Terlihat seorang gadis yang sedang berdiri di balkon, termenung menatap rembulan yang menggantung di langit malam.
Sang gadis memandang sendu, berbanding terbalik dengan keindahan alam yang ditawarkan kala itu.
Menghela napas, kemudian duduk di kursi sambil terus menatap kosong ke arah langit, si gadis mulai bermonolog.
"Mah ... Pah ... andai saja kalian masih disini, hah ...," kata si gadis berbicara sendiri.
"Amora kangen sama Mamah dan Papah, hiks ... hiks ... hari ini ultah Amora yang ke-22 Pah Mah," lanjut sang gadis yang kita ketahui bernama Amora.
Menghapus air matanya dengan kasar Amora bangkit dan masuk ke kamarnya, melirik jam dinding kemudian mengambil handphone di atas nakas.
"Sudah jam segini, Bryan udah tidur belum ya?" ucapnya.
"Coba aja deh," sebelum Amora menelpon handphone-nya berdering menampilkan id caller Bryan.
Amora pun segera menerima panggilan dari tunangannya tersebut.
"Assalamualaikum," kata Amora mengawali pembicaraan telepon.
"Wa'alaikumsalam sayang, HBD ya semua do'a terbaik dariku untuk kamu. Semoga yang disemogakan tersemogakan sayang," Bryan menjawab.
"Makasih Bryan baru aja aku mau menelepon kamu," lanjut Amora.
Obrolan berlanjut hingga setengah jam kemudian.
"Mora gak kerasa udah jam segini, kamu tidur gih dah malam banget ini sayang," kata Bryan
"Ya udah aku juga udah ngantuk nih, met malam Bryan met istirahat, Assalamualaikum."
"Kamu juga ya mimpi indah, mimpiin aku kalau bisa haha, wa'alaikumsalam sayangku." Bryan pun mengakhiri panggilan.
Setelah panggilan telpon berakhir Amora mulai memikirkan apa yang akan dilakukannya esok, jujur dia sangat membenci hari ulangtahunnya sendiri.
Saat akan tertidur, Amora mengingat Tiara.
"Sepertinya menghabiskan waktu dengan Tiara tidak buruk, hmm gak usah telepon deh langsung datang aja." tersenyum memikirkan bagaimana terkejutnya Tiara besok.
Amora pun terlelap mengarungi dunia mimpi.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀...
Dilain tempat, di apartemen mewah. Terlihat pasangan muda mudi yang berbaring di ranjang.
Si wanita memulai percakapan.
"Apa katanya tadi, minta jalan-jalan ya sama kamu besok?" ucap si wanita dengan nada manja.
"Gak minta apa-apa sih, kan kamu juga dengar sendiri tadi Tiara-ku sayang." si pria sambil mencubit hidung wanita yang bernama Tiara tersebut.
"Sampai kapan sih kita harus gini, kamu tunangannya tapi jalan sama aku. Hubungan kita juga udah jauh, aku gak mau kamu ninggalin aku karena harus nikah sama dia setelah semua yang udah kita lakukan," kata Tiara.
"Sabar ya, Ayah kamu bilang kita harus menunggu dia melewati ultahnya yang ke-22 baru kita bisa melenyapkannya," jawab si pria.
"Tapi aku tuh capek sembunyi-sembunyi gini terus, aku mau milikin kamu seutuhnya Bryan," keluh Tiara.
"Tunggu satu minggu paling lama. Semuanya juga akan berakhir, kita akan bebas dan Ayahmu akan mengambil alih semua warisan si bodoh Amora itu hahahaha." Bryan tergelak memikirkan keberhasilan rencana Ayah Tiara.
"Sekarang kita lanjutkan yang tadi ya." Bryan mulai mendekati Tiara.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀...
Pagi menjelang, matahari masih mengintip malu. Amora telah siap dengan dress berwarna putih, kemudian Amora sarapan di dapur apartemen sederhananya.
Kenapa anak dari almarhum seorang pengusaha terkenal bisa tinggal di apartemen sederhana sendirian. Jawabannya karena Amora ingin mandiri dan tidak terlalu menyukai kemewahan.
Sama halnya dengan ultahnya sendiri, sudah lama tak ada perayaan sejak ultah Amora yang ke-17.
Setelah sarapan, Amora bergegas ke parkiran apartemen dan masuk ke dalam mobil kesayangannya yang merupakan hadiah terakhir dari orang tuanya.
