"Mau apa lagi, Shila? Udah aku bilang sama kamu jangan pernah hubungin aku lagi! Tolong, Shil, aku mau baik-baik aja sama Shanum. Kamu jangan ganggu kehidupan kami lagi!" pinta Raka dengan nada memelas karena begitu bosan berkata tegas pada wanita itu.
Raka menjauh dari keramaian toko, tak ingin kedua karyawannya mendengar siapa yang sedang menelpon. Matanya celingukan, menatap kepala-kepala yang melintas khawatir salah satunya adalah Shanum.
Samar Raka mendengar suara isak tangis dari seberang telepon, berbaur dengan suara deru kendaraan yang lalu lalang di belakangnya. Gamang, itulah yang tertangkap dari raut wajah Raka.
"Aku janji ini yang terakhir, aku cuma mau minta tolong sama kamu, Ka. Aku nggak tahu mau minta tolong sama siapa lagi?" rayu Shila semakin tersedu-sedan dalam isaknya.
"Sorry, aku nggak bisa ketemu sama kamu. Aku nggak mau bikin Shanum kecewa lagi. Kamu cari orang lain aja, aku nggak bisa nolongin kamu." Raka menggelengkan kepala, menolak pertemuan dengan Shila.
Namun, gadis di seberang sana semakin histeris. Raka berdecak, kesal sekaligus tidak tega mendengar tangisan Shila.
"Aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa lagi? Aku nggak tahu, Ka. Semua orang pergi ninggalin aku, semua orang ngejauh dari aku. Cuma kamu harapan satu-satunya yang bisa aku mintai tolong," ucap Shila mengiba dalam tangis permohonan.
Raka semakin bimbang, di sisi lain dia sudah berjanji kepada Shanum untuk tidak menemui Shila lagi, tapi sisi lain hatinya tak tega mendengar tangisan gadis itu.
"Ya udah, tapi kamu janji ini yang terakhir. Setelah itu, jangan pinta aku buat temuin kamu lagi," tegas Raka membuat perjanjian.
"Iya, Ka. Aku janji. Aku janji ini yang terakhir, aku nggak akan ganggu kamu lagi." Shila menyanggupi dengan yakin.
Setelah panggilan itu, Shila berlari menghampiri teman-temannya. Dengan wajah yang berseri dan berbinar, dia mengatakan akan bertemu dengan Raka.
"Emang kalian balikan lagi? Seneng amat kayaknya kamu," cibir teman Shila membuat kedua pipi gadis itu merona malu.
"Bentar lagi. Kalian doain aja, ya. Aku sama Raka pasti balikan. Kalian tahu nggak? Toko Raka itu sekarang besar banget, pasti pendapatannya juga besar. Raka orangnya royal, nggak pelit. Aku mau balikan sama dia. Aku pergi dulu, ya." Shila melambaikan tangan berpamitan dengan sahabatnya.
Berjalan berjingkrak, berdiri di tepi, menunggu ojek pesanannya. Tanpa dia sadari, dua pasang mata tengah mengamati, niat hendak melabrak gadis itu urung karena melihatnya pergi.
"Mau ke mana dia?" Shanum, istri Raka bertanya pada rekannya.
"Kita ikutin aja."
Keduanya pergi membuntuti Shila, dalam jarak yang tak diketahui gadis itu. Sementara teman-teman Shila, bergosip tentang kepercayaan dirinya.
"Beneran Shila mau balikan sama Raka? Terus gimana sama Shanum?" tanya salah satu dari mereka.
"Udahlah, biarin aja. Dia itu, 'kan, cuma istri pengganti. Yang seharusnya jadi istri Raka itu, ya, Shila. Bukan Shanum. Jadi, biarin aja bukan urusan kita juga."
Tak peduli, lebih tepatnya. Masalah mereka bertiga, urusan mereka. Teman-teman Shila tidak akan pernah ikut campur dalam hal itu.
"Kasihan si Benny. Dia udah berkorban banyak buat Shila, tapi tetap aja nggak bisa menangin hatinya. Lagian, Raka sama Benny itu jauh banget kali. Masih kaya Benny ke mana-mana. Kenapa si Shila malah ngejar-ngejar si Raka?" celetuk yang lain keheranan.
Mereka menatap kepergian Shila, menyayangkan sikapnya yang terlalu serakah.
"Itu karena Shila serakah. Aku cuma takut dia kena karmanya nanti."
