Perkenalkan namaku Ava Nandita. Aku anak tunggal dari Papa Adrian dan Mama Dilla. Papa adalah pemilik perusahaan X di kota di mana kami tinggal. Perusahaan Papa memang besar dan memiliki reputasi bagus di dunia bisnis. Kalian pasti mengerti hidupku dalam kemewahan dan kenyamanan.
Kekayaan materi tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan sosial dan emosionalku. Tak seperti anak-anak orang kaya pada umumnya yang memiliki banyak teman, aku malah terasing. Karena Siska, tetanggaku yang baru saja pindah 3 tahun lalu, mengarang cerita kalau aku adalah anak dari Bi Wina, asisten rumah tangga di rumah. Dan teman-teman di sekolahku percaya saja.
Aku mengerti kenapa Siska membuat cerita itu. Aku selalu dengan Bi Wina. Beliau yang selalu menemaniku sejak aku umur 4 tahun. Karena Mama dan Papa sangat sibuk. Bi Wina itu sudah seperti ibu keduaku. Aku sangat menyayanginya.
“Non Ava...” panggil Bi wina sambil mengetuk pintu kamarku.
“Ya, Bi.. Masuk aja!” jawabku dari dalam kamar.
Bi Wina masuk ke kamarku membawakanku sepiring buah mangga, strawberry, dan apel yang telah ia potong-potong.
“Ini buahnya, Non.” Ujar Bi Wina sambil menyerahkan piring berisi buah-buahan.
Aku yang sedang berbaring di tempat tidur langsung bangun dan mengambil piring itu. Dan memakannya.
“Bi.. Sibuk?” tanyaku pada Bi Wina yang memperhatikanku makan.
“Ngga, Non.” Jawab Bi Wina.
“Sini duduk, Bi. Temenin aku.” Pintaku.
Bi Wina pun duduk di sampingku.
“Ada apa, Non?” tanya Bi Wina yang sudah mengerti keadaanku.
“Sebel, Bi.” Jawabku.
“Sebal kenapa, Non Ava?” tanya Bi Wina bingung melihatku yang dari pulang sekolah sudah badmood.
“Bibi tau kan, aku sulit dapat teman di sekolah sekarang?” tanyaku untuk meyakinkan bahwa Bi Wina masih ingat.
“Iya, Non. Kan masih awal-awal sekolah. Ada teman-teman Non Ava di SMP yang sekarang satu SMA juga kan?” ujar Bi Wina.
“Aku tau kenapa mereka tidak mau berteman denganku, Bi. Kalau temen SMP beda kelas, Bi.” Ujarku menjelaskan.
“Kenapa, Non?” tanya Bi Wina yang menjadi penasaran.
Bi Wina ini sangat suka dengan gosip. Dia sering sekali bergosip dengan ART lain. Aku jadi tahu apa yang terjadi dengan tetangga-tetanggaku ya dari Bi Wina.
“Ini semua gara-gara Siska, Bi. Dia kan satu kelas denganku. Dia menyebarkan gosip kalau aku tuh sebenarnya anak Bibi. Bukan anak Mama Papa. Aku dibilang ngaku-ngaku jadi orang kaya. Sekolah disini, dibiayain sama majikan.” Ujarku menjelaskan dengan kesal.
“Non Siska, yang rumah no 4 itu Non?” tanya Bi Wina kaget.
“Iya, Bi. Siska yang itu.” Jawabku.
“Kok Non Siska bisa bilang begitu, Non?” tanya Bi Wina heran.
“Dia merekam kita berdua, Bi. Aku lihat videonya dari Dea teman SMPku.” Ujarku menjelaskan “Aku lagi nggandeng tangan Bibi pas baru pulang dari minimarket di depan jalan.”
“Ya ampun, Non. Karena itu.” Ujar Bi Wina tak menyangka.
“Iya, Bi. Sebel kan.” Ujarku kesal setengah mati. “Aku merasa sangat sendiri dan tersingkirkan di sekolah. Dan mereka anak-anak orang kaya, mengapa sih harus pilih-pilih teman. Kalau tidak sederajat, ngga mau berteman. Padahal kan kita semua sama saja. Dea saja sampai sekarang tidak punya teman, Bi. Hanya karena dia dapat beasiswa. Tapi dia cuek orangnya karena sudah biasa. Aku benar-benar tidak suka dengan orang-orang sekolah itu.”
Bi Wina tersenyum mendengar ocehanku. Dia merasa geli karena aku menyebut anak-anak orang kaya.