Menikmati cuaca pagi ini Amora menjalankan mobilnya dengan pelan. Sesampainya di apartemen Tiara, Ia memasukan password.
"Kebiasaan malas banget bersih bersih," gerutu Amora ketika masuk dan melihat ruang tengah yang seperti kapal pecah.
Saat akan membuka pintu kamar Tiara, Amora mendengar percakapan dua orang yang dia kenali dari balik pintu.
Dia mendengar semua rencana jahat yang akan mereka lakukan padanya. Air mata mulai terjatuh, membekap mulutnya sendiri Amora hendak berlari keluar meninggalkan apartemen yang membuatnya mengetahui bahwa semua orang yang dia kenal dan percaya hanya bersandiwara.
Setelah berbalik Amora tak sengaja menyenggol meja kecil di dekatnya, membuat vas bunga yang ada di atas meja itu jatuh dan pecah.
Suara pecahan vas itu terdengar hingga ke dalam kemar Tiara yang pintunya sedikit terbuka.
"Apa itu yang jatuh?" tanya Tiara.
"Mungkin kamu salah dengar sayang." Bryan menjawab seraya mengeratkan pelukannya.
"Bangun dulu Bryan, liatin sana jangan-jangan maling lagi," paksa Tiara.
"Iya-iya aku liatin." Bryan segera bangkit dari ranjang dan membuka pintu kamar, wajahnya berubah menjadi pucat.
"Apa yang jatuh sayang," tanya Tiara dari dalam.
"Vas bu–bunga," jawab Bryan tergagap.
Tiara menyusul keluar "kok bisa jat–" Tiara menelan kembali pertanyaannya karena melihat Amora.
Plok ... Plok ... Plok ....
"Hebat ternyata ini yang kalian lakukan di belakang aku ya, udah berapa lama kalian mengkhianati aku. JAWAB HAH, SUDAH BERAPA LAMA KALIAN BERHUBUNGAN!" bentak Amora sambil bertepuk tangan.
"Tadinya aku yang mau buat kejutan, nyatanya aku yang merasa sangat terkejut. Tunangan aku selingkuh dengan sahabat aku sendiri, haha lucu sekali bodohnya aku mempercayai kalian berdua," lanjut Amora.
"Please dengarin aku dulu, ini gak seperti yang kamu lihat. Percaya sama aku ya," bujuk Bryan.
"Lalu apa kebenarannya, kamu kira aku bodoh atau aku buta gitu gak bisa liat kalau kalian itu ada hubungan. Dengan kalian keluar dari kamar yang sama aja udah menjelaskan apa yang kalian lakukan semalam, apalagi yang mau kamu jelaskan Bryan?" tanya Amora.
Tiara yang mulai jengah bersandiwara, melepaskan semua topeng yang dia kenakan selama ini.
"Kalau iya lantas kenapa, kamu bisa apa? Kamu itu cuma anak yang haus kasih sayang dan perhatian. Jadi wajar dong kalau kita manfaatin." Tiara mengangkat bahu cuek.
"Lagian ya aku itu temenan sama kamu karena disuruh sama papah doang, aslinya ogah banget deh. Udah cupu, sok lugu, sok alim dan sok pintar pula," hina Tiara.
Amora tak menjawab, dia hanya diam mendengarkan hinaan dari Tiara.
"Bryan, kamu tutup pintu. Jangan biarkan dia keluar dari sini," titah Tiara.
Bryan melewati Amora yang masih syok, mengunci pintu apartemen dan kembali kesisi Tiara.
"Kamu mau ngapain nyuruh aku tutup pintu sayang?" tanya Bryan.
"Aku punya ide, bagaimana kalau dia." Menunjuk Amora "Kita eksekusi hari ini juga, bukankah sekarang sudah lewat ultahnya." terang Tiara sambil menatap Bryan.
"Iya sih tapi gimana sama rencana papah kamu?" timpal Bryan.
"Mau sekarang atau nanti sama aja, lagian dia udah tau yang sebenarnya terus juga di surat wasiat itu menjelaskan jika sesuatu yang buruk menimpa dia sebelum berusia dua puluh dua maka semua harta warisannya akan disumbangkan ke panti asuhan." terang Tiara meyakinkan.
"Jadi gimana, kamu berani gak? Ya itung-itung meringankan pekerjaan papah aku buat melenyapkan dia." Tiara memandang tajam Amora, tatapannya seolah menyimpan sejuta rasa iri dan kebencian.
