang anak yang bukan darah dagingnya.

"Kamu sudah bekerja keras untuk Lyla, Nak. Allah pasti membalas semua kebaikanmu." Ia mengusap setitik air matanya. "Ya sudah, sekarang makan dan istirahat. Kamu pasti belum makan."

"Iya, Bu!" jawabnya pelan, tanpa berani menatap wajah teduh wanita paruh baya itu. "Bu... ini ada sedikit uang. Lumayan buat tambah-tambah biaya berobat Lyla."

Via menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada Bu Retno. Ia dapat melihat wajah Bu Retno yang sedikit heran, seolah ada pertanyaan darimana Via mendapatkan sejumlah uang itu yang bahkan lebih dari gajinya di butik tempatnya bekerja.

Demi menghindari pertanyaan yang Via tidak sanggup menjawab, ia memilih masuk ke kamar. Di sanalah ia menangis sejadi-jadinya. Perasaan bersalah yang teramat besar. Bukanlah hasil kerja halal yang ia berikan pada Bu Retno, melainkan uang yang baginya haram.

Via teringat kejadian buruk yang dialaminya tadi, menyesali keputusannya sendiri. Puas menangis, Via masuk ke kamar mandi dan berwudhu. Gadis itu bahkan merasa malu membersihkan dirinya dengan air wudhu.

Apa aku masih layak bersujud setelah dosa besar yang kuperbuat ?

Malam semakin larut...

Sesaat setelah menjalankan shalat malam, perasaannya kini lebih damai. Via memutuskan untuk tidak lagi pergi ke tempat hiburan itu. Ia berpikir akan mencari pekerjaan yang lebih layak dan halal.

*****

Keesokan harinya ...

Malam itu, Via sedang menjaga Lyla yang sedang demam tinggi. Tidak sedikitpun Via meninggalkan gadis kecilnya itu. Ia merawat Lyla Dengan penuh kasih sayang.

Seorang anak panti kemudian datang menghampirinya. "Kak Via ... di depan ada orang cari Kak Via."

"Siapa, Dek?"

"Tidak kenal, Kak. Bilangnya mau ketemu Kak Via."

Via berpikir sejenak, sebab tidak biasanya ada orang yang datang mencarinya. "Ya sudah, kakak titip Lyla dulu ya..."

Wanita muda itu segera mengayunkan langkahnya menuju ruang depan, dimana dua pria bertubuh tinggi besar sudah menunggunya. Via bahkan tidak mengenal siapa orang-orang itu.

"Maaf, ada apa, ya?" tanyanya tanpa basa basi.

Tanpa sepatah kata pun kedua pria itu menarik lengan Via menuju sebuah mobil yang terparkir di depan sana, sehingga Via memberontak berusaha melepaskan diri.

"Kalian siapa? Tolong lepaskan aku!"

"Jangan banyak bicara!" bentak pria itu. "Ikut saja! Kau sudah membuat kesalahan besar!"

Dengan kasar, mereka mendorong Via masuk ke mobil. Bahkan mencengkram kuat-kuat lengan wanita itu yang terus memberontak. Hingga tiga puluh menit kemudian mereka tiba di suatu tempat.

Sepasang bola mata Via membulat, saat menyadari tempat itu adalah tempat yang ia datangi semalam. Dua pria itu kemudian menyeretnya masuk untuk menemui seseorang.

"Cleopatra... Selamat datang kembali," ucap Marco menyeringai menakutkan.

Dua pria bertubuh besar itu mendorongnya dengan keras sehingga terjatuh tepat di bawah kaki Marco.

"Jadi kau mau kabur setelah membuat masalah? Kau di bayar mahal untuk menyenangkan Aldi. Tapi kau malah melarikan diri. Apa kau mau menipuku?" Nada bicara Marco terdengar santai, namun menakutkan di telinga Via.

"Ti-tidak! Saya mohon, lepaskan saya, Tuan! Saya tidak bisa melakukan pekerjaan ini." Via memelas memegangi kaki Marco. Berusaha memohon agar pria itu mau mengampuninya.

