🔊 Ini bukan cerita sambungan dari Teman Tidur Kontrak (Yaa walaupun ada kaitannya dikit). Ini hanya cerita ringan tentang perjalanan cinta SMA yang dimainkan oleh anak mereka. Enjoy the Story🍭
...*...
PoV awal akan diisi oleh Ariva Tania. Dan PoV kedua, akan diisi oleh Arsya Alexander Loui di beberapa bab kedepan!
...*...
...PoV Ariva Tania...
Katanya, masa SMA adalah masa-masa yang indah dan tak terlupakan. Apa bener gitu? Ya, mungkin begitu di kehidupan orang lain. Bukan di kehidupanku.
Soalnya udah hampir satu tahun aku menginjakkan kaki di bangku SMA, tapi belum ada tanda-tanda sesuatu yang bisa kuingat sepanjang hidupku. Walau sebenarnya aku menyukai kakak kelasku. Dia...
"Hooh, senyam-senyum kirain apaan. Ternyata liatin Kak Junaa!"
Aku tersipu malu saat Hani mendapatiku tengah menatap kakak kelas yang sejak awal sudah kusukai.
Dia tengah berdiri dipinggir lapangan basket, menyaksikan teman-temannya bermain asyik disana.
Mungkin banyak yang tak memperhatikannya. Karena dibanding bintang di sekolah, Juna memang bukan apa-apa. Tapi dia pintar, rapi, dan tentu saja senyumannya yang paling kusukai. Tiada senyuman yang indah selain senyuman milik Arjuna Kartawijaya. Bendahara osis kelas XI IPS3.
Lihat, lucu sekali. Dia bertepuk tangan menyemangati yang lain. Sampai tiba-tiba saja matanya menatap kearahku.
Tunggu! Dia menatap kearahku??
Seketika aku menunduk. Gilaa! Apa benar dia tadi melihat kearahku?? Jantungku jadi tidak karuan, kaan!!
Dengan perlahan kuangkat lagi kepalaku, melirik kearahnya. Tapi dia sudah tak menatap kearah sini. Fyuhh. Untunglah. Kalau tidak, jantungku pasti bisa berhenti mendadak.
"KYAAAAA!!"
Aku tersentak mendengar jeritan Salma yang tepat duduk disebelahku.
"Gilaaa. Ini sih, mirip dunia pernovelan. Ganteng, tajir, jago basket. Beuhhh.. ga ada obat emang si Hajoon. Gak salah gue masuk SMA Garuda."
Mataku menyipit, melihat orang yang dimaksud oleh Salma. Lelaki keturunan korea yang menjadi bintang utama tahun ini. Bukan cuma di sekolahku aja, melainkan cewek dari sekolah luar juga memujanya.
"Nggak-nggak-nggak! Yang paling ganteng diantara semuanya itu Kak Kai!" Protes Hani, bibirnya mulai mengembang saat melihat Senior Kai yang juga bergabung dalam permainan basket.
"Emang Kai ganteng, tapi ga seganteng Hajoon lah. Gila lo Oppa gue tuh. Ga bisa dapetin Taehyung, gue pasti bisa dapetin Hajoon. Soalnya yang ini bisa digapai!" Tak mau kalah, Salma memberikan pendapatnya.
"Eh, asal lo tau, ya-"
"Udaah. Pada kenapa, sih? Lagian lo bedua juga ngga dikenali sama mereka. Pake ngerecokin, lagi." Ucapku melerai keduanya yang langsung bungkam seketika.
Yah, kalo dipikir-pikir emang bener, kan. Aku bukan tokoh utama novel kisah romansa SMA yang cantik dan cocok bersanding dengan tokoh cowok sempurna versi novel itu.
Aku cuma cewek yang jadi pemeran sampingan yang kadang gak dibutuhin. Emangnya aku bisa dapetin laki-laki yang menjadi bintang seperti mereka, yang kisah SMA-nya sempurna? Jangankan seperti Kak Kai dan Hajoon. Kakak senior yang kulirik sejak tadi itu saja rasanya tak mungkin menyadari keberadaanku yang naksir berat ke dia.
"Yeaaaayyyy!! Ga-ru-da!!" Sorak sorai para cheerleader bergemuruh saat si Hajoon itu berhasil memasukkan bola kedalam ring.
"Diih. Liat tuh, si Vita. Nggak banget! Gue tau banget dia tuh sengaja masuk tim cheers supaya bisa ngedeketin Hajoon. Genit!" Julid by Salma mode \= on.
"Tapi.. dia emang cantik, kan. Bodinya bagus, rambutnya bagus. Makanya dia direkrut jadi tim cheers." Nada Hani memelas sembari memperhatikan gadis yang paling cantik itu.