"Ya sudah kalau begitu, ayo kita lakukan sekarang. Maaf Amora sepertinya hidupmu cukup sampai disini, Bukankah kamu selalu merindukan orang tuamu. Aku akan membantumu bertemu dengan mereka segera." Bryan terus melangkah mendekati Amora.
"Mau apa kamu Bryan, jangan mendekat. Aku bilang jangan mendekat Bryan." Amora panik dan melangkah mundur.
Sakian lama jarak antara Bryan dan Amora makin menipis, Bryan mengulurkan tangannya ke leher Amora.
Amora sudah tak bisa melangkah mundur lagi karena ada dinding yang menghalangi. Saat tangan Bryan mulai mencekik lehernya tak ada perlawanan dari Amora, hanya air matanya yang senantiasa menetes.
Bryan yang sebenarnya masih menyayangi Amora tapi terbujuk oleh rayuan Tiara untuk berselingkuh dengannya, akhirnya meluluh dan mengendurkan cekikannya pada leher Amora.
Amora mengambil napas sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya sambil terbatuk.
"Apa yang kamu lakukan Bryan, cepat habisi dia. Lihat dia sudah tak memiliki tenaga untuk melawan," hardik Tiara.
"Aku gak bisa Tiara, bagaimanapun juga aku pernah mencintainya hanya saja dia tak mau berhubungan seperti yang kita lakukan." Bryan mengusap wajahnya.
"Kalau kamu gak bisa, biar aku yang lakukan. Kamu cukup diam di sana dan jangan mengganggu." Tiara mendekati Amora.
"Ka–kalian jahat, aku akan membalas semuanya bahkan jika aku harus menjadi hantu," ucap Amora terbata karena lehernya dicekik.
"Terserah aku tidak takut hahaha." Tiara menguatkan cekikan di leher Amora.
Amora bersumpah dalam hati, "Aku tidak Sudi mati seperti ini, jika aku harus mati izinkan aku membalas semua yang mereka lakukan. Berikan aku kesempatan itu Tuhan." mata Amora pun mulai tertutup.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀...
Akankah ada kesempatan kedua untuk Amora?
Nantikan di bab selanjutnya.
Wassalam 🙏
Semakin lama Amora semakin susah bernapas, kesadaran perlahan mulai menghilang.
Melihat Amora terkulai lemas, Tiara melepas cekikannya.
"Bryan, bawa Amora kebawah. Kita selesaikan dia di tempat lain, aku gak mau dia mati di apartemen aku," perintah Tiara.
"Kemana kita bawa dia, apa gak nunggu tengah malam aja? Jam segini udah mulai ramai, kita tunggu saat sepi baru kita bawa Amora keluar. Gimana?" usul Bryan
"Benar juga sih apa kata kamu, ya udah bawa aja ke gudang. Jangan lupa ikat tangan dan kakinya serta lakban mulutnya,"
Bryan segera membawa Amora ke dalam gudang yang penuh debu. Mengikat tangan dan kaki Amora kemudian menutup mulut Amora dengan lakban.
Selesai dengan urusannya, Bryan keluar dari gudang dan mengunci pintu gudang kembali.
Dilihatnya Tiara sedang menyantap sarapannya dengan santai, seperti tidak ada apapun yang terjadi sebelumnya.
Detik demi detik berlalu, entah pukul berapa Amora sadar dari pingsannya. Mencoba bergerak tapi tak bisa karena tangan dan kakinya terikat kuat.
Mencoba dengan segala cara agar bisa duduk saja susah, tapi Amora tak menyerah dia terus berusaha.
Walau usahanya tak membuahkan hasil, dalam keadaaan yang kepayahan derit pintu gudang memberi harapan. Sangat disayangkan harapan Amora sirna berganti dengan tatapan benci yang di tujukan pada orang yang membuka pintu tersebut.
"Rupanya putri Amora masih bernapas, masih bernyawa kamu." Tiara berjongkok dan memegang dagu Amora.
"Ya gak masalah sih buat aku, toh nanti malam cerita tentang kamu juga akan ditutup. Dan hanya aku yang akan memiliki semua yang kamu miliki, hahaha,"
"Jangan menangis Amora sayang, anggap aja yang aku lakukan ini adalah pertolongan dariku agar kamu bisa bertemu dengan kedua orang tuamu." Kata Tiara sambil menghapus air mata Amora.