"Kau tahu berapa banyak kerugianku karena ulahmu?" teriaknya.

"Ma.. maafkan saya, Tuan," ucapnya terbata-bata menahan ketakutan.

"Enak ya, minta maaf dan kau pikir itu cukup? Kau harus membayar semua kerugianku akibat tindakanmu itu."

Bola mata Via berkeliling pada setiap sudut ruangan itu, seolah ingin mencari bantuan. Hingga tatapannya menangkap sosok Laras. Wanita itu dan beberapa teman lainnya hanya menatap dengan iba.

"Scarlet, ajak dia ke ruang ganti. Karena malam ini, dia harus menyelesaikan tugasnya melayani Aldi."

"Baik, Bos," jawab Laras.

Dua pria suruhannya kemudian menyeret Via memasuki ruang ganti. Mereka berjaga di depan pintu agar gadis itu tidak bisa lari dari sana. Laras pun ikut masuk ke ruangan atas perintah Marco.

"Cleo... kenapa kau melarikan diri kemarin. Kau tahu, bos sangat marah padamu," ucap Laras meraih sebuah pakaian yang menggantung di lemari.

Via mengusap setitik air matanya. "Aku bukan Cleo, Ras... Aku Via," tegasnya.

"Tapi di tempat ini kau adalah Cleopatra. Bukan Via. Jadi mulai malam ini, kau akan tetap bekerja di sini dan menjadi Cleopatra," ujar Laras.

Via menjatuhkan tubuhnya, berlutut di hadapan Laras. "Ras... aku mohon, aku mau pulang. Lyla sakit dan aku harus menemaninya."

Laras tak mengindahkan ucapan Via. Sangat berbahaya menentang Marco yang terkenal kejam. "Cepat gunakan pakaian ini. Aku dengar dari bos, pria yang kemarin membayarmu akan datang malam ini. Aku mohon Via, demi keselamatanmu dan demi pengobatan Lyla, lakukanlah pekerjaanmu dengan baik."

"Tapi aku benar-benar tidak bisa, Ras. Aku bukan wanita malam. Aku tidak mau menjual diriku."

"Kau sendiri yang memulainya, Cleo. Jadi kau harus terima resikonya. Sekali kita terjerat ke dunia hitam ini, kita tidak akan bisa keluar dengan mudah."

Via terdiam mendengar perkataan Laras, memang benar dirinyalah yang telah memulainya. Ia yang mendatangi laras untuk meminta diberikan pekerjaan itu, walaupun awalnya Laras sudah memperingatkan sebelumnya.

Laras memaksa Via memakai pakaian terbuka itu lalu meriasnya secantik mungkin. Sementara Via kembali menangis teringat pada Bu Retno dan si kecil Lyla.

Bu Retno dan Lyla pasti mencariku. Aku harus bisa pergi dari sini.

Tok tok tok...

Terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras, membuat Via tersentak kaget.

"Buka pintunya!" teriak seorang dari balik pintu. Dengan cepat Laras berlari membuka pintu.

"Dimana Cleopatra? Bos sudah menunggunya," tanya seorang pria dengan tidak sabarnya, membuat Via kembali ketakutan.

Karena tak kunjung keluar, akhirnya mereka memilih menyeret Via keluar dari ruang ganti.

"Tolong lepaskan saya, Tuan." Sekali lagi Via berusaha memohon pengampunan pada Marco.

"Melepasmu? Enak sekali kau meminta," ujarnya sinis, lalu menatap pengawalnya. "Bawa dia ke kamar itu. Tuan Aldi sebentar lagi akan datang."

"Tolong ampuni saya, Tuan. Saya mohon," lirihnya berusaha memberontak. Namun tidak ada seorang pun yang peduli atau mendengar. Mereka hanya saling tatap satu sama lain.

"Lepaskan gadis itu!" Terdengar suara berat seorang pria yang baru saja masuk bersama dua orang pria berpakaian hitam di belakang punggungnya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!