"I-iya.. bener, sih." Sahut Salma lagi, akhirnya menyadari siapa kita yang duduk dibelakang layar ini.
"Apalagi Vita kan, anak model senior. Dia juga incaran banyak laki-laki." Lanjut Hani lagi.
"Anjani juga. Gebetan aku sampe oleng gara-gara dia. Hiks.." curhat Salma bersedih memandang kearah deretan cewek-cewek cantik yang tengah menyemangati tim basket.
Setelah membahas cewek-cewek cantik, topik pun kembali ke semula.
"Aah Hajoon. Gantengnya kebangetan. Emang ada ya, cowok sesempurna lo. Rasanya susah digapai kalo kita orangnya." Insecure mode on, Salma.
"Sebenarnya, ada satu lagi sih, cowo tampan di sekolah kita." Celetuk Hani.
"Hah, siapa?" Tanyaku kaget. Apa maksudnya kak Juna?
"Tuuuhh.." Hani menunjuk dengan bibirnya. Mengarahkan kami ke bawah pohon kecil dipinggir lapangan. Hampir tak terlihat.
"Arsya??"
"Iya. Dia tuh kan, ganteng. Keren lagi. Bedanya, tuh anak suka ngumpet-ngumpet."
Aku memperhatikannya. Dia tengah asyik bermain game di ponselnya bersama dua temannya yang lain. Benar-benar tak peduli dengan pertandingan basket di belakangnya.
"Arsya ganteng banget. Tapi bokapnya lebih ganteng, sih. Hehehe."
Salma dan Hani cekikikan. Topik kini berubah mereview wajah Arsya.
"Alis mata dan rambutnya mirip mantan penyanyi Arga Alexander." Kata Hani.
"Ya iyalah. Bokapnyeee.." celetuk Salma.
Hmm.. Mereka benar.
"Kata temen-temen yang lain, Arsya tuh perpaduan Mama dan Papanya banget." Ujar Hani lagi.
Hmm.. dia benar.
"Tapi, jangan pernah ngomongin bokapnya di depan dia. Katanya sih, dia nggak suka dibandingin sama bokapnya."
"Mungkin karena gantengan bokapnya, kali." Sahut Salma cekikikan.
"Entah. Gue juga ga tau."
Aku menyedot es bobaku. Mendengarkan mereka bicara sembari terus menatap kearah Arsya. Tapi tiba-tiba, kepalanya terangkat dan menatap kearahku.
"Eh eh, dia ngeliatin." Bisik Hani, yang spontan membuat kami diam.
Arsya yang wajahnya ketus itu pun berdiri dan berjalan kearah kami.
"Ah, di-dia kesini?"
Arsya berdiri tepat di depan kami bertiga.
"Kalo ngomongin orang, jangan sampe kedengeran satu sekolah!" Ketusnya, membuat kami diam dan saling sikut.
Arsya cukup lama berdiri disana, menatap kearah kami satu persatu. Terlebih padaku, dia tampak sangar sekali memang. Beberapa detik setelahnya, ia pun pergi.
"Hiss. Walaupun ganteng, tapi dia tuh nyebelin, nggak sih?" Sewot Salma. "Padahal kita tuh tadi nggak cerita apa-apa! Malah bilang dia ganteng!"
"Tapi keren ya. Hihihi." Hani malah salah tingkah. "Dia tuh juga jago basket, tau. Ditawarin gabung, sayangnya nolak. Katanya ga mau diidolain satu sekolah. What? Gila nggak tuh, dengernya."
Aku menahan gelak. Memang langka banget sih, orang kayak dia.
Obrolan seputar cowok keren di sekolah pun berakhir sampai disitu. Kami pun kembali ke aktifitas biasa di sekolah, sampai akhirnya aku kembali ke rumah.
Sorry, bukan rumah. Tapi, panti asuhan.
Yap. Aku tinggal di panti asuhan yang didirikan oleh orang yang paling dermawan. Aku besar disana bersama beberapa orang lainnya.
Walau panti asuhan, tapi ini sudah seperti surga bagiku. Di dalamnya banyak orang-orang baik yang saling mengasihi.
Contohnya saja tante Tari. Ah, maksudku kak Tari. Dia menolak dipanggil Tante. Tapi karena jiwanya emang jiwa muda, jadi masih sangat sah dipanggil kakak.
"Udah makan, sayang?" Tanya Kak Tari saat melihatku baru naik keatas tangga.
"Udah, kak. Kakak mau kemana?" Kuperhatikan dia dari atas sampai bawah. Rapi sekali.
"Ada klien yang mau ketemu dadakan. Kakak berangkat dulu."