“Berteman saja dengan Dea, Non.” Ujar Bi Wina.
“Aku sudah berteman dengan dia, Bi. Dan anak-anak beasiswa yang lain. Tapi kan beda kelas, Bi.” Jawabku.
“Kenapa Non Ava tidak mencoba untuk menjelaskan?” tanya Bi Wina.
“Percuma, Bi. Nanti dibilang ngaku-ngaku jadi anak orang kaya.” Ujarku kesal.
“Hehehe.. Ya kan memang Non anak orang kaya.” Ujar Bi Wina sambil terkekeh.
Aku terdiam sambil menghabiskan buah yang Bi Wina bawa.
“Kata mba Idah, asisten rumah tangga Non Siska, Siska itu angkuh banget Non. Mau minta apa-apa harus dituruti. Mba Idah sering kesal dibuatnya. Buka sepatu saja harus sama mba Idah. Mba Idah pernah lho dilempar sama remote TV gara-gara dia lagi kesal sama mama papanya.” Ujar Bi Wina menggebu-gebu.
“Waduh, jahat Siska ya bi.” Ujarku miris mendengar penjelasan bi Wina.
Aku mengambil lolipop dari dalam laci meja kecil di samping tempat tidurku dan memakannya.
“Non, makan lolipop terus kalau kesal.” Ujar Bi Wina menyindirku.
“Enak, Bi. Manis, bikin mood berubah jadi happy.” Jelasku.
Memakan lolipop membuatku merasa bahagia di saat aku kesal, marah, dan terkucilkan seperti sekarang. Laci meja di setiap sudut kamarku pasti akan ada gula-gula manis itu. Rasa manis dan kenikmatan lolipop-lolipop tersebut membawa keceriaan ke dalam hidupku. Lolipop untukku adalah teman terbaik yang selalu ada untuk membuatku merasa senang dan terhibur.
“Bi, Kalau aku minta pindah sekolah, boleh ngga ya sama Mama Papa?” tanyaku pada Bi Wina tentang ide yang datang begitu saja.
“Coba saja, Non.” Ujar Bi Wina.
“Dimarahin ngga ya, Bi?” tanyaku yang ragu dengan ide itu.
“Ngga mungkin dimarahi sama Mama Papa, Non. Paling juga ditanya alasannya kenapa.” Ujar Bi Wina yang membuatku semakin bingung.
“Tapi....” aku terdiam memikirkan apa yang harus aku jawab jika Mama dan Papa menanyakan alasannya.
"Tapi apa, Non?" tanya Bi Wina yang bingung melihatku.
“Alesan apa nanti yang harus aku bilang ya, Bi?” tanyaku pada Bi Wina, yang berharap akan mendapatkan alasan yang tepat.
“Ya cerita yang sebenarnya saja, Non.” Jawab Bi Wina yang tidak memberikan ide sama sekali.
“Ngga mau, Bi.” Jawabku singkat.
“Lho kenapa, Non?” tanya Bi Wina semakin bingung.
“Aku ngga mau Mama Papa tau kalau aku kesulitan berteman di sekolah, Bi. Bibi tau Mama kayak gimana. Nanti Mama ke sekolah terus bayar orang-orang untuk menjadi temanku. Aku tidak mau itu, Bi. Aku mau punya teman yang tulus, bukan teman yang hanya mau uang saja.” Ujarku menjelaskan.
Bi Wina terlihat mengerti dengan penjelasanku.
“Betul juga, Non.” Ujar Bi Wina sambil mengangguk. “Tapi maaf, Non. Bibi tidak bisa membantu memberi ide.”
Aku membuka laci meja kecil lagi untuk mengambil lolipop.
“Yah, dikit lagi. Harus beli lagi nih.” Ujarku yang melihat hanya tinggal 2 lolipop yang tersisa.
“Non, sakit gigi lho!” ujar bi Wina mengingatkan.
“Nanti sikat gigi sama ke dokter gigi, bi.” Ujarku sambil terkekeh dan membuka lolipop rasa cola. “Bibi mau?” tanyaku
“Tidak, Non. Bibi tidak mau sakit gigi.” Jawab bi Wina sambil menggelengkan kepalanya.
Aku lalu memakan Lolipop.
“Ya sudah.. Padahal ini enak lho, bi.” Ujarku mencoba mempengaruhi bi Wina.