Kedua teman yang lain terkejut mendengar ujaran tersebut. Semua pandangan teralihkan pada teman yang baru saja berbicara. Mata mereka membelalak lebar, seolah-olah tak setuju dengan ucapannya.
"Apa? Yang aku bilang bener, 'kan? Shila itu serakah. Raka mau, Benny juga mau. Padahal dia tahu, Raka udah punya istri. Kalian tahu kenapa Shila waktu itu nggak datang ke pernikahannya?" Dia menatap keduanya dengan serius.
Mereka menggelengkan kepala, lebih tepatnya tidak mau tahu dan tidak mau peduli. Sekali lagi, itu semua bukan urusan mereka.
"Itu karena Shila nggak mau kehilangan Benny yang selama ini jadi sumber keuangannya. Kalo dia nikah sama Raka, otomatis hubungannya sama Benny putus dan Shila harus puas sama keuangan Raka. Kalo Raka, masih bisa dirayu. Jadi, dia mau dua-duanya. Mau uang Raka juga uang Benny. Faham?" terangnya sambil memainkan alis naik ke atas.
Mereka saling menatap satu sama lain, perlahan mengerti jalan pikiran Shila.
"Ya udah. Lagian nggak ada urusannya sama kita juga. Biarin aja. Mending kita nonton, mumpung ada film baru yang mau tayang. Yuk!" Mereka berhambur masuk tanpa memikirkan nasib Shila akan seperti apa.
****
Shila duduk di bangku taman, menunggu kedatangan Raka. Sambil berkirim pesan dengan Benny, kekasihnya, dia membatalkan pertemuan.
"Maaf, ya, Ben. Hari ini aku nggak bisa ketemuan sama kamu dulu. Ada perlu. Gimana kalo besok?" ucap Shila melalui sambungan telepon.
Benny, laki-laki yang terlalu mencintai Shila, hanya dapat menuruti kemauan gadis itu. Tak pernah menaruh curiga karena apapun yang dia mau diberikan Shila sesuai uang yang dia berikan termasuk menemani tidurnya.
Shila menutup sambungan, kembali menunggu Raka dengan tak sabar. Kepalanya menoleh kian kemari, berayun-ayun kedua kaki memainkan dedaunan kering yang berjatuhan.
Di kejauhan, anak-anak bermain dengan riang ditemani orang tua mereka. Shila kembali memainkan ponsel, mengusir jenuh yang mulai merayap.
"Ke mana si Raka? Apa dia ngebohongin aku?" Shila bergumam sembari mengangkat kepalanya menatap sekitar.
Mata Shila berbinar, senyumnya terbit sempurna melihat sosok yang ditunggu. Tubuhnya secara spontan berdiri, tak sabar ingin merengkuh sosok tersebut.
"Raka!" Shila berlari dan langsung memeluk Raka tanpa segan.
Namun, tangan Raka sigap mendorong tubuhnya hingga termundur beberapa langkah.
"Jangan lancang kamu, Shila!" tolak Raka dengan tegas.
Shila menunduk, dia memang sengaja melakukan itu agar Raka dapat mengingat masa-masa dulu saat mereka masih berhubungan.
"Maaf, Ka. Aku refleks, aku masih ngerasa kita kayak dulu. Aku minta maaf kalo kamu nggak suka," ucap Shila dengan kepala yang tetap menunduk.
Raka yang sengaja menutupi wajahnya dengan hoodie dan kacamata hitam juga masker untuk menghindari mata-mata Shanum, memindai sekitar khawatir istrinya ada di sana.
"Kamu harus tahu batasan kamu, Shila. Aku udah punya istri, dan kamu nggak bisa seenaknya gitu aja. Ngajak aku ketemuan dengan alasan minta bantuan. Aku ingatkan, kamu jangan lagi ganggu aku setelah ini." Raka menegaskan setiap kata yang diucapkannya.
Shila mengangkat wajah, menatap rupa yang tertutup itu.
"Aku minta maaf." Dia kembali menunduk.
Namun, suara tamparan yang keras membuatnya terlonjak. Shila dengan cepat mendongak, membelalak saat melihat Shanum yang menyalang ke arahnya. Lalu, pergi.
Shanum melambaikan tangan sambil menahan tangis yang terus merangsek ke permukaan. Memberhentikan sebuah motor di tepi jalan tanpa peduli pada teriakan Raka dan Lia.
Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya, seorang tukang ojek yang tertutup seluruh wajah tanpa sempat bertanya Shanum terus naik.