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Oh, ya. Kalau Adit pulang kuliah, kamu bilangin ke dia jangan pergi malam nanti. Soalnya kakak kayaknya pulang larut. Ntar ngga ada yang jagain kalian."
"Oke, kak."
Kak Tari tersenyum, lalu menuruni tangga bawah.
Kak Adit. Satu lagi laki-laki dewasa yang menjaga kami disini. Dia sangat hangat dan tentu saja tampan. Tapi aku menyayanginya seperti kakakku sendiri.
"Aaahh.." akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku. Seharian rasanya sangat melelahkan. Padahal tidak ada kegiatan belajar mengajar, tapi ternyata lebih melelahkan.
Mataku hampir terpejam. Kulihat pintu kamarku ternyata belum tertutup sempurna. Ingin aku bangkit untuk menutupnya, tapi rasa kantuk begitu mendominasi.
Lagi pula.. sejak kapan aku mengunci pintu? Aku memang hampir tidak pernah mengunci pintu kamar.
Kenapa?
Karena ada yang suka masuk kedalam sini. Seseorang yang bahkan tidak akan pernah kalian kira.
~
Mataku terbuka perlahan. Aku tertidur, kan? Aku ingat tadi aku sangat lelah dan mengantuk. Tapi, rasanya ini sudah malam. Kenapa aku tidurnya lama sekali? Kepalaku terasa berat.
"Lama banget bangunnya."
Aku menoleh mendengar suara yang sering sekali mengganggu di telingaku.
Dia duduk diatas karpet bersandar di tepi ranjang yang kutiduri. Aku hanya bisa melihat punggung dan rambutnya saja sebab dia tengah asyik bermain game di ponselnya.
Inilah alasan kenapa aku hampir tidak pernah mengunci pintu kamar. Karena dia, Arsya, sering keluar masuk sesuka hatinya.
** Bersambung **
(Visual Ariva Tania)
(Visual Arsya Alexander Loui. Diumpetin dulu)
Note: NOVEL INI PUNYA 2 POINT OF VIEW. UNTUK POV ARSYA AKAN ADA DI BAB 60AN💐
"Lama banget bangunnya."
Aku menoleh ke arah suara yang sering sekali terdengar di telingaku.
Dia duduk diatas karpet bersandar pada tepi ranjang yang kutiduri hingga aku hanya bisa melihat punggung dan rambutnya. Dia asyik bermain game di ponselnya.
Inilah alasan kenapa aku hampir tidak pernah mengunci pintu kamar. Karena dia, Arsya, sering keluar masuk sesuka hatinya.
Arsya sekilas menoleh kebelakang melalui bahunya. "Lo itu nggak bersih-bersih, ya. Bisa-bisanya tidur masih pake seragam. Cepet bangun. Ini udah jam 6!" Arsya meletakkan ponselnya diatas nakas, lalu memutar tubuhnya kearahku.
Mata kami bersitatap beberapa detik. Sampai aku berhasil meraba guling dan melemparkan kearahnya.
"Aduh! Apaan, sih!" Arsya memberi perlindungan dengan menyilangkan kedua tangannya.
Aku duduk dan mencoba merapikan rambut. "Kan, udah gue bilang jangan berlagak kenal di sekolah! Gue nggak mau orang-orang tau kalo gue kenal sama lo."
Arsya berdecak setiap kali aku mengatakan itu.
"Kenapa, sih. Padahal gue nggak ngapa-ngapain lo tadi."
Pada awalnya, Arsya memang ngga mau waktu aku minta dia pura-pura ga kenal aku di sekolah. Maksudnya, buat apa?
Well, aku kesulitan kalau orang-orang tau aku deket sama Arsya.
Seperti yang sudah-sudah saat SMP. Banyak cewek-cewek yang ngedeketin aku cuma untuk menyampaikan surat, salam, dan hadiah-hadiah untuk Arsya. Belum lagi aku diteror karena dianggap penghalang sebab Arsya sulit didekati oleh mereka. Masalahnya.. Ya mana aku tau kalo Arsya nolak mereka.
"Pokoknya gue nggak mau ada orang yang tau. Titik!" Tekanku lagi padanya.
"Emang gue negur lo? Enggak, kan! Lagian ngapain juga kalian ngomongin gue."
"Mana gue tau kedengeran sampe sana."
Aku meregangkan leher ke kiri dan kanan. Kenapa terasa agak sakit, ya. "Keluar, gih. Gue mau mandi."
Senyum liciknya mulai muncul.
"Yauda, mandi aja sana. Emang kenapa kalo ada gue?"
"Jangan sampe gue tampol, ya!" Ancamku bersiap menyerangnya dengan guling.
"Udah dari kecil kita berteman, masa gue ga pernah-"
BUK! BUK! BUK!