Keesokan harinya di kantin sekolah saat istirahat. Aku berkumpul dengan Dea, Vina, dan Jordan. Mereka adalah teman SMPku.
“Betul tidak ada satu orang pun di kelas yang mau berteman sama kamu, Va?” tanya Jordan tak percaya.
Mereka tahu aku bukan anak bi Wina. Aku pernah mengundang mereka ke rumahku saat aku ulang tahun. Untung aku bukan orang yang memilih dalam berteman. Mereka tidak pernah satu kelas denganku, tapi kami satu ekstra kulikuler dulu di SMP.
Mereka adalah teman yang baik, yang tidak pernah memanfaatkan aku.
“Iya, Dan.” Jawabku sambil menikmati mie ayam.
“Siswa di sini berbeda dengan siswa kita di SMP ya.” Ujar Vina.
“Betul, Vin. Aku heran kenapa sih harus dibeda-bedakan. Kita ini sama-sama ciptaan Tuhan.” Ujar Dea.
“Padahal kamu pulang pergi diantar supir, Va. Masa mereka masih percaya omongan Siska?” ujar Vina.
“Siska itu bilang, Ava dianter supir karena searah dengan tempat kerja orang tua Ava.” Ujar Dea menjelaskan apa yang dia dengar dari teman sekelasnya.
“Ya sudah, Va. Kumpul sama kita-kita saja.” Ujar Vina.
“Kamu ngga makan, Dan?” tanyaku mengalihkan obrolan.
“Lagi ngga ada uang, Va. Tapi tadi aku udah makan roti.” Jawab Jordan.
“Pesen aja nanti aku bayar.” Ujarku.
“Ngga usah, Va. Makasih.” Ujar Jordan menolak tawaranku.
Aku merasa kasihan melihat Jordan sendiri yang tidak makan. Dia hanya membawa 1 botol air mineral saja. Memang saat aku, Dea, dan Vina membeli mie ayam, dia duduk terlebih dahulu dan memakan roti. Dan tidak hanya Jordan, Dea dan Vina pun sulit untuk menerima tawaranku jika aku ingin membayar. Aku selalu diam-diam membeli makanan, dan membagikan pada mereka.
“Besok ada acara ngga kalian?” tanyaku pada mereka.
Mereka hanya menggelengkan kepala tanda tak ada acara apa-apa.
“Renang yuu di rumahku.” Ajakku.
Kebetulan besok hari Sabtu. Sekolah libur dan aku bosan sendiri di rumah.
“Ayo.” Ujar mereka berbarengan.
Kami tertawa bersama-sama.
Terima kasih kalian mau tulus berteman denganku.
..._____
...
Sepulang sekolah aku berjalan dengan Dea menuju mobil yang sudah menjemputku di parkiran.
“Beneran ngga mau bareng, Dea?” tanyaku kembali memastikan.
“Ngga, Va. Makasih. Aku dijemput abangku. Tuh orangnya juga udah dateng.” Jawab Dea sambil menunjuk ke arah laki-laki di atas motor yang menunggu tak jauh dari mobilku parkir.
“Ya udah sampe besok ya.” Ujarku sambil melambaikan tangan dan masuk ke mobil
“Ok, Va. Sampe besok.” Balas Dea sambil berjalan menuju ke tempat abangnya menunggu.
Di dalam mobil, pak Jono supirku sedang asik mendengarkan lagu.
“Non Ava, mau kemana dulu?” tanya pak Jono sambil mengecilkan volume lagu yang diputar.
“Langsung ke tempat kursus aja, pak.” Jawabku.
“Baik, Non.” Ujar pak Jono.
Pak Jono mengendarai mobil menuju tempat kursusku.
Aku sangat menyukai musik. Papa Adrian dan Mama Dilla menemukan bakatku sejak kecil dan mulai memanggil guru les private ke rumah untuk mengajarkanku. Namun semenjak SMP, aku meminta Papa dan Mama untuk mengijinkanku pergi langsung ke tempat kursus.
Aku belajar tentang teori musik, membaca not, aku bisa memainkan alat musik gitar dan biola. Dan kali ini, aku lebih memperdalam bermain piano yang sudah aku pelajari dari kecil.
Selain itu, aku juga suka gambar. Aku mengikuti kelas kursus gambar satu kali dalam seminggu. Aku mulai tertarik dengan gambar saat aku pergi ke pameran lukisan teman Papa di luar negeri. Saat itu aku berumur 13 tahun.