"Jalan, Pak!" Bergetar suara yang terdengar darinya. Berselang, isak tangis lirih menguar. Yang semakin lama semakin terdengar menyesakkan.
Sekuat apapun dia mencoba menahan agar air mata tidak tumpah, tetap saja rasa sakit itu terus memaksanya. Sayup-sayup suara tangis menyayat terbang terbawa angin. Membuat iba kang ojek di depan. Ingin bertanya, tapi segan.
Beberapa saat berjalan, Shanum tak kunjung mengatakan tujuannya.
"Mau ke mana kita, Kak?" tanya kang ojek hati-hati.
Shanum yang sibuk dengan rasa sakit di hati, tak mendengar pertanyaan itu. Air matanya jatuh menetes di atas permukaan kaos yang dikenakan kang ojek.
"Kak, kita mau ke mana?" Dia mengulang pertanyaannya dengan suara sedikit lebih tinggi.
Shanum tersentak, diam beberapa saat. Bingung ke mana dia akan pergi? Ke rumah, Raka pasti menyusulnya. Ke rumah orang tua, sama saja.
"Lurus aja, Pak. Nanti di depan belok kanan," jawab Shanum masih dengan suara yang bergetar.
Seolah-olah tahu ke mana tujuan Shanum, kang ojek tidak bertanya lagi. Membiarkan pakaian bagian belakangnya basah oleh air mata si Penumpang, dia hanya menghela napas.
Shanum terhenyak ketika motor berhenti tepat di hadapan toko cabangnya. Ke sanalah tujuannya, buru-buru turun dan membayar ongkos tanpa melihat berapa nominal uang yang dia berikan. Shanum berlari masuk ke dalam toko.
"Bu Shanum!" Ia tidak menanggapi sapaan karyawannya, terus berlari menapaki anak tangga menuju lantai dua. Sebuah ruangan di mana biasa ia beristirahat. Shanum menutup pintu dan menguncinya.
Luruh tubuh itu, bersamaan dengan derai air mata yang kian menganak sungai. Shanum menekuk lutut, mendekapnya erat. Menumpahkan tangis kekecewaan yang mengendap di dasar palung jiwa.
"Kenapa dia setega itu sama aku, ya Allah? Kurang apa aku selama ini?" Shanum mulai mengeluh, merintih dalam kesakitannya.
Seorang karyawan berdiri di depan pintu ruangan itu, berniat hendak mengantarkan minum dan berbincang, tapi urung saat mendengar tangisannya.
"Percuma rasa cinta ini aku pupuk, sia-sia. Rupanya mereka masih sering ketemu di belakang aku. Kenapa nasibku kayak gini, ya Allah?"
Tangis Shanum semakin histeris, dia mengangkat wajah membenturkan bagian belakangnya pada pintu. Berulangkali sebelum tubuhnya luruh di lantai, meringkuk tak berdaya.
"Kenapa?" tanya salah satu karyawan melihat rekannya yang hanya diam berdiri di depan pintu.
"Nggak tahu, Bu Shanum nangis. Aku nggak tega dengernya," jawab karyawan tersebut melirik pintu yang mengurung atasannya.
Ia merangsek ke depan, menghela napas sebelum mengetuk pintu.
"Bu! Bu Shanum! Saya antar minum buat Ibu, buka dulu pintunya, Bu!" Ia mengetuk dan memanggil Shanum, tapi tangis yang menguar dari dalam sana menyamarkan panggilannya.
"Nggak dijawab. Udahlah, mungkin Bu Shanum butuh waktu sendiri. Nanti kita coba lagi," ucapnya seraya membawa kembali air minum untuk Shanum.
Shanum meringis ketika merasakan denyutan di bagian perutnya. Sedikit merintih, berdesis dan menjeda tangisnya.
"Ya Allah!" keluhnya sambil mengusap-usap perut berharap sakit itu akan mereda.
"Nggak! Jangan! Ya Allah, sakit!" Shanum meracau, dia takut kehilangan bayinya.
Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk beranjak duduk, menghela napas pendek-pendek mengurangi rasa sakitnya. Shanum bersandar pada daun pintu dengan tangan yang terus berputar di permukaan perut.
Rasa sakit itu berangsur-angsur pergi, ada pergerakan dari dalam sana. Dia ikut merasakan sakit yang mendera ibunya. Air mata Shanum kembali berjatuhan, dia terlalu lemah. Pandangannya beralih turun menatap perut yang masih bergerak-gerak meski lemah.