"I-iya iya, gue keluar. Hahaha." Arsya terus tertawa saat aku memukulinya dengan guling sampai ia keluar dari kamar dan akupun menguncinya. Sialan, menghabiskan energiku saja.
...🍭...
Sebenarnya males banget kalo malam-malam gini cuma duduk nemenin Arsya main game diatas genteng. Mana dingin, lagi. Untung aja nih anak ngerti, sampe bawa semua makanan kesukaan aku supaya aku ngga bosen.
"Sya."
"Hm." Jawabnya sambil terus fokus pada game-nya.
"Lo tau, nggak. Tadi.. kak Juna ngeliatin gue, loh."
Aku masih saja tersenyum-senyum membayangkan kejadian siang tadi di sekolah walau entah benar atau tidak Arjuna melihatku.
Hening. Tak ada suara kecuali sound game Arsya.
"Syaaaaa!!"
"Adooh. Apa, sih!!" Arsya mengubek-ubek telinganya yang kuteriaki.
"Gue ngomong! Lo nggak dengerin?!" Teriakku padanya.
"Ngomong apaan!" Balasnya ketus. Lalu fokus lagi ke ponselnya.
Huff. Sialan. Arsya memang gitu, kalo udah main game, apapun ocehanku ngga akan didengarkan.
"Siapa yang telpon Anj-" Makian Arsya terhenti saat menatap ponselnya menampilkan nama penelepon.
Aku ikut mengintip. "Ehh?"
Buru-buru Arsya menjauhkan ponselnya. Tapi tadi nama yang kubaca itu... Vita? Vita yang mana nih? Anggota cheers? Serius Vita yang itu?
Arsya menempelkan ponselnya ke telinga sembari mendorong kepalaku dengan tulunjuknya supaya aku menjauh.
Bibirnya menyunggingkan senyum. "Halo?"
Setelahnya, entah apa percakapan mereka sebab Arsya malah beranjak menjauh dariku.
Kuperhatikan dia yang berdiri diatas balkon. Tingkahnya aneh dengan gaya khas orang kasmaran.
Arsya.. sama Vita? Yang bener?
Akupun turun dari atas genteng ke balkon, tepat dimana Arsya tengah bertelepon ria. Melihatku mendekat, Arsya menyuruhku tidak berisik dengan meletakkan telunjuk di bibirnya.
Sementara dia, cengengesan dan tertawa dengan obrolan mereka.
"Siapa?" Tanyaku berbisik.
Arsya melihatku sebentar lalu membuang wajah kearah lain sambil terus mengobrol. Sialan, dia mengabaikanku.
"Siap-"
Arsya membungkam mulutku dengan tangannya, membuatku melotot kesal. Dengan cepat aku memukul tangannya sampai terlepas dari mulutku.
"Oke, nanti aku telpon balik. Bye~" Wajah cerahnya kembali masam. "Apa, sih? Kepo banget."
"Itu siapa? Vita anggota cheers? Vita kelas X4?" Tanyaku penasaran.
"Kalo iya, kenapa?"
Aku menghela napas. "Kok tiba-tiba lo deket sama dia? Kok gue nggak tau? Kenapa lo nggak cerita ke gue soal ini?"
"I-yaa.. gue lupaa." Jawabnya asal. Tentu terlihat darinya yang malas melanggatiku.
"Masa lo lupa padahal lo ngekorin gue hampir 12 jam sehari!"
Arsya menggaruk-garuk kepalanya. "Yaudala yang penting sekarang kan, lo udah tau."
Aku mendesah kuat. "Lo gausa dekat sama dia, deh. Cari aja yang lain tapi jangan Vita!" Ucapku tiba-tiba.
"Loh, kenapa?"
"Dia sukanya sama Hajoon, bukan sama lo."
"Hah? Apaan, sih. Orang Vitanya yang ngedeketin gue duluan. Lagian dia cantik. Nggak seneng banget liat gue happy."
Aku kok kesal banget sama jawaban Arsya. "Tapi gue nggak suka. Dia tuh kayak bukan cewe baik-baikk. Dia itu masuk cheers cuma buat deketin cowo-cowo basket!!"
Alis Arsya bertaut. "Emang lo kenal sama dia? Dia pernah bilang langsung sama lo? Sejak kapan lo ngobrol bareng Vita?"
Deretan pertanyaan itu membuatku terdiam. Aku memang nggak pernah ngomong sama Vita. Tapi entah kenapa feelingku bilang begitu.
"Itu.. gue.. gue feeling aja." Jawabku dengan terputus-putus.
Arsya menatapku dengan dahi berkerut. Terasa aneh mungkin baginya, saat aku menilai orang seperti itu. Tak mirip dengan aku yang biasa.