"Karena kamu akan mati juga pada akhirnya, aku gak harus repot-repot kasih makan kamu kan. Hmm sepertinya begitu, baiklah nikmati sisa waktumu Amora karena mati atau tak mati pun kamu, nanti malam kamu harus mati!" Tiara berdiri dan berlalu pergi.
Setelah Tiara pergi, Amora tak berusaha lagi dia hanya pasrah dan mengutuk apa yang terjadi pada dirinya.
Ini pertama kalinya dalam hidup Amora merasakan kebencian yang teramat sangat, berharap semua yang baru saja di alaminya mimpi. Jika mimpi mengapa rasa sakit dihatinya begitu nyata?
Mengutuk, mencaci dan memendam dendam pada mereka yang telah membohongi dirinya.
Entah berapa lama Amora menangis hingga jatuh tertidur, pintu gudang kembali terbuka. Suara decitan pintu membuat Amora terbangun.
"Masih sadar juga kamu Amora, gak masalah sih. Seperti yang aku katakan tadi kamu harus mati malam ini, jadi bersiaplah aku akan mengantarmu menemui malaikat maut hahaha," Tiara tertawa senang.
"Bius dan bawa dia ke mobil, lalu kita pergi ke tempat yang aku katakan tadi." lanjut Tiara sambil melirik Bryan.
Bryan pun segera membius Amora, setelah itu membawanya ke mobil sesuai dengan apa yang di katakan Tiara. Apartemen Tiara terlihat sepi karena sebagian orang telah tertidur nyenyak.
Dengan arahan dari Tiara, mereka sampai di tengah hutan yang lebat.
"Disini cocok dijadikan tempat pemakaman-mu Amora, lihat sangat sepi dan tenang seperti kesukaanmu. Gali tanah yang cukup dalam kita akan mengubur dia di sini," kata Tiara pada Bryan.
Bryan mengambil sekop dan mulai menggali tanah, dirasa cukup Bryan berhenti dan membuang sekop di tangannya kesamping tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Lubangnya telah selesai aku gali sayang," ucap Bryan.
"Masukkan Amora kedalamnya dan tutup kembali tanahnya." Tiara menunjuk Amora.
"Tapi dia belum mati, bagaimana bisa kita kubur dia hidup-hidup Tiara?" tanya Bryan.
"Bentar lagi juga mati kalau udah dikubur, ngapain susah-susah bunuh dia kalau bisa langsung dikubur aja." Tiara merotasi matanya.
Bryan menggendong Amora dan meletakkan tubuh Amora ke dalam lubang yang digalinya.
"Maafkan aku Amora, jangan menghantuiku. Salahkan saja nasib mu, mengapa harus bertemu kami." monolog Bryan sambil mulai menutup kembali lubang dengan tanah.
Saat tanah mulai menutupi yang tubuh Amora, hujan deras turun petir menyambar dimana-mana.
"Cepat tutup lubangnya, hujannya makin deras!" kata Tiara.
Bryan menoleh ke arah Tiara kemudian berkata, "Kamu duluan aja masuk ke mobil, biar aku yang urus disini," kata Bryan. Saat berpaling kembali dan ingin menutup lubang dengan tanah, Bryan melihat mata Amora terbuka menatapnya dengan penuh kebencian.
Deg ....
Jantung Bryan berdegup kencang melihat tatapan yang tertuju kepadanya, tatapan itu seperti mengandung beribu sumpah serapah dan kutukan. Baru kali ini Bryan melihat tatapan seperti itu dari Amora.
Hanya sesaat Bryan terdiam, setelahnya dia mulai menutup lubang tersebut.
"Jangan benci aku Amora, jangan kutuk aku juga. Salahkan saja ayah dan ibumu yang meninggalkan banyak warisan sehingga orang seperti Papah Tiara berambisi memiliki semuanya." Bryan terus menutup lubang tempat Amora di kubur.
Semakin lama hujan semakin deras tanah yang lembab, udara yang dingin dan tanah yang hampir menutupi wajah Amora, tinggal beberapa galian tanah lagi Amora akan terkubur sempurna di bawah tanah itu.
Selesai menutup lubang, Bryan kembali ke mobil dengan membawa sekop di tangannya. Dilihatnya Tiara sedang duduk di dalam mobil.
"Sudah tertutup sempurna kan?" tanya Tiara.
