NovelToon NovelToon

Pelukan Terakhir

Prolog

Mairaline hanya tahu bahwa saat ini Papa dan Mama nya begitu menyayangi dia dan saudara kembarnya Nairaline. Keluarga bahagia dengan Papa, Mama, dan saudara kembar tak identiknya tanpa ada satu kekurangan sedikit pun. Andai Mairaline tahu, semesta tidak sebaik itu padanya. 

22 Juni 2018, 

"Papa, Mai ingin bermain di sana dengan Nai!"

Mai mengarahkan jari telunjuk kecilnya dimana ayunan yang tak jauh dari tempat piknik mereka berada. Piknik kecil kecilan setelah 6 tahun kelahiran buah hati mereka. 

Jari Mai bertautan erat dengan Nai, tak mau berjauhan dengan saudara kembarnya. Ikatan saudara yang tak lekang seperti simpul mati.

"Bilang sama Mama dulu!"

"Mama, Mai mau main sama Nai di sana?!" 

"Boleh, tapi jangan jauh-jauh mainnya. Nai juga, jangan tinggalkan Mai sendirian ya!"  Pinta Relin memegang pundak Nairaline. Setelahnya jari lentik itu mengusap sayang puncak kepala kedua buah hatinya. Andai jika mereka terlahir sangat sempurna. 

"Relin, jangan terlalu khawatir. Nai juga mengerti harus menjaga Mai seperti apa. Mereka saling menyayangi." 

Semesta tahu, Relin begitu menyayangi kedua buah hati mereka dan dia begitu mencintai Relin melebihi dirinya sendiri, entah apa yang akan Erald lakukan jika Relin pergi meninggalkannya seorang diri.

Erald menarik kepala Raline bersandar di dada bidangnya. Dia tahu seperti apa kekhawatiran Relin terhadap Mai. Buah hati mereka yang terlahir tak sempurna. Banyak upaya yang Erald lakukan demi kesembuhan putrinya, hanya saja bukankah kesembuhan dari manusia memang tidak sempurna tanpa kehendak Tuhan nya?

"Sepertinya akan turun hujan!" 

"Hmm... Iya."

Erald dan Relin menatap langit kelabu di atas sana. Semesta sepertinya tengah bersedih akan sesuatu. Pelukan Erald semakin erat, perasaan pria itu menjadi tak karuan dibuatnya.

"Mas. Aku mau memanggil anak-anak dulu, ya?" dongak Relin.

"Hati-hati!" Erald mengecup kening Relin.

Relin mengangguk, meninggalkan Erlad yang masih menatapnya. Punggung ringkih itu Erlad tatap lamat-lamat hingga hilang dari pandangannya.

"Mai, kalo Mai lepasin alat yang ada di telinga Mai. Mai masih bisa denger Nai, nggak?"

"Nggak bisa Nai." Mai menggeleng, meraba pelan alat pendengar di belakang telinganya. 

"Mm... Nai mau coba, boleh?!" Nairaline menyodorkan tangan.

Mai menatap bimbang wajah penuh harap Nai. Papa bilang Mai tidak boleh melepaskan alat pendengar di telinganya. Tapi Mai juga tidak mempunyai kuasa untuk menolak Nai. Dilepaskannya pelan alat pendengar bernama Behind The Ear (BTE) di belakang telinganya. Keheningan dengan cepat menyapa Mai, hening seperti tak pernah ada suara kehidupan.  

Nairaline tersenyum setelah alat pendengaran milik saudaranya terpasang dengan sempurna di telinganya. "Mai, sekarang Mai bisa denger Nai?!"

Mai hanya terdiam di saat Nai mengibaskan tangan di depan wajahnya. Ditatapnya Nai yang saat ini tengah menekan-nekan alat pendengar miliknya

"Mai, alat dengarnya rusak, ya? Soalnya Nai masih bisa denger." Nairaline melepaska alat Behind The Ear (BTE) milik Mai.

"Nih, Nai balikin. Nggak seru!" Tangan Nairlaine terulur. Namun, belum sempat tangan Mai menyentuh alat pendengar miliknya, dengan mengenaskan alat bantu dengar itu jatuh di atas genangan air.