"Feeling?" Arsya lalu tertawa. "Hei, Ri, gue nggak pernah tuh ngelarang lo naksir sama si Juna-Juna itu. Kenapa lo ngelarang gue?"
"...Emang kalo gue bilang si Juna itu brengsek, lo percaya?"
Mataku membulat. "Kak Juna nggak gitu! Emang lo tau?!"
Arsya tersenyum miring. "Nah."
Aku langsung bungkam. Tapi aku udah terlanjur kesal, tiba-tiba Arsya bersikap begini padaku cuma gara-gara cewek yang baru dia kenal.
"Gue gak pernah tuh, ngatur lo mau suka sama siapa. Gue bilang Juna brengsek aja lo ngga percaya. Masa gue harus percaya sama lo yang cuma bermodalkan feeling."
Sumpah. Aku kesal mendengar ucapan Arsya ini. Aku pun enggan terus disana dan memilih turun saja.
"Eh, Ri!"
Panggilan Arsya pun aku abaikan. Si sialan itu, bisa-bisanya dia berkata begitu padaku.
Aku mengunci pintu dan duduk di meja belajar. Akhh sialan-sialan-sialan.
Lagian kenapa sih, aku harus ngomong gitu ke Arsya soal Vita? Padahal aku memang gak pernah kenal Vita. Selama ini aku cuma tau dia karena Salma dan Hani yang cerita soal cewek itu.
Drrtt! Suara jendela tergeser pun terdengar.
"Rii. Ari. Lo udah didalam, kan?"
Aku beranjak dari kursi menuju jendela. Kulihat Arsya sudah berdiri depan jendelanya yang hanya berjarak satu meter dari jendelaku.
"Lo marah?"
Si gila itu. Bisa-bisanya dia masih bertanya. Kesal, akupun menutup jendela dan tirai, membiarkannya memanggil-manggil namaku dari seberang sana. Kupadamkan lampu sebagai tanda bahwa aku mengakhiri interaksi malam itu.
...🍭...
Hari ini pertandingan basket antar kelas masih berlangsung. Jadi tidak ada proses belajar mengajar. Yah, tidak apa-apa. Itung-itung istirahat sebentar.
Setelah merapikan dasi di depan cermin toilet sekolah, akupun keluar.
Tepat setelah beberapa langkah keluar dari toilet, aku melihat kak Juna berjalan dengan kaki panjangnya kearahku.
Aku langsung menjadi patung. Ini kali pertama aku bisa melihatnya sedekat ini. Dia berjalan tanpa melihat kearahku saja sudah membuat degup jantungku berantakan.
Berulang kali aku menelan ludah saat merasa ia semakin dekat denganku, sampai ia melangkah dan akan melewatiku. Kulirik wajahnya, ya ampun.. dia begitu tampan.
Kak Juna menolehkan wajahnya kearahku. Tepat di dekatku, dia menatapku hanya satu detik, tapi mampu membuatku menahan napas seketika.
Membeku, itulah yang kurasakan saat seluruh tubuh rasanya lumpuh. Kusentuh dada yang bergemuruh. Dia.. menatapku? Aku yakin dua ribu persen. Dia menatapku walau hanya sedetik. Ah ya ampun, rasanya ingin pingsan. Beruntungnya aku hari ini...
"Tunggu.."
Kakiku semakin bergetar saat mendengar suaranya. Spontan aku menoleh kebelakang.
"Tunggu bentar.." ucapnya. Tapi ke siapa? Aku?
Dia berjalan lagi kearahku dengan senyuman yang memperlihatkan jejeran giginya yang rapi. Sumpah. Dia berjalan kearahku. Matanya menatapku. Jadi, senyum itu dia berikan untukku?
Berulang kali aku menelan ludah. Apa dia akan menghampiriku? Apa dia sadar kalau aku menyukainya? Pikiranku mulai kesana kemari.
Senyumanku sempat hampir mengembang tatkala ia mendekat, semakin dekat. Lalu dia tak berhenti, malah terus melangkah melewatiku. Eh, bukan aku? Senyumanku pun luruh detik itu juga.
"Ada apa?" Tanya temannya.
Ah, sial sial sial. Aku berharap apa, sih? Jelas dia tidak kenal denganku. Dia tidak tahu aku. Kenapa malah aku yang ngerasa. Aduhh malunyaaa! Untung aja dia nggak liat aku yang udah kadung senyum.
"Riva!"
Aku menoleh. Ternyata Hani memanggilku. Dia melambaikan tangan, memintaku untuk segera datang.
Kulihat lagi kak Juna. Dia masih mengobrol dengan temannya. Ah, tampan sekali. Tapi sayang, aku tidak bisa menatapnya lama-lama, terlebih jarak kami tidak begitu jauh. Bisa-bisa dia mencurigaiku.