"Maafin Mamah, Nak. Maafin Mamah. Mamah terlalu lemah, sampai-sampai nggak bisa nahan rasa sakit ini. Tolong, baik-baik saja di dalam sini. Jangan tinggalin Mamah. Jangan tinggalin Mamah sendirian." Shanum kembali terisak, meminta kepada si Jabang Bayi untuk tetap tenang di dalam sana.
Shanum menghela napas panjang, membuangnya perlahan. Dilakukannya berulangkali untuk menenangkan perasaan. Sungguh, tidaklah mudah menjadi kuat di saat hati remuk redam karena sebuah pengkhianatan.
"Mamah janji, Mamah nggak akan lemah lagi. Mamah akan kuat demi kamu. Bertahanlah, sayang. Jangan pergi tinggalin Mamah," lirih Shanum setelah berhasil menenangkan hatinya.
Ia mencoba berdiri sambil berpegangan pada pintu, membuka kunci, tapi tak berniat keluar. Tangannya meraba meja mencari pegangan, untuk dapat sampai pada sofa yang berada di dekat jendela. Shanum menghapus jejak air mata di wajahnya, duduk menghadap kaca memperhatikan lalu-lalang kendaraan.
Kedua alisnya bertaut ketika menangkap sosok laki-laki di atas motor yang masih mengenakan helm. Kang ojek yang mengantarnya masih di sana, memperhatikan Shanum dari balik jendela kaca.
"Kenapa tukang ojek itu masih di sana?" Shanum bergumam bingung. Ingin beranjak, tapi kedua kakinya masih terasa lemah tak bertenaga.
Tidak ada yang dilakukan tukang ojek itu selain mendongak ke arah jendela kaca. Menilik Shanum dalam diam, entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Bu!" Shanum tersentak ketika ketukan pada pintu kembali terdengar. Dengan gerakan cepat kepalanya berpaling dari si Tukang Ojek.
"Masuk aja!" ucap Shanum dengan suara yang sumbang khas seorang sehabis menangis.
Pintu terbuka, karyawan tadi kembali membawakan minum untuk Shanum. Segelas jus buah kesukaan atasannya.
"Saya bawa minum buat Ibu," katanya sambil meletakkan gelas jus di meja kecil di hadapan Shanum.
"Makasih, ya." Shanum memaksakan senyumnya, ada banyak yang memberinya perhatian meski mereka karyawan.
"Oya, coba kamu tanya kenapa tukang ojek itu masih ada di sana?" pinta Shanum sambil menunjuk tukang ojek yang tak lagi menatapnya.
Isak kecil masih tersisa, sesekali dia akan memberingsut cairan yang hendak keluar dari lubang hidung. Karyawan tersebut melirik, mengangguk dan kemudian pergi.
Shanum meraih gelas jus, menenggaknya perlahan. Tangannya sibuk mengusap hidung, membersihkan dari cairan sisa tangis tadi. Ia kembali termenung, memikirkan ke mana akan pergi setelah ini.
Tak sadar bahwa tukang ojek itu sudah tak terlihat di sana.
"Apa kita ke rumah eyang aja yang ada di luar daerah? Mamah ingin menjauh untuk sementara dari papah kamu. Yah, kita akan ke sana. Kamu harus kuat, sayang. Kita harus kuat," bisik Shanum sambil memaksakan senyumnya.
Ia membuka ponsel, memesan tiket penerbangan sore itu juga. Beruntung masih ada tiket yang didapatnya. Shanum menarik napas sebelum berdiri dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Shanum menuruni anak tangga, mengenakan kacamata hitam untuk menutupi sembab di matanya. Berniat meminta bantuan kepada salah satu karyawan untuk mengantar ke bandara. Namun, ia mengernyitkan dahi ketika tiba di teras, melihat tukang ojek tadi. Seingatnya dia sudah pergi.
"Mau diantar lagi, Kak? Tadi ongkosnya kelebihan," katanya. Sekilas Shanum seperti mengenali suara itu, tapi ia menepisnya.
"Ke bandara, ya." Pada akhirnya, ia kembali menaiki ojek tersebut setelah berpamitan kepada karyawannya.
"Ini." Shanum memberikan ongkos kembali kepada tukang ojek tersebut.
Namun, hingga beberapa detik, tangan laki-laki yang wajahnya tertutup helm itu tak kunjung mengambilnya. Bahkan, ia mendorong tangan Shanum menolak menerima uang tersebut. Tanpa berkata apapun, tukang ojek itu pergi meninggalkan Shanum di pintu bandara.