"Sudah beres lagian kita juga gak buka ikatan di tangan dan kakinya mana bisa dia kemana mana, ayo kita pulang. Aku kedinginan karena kehujanan,"
Mobil Tiara melaju meninggalkan hutan.
Sedangkan Amora yang berada di dalam tanah, semakin kehabisan oksigen. Yang bisa dia lakukan hanya mengutuk dirinya mengapa mempercayai orang yang salah.
Ditengah rasa kesakitan dan ke putus-asaan, Amora mengharapkan adanya satu keajaiban yang terjadi. Agar dia bisa mengubah takdir yang terjadi padanya.
Hatinya terus merapalkan kalimat yang sama, "Tuhan jika aku harus mati disini, jangan biarkan mereka bahagia. Namun jika ada kesempatan untukku, izinkan aku membalas semua yang mereka lakukan," pinta Amora dalam hati sebelum kesadarannya terenggut oleh kegelapan.
TBC...
Bagaimana kelanjutannya, tunggu di bab berikutnya ya😊
Mobil yang dikendarai Bryan melaju di tengah hujan. Semakin lama hujan kian deras, begitu sulit untuk melihat jalanan. Bryan pun memperlambat laju kendaraannya.
"Hujannya deras banget malam ini, petir dari tadi gak berhenti menggelar. Sepertinya hujan kali ini bakalan awet sampai pagi," Bryan memulai percakapan.
"Yah mungkin saja, siapa tau alam pun menangis menyambut kematian Amora," timpal Tiara.
"Aku senang karena semuanya akan jadi milikku, milik kita hahaha," lanjut Tiara.
"Kita belum bilang ke Papah kamu tentang ini sayang." Bryan berkata sambil melirik sekilas ke arah Tiara.
"Besok juga bisa, ngapain buru-buru. Lagian ini juga udah malam Mamah dan Papah pasti udah tidur,"
Bryan hanya mengangguk mendengar jawaban Tiara. Tak lama kemudian mereka telah sampai, Tiara bergegas turun dan masuk ke apartemennya.
Setelah masuk mereka segera membersihkan badan mereka dari tanah yang menempel karena terkena air hujan. Bryan yang telah selesai mandi, berlalu ke dapur untuk mengambil minuman. Sedangkan di dalam kamar, Tiara mengeringkan rambutnya dengan hairdryer.
Saat Bryan akan membuka pintu kulkas dan Tiara mulai mengeringkan rambutnya, tiba-tiba gemuruh petir terdengar memekakkan telinga sekaligus pemadaman listrik di apartemen.
Tiara memekik, memanggil Bryan sebab dia sangat benci kegelapan. Tiara terus berteriak memanggil Bryan, namun Bryan belum juga sampai. Mendengar suara teriakan tersebut Bryan terburu-buru berlari di dalam kegelapan hingga dia terjatuh.
Kepala Bryan hanya membentur meja, namun anehnya dia tak sadarkan diri. Tiara yang terus berteriak juga pingsan saat petir kembali menyambar kembali.
DAH TAMAT🙃
TAPI BOONG🤭
Saat mereka berdua tak sadarkan diri, ada setitik cahaya yang muncul ditengah kegelapan. Makin lama cahaya tersebut semakin membesar dan menghisap semuanya. ( Maafkan imajinasi saya yang aneh, entah darimana saya memikirkan black hole muncul disini🤭, tolong dimaafkan ya maklum baru pertama kali buat novel ).
Semua barang-barang terhisap masuk kedalam cahaya itu, Tiara dan Bryan pun ikut tertelan. Setelah apartemen itu kosong tanpa satupun barang, cahaya itupun memudar kemudian menghilang.
Suasana kembali seperti semula, hujan pun berhenti dan listrik kembali menyala.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀...
Di atas tempat tidur, terlelap seorang remaja yang masih memakai seragam sekolah. Matanya terlihat sembab seperti habis menangis.
Suara ketukan pintu kamarnya pun seakan tak menganggu tidurnya.
"Non, bangun Non. Makan dulu," kata orang yang mengetuk pintu. "Nona belum makan dari kemarin Non, Bibi tau Nona masih bersedih atas kepergian Tuan dan Nyonya tapi jangan gak mau makan Non nanti Nona sakit," lanjutnya.