"Iya, sebentar." Sahutku dan berlari kecil kearah Hani yang sudah menungguku.
** Bersambung **
(Visual Arsya Alexander Loui)
**Mirip nggak sama bapaknye? Kalo dari gw sih ini mirip emaknye. Kelakuan dan tingkah laku mirip bapaknye plek ketiplekk **
SUBSCRIBE AND VOTE YEAAA~~~~
Kami duduk lagi di pinggir lapangan, membawa beberapa makanan ringan untuk kunyahan saat menonton pertandingan. Hari ini pertandingan terakhir. Yah, walaupun aku tidak begitu tertarik dengan basket, aku ikuti saja dari pada tidak tahu lagi mau ngapain.
"Eh, Riv, gue denger bakalan ada pertandingan futsal, lho." Ujar Hani memberitahuku yang sebenarnya tidak peduli. Sama sekali.
"Kak Juna kan, anak futsal."
"Oh, ya? Kapan, tuh?" Sahutku langsung. Setelah nama kak Juna disebut, aku jadi ingin tahu.
"Hmm.. kalo gue gak salah denger sih, besok sore. Anak-anak basket juga pada nonton. Lo nggak mau dateng?"
Aku mau banget. Tapi.. masa sendirian. Malu, dong.
"Kalian gimana? Ngga mau nonton?" Tanyaku balik pada mereka.
"Hm.. guee.. ada janji.." Salma mengucapkan itu dengan ragu.
"Janji? Lo punya gebetan baru, ya?" Tebak Hani.
"Hah. Engga kok, engga." Cepat-cepat Salma menggoyangkan kesepuluh jarinya. "Bukan gebetan. Tapi gue juga bingung soalnya kita baru kenalan kemarin."
"Ciee, ada yang akan melepas masa lajang, niihh.." Ledek Hani dan aku hanya cekikikan.
"Apaan, sih. Baru kenal, juga. Lo aja tuh, temenin Riva."
"Duh, sorry, Riv. Gue ada les."
Aku mengangguk-angguk paham. Yah, kalo memang ga ada temen, aku ga mesti datang, kan. Lagi pula.. aku tidak gampang bergaul dengan orang baru. Beda dengan Arsya yang gampang banget ngobrol nyambung walau dengan orang yang baru ia temui pertama kali. Itupun kalau dia sedang minat. Kalau tidak, maka Arsya akan betah menjadi batu.
~
Aku berjalan menuju kantin. Tadinya menolak pergi karena sedang malas saja. Tapi tiba-tiba perutku lapar dan terpaksalah aku menyusul Salma dan Hani yang sudah duluan kesana.
"Disini!" Tangan Salma naik memberi tanda dimana lokasi duduk mereka. Akupun mengangguk dan ingin membeli sesuatu dulu sebelum duduk disana.
"Roti coklat kejunya satu bungkus, buk. Sama mineral dinginnya satu, ya." Pintaku pada Ibu kantin dan memberikan uang dua puluh ribu padanya.
Sambil menunggu, aku menebarkan pandangan kedalam kantin. Dan aku terhenti disebuah meja yang diisi oleh Arsya.. dan Vita?
Benar. Itu mereka lagi mengobrol asyik berdua. Berhadap-hadapan.
Sial, aku tidak suka sekali pemandangan ini. Apalagi Vita tertawa sambil menyentuh lengan Arsya. Benar kata Salma. Vita itu genit ke semua cowok keren di sekolah.
"Buk, mineral dinginnya satu, ya."
Deg! Tunggu. Suara ini, aku tahu.
Akupun menoleh kesamping kanan. Tebakanku benar, Kak Juna tengah berdiri tepat disampingku. Astaga. Apa ini? Kami berdiri bersebelahan, kan? Ah lututku. Lututku lemas ingin tumbang.
"Dek, ini pesanannya."
Lihatlah betapa tingginya dia. Aku sampai mendongak melihatnya.
"Dek?"
Oh, ada tahi lalat kecil di bawah mata kirinya. Gemasnya..
Tanpa sadar senyumku perlahan mengembang. Namun hanya sesaat, sebab aku tergagap saat tiba-tiba kak Arjun menoleh kearahku, spontan membuat napasku terhenti seketika.
Aku langsung balik badan dan melangkah kikuk. Aku memang bodoh, begitu terang-terangan menatapnya. Tentu dia risih. Aaah, malu-malu-malu. Rasanya aku ingin berubah menjadi ubin saja.
"Sebentar."
Langkahku semakin cepat. Ini tidak baik, jangan sampai aku menoleh kebelakang karena aku yakin dia tidak sedang memanggilku.