"Mai, maaf. Nai nggak sengaja!" 

Mai menatap nanar alat pendengar miliknya, permintaan maaf Nai barusan seperti angin lewat ditelinga tulinya. Alat pendengar miliknya sekarang basah, ragu-ragu Mai memasang Behind The Ear (BTE ) ditelinganya.

Senyap. "Alatnya rusak!" Beo Mai tertegun.

Nairaline berkaca-kaca, menatap saudara kembarnya penuh sesal. "Maafin Nai!"

Melihat Nairaline yang hendak menangis, Mai berkata. "Nggak apa-apa. Nanti, pasti Papa belikan lagi."

Mai memberikan senyuman manis miliknya, di usapnya air mata di pelupuk mata saudara kembarnya. Nai tidak boleh bersedih, Mai tidak suka melihat saudara nya menangis.

"Beneran?!" Balas Nairaline mengusap air matanya, kembali menatap Mairlaine. Namun, atensinya malah jatuh pada objek di belakang Mairaline.

"Nai jangan jauh-jauh!" Teriak Mairlaine spontan. Namun seperti angin lalu, Nairaline malah semakin mempercepat larinya meninggalkan saudaranya.

"Mai kucing nya lucu banget..!!" Teriak Nairaline berseru riang, segera membawa hewan berbulu itu ke dalam pelukannya.

"Mai, cepet...! Nai mau liatin kucingnya sama Mama." Ucap Nairaline kembali berlari lagi saat Mai bahkan belum menghampirinya.

Pluk... Behind The Ear (BTE) itu terjatuh saat Mai berlari. Segera, kaki kecil itu berhenti. Dan tanpa Mai tahu, semesta memang tidak sebaik itu padanya.

BRAKK...!"

"Nai. Mai di mana, sayang?"

"Mama, lihat Nai menemukan kucing lucu ini di sana!" Tanpa peduli pertanyaan sang Ibu, Nairaline asik mengelus-ngelus bulu kucing di dekapannya.

"Iya, lucu. Tapi Mai di mana sayang?!" Tanya Relin menekankan setiap katanya, menatap gusar Nairaline yang masih asik dengan kucing dipelukannya.

"Di sana!"

Deg...

Perkataan itu seperti bom waktu, jangtungnya seakan-akan diremas tangan tak kasat mata. Bagaimana takdir seakan mempermainkannya?

"Mai... Awass nakkk...!" Air mata nya jatuh, tak kuasa menatap truk besar di belakang putrinya. Jika semesta masih berbaik hati padanya, maka ijinkan putrinya menjalani kehidupan di masa depan.

CITTT…!

BRAKK…!

"Mamaaaa…!" 

Air mata Mai jatuh. Semuanya seperti mimpi buruk, bagaimana tubuhnya terdorong begitu kuat dan bagaimana tubuh malaikatnya terpelanting keras membuat kenangan buruk dalam hidup Mai tumbuh.

Kepala berlumuran darah itu Mai peluk erat-erat. Rintih kesakitan Mamanya sama sekali tidak bisa Mai dengar. Saat itu Mai bertanya, mengapa ia harus terlahir tuli?

"Mam_ma... hhh Ssaa__yang... Hhh... Mmm_mai...!" Relin tersenyum bercucuran air mata. Sekuat tenaga wanita itu mengangkat tangan nya, mengusap air mata putrinya pelan.

"Hikss... Mama!"

"Ja__nggan uhuk... Hah... Nangg_isss...!" Satu hembusan nafas itu hilang bersama hembusan yang lain.

"MAMAaaaa....!" Mai memeluk Relin erat, tidak peduli seberapa banyak darah yang tertanggal di bajunya.

Keheningan ini menyiksanya. Mai takut, takut saat semua orang mulai berdatangan berkerumun dengan suara yang tak bisa Mai dengar.

Mengapa Tuhan? Mengapa aku harus terlahir tuli? Mengapa kau ambil malaikatku?

Erald berlari, pertanyaan yang sama melekat di kepalanya. Kenapa Relinnya belum kembali? Erald memelankan larinya saat melihat Nai sendirian, tanpa Relin dan Mai.

