NovelToon NovelToon

Sampai Kapan Harus Begini?

1. Pernyataan yang mengejutkan.

"Aku sudah menikah, kakek!"

Pernyataan barusan membuat semua yang hadir pada rapat keluarga terdiam, menatap satu-satunya tuan muda sekaligus penerus keluarga dengan tatapan terkejut. Bisa dipastikan dari wajahnya kalau pria itu sangat paham dengan apa yang dia katakan, dan dia pun tahu apa arti ucapannya barusan.

"Apa yang kamu katakan barusan? Ulangi sekali lagi?!" nada datar yang menandakan emosi tertahan. Pria tua yang merupakan kepala keluarga saat ini menatap penuh amarah pada penerusnya itu.

Ah, Jamal tak bisa menarik lagi perkataannya. Andai saja orang-orang yang menjadi pengikut keluarganya tak membahas tentang pernikahan dan pernikahan secara terus-menerus, tentu pemuda itu tak akan mau mengaku kalau dia sudah menikah tanpa sepengetahuan siapa pun. Terkecuali sekretarisnya sendiri yang ikut membantu dia menyiapkan semua dokumen yang diperlukan.

"Aku sudah menikah, kakek. Jadi aku akan menolak semua perjodohan yang keluarga usulkan padaku!" Jamal tak gentar, raut wajahnya tetap tenang menghadapi kepala keluarga yang sangat murka. Kakeknya seakan berniat membunuh cucunya sendiri hanya dengan tatapan matanya saja.

"Tuan muda, tolong jangan bercanda,"

"Aku tahu kamu melakukan ini untuk menghindar dari perjodohan, kan?"

"Kami bukannya memaksa, hanya saja semua demi kebaikanmu sendiri, Nak Jamal."

"Kamu sudah seperti anak kami sendiri, jadi tak masalah kalau kita menjadi keluarga dengan ikatan pernikahan,"

Berbagai ucapan terdengar bising, mengutarakan pendapat semau mereka sendiri. Seakan mereka yang paling tahu, seakan mereka yang memutuskan segalanya.

"Dengarkan ucapan paman-pamanmu! Kalau kamu hanya bercanda, sebaiknya hentikan di sini sekarang juga!" pernyataan sang kepala keluarga diangguki banyak orang. Mereka setuju dengan ucapan pria tua itu.

"Tak baik bercanda dengan kami yang