Karena tak mendapat jawaban dan pintu tak bisa dibuka, Bibi pun meninggalkan kamar tersebut. Tak berapa lama setelah di Bibi pergi, gadis di atas tempat tidur itu menggeliat. Matanya berkedip beberapa kali kemudian terbelalak tak percaya.
Segera dia melompat turun dari ranjangnya mendekati meja rias di kamarnya, diamatinya penampilannya saat ini. Seragam sekolah mata yang sembab, dipegangnya wajahnya sendiri seraya membekap mulutnya.
Melirik ke kalender yang ada di atas meja rias, dia ingat betul hari ini adalah hari dimana dia mendengar kabar bahwa orang tuanya meninggal karena kecelakaan kemarin.
Seakan masih tak percaya, dia mengambil handphone-nya dan melihat layar yang menunjukan tanggal yang sama.
"Mah ... Pah ... Amora kembali, tapi kenapa harus di hari ini. Kenapa bukan di saat sebelum terjadinya kecelakaan Mamah dan Papah," kata gadis itu yang ternyata adalah Amora.
"Amora akan menjaga semua yang Papah dan Mamah tinggalkan untuk Amora, kejadian itu tak akan Amora biarkan terulang." janji Amora sambil menatap foto orang tuanya.
Satu minggu telah berlalu sejak Amora kembali ke usianya yang ke-17. Hari ini adalah hari dimana Amora akan bertemu dengan pengacara ayahnya.
Amora telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk membuat orang-orang mempercayainya. Ia juga meminta izin tidak mengikuti pelajaran dari sekolahnya.
Amora memakai pakaian formal ala kantoran, merias wajahnya senatural mungkin. Kini Amora telah siap memulai pertarungan pertamanya di perusahaan almarhum Papahnya.
Amora turun kelantai satu untuk sarapan, tak lama seorang pelayan menghampiri Amora.
"Wah Non Amora cantik sekali, mau ada acara ya Non?" tanyanya.
"Iya Bik Tika, Amora ada pertemuan dengan pengacara di kantor Papah." Amora tersenyum menatap Bik Tika.
Amora duduk di meja makan sendirian, maklum dia anak tunggal dan tak memiliki kerabat yang lain.
"Bik Tika sarapan sama Amora ya, gak enak makan sendirian," pinta Amora.
"Ampun Non Bibi gak berani."
"Ayolah Bik, ya-ya mau ya," bujuk Amora.
"Iya deh Non, Bibi temenin saja ya gak ikut makan. Bibi duduk aja."
"Sama aja, Amora makan sendiri." Amora memasang wajah cemberut.
"Ya udah Bibi panggil yang lainnya juga ya biar ramai sarapan sama-sama," putus Bik Tika pada akhirnya.
"Boleh Bik ajak aja semua."
Setelah memanggil semua pelayan, mereka makan bersama. Bercanda dan tertawa disela-sela mereka sarapan.
"Mah ... Pah ... lihat Amora masih bisa tersenyum, Amora janji gak akan mengecewakan kalian," janji Amora didalam hati.
Setelah sarapan Amora segera pergi ke kantor Papahnya. Di teras depan Leo, supir Amora menunggu Nonanya.
Leo segera membuka pintu mobil, Amora mengucapkan terimakasih dan masuk ke dalam mobilnya. Mobil tersebut melaju dengan kecepatan sedang menuju kantor Papa Amora.
Setengah jam kemudian, mereka telah sampai di depan gedung perkantoran perusahaan "SANJAYA". Amora berjalan dengan langkah yang tegas, semua karyawan membungkuk hormat dan mengucapkan salam pada Amora.
Senyum kecil yang tersungging dibibir Amora, sampai di depan pintu ruang rapat sekretaris pribadi almarhum Papa Amora segera membukakan pintu tersebut.
Amora masuk dan duduk di kursi pemimpin, senyum yang tadi ada ditanggalkan berganti dengan wajah datar dan aura kepemimpinan yang tak sesuai dengan usianya saat ini.
Melirik seluruh orang yang ada di dalam ruangan hingga tatapannya terhenti pada wajah yang tak asing lagi, wajah penjahat yang teramat sangat munafik. Amora membuang pandangannya, kemudian berkata, "Bisa kita mulai segera, saya rasa semua orang disini memiliki tugas yang harus diselesaikan setelah rapat ini berakhir,"
"Tolong bacakan surat wasiat Papah saya, dan saya akan menerima pendapat dari kalian semua. Tapi ingat hanya sebatas menerima bukan menyetujui!" pungkas Amora.