"Hei, sebentar."
Ah! Aku terkaget saat kak Arjun menghadang langkahku. Badannya yang tinggi itu hampir saja kutabrak kalau tidak dengan cepat aku memberi rem.
Kenapa dia menghentikanku? Apa aku membuatnya risih dan ingin memarahiku? Aduh, aku tidak bisa menatapnya. Aku menunduk dengan jari-jari yang saling memilin. Aku gugup.
"Nih."
Sebotol air mineral dan sebungkus roti. Eh, kenapa dia memberiku ini?
"Ini punya kamu, kan? Ketinggalan di kantin."
Aih, iya. Aku sampe lupa dengan pesananku tadi. Aku pun memberanikan diri mendongak. Dan kontan aku terbius dengan senyumannya. Siaaall. Mimpi apa aku tadi malam??
"E-eh. I-iya. Ma-makasih, kak." Buru-buru aku mengambil itu dari tangannya. Tapi kemudian, jari tangannya melebar.
"Kenalin, aku Arjuna. Kelas XI IPS3. Kamu kelas X, kan?"
DEG! DEG! DEG! DEG!
DEMI APAA DIA MENGULURKAN TANGAAAN? AKU HARUS APAA? AKU HARUS APAA?
"A-aku.. Ari.." aku menahan tanganku yang bergetar supaya tetap terlihat santai saat menyentuh jarinya. Tapi sialnya, malah lidahku yang kaku.
"Ari?" Nadanya terdengar bingung.
"A-ariva." Jawabku dan menyambut uluran tangannya dengan mantap.
Lihatlah, dia terus tersenyum. Sialan, rupanya tanganku basah karena gugup. Apa dia menyadarinya? Apa dia tahu??
"Senang kenalan sama kamu, Ariva."
GUE JUGA SENENG BANGET BISA PEGANG TANGAN LO KAK. SENENG BANGETTT!!
Tentu aku mengucapkannya dalam hati sambil teriak kesurupan. Walau yang keluar dari bibirku hanya lengkungan senyuman.
"Oke, kalo gitu sampai ketemu lagi." Ujarnya dengan senyuman hangat. Tentu membuat jantungku luar biasa berantakan. Tapi kucoba tenang walau berulang kali aku meneguk ludah.
"I-iya. Sampai ketemu lagi."
Dia pun melangkah pergi. Setelah kulihat dirinya menghilang dibelokan koridor, akupun langsung mencari pegangan karena seketika tulang-tulangku berubah lunak. Aku tidak bisa berdiri tegak dan bersandari di tembok.
GILAAAA! Hoki seumur hidupkah yang telah kupakai ini?? Kutatap telapak tangan kanan yang menyentuh tangannya tadi.
"Lo gila, hah? Lo bodoh banget. Kenapa nggak lo genggam tangannya tadi, hah? Lo tanya kek, nomor hp nya atau apa kek biar bisa teleponan. Bodohhhh!!" Umpatku pada tangan kanan dengan tak tahu diri. Padahal untuk sekedar bilang "iya" saja lidahku kaku.
Senyumku terus mengembang membayangkan kejadian yang baru lima detik berlalu. Sumpah, hari ini benar-benar saaangat indah.
...🍭...
Aku duduk di meja belajar dan mulai menyusun buku-buku yang akan aku bawa. Karena besok hari-hari di sekolah sudah kembali normal.
Aku masih saja tersenyum-senyum. Ingatan tentang siang tadi di sekolah masih menari-nari di pikiranku. Bagaimana ekspresi dan suara kak Juna benar-benar menempel sempurna di otakku. Nampaknya, aku takkan bisa melupakan kejadian hari ini. Andai saja waktu bisa kuputar, aku akan mengulang terus menerus kejadian yang tadi sampai aku berani menanyakan nomor hp-nya.
"Haah. Kak Arjuna." Dia benar-benar tampan mau dilihat dari sisi mana pun. Hajoon, Kai, Arsya? Hahah, lewat!
CTAARR!
Lamunanku buyar saat mendengar suara gemuruh langit. Nampaknya akan turun hujan. Disaat bersamaan, ponselku pun berbunyi. Sederet nomor tak dikenal terpampang di layar.
Hm? Siapa ini?
"Halo."
Satu.. dua.. tiga.. tidak ada jawaban dan kuyakin sambungan tidak terputus.
"Halo." Kataku lagi. Tapi tidak ada suara.
"Dasar orang iseng." Gumamku, bersiap menekan tombol merah.
'Halo.'
Oh, ada suara. Akupun kembali menempelkan ponsel ke telinga.
'Halo, benar ini Ariva?'
Eh, suara ini.. kenapa mirip sekali.
"Iya. Ini siapa?" Tanyaku penasaran.
'Hai. Untung aja beneran nomor kamu. Aku pikir, aku dikerjain. Aku Juna, yang tadi kenalan sama kamu di sekolah.'
DUARRRR!!🤯
Ju-juna.. katanya? Juna?? Arjuna? Juna yang mana?? Arjuna Kartawijaya yang kenalan tadi di sekolah?? Berarti.. ini Juna yang.. yang..
'Halo.. Ariva?'
"Aah. I-iya."
Sumpah. Aku membeku diatas ubin yang dingin. HAAAAHHH!! INI KAK ARJUNA YANG MENELEPONKU, YA TUHAAANN!! Ingin aku teriak begitu. Dadaku bergejolak seakan ingin meledak.
'Sorry banget ganggu, ya.'
"Oh, engga kak, engga. Sama sekali enggak." Jawabku cepat-cepat.
'Hehee. Gitu, ya. Aku cuma mau kasih tau, ini nomorku. Tolong di save, yah. Itupun kalo kamu ga keberatan.'
"Engga kok kak, enggak. Engga keberatan sama sekali."
Terdengar tawa renyah diseberang. Aah. Malu banget. Kenapa aku jawabnya sampe kaya gitu banget, sih. Noraaakk!
'Ya udah, emm.. kalo gitu, selamat istirahat, Ariva.' Beberapa detik aku terpaku. Suara kak Arjuna benar-benar enak banget didengarnya.
"Se-selamat istirahat juga, kak. Selamat malam." Ucapku dengan menahan napas. Kueratkan ponsel ke telingaku supaya pendengaranku semakin baik setelah mendengar suara indah itu.
'Malam, Riva. Besok ketemu lagi di sekolah, ya.' Tuutt- sambungan terputus.
Bruk! Aku terduduk di lantai. "KYAAAAAAAAAAAAAA!!!"
"ARRRIIII!! KENAPAAA?!"
Suara Arsya pun ikut meninggi. Menanyakan apa yang terjadi padaku yang gila ini.
Aku bangkit dan mendekati jendela dimana Arsya sudah berdiri tegang disana. Ketegangannya terasa sia-sia setelah melihatku tersenyum tak berdaya di depannya.
Aku bertopang dagu di bingkai jendela.
"Malam ini... indah banget, ya." Ucapku dengan penuh penghayatan.
Arsya menatap keatas langit yang dihiasi sambaran kilat. Wajahnya mengekspresikan keanehan menatapku.
"Lo gila, ya?"
Aku mengangguk dengan senyuman yang sama sekali ga akan pudar. Padahal aku tadinya masih ingin marahan dengan Arsya. Tapi jadi lupa.
Duk..duk..dukk.. "Arii. Kamu kenapaa?" Suara kak Adit ikut terdengar dibalik pintu kamarku.
"Ngga apa-apa, kak. Dia cuma gilaa!" Teriak Arsya dari jendelanya. Karena dia tahu, aku tak berdaya untuk menjawab pertanyaan tak penting mereka.
"Hei, Ri. Lo nggak kesambet, kan?"
Tiba-tiba nada bicara Arsya terdengar khawatir. Masih dengan senyuman aku menggeleng lambat. Bagiku, jikapun ini kesambet, aku rela asal kak Arjun meneleponku.
"Lo itu kebanyakan ngehalu. Makanya jadi gitu." Arsya menggeser jendelanya dan menutup tirai.
Hehe, Arsya. Terserah deh, lo mau kencan sama siapa. Yang penting saat ini, gue lagi dideketin kak Arjuna sampe dia yang cariin nomer gueee. Aaaakkk senangnyaaaaaa!
(Visual Arjuna Kartawijaya, yang ditaksir berat oleh Ariva sejak awal masuk SMA)
(Arsya Alexander Loui, sahabat sejak kecilnya Ariva dan tetanggaan. Jendela kamar juga sebelahan. Ariva suka curhat tapi jarang ditanggepin karena Arsya adalah gamers yang harus fokus pada ponselnya)
(Visual Hajoon, siswa keturunan korea: Btw Hajoon belum nongol ya kisahnya disini. Tunggu aja)
(Visual Vita, cewek tercantik di SMA Garuda yang deket dengan Arsya)
(Visual Ariva Tania, cewek yang menganggap dirinya sama sekali nggak cantik namun mengharapkan kisah cinta yang manis saat SMA)
(Kai Samuran, Cowok yang entah kenapa ga suka Ariva, namun sialnya dia selalu berhadapan dengan cewek itu.)
(Karin, Bakalan muncul di eps tengah)
**Ditunggu cerita selanjutnya, ya **
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!