"Nai. Mama dan Mai mana?" Erald tercekat menatap pupil polos putrinya.

"Mama di sana dengan Mai, Papa." 

Bola mata Erald membola menatap kerumunan di jalan raya Kencana. Tubuhnya membatu melihat tandu itu di bawa ke dalam Ambulans. Relin nya ada di sana, terbujur kaku dengan darah yang menutupi wajah cantiknya. Sekarang Erald tahu mengapa semesta juga bersedih, cintanya sudah dilamar malaikat maut tanpa persetujuannya.

23 Juni 2018,

Mai kecil saat ini tahu, mengapa orang- orang menatapnya kasihan. Karena dia tidak sempurna, dan tidak akan pernah sempurna, karenanya malaikat nya pergi.

Tatapan benci Erald layangkan kepada Mai putri kecilnya. Hatinya sama sekali tidak pernah akan menerima, karena kekurangan putrinya Relin pergi meninggalkan Erald selamanya.

Masih terbayang dalam benak Erald saat melihat CCTV di sebuah rumah yang mengarah ke jalanan langsung. Disana, Relin nya tertabrak dan terpelanting sejauh 3 meter setelah menyelamatkan Mai putrinya yang tuli. Andai saat itu Mai bisa mendengar peringatan Ibunya. Andai Mai dapat mendengar, Relin nya mungkin masih ada bersamanya. 

"Andai kamu sempurna, mungkin istriku saat ini masih ada bersamaku. Sayangnya kamu terlahir dengan ketulian di kedua telingamu." 

Perkataan kejam dilayangkan Erald. Mai dapat melihat begitu bencinya sang Papa kepadanya. Kini tidak ada lagi tatapan penuh sayang dari Papa nya. Mama nya pergi membawa serta kasih sayang Papa nya. 

Gejolak Rindu

Mairaline menatap nanar pemandangan di depannya. Dia juga ingin pergi bersama Papa dan Nai mengunjungi Relin, Mama nya. Satu tahun tanpa pertemuan membuat Mai berada dalam kobangan rindu.

"Papa, Mai mau ikut!" Mairaline bercicit takut memilin jari jemarinya, tidak kuasa menatap mata tajam Erald.

"Jangan!" Ucapan dingin itu terlontar.

Tanpa berniat menatap putrinya Erald melengos pergi meninggalkan Mai dibalik pintu kediaman Atmajaya dengan Nai di dalam gendongannya. 

Hati itu berdenyut sakit, Mairaline hanya bisa menatap sendu pungung lebar Erald yang semakin menjauh. Sampai mobil pria itu ditelan jarak Mairaline masih berdiri dalam rasa sedih miliknya.

"Papa, kenapa Mai nggak ikut?" Tanya Nai masih menatap saudaranya di balik kaca spion. Berdiri kaku menatapnya dan Papa mereka.

"Mai harus belajar."

Spontan ucapan itu mengalihkan tatapan Nairaline. Anak itu menyeriat tidak mengerti.

"Belajar?"

"Iya. Nanti Nai juga akan belajar seperti Mai setelah mengunjungi Mama." 

"Nanti, Nai sekolah?"

"Iya."

"Sama Mai?" Pertanyaan itu sekejap membuat Erald terdiam.

"Iya." Jawabnya singkat.

"Papa, kalo gitu nanti kita beli tas nya kembaran ya?"

"Hmm, diem. Papa lagi nyetir!" Ucapan Erald membuat Nai mengurungkan niatnya.

"Iya, Papa." Nai menyandarkan kepalanya ke jendela, tidak mempunyai niat bertanya kepada Papa nya lagi. 

Detik dan menit berlalu, Erald berdiri tepat di depan Pemakaman Umum Pondok Indah. Nafas berat berhembus, tenggorokannya tercekat, lagi-lagi hatinya menjadi sesak tiada terkira. Relin nya sudah berpulang ke rumah Tuhan, tanpa sedikit pun berpamitan dengannya.