"Baiklah, saya disini selaku pengacara almarhum Bapak Arya Sanjaya akan membacakan wasiat terakhir beliau,"
Sang pengacara membacakan isi wasiat.
Surat Wasiat
"Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Arya Sanjaya
Tempat, Tanggal Lahir : Malang, 14 Maret 1976
Alamat : Jl. Waru Raya No. 15, Warurejo, Sidoarjo.
Dengan surat ini saya menyatakan berbagai hal berikut :
Harta yang pertama, Rumah, Tanah Sertifikat Hak Milik, Perusahaan, Butik dan Showroom mobil.
Harta kedua, Tujuh Buah Mobil, Dua belas Buah Sepeda Motor.
Harta ketiga, yakni tabungan sejumlah 17,9 triliun rupiah.
Berdasarkan keterangan di atas, berikut penjelasan yang lebih rinci atas harta kekayaan saya yang akan saya wariskan :
Rumah seluas 20.000 meter persegi beserta isinya.
Tanah perumahan seluas 40.000 meter persegi yang sudah bersertifikat hak milik.
Perusahaan SANJAYA seluas 2.000 meter persegi.
Butik seluas 500 meter persegi 3 lantai dan Showroom mobil 300 metr persegi 2 lantai.
Tabungan sejumlah 17,9 triliun rupiah, 7 mobil dan 12 sepeda motor
Semua harta benda Saya diatas akan Saya serahkan kepada anak Saya satu-satunya sebagai ahli waris saya yaitu Amora Sanjaya.
Sekian surat ini saya buat dengan disahkan oleh saudara Sebestian Gilang Perdana selaku pengacara saya,"
Setelah Gilang membacakan wasiat Pak Arya, Amora segera bertanya, "Tidak ada tambahan apapun?"
"Masih ada Nona, Pak Arya menetapkan Nona akan mendapatkan semuanya saat genap berusia 22 tahun," jawab Gilang.
"Baiklah bagaimana pendapat kalian, ada yang mau berkomentar atau memberi masukan?"
"Siapa yang akan menjadi CEO menggantikan Pak Arya?" tanya salah satu Direktur.
"Sudah jelas saya selaku anaknya yang akan mengambil alih lagipula Papah memiliki saham yang cukup besar dan semuanya diberikan kepada saya beserta perusahaan," jawab Amora
"Mana bisa kami mempercayakan perusahaan pada anak yang masih duduk di bangku sekolah," sanggah Direktur yang lain.
"Ya betul lebih baik menunjuk satu perwakilan untuk menduduki jabatan tersebut," saran Direktur lainnya. Semua yang ada disana mengangguk setuju.
"Saran yang bagus siapa kira-kira yang bisa menggantikan saya menurut kalian," tanya Amora.
"Pak Danu cocok untuk posisi tersebut Nak Amora, selain beliau teman baik mendiang orang tuamu beliau pasti mampu," dukung salah satu peserta rapat.
"Om Danu, ya beliau memang teman baik Papa tapi saya yakin Papa pasti lebih suka jika saya yang meneruskan dan memimpin perusahaannya. Jadi keputusan saya sudah bulat, saya yang akan mengambil alih jabatan Papa," pungkas Amora.
"Untuk masalah saya seorang pelajar tidak perlu khawatir, saya sudah mendaftar kelas akselarasi. Dan untuk melanjutkan studi saya akan mengambil kelas malam, sehingga tidak akan mengganggu tugas saya sebagai CEO," Lanjut Amora.
"Bagaimana kami percaya pada anak kecil yang bahkan belum mengerti cara memimpin?"
"Kalian bisa membuktikan saya mampu atau tidak dengan memberi saya kesempatan, bagaimana? Apakah kalian berani memberikan kesempatan padaku?" tantang Amora, semua terdiam dan saling pandang memikirkan kata-kata Amora, kemudian Gilang menyampaikan pendapatnya.
"Saya rasa apa yang dikatakan oleh Nona Amora ada benarnya, jadi saya pribadi setuju dengan saran Nona," ucap Gilang.
Semua yang hadir mengangguk setuju, seulas senyum merekah di wajah cantik Amora. Dia sangat bahagia bisa mengubah semuanya dari awal. Sekarang tugasnya membuktikan bahwa dia mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai CEO.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀...
Mampukah Amora, nantikan bab selanjutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!