Aku mengikuti kursus gambar satu kali dalam seminggu. Aku belajar tentang berbagai teknik menggambar, termasuk pensil, cat air, dan cat minyak. Aku pun mulai mengasah keterampilan komposisi dan persepsi visual, serta belajar menggambar pemandangan, potret, dan objek lainnya.
Aku pergi ke tempat kursus bukan berarti aku memiliki teman satu kelas yang memiliki minat yang sama. Tentu tidak. Aku tetap belajar sendiri dengan seorang tutor di kelas. Papa dan Mama tidak ingin pengajarku tidak fokus terhadap kebutuhanku jika aku harus masuk di kelas yang berisi 6 orang.
Namun aku tetap senang dalam menjalani kursus untuk mendalami hobiku.
Hari ini aku akan mengikuti kursus gambar. Bi Wina telah menyiapkan semua keperluanku dan disimpan semua di dalam tas dan di bawa oleh pak Jono di dalam mobil. Aku mengecek kembali semua barang yang sudah bi Wina siapkan, barangkali ada yang tertinggal atau lupa.
Seperti biasa bi Wina selalu teliti dalam pekerjaannya. Aku hanya menyimpan note di meja belajaku, dan semua disiapkan oleh bi Wina tanpa ada yang kurang atau salah. Memang bi Wina selalu bisa aku andalkan.
Perjalananku dari sekolah menuju ke tempat kursus sekitar 25 menit. Cukup jauh tapi tempat kursus itu sangat bagus. Pemiliknya adalah om Sean, teman papa yang mengadakan pameran di luar negeri itu. Tutorku yang bernama Kak Gio adalah salah satu murid dari om Sean.
Kak Gio cukup ganteng, dia masih mahasiswa jurusan seni. Tapi sayang sudah punya pacar. Hehehe.
Akhirnya aku sampai juga di tempat kursus.
“Non Ava, bapak tinggal tidak apa-apa?” tanya pak Joko sebelum aku turun dari mobil.
“Ngga apa-apa, pak. Emang bapak mau kemana?” tanyaku.
“Bapak mau jemput anak bapak dulu. Ibunya tidak bisa jemput hari ini, karena sedang sakit.” Ujar pak Jono menjelaskan padaku.
“Istri bapak sakit?” tanyaku.
“Iya, Non. Dari semalam sakit kepala.” Jawab pak Jono.
"Semoga istri bapak cepet sembuh ya." ujarku tulus.
“Iya, non. Terima kasih. Nanti bapak balik kesini 1 jam lagi, Non. Kebetulan sekolah dan rumah bapak ngga jauh dari sini” ujar pak Jono.
“Ok, pak. Ngga apa-apa. Asal jangan ketahuan mama aja ya.” Ujarku meminta pak Jono menyembunyikannya.
Mama akan marah kalau tahu pak Jono tidak menungguku.
“Baik, non Ava. Terima kasih ya.” Ujar pak Jono.
Aku pun turun dari mobil membawa alat gambarku dan sebuah tas berisi baju ganti yang disiapkan oleh bi Wina tentunya.
Aku datang lebih awal. Kelasku akan mulai 30 menit lagi. Untung ada cafe di lantai 1 tempat kursusku. Terkadang aku menggambar di cafe tersebut dengan kak Gio.
Karena sudah kenal dengan semua pekerja di Cafe itu, tentu saja aku bisa menitipkan barang-barangku pada mereka. Aku mengganti baju seragamku dan pergi berjalan keluar untuk mencari lolipop. Karena lolipopku hanya tinggal 1 di rumah.
Aku berjalan mencari mini market tapi tidak menemukan. Sampai akhirnya aku menemukan toko kecil di ujung jalan yang menjual berbagai lolipop.
Aku sangat senang menemukan toko itu. Seperti aku masuk ke surga . Aku menemukan banyak sekali lolipop yang unik dan berbagai rasa.
Aku mulai mengambil keranjang belanja dan memilih lolipop-lolipop unik yang terpajang. Dan ada satu lolipop yang sangat menarik perhatianku. Tapi aku harus membeli 1 toples besar karena tidak dijual satuan. Berisi 35 lolipop berbentuk bintang dan memiliki 5 rasa. Aku langsung memasukkan 2 toples untuk persediaan di rumah. Dan 10 lolipop unik lainnya.
Pagi hari di ruang makan, aku, mama, dan papa sedang sarapan.
“Sayang, mama sama papa sore ini berangkat ke Singapura selama 5 hari. Berangkat dari sini jam 10.” Ujar Mama padaku.