"Eh, kenapa dia nggak mau nerima uangnya?" Shanum bergumam bingung, tapi tak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut. Dia segera masuk, satu yang ada di dalam pikirannya sekarang adalah secepatnya pergi dari kota yang penuh luka itu.
Sementara di tempat lain, Raka terduduk di depan rumah orang tua Shanum. Setelah mencari ke rumah, dan tidak menemukan istrinya. Akan tetapi, harapan hanya tinggal harapan. Rumah itu pun kosong tak berpenghuni.
"Ya Allah. Ke mana Shanum?" Raka menjambak rambutnya, mengerang penuh penyesalan.
"Apa yang aku lakukan, ya Allah! Kenapa aku bisa sebodoh ini?" Ia menggelengkan kepala, meremasnya dengan cukup kuat hingga berdenyut.
"Shanum!" lirih Raka bergetar penuh emosi, "aku harus bilang apa sama orang tua kita kalo mereka tanya soal kamu?" lanjutnya diiringi isak tangis yang pilu.
Cukup lama ia duduk di teras rumah orang tua istrinya itu, tapi tak satu pun dari mereka muncul. Seolah-olah menghindar, padahal Shanum memang tak pernah pulang ke rumah.
Sampai dering ponsel membuyarkan lamunannya, Raka buru-buru merogoh saku mengambil benda tersebut. Nama Lia tertera di layar.
"Raka! Ojek yang bawa Shanum kecelakaan!" jerit Lisa begitu Raka mengangkat telponnya.
Tak sempat terkejut, tubuh Raka terlonjak dan spontan berdiri.
"Di mana?" katanya kalut.
"Di dekat toko Shanum!" Lia langsung mematikan sambungan.
Raka masuk kembali ke dalam mobil, bergegas pergi menuju toko sang istri.
"Kenapa aku nggak kepikiran pergi ke tokonya!" Raka memukul setir terlambat menyadari.
Di saat mobilnya hampir tiba di toko sang istri, Raka melihat kerumunan orang-orang di tepi jalan. Sebuah motor tergeletak, dia ingat betul, motor itu milik tukang ojek yang membawa Shanum.
Dengan cepat ia keluar untuk memeriksa, menyibak kerumunan manusia untuk dapat melihat apa yang terjadi. Alangkah terkejutnya Raka, mata membelalak hampir keluar saat menemukan seonggok tubuh yang tergolek bersimbah darah.
"Ayo, kuburkan! Tadi mas-nya luka parah langsung dibawa ke rumah sakit." Suara perintah dari seorang laki-laki yang mengenakan peci disambut gerakan cepat warga mengangkat dan memindahkan bangkai kucing tadi ke tepi jalan.
Raka keluar dari kerumunan, menarik rambut kesal. Pandangannya mengedar mencari sosok Lia yang menelpon, tapi tak terlihat. Akhirnya, dia bertanya kepada salah satu warga mengenai si Pengendara.
"Pak, emangnya yang nabrak langsung dibawa ke rumah sakit?" tanyanya.
"Iya, Pak. Kepalanya kebentur aspal, luka parah. Mungkin mau ngehindarin kucing tadinya, tapi malah nabrak trotoar. Makanya langsung dibawa ke rumah sakit," jawab warga tersebut seraya pergi bersama yang lainnya.
Raka mencoba menelpon Lia, tapi sayang nomor sahabat istrinya itupun tak dapat tersambung. Akhirnya, dia memutuskan pergi ke rumah sakit untuk langsung mencari si Tukang ojek.
****
"Dok, gimana kondisi pasien?" tanya Lia yang berjaga di depan ruang IGD. Dia yang membawa laki-laki itu sebelum ada banyak warga yang berdatangan bersama seorang warga laki-laki yang segera pergi dari rumah sakit.
"Tidak ada yang serius, beruntung dia menggunakan helm. Jadi, kepalanya baik-baik saja, tapi kami tetap menyarankan untuk rawat inap satu atau dua hari untuk memastikan keadaan kakinya," ucap dokter tersebut seraya pergi meninggalkan Lia.
Brankar didorong dari dalam ruangan, Lia mengikuti meski masih belum melihat dengan jelas wajah laki-laki itu. Ia menunggu di luar sampai para perawat selesai dengan pekerjaannya.