"Halo sayang!" Beo Erald tercekat. Lama pria itu termenung menatap lamat batu nisan bertuliskan Relin Atmajaya. "Aku bawa Nai kesini. Kamu baik-baik di sana, ya! Dan maaf, aku belum bisa berlapang dada untuk sekedar merelakanmu." 

Erald, pria itu bahkan masih merasakan sakitnya setelah satu tahun kepergian Relin. Namun sayangnya Erald lupa, bukan hanya dirinya saja yang terbelenggu dalam duka. 

Mairaline, nama yang dulu Erald berikan dengan kasih sayangnya. Ke tulian yang tak berarti apa-apa untuknya. Karena bagi Erald, Mairaline sempurna. Erald seolah lupa bagaimana senangnya ketika Mairaline pertama kali mendengar suaranya. Bayi kecil berumur 10 bulan itu baru bisa mendengar di saat bayi lain nya bisa mendengar suara orang tua nya. Dan kesempurnaan itu sekarang menyakitinya.

Kesempurnaan dalam kesenyapan yang tanpa sadar membawa senyap itu dalam lorong gelap tanpa cahaya. Mairaline terperangkap dalam labirin kesempurnaan yang Erald buat.

Seperti Pluto yang harus puas dengan julukan 'Planet Kerdil' ada namun tak di akui. Maka Mai juga harus puas dengan ramai dalam kesepian yang ia dapat.

"Mama, Mai rindu."

23 Juni 2019,

"Mbok. Ayo, Mai sudah tak sabar!" 

Tanpa peduli dengan kehadiran Erald, Mairaline berlari menghampiri Mbok Minah yang menenteng tas belanja. Kemarin Mbok Minah berjanji akan mengantar Mai menemui Mama.

"Kemana?" Suara Erald menghentikan langkah Mai dan Mbok Minah. Sungguh, sekarang Mai takut bila Erald melarangnya.

"Ini Tuan. Nona berniat ikut bersama saya ke pasar." Cicit wanita paruh baya itu mengeratkan genggaman tangan gempalnya pada Mairaline.

Mairaline tidak sedikit pun berani menatap Erald. Papa nya lebih menakutkan dari senyap yang selalu menghantuinya.

"Ke Pasar?!" Nai berseru meninggalkan mainannya menghampiri Erald.

"Papa, Nai juga pengen ke pasar Pa!" 

"Nggak. Di pasar banyak debu, Papa tidak mau Nai sakit." Tegas Erald meraup Nairaline dalam dekapannya.

Cemburu? Tentu saja, Mai amat sangat cemburu dengan saudara kembarnya.

"Tapi Mai boleh Papa. Kenapa Nai tidak?" Beo Nai mendongak dengan mata berkaca-kaca.

"Karena Papa sayang Nai. Papa tidak mau Nai sakit. Dan Mai, Papa merasa tidak keberatan."

"Beneran?"

"Iya." Angguk Erald.

Perkataan Papa nya membuat Nai tersenyum tanpa menyadari saudara kembarnya sendiri tengah tercekat mendengar kata-kata Papa mereka. Pertanyaan yang mendatangkan badai di dalam hati Mai.

"Tuan__"

"Pergi saja." Acuh Erald memotong ucapan Mbok Minah tak peduli. Pria itu pergi meninggalkan putrinya bersama putrinya yang lain dengan luka menganga.

Jujur saja, Mai senang saat Papa nya mengijinkannya. Tapi, Mai juga tidak senang saat Papa nya mengijinkannya.

"Non nggak papa, kan?" khawatir Mbok Minah.

"Tidak Papa Mbok. Ayo kita pergi! Mai sudah tak sabar." 

Mairaline berjalan meninggalkan Mbok Minah. Senyuman kecil anak itu begitu cantik, namun sayang. Luka tetaplah luka yang tak bisa ditutupi begitu saja. Wanita paruh baya itu tahu anak majikannya tidak baik-baik saja. Anak kecil itu terluka, dan dirinya hanya wanita tua yang bekerja sebagai pembantu tanpa kuasa di tangannya. Dirinya tidak berdaya.

Mairaline menatap kosong gedung-gedung tinggi di balik jendela mobilnya. Dulu, Mama selalu mengenalkan seisi dunia tanpa pernah lelah saat Mai tidak memahaminya. Tapi, mengapa harus pergi saat Mai sudah mengenal dunia yang sebenarnya, Ma? Mengapa meninggalkan Mai seorang diri di sini, Mama?

Tuhan, jangan ajarkan Mai cara untuk melupakan. Biarkan ingatan ini mengenang bagaimana sakitnya, karena Mai ingin selalu mengingat Mama, Tuhan.

"Sudah sampai Non!"

"Sudah sampai?"

"Iya Non, kita sudah sampai. Prit kamu tunggu disini ya, Mbok gak akan lama."

Mai dan Mbok Minah meninggalkan supir keluarga Atmajaya di sana. Semilar angin menyapu wajah Mai, hatinya berdesir menatap gundukan tanah jauh di depan sana. Mai tahu itu tempat peristirahatan Mama nya.

"Mbok, itu rumah baru Mama!" 

"Iya Non!" Angguk Mbok Minah, setelahnya hanya terdiam menatap anak majikannya. Biarkan anak majikannya meluapkan rindu. Rindu kepada sosok seorang Ibu yang tak lagi bersamanya.

Mai berjongkok di depan batu nisan bertahtakan nama Relin Atmajaya. Hatinya kian sesak bagaikan bendungan tua yang siap roboh kapan saja. Mai rindu, sungguh rindu. Satu tangannya terulur menyentuh batu nisan bertahtakan nama Relin. Terasa hangat, seolah-olah Mama nya masih ada bersamanya. Memeluk tubuh ringkihnya sekali lagi.

Tuhan, sungguh Mai merindukan Mama.

Mai menggigit bibir, bendungan tua itu sudah roboh tak tersisa mengeluarkan air derasnya. Mai menangis sekuat-kuat nya.

"Mama, Mai rindu. Hiks… Mai benar-benar rindu Mama. Mama apa kabar? Apa Mama baik-baik aja? Apa Mama juga rindu sama Mai? Kalo rindu, Mai pengen ikut Mama karena Mai juga rindu sama Mama." Cucuran air mata membasahi wajah cantik duplikat Relin itu. Mai menangis dalam sesak tiada tara.

Tangan kecil itu tak pernah melepaskan pelukannya dari batu nisan sang Mama. Tuhan, kenapa ambil Mama aja?Kenapa nggak ambil Mai juga?

Untuk Mama

Mama, kau pergi ditelan kenangan

Menyisakan duka tak terbatas dalam relung

Menjadikan raga tak terisi tanpa jiwa 

Andai sang takdir sedikit saja mengalah

Mungkin Mama masih di sini menemani sunyi

Namun, apa yang dikatakan beras pada nasi? 

Semuanya tak akan kembali menjadi sama 

Seperti Mama, yang tidak akan kembali maupun raga dan jiwanya.

Kemarahan Erald

19:30 WIB

Hari ini masih sama, hari di mana Mbok Minah dan Uprit pergi menemani Mai mengunjungi peristirahatan terakhir Relin.

Senyuman lebar Mai bertahan sampai berjam-jam setelah mereka mengunjungi peristirahatan Relin, meski sisa-sisa air mata masih tampak begitu jelas terpangpang dalam wajah cantik itu. 

Mbok Minah dan beberapa pelayan lainnya tersenyum haru melihat senyuman anak majikan mereka, Mairaline. Sudah satu tahun lamanya senyuman itu kini kembali lagi. 

"Non jangan lupa minum susu nya sebelum tidur!" 

"Iya Mbok." 

Mai dengan cepat menegak habis susu yang disodorkan Mbok Minah, senyuman lebar miliknya sama sekali tidak luput dari mata tua Mbok Minah. Semoga saja senyuman itu bertahan lama. Ya, semoga saja.

"Mbok!" 

"Iya Non."

"Kapan-kapan kita berkunjung ke tempat Mama lagi ya Mbok?" 

Mai menatap penuh harap wajah tua Mbok Minah, tanpa tahu di belakang pintu Erald tengah mengepalkan tangannya, sampai buku jarinya memutih menahan marah.

Jika saja dia tidak ke ruang kerja dan melewati kamar Mairaline mungkin Erald tidak akan pernah mendengar hal mengejutkan itu. Berani sekali anak yang menyebabkan kematian istrinya mengunjungi peristirahatan terakhir Relin.

Erald benar-benar diliputi amarah yang tidak berdasar.

Cklek..

"Papa!" Mata caramel Mai membola menatap takut Erald di pintu kamar. 

"Mbok!" 

Suara dingin Erald begitu menakutkan di telinga Mbok Minah, tubuh gempal itu mau tak mau bergetar di bawah tatapan sang majikan.

"Ma_maaf Tuan. Non_na hanya berkunjung sebentar!" Cicit Mbok Minah menggigil takut membawa tubuh kecil Mai dibalik tubuh gempalnya.

"Keluar!" 

"Tuan_" 

"Saya bilang KELUAR…!" Erald berteriak marah. Mai bergetar ketakutan mendengar kemarahan Papa nya. Mengeratkan pelukannya kepada Mbok Minah, memohon agar Mbok Minah tidak menuruti ucapan Erald.

Kesabaran Erald habis, dengan tarikan kuat pria itu menarik tangan putrinya kuat.

Mai memberontak dengan tak berdaya, memohon belas kasih dari pria di depannya. Mbok Minah menggeleng menatap anak majikannya sesal, tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain menuruti kemauan majikannya. Dia tidak berdaya.

"Papa, maaf. Mai salah!" Mai mengepalkan tangan menahan tangis, matanya menatap takut Erald.

"Sudah saya bilang, jangan berkunjung ke tempat peristirahatan istri ku! Dia pergi karena kamu anak sialan!" 

Erald berdesis penuh penekanan, tatapan bencinya lagi dan lagi dia layangkan. Tanpa peduli hati putri kecilnya sakit, tanpa peduli dengan air mata yang sudah tumpah membasahi kedua pipi Mai. 

"Maaf Papa." 

Tenggorokan Mai tercekat, dia hanya bisa meminta maaf. Saat seperti ini Mai berharap alat pendengar nya rusak sehingga tak pernah mendengar kemarahan Papa nya. 

"Jangan meminta maaf anak SIALAN... Maaf mu tidak akan pernah mengembalikan istriku!!" Erald berdesis, tangan nya mengepal penuh amarah. Rahangnya mengerat, giginya bergemulutuk menatap Mai benci. Erald benar-benar membenci putrinya. Putri yang dulu begitu dia sayangi setelah Relin.

Mai menunduk semakin takut, jari jemarinya bertautan, tubuh kecilnya semakin bergetar. Mai benar-benar takut kepada Papa. Kenapa Papa jadi begitu menakutkan, Mama?

"Mama Mai takut." 

Erald mematung, ditatapnya dalam-dalam manik putrinya. Tanpa berkata pria itu menyeret paksa tubuh kecil putrinya. Tangan besar itu seoalah-olah dapat mematahkan tulang belulang kecil putrinya. Dengan tidak berperasaan Erald mendorong Mai, membuat tubuh kecil itu terjerembab di bawah shower. Tubuh Mai kini basah di bawah dinginnya air. Erald sama sekali tidak peduli dengan apa yang dia lakukan. Pikirannya kalut, hatinya sakit berkali-kali sakit saat putrinya menangis dengan manik yang sama persis seperti Relin.

"Papa dingin. Papa maaf, uhuk_uhuk Mai janji hiks Uhuk_" 

Tangis Mai menjadi, menatap Erald penuh permohonan. Satu yang ia yakini, seperti perkataan Mbok Minah bahwa Papa nya sedang marah dan akan kembali membaik. Keyakinan yang hanya akan membawa angan semata baginya.

"DIAM...! karena kamu istri ku pergi. Jika saja kamu tidak tuli, jika saja kamu terlahir dengan sempurna. Istriku masih hidup sekarang!" Nafas Erald memburu. Tatapan dua orang itu sama-sama terluka.

"Dan kerena ini aku harus kehilangan istriku!"

"Aaa…. Papa sakit!" 

Erald menarik paksa alat pendengar di telinga Mairaline. Tidak peduli seberapa keras tangisan putrinya, tidak peduli sebanyak apa luka yang ditorehkan olehnya.

Dilemparkannya alat pendengar milik Mai. Tanpa mau melihat seberapa menderitanya putri kecilnya. Erald berbalik mengunci pintu kamar mandi, membiarkan tubuh itu mati kedinginan.

Mai tergugu, tidak ada lagi suara air dari shower, tidak ada lagi kebisingan berarti di telinganya. Tangan kecilnya menggenggam erat alat pendengar itu dengan tumpahan tangisnya yang semakin keras. Sekarang Mai tahu, tidak akan ada yang mau dengan anak tidak sempurna seperti dirinya. Dan kepergian Ibunya adalah karenanya, semua terjadi karena dirinya tidak sempurna.

"Non, jangan nangis. Tunggu sebentar, Mimin lagi cari kuncinya!"

Panik, Mbok Minah mencoba mendobrak pintu kamar mandi dengan tubuh gempalnya. Mendengar tangisan anak majikannya membuat wanita tua itu diliputi rasa khawatir.

Ucapan penenangnya menjadi angin lalu ditengah-tenah tangisan Mairaline. Melihat Mimin membawa kunci cadangan, tanpa menunggu lagi Mbok Minah membuka pintu itu.

Cklek...

"Non, maafin Mbok…!" Tenggorokan Mbok Minah tercekat melihat betapa mengenaskannya anak majikannya. Air mata wanita paruh baya itu tidak dapat dibendung, meluncur tanpa tahu malu. Direngkuhnya tubuh kecil itu, mereka diam tanpa bisa berkata-kata lagi.

Malam semakin larut, suara bising binatang terdengar di mana-mana. Hanya satu kamar yang tak terganggu dengan semua kebisingan itu. Mairaline, tubuh kecil itu terlunglai lemah, mata karamelnya terpejam. Tidur nya sama sekali tidak terlihat nyenyak, alis terukir itu menyatu, bibir nya tanpa henti memanggil.

"Mama!"

"Badan nya makin panas Mbok, keringat terus keluar dari tubuh Nona!" Mimin menatap khawatir tubuh Mai yang tanpa henti menggigil mengeluarkan keringat dingin.

"Ambil baju ganti lagi Min! Baju Nona tidak boleh basah." 

Mbok Minah berucap tenang, berbeda dengan hati yang penuh rasa gundah tak menentu.  Tangannya tak berhenti mengganti kompresan di dahi anak majikannya. Betapa sakitnya saat bibir kecil pucat itu terus memanggil Ibu nya yang sudah lama pergi.  

"Non, ada Mimin dan Mbok di sini!" 

Mbok Minah menggenggam erat jari jemari Mairaline. Kadua pelayan itu sepanjang malam terjaga di kamar Mairaline. Menemani anak malang itu.

Ke esokan harinya Mai terdiam, hidupnya hampa tak bergairah. Wajahnya pucat seputih mayat, tatapannya sendu. Dia ingin bertemu dengan Mamanya. Mai ingin meminta maaf, karena nya Mamanya harus pergi untuk selamanya. Papa nya memang benar, Mai yang membuat sang Mama pergi meninggalkan mereka semua. 

"Non makan dulu yuk!" 

Mbok Minah mengusap sayang kepala anak majikannya. Pelan-pelan dia memasangkan alat pendengaran yang untungnya masih bisa diperbaiki. Membuat suara bising kini terdengar di kedua telinga kecil Mai. Mengapa Tuhan memberi cobaan begitu berat kepada anak majikannya.  

"Mbok, Mai mau pergi sama Mama." Mai memelas menatap Mbok Minah. 

Tenaganya hilang, tubuhnya lemas tanpa tulang, untuk duduk saja rasanya anak kecil itu harus mengeluarkan semua tenaga. Badannya panas mengeluarkan keringat dingin tanpa henti.

Erald tahu tubuh putri kecilnya Mairaline tidak akan pernah mampu menghalau udara dingin. Tubuh kecil itu terlalu rapuh, jika saja Relin ada tubuh kecil itu sudah ada dalam dekapan hangatnya. 

Mbok Minah terisak pelan, air mata turun membasahi pipi keriputnya. Tidak ada yang perlu disalahkan atas semua yang terjadi. Mbok Minah tahu betapa besar Tuan nya mencintai Nyoya nya, Tuan nya saat ini hanya dalam kubangan duka dengan Mairaline putri kecil nya yang sayang nya menjadi pelampiasan emosi Erald. Semua ini hanya tentang tulisan takdir yang terlalu kejam. 

"Kenapa mau pergi sama Nyonya, Non? Non disini aja sama Mbok. Kalo tahu Non sedih, Nyonya juga pasti sedih di atas sana." 

"Mama bakalan sedih?" 

"Iya, Nyonya bakalan sedih." 

"Tapi Mai yang udah bikin Mama pergi Mbok." 

Lelehan air mata lagi-lagi keluar saat mengingat perkataan Papa nya. Sakit di hati Mai masih bertahan sampai sekarang. Dia membenci kenyataan bahwa dia terlahir tuli. 

Mbok Minah tak mampu berkata-kata lagi selama beberapa menit. Membiarkan anak majikannya menangis dengan penuh rasa sesak di dada. 

"Non, semua itu sudah ada takdirnya. Kepergian Nyonya bukan salah Non, Tuhan lebih sayang sama Nyonya." 

"Kalo gitu Tuhan nggak sayang sama Mai?"

"Tuhan juga sayang sama Non, tapi Tuhan lebih sayang sama Nyonya. Tuhan sudah rindu sama Nyonya, makanya Tuhan mengambil Nyonya." 

" Tapi Mai juga rindu sama Mama, Mbok!" Tangisan lemah Mai terdengar, di balik pintu Erald terdiam, berjalan acuh melewati pintu kamar Mairaline. Mengabaikan denyutan resah di dalam hatinya.

"Non harus tegar ya. Nanti Nyonya sedih, Non sayang kan sama nyonya?"

"Iya, Mai sayang Mama." 

"Kalo Non sayang, Non harus senyum, harus semangat belajar biar Nyonya nanti bangga sama Non." 

Mairaline mengangguk, tangan kecil itu mengusap air matanya sendiri. Senyuman kini terparti di wajah kecilnya. Harapan baru tumbuh, keyakinan akan sebuah kebahagian kini ada di genggaman tangan kecilnya. 

"Mana obat Mai? Mai mau sembuh Mbok!" 

"Non harus makan dulu. Setelah itu minum obatnya biar Non bisa sembuh dan bisa masuk sekolah." 

"Masuk sekolah! 

Tatapan Mai berbinar-binar menatap senyuman lebar Mbok Minah. "Iya. Non mau kan sekolah?"

"Mai mau sekolah Mbok."

Saat itu Mbok Minah berdoa, semoga anak majikannya Mairaline tidak pernah memendam sebuah kebencian kepada Erald. Karena hidup dalam kebencian seperti hidup dalam lorong gelap tanpa cahaya.

Pagi itu Nai sibuk mencari saudara kembarnya tanpa tahu saudaranya tengah sakit akibat Erald, Papa mereka. Miris, ikatan persaudaraan yang sangat kuat nyatanya tidak pernah sekuat itu. Nairaline terlalu buta untuk melihat semuanya.

"Papa…!"

"Ada apa teriak-teriak Nai?" 

Nai menghampiri Erald yang tengah membaca koran pagi. Kebiasaan baru Erald setelah kepergian Relin, membaca koran sebelum berangkat kerja. 

"Papa lihat Mai?" Tanya Nai membuat wajah tampan Erald mengeras. "Papa tidak melihatnya. Lebih baik Nai bermain saja di taman bersama Marni!" 

"Nggak. Nai mau main sama Mai!" kukuh Nai keras kepala, persis seperti Relin. 

"Papa bilang jangan. Nurut sama Papa!"

"Kenapa? Nai cuma mau main sama Mai, aja!"

Erald menghela nafas, jika Nai adalah duplikat dirinya secara fisik dan duplikat Relin secara sifat, maka Mai adalah kebalikannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!