“Iya, mah. Papa udah kasih tau Ava semalem.” Jawabku.
Semalam saat aku sedang nonton, papa datang menghampiriku memberikan sepatu baru padaku. Bukan ulang tahunku, tapi papa membeli sepatu edisi terbaru buatan dari temannya untukku. Papa memberitahuku tentang perjalanan bisnis papa dan mama.
“Kamu ngga mau ikut, sayang?” tanya Mama. “Ava bisa pulang hari besok untuk sekolah.”
“Ngga, mah. Ava banyak tugas. Hari ini teman-teman Ava juga mau pada dateng.” Jawabku.
Aku tidak begitu tertarik untuk pergi ke luar negeri dengan Mama dan Papa saat mereka ke sana untuk bisnis. Berbeda kalau rencana liburan, aku akan sangat tertarik untuk berangkat. Tapi hal itu sulit karena mama dan papa sangat sibuk bekerja.
“Ya sudah. Papa akan kirim uang jajan buat kamu ya.” Ujar mama.
Uang jajanku dari papa minggu kemarin saja masih banyak. Aku jarang sekali menghamburkan uang-uangku. Apa yang aku pakai sekarang, kebanyakan hadiah dari mama dan papa. Mama dan papa tidak pernah tahu sudah banyak tabunganku. Hehehe.
Selesai sarapan, mama kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. Sedangkan papa mengajakku berbicara.
“Ava suka sepatu yang papa kasih semalam?” tanya Papa padaku.
“Suka, pah. Ava pake nanti sore kalau jalan-jalan ke luar sama temen-temen Ava.” Jawabku.
Aku berharap Dea, Vina, dan Jordan mau jalan denganku sore ini setelah kami berenang. Atau akan aku antar mereka semua ke rumah mereka masing-masing.
“Teman-teman Ava kesini mau mengerjakan tugas?” tanya Papa.
“Ngga, pah. Kita mau berenang. Ava kerjain tugas sendiri besok.” Jawabku.
“Sudah beli makanan untuk teman-teman?” tanya Papa sambil mengecek hpnya karena menerima pesan.
“Belom, pah. Bentar lagi Ava ke depan buat beli cemilan.” Jawabku.
Papa sibuk dengan hpnya.
“Pah, boleh ngga teman-teman Ava makan siang di sini?” tanyaku.
“Boleh donk Ava. Kalau mereka mau menginap di sini untuk temani Ava juga boleh.” Jawab Papa. “Papa sudah kirim uang jajan kamu ya. Papa lebihkan untuk uang jajan teman-teman kamu juga.”
“Thanks, pah.” Ujarku sambil memeluk papa.
“Maafkan papa ya Ava, papa ngga bisa ada banyak waktu untuk Ava.” Ujar Papa yang terlihat sedih.
“Ngga apa-apa, pah. Ava ngerti papa sibuk. Sibuk cari uang untuk biayain sekolah Ava. Hehehe.” Jawabku yang masih berada dipelukan papa.
“Terima kasih sudah jadi anak papa yang baik dan pengertian Ava.” Ujar papa sambil mengecup keningku. “Papa siap-siap dulu ya. Jangan sampai ketinggalan pesawat.”
“Ok, papa”
Papa langsung beranjak dan pergi ke kamarnya. Sedangkan aku, pergi mencari pak Jono.
“Pak Jono, anterin Ava ke mini market di depan. Ava males jalan. Hehehe.” Pintaku pada pak Jono yang sedang mengobrol dengan pak Asep supir papa.
“Ya, non. Bapak panasin mobil dulu ya.” Ujar pak Jono yang hendak bergegas mengambil kunci mobil.
“Naek motor aja, pak. Biar cepet.” Pintaku.
“Ok, non. Sebentar bapak ambil kuncinya dulu.
“Pak Asep mau anter mama sama papa ya ke bandara?” tanyaku.
“Iya, Non.” Jawab pak Asep.
“Hati-hati bawa mobilnya ya pak.” Pintaku.
Tak lama pak Jono datang.
“Ayo, non.” Ajak pak Jono padaku.
_____
Dea, Vina, dan Jordan sudah sampai di rumahku ketika aku mengantar mama dan papa yang akan berangkat.
“Mah, pah, teman-temanku sudah datang.” Ujarku sambil menunjuk ke arah pintu gerbang.
Mereka menghampiriku.