"Ruang VIP? Tukang ojek? Siapa yang mau bayar? Aku nggak punya uang sebanyak itu kali?" gumam Lia sedih.
Dia mematung di depan ruangan tersebut, membayangkan tagihan yang harus dibayarkan. Sudah pasti akan menguras isi dompetnya karena dia yang bertanggungjawab membawa tukang ojek itu ke rumah sakit.
"Silahkan!" Para perawat mempersilahkan Lia untuk masuk, dia meringis saat melihat sebelah kaki laki-laki itu disanggah dan diikat ke atas. Apa dia mengalami cedera tulang kaki?
Lia perlahan mendekat, penasaran siapa sosok dibalik helm yang telah membawa sahabatnya pergi itu. Yang lebih membuatnya heran adalah dia memilih kamar VIP. Langkah Lia terhenti, bersamaan dengan napasnya yang ikut tersedak. Lia menutup mulut, kedua mata membelalak.
"Kak Dzaky?" Tak percaya, tapi sosok di depannya adalah nyata. Dia Dzaky, laki-laki yang membawa Shanum pergi dari taman.
Mendengar suara lirih Lia, sosok di atas ranjang pesakitan itu menoleh dan tersenyum. Ada beberapa memar di bagian wajah, tapi tak ada luka gores.
"Makasih, ya, kamu udah bawa aku ke rumah sakit," ucap Dzaky lirih.
Lia masih terlihat syok, matanya memutari seluruh tubuh Dzaky, memindai keadaannya.
"Jadi, Kakak yang bawa Shanum pergi?" tanya Lia setelah berhasil menguasai dirinya lagi.
Dzaky tetap tersenyum, mengangguk kemudian. Ia meminta Lia untuk mendekat, ada hal yang ingin ditanyakan mengenai keadaan Shanum. Lia mendekat dan duduk di kursi samping ranjang Dzaky.
"Ada masalah, Lia? Shanum tadi nangis," tanya Dzaky setelah gadis itu duduk dengan salah tingkah.
"Kakak nggak nanya langsung sama dia?" Lia balik bertanya, dan Dzaky menggelengkan kepala.
"Dia nggak tahu kalo tukang ojek itu aku. Aku nggak sengaja lewat waktu dia melambaikan tangan. Nggak sempet tanya juga karena langsung minta jalan. Kenapa, Lia? Apa ada masalah sama suaminya?" tanya Dzaky lagi menatap manik sahabat Shanum dengan dalam.
Lia menunduk, dia tidak yakin apakah harus bercerita kepada Dzaky. Lia tahu Dzaky adalah orang yang sangat mencintai Shanum dan juga paling ditunggu kedatangannya oleh wanita itu. Akan tetapi, pernikahan dadakan dengan Raka menghancurkan harapan keduanya untuk bersatu.
"Cerita aja, Lia. Kalo kamu mau tahu ke mana Shanum pergi," tuntut Dzaky masih dengan nada biasa.
Lia mendongak cepat, harapan muncul di kedua matanya yang berbinar. Menatap Dzaky dengan ragu.
"Aku tahu ke mana Shanum pergi. Kalian nggak akan bisa nemuin dia di kota ini. Cuma aku yang tahu ke mana Shanum," ucap Dzaky lagi sembari mengulas senyum.
Lia mengumpulkan keyakinan, demi tahu ke mana Shanum pergi dia harus mengatakan masalah yang sedang dihadapi sahabatnya itu.
"Raka ... ketahuan selingkuh, Kak. Sama Shila, mantannya." Lia menundukkan kepala, tak ingin melihat kemarahan di wajah laki-laki yang mencintai Shanum itu.
"Astaghfirullah al-'adhiim!" Dzaky berpaling, memejamkan mata menahan gejolak. Sungguh hatinya tak terima Shanum disakiti.
"Aku udah nyari Shanum ke rumahnya, Kak. Ke rumah orang tuanya, tapi dia nggak ada. Aku ketemu Kakak waktu mau nyari Shanum ke tokonya. Shanum ke mana, Kak? Aku khawatir sama dia." Lia mulai terisak, mengingat keadaan Shanum yang sedang mengandung.
"Dia ada di tempat aman, tapi yang pasti bukan di kota ini," jawab Dzaky penuh misteri. Dia ragu memberitahu Lia tentang keberadaan Shanum karena khawatir akan membaginya kepada Raka.
"Kak!"
"Nggak sekarang!" Dzaky menolak karena rasa sakit di hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!