“Selamat pagi om, tante.” Mereka menyapa mama dan papa yang sudah berada di mobil.
“Pagi, selamat bersenang-senang ya. Om dan tante berangkat dulu.” Ujar Papa.
“Makasih om.” Ujar mereka berbarengan.
Aku melambaikan tangan saat mobil melaju keluar.
“Yuk, masuk.” Ajakku pada mereka.
Kami menuju ke kolam renang. Ada ruang ganti dan kamar mandi di sana jadi mereka dapat mengganti baju mereka.
Kami pun berenang dan mengobrol santai sambil menyantap makanan kecil yang sudah disiapkan oleh mba Dini.
Mba Dini adalah salah satu asisten rumah tangga di rumahku yang baru yang membantu pekerjaan bi Wina.
“Aku ada kabar baru. Aku dengar dari teman sekelasmu, Anita. Dia anak basket juga denganku. Kami mengobrol kemaren saat latihan tentang gosip yang disebar Siska. Tau, ngga? Siska ngancem beberapa orang yang ngga peduli sama gosip yang dia sebar. Termasuk ngancem Anita.” Ujar Vina menjelaskan.
“Ngancem gimana?” tanya Jordan penasaran.
“Siska tau kelemahan Anita. Dia pakai kelemahan itu buat ngancem. Anita ngga cerita kelemahannya apa. Aku juga ngga tanya karena ngga enak.” Jawab Vina.
Kami semua kebingungan mendengar apa yang dijelaskan Vina. Menjadi pertanyaan besar mengapa Siska sangat tidak suka denganku.
“Kamu punya masalah apa sama Siska?” tanya Dea padaku
“Ngga punya masalah apa-apa. Aku tetangga dia tapi aku ngga deket sama dia apalagi ngobrol.” Jawabku.
“Aneh ya. Kenapa dia bisa buat gosip kayak gitu, terus ngancem anak-anak yang ngga percaya omongan dia.” Ujar Dea.
“Kita cari tau aja gimana?” tanya Jordan memberikan idenya.
“Caranya?” tanya Dea.
“Kita mulai cari tau dari SMP dia dulu. Aku curiga ada sesuatu yang buat dia ngga suka sama Ava.” Ujar Jordan menjelaskan.
Sambil makan siang kami merencanakan untuk mencari tahu mengapa Siska melakukan semua hal itu padaku, setelah berdiskusi mereka pamit pulang dan ku paksa untuk mengantar mereka sampai ke rumah mereka masing-masing. Aku dan pak Jono pun mengantar mereka.
Tak lupa aku memakai sepatu baru pemberian papa.
_____
Sesampaiku di rumah setelah mengantarkan mereka pulang. Aku yang baru saja turun dari mobil, dihampiri oleh bi Wina.
“Non Ava, bibi mau menyampaikan sesuatu.” Ujar bi Wina padaku dan terlihat seperti mau menyampaikan sesuatu yang sangat penting.
“Ada apa, Bi?” tanyaku bingung.
Bi Wina memberi kode agar pak Jono tidak mendengar apa yang akan bi Wina katakan.
Aku berjalan ke kamarku sambil diikuti oleh bi Wina.
Sesampai di kamar, aku dan bi Wina duduk di tempat tidur.
“Cerita, bi.” Pintaku.
“Begini, non. Tadi bibi ke depan jalan untuk membeli obat untuk suami bibi. Ketemu mba Idah. Mba Idah menyampaikan sesuatu tentang non Siska. Non harus hati-hati sama non Siska.” Ujar bi Wina.
“Hati-hati kenapa, bi?” tanyaku bingung.
“Mba Idah mendengar percakapan non Siska dengan temannya di telepon. Dia benci sekali dengan non Ava. Dia akan membuat non Ava merasa seperti di neraka. Hanya itu yang mba Idah dengar dan sampaikan ke bibi.” Jawab bi Wina menjelaskan.
“Ya kenapa Siska bisa benci sama Ava, bi?” tanyaku semakin bingung.
Semua yang ku dengar dari Vina dan bi Wina hari ini sungguh membingungkanku.
“Bibi juga tidak tahu, non.” Jawab bi Wina.
“Bi Wina mau bantu Ava, ngga?” tanyaku yang tiba-tiba mendapatkan ide.
“Bantu apa non?” tanya bi Wina.
“Bibi minta tolong ke mba Idah untuk cari informasi tentang Siska.” Pintaku.
“Bibi coba ya non.” Jawab bi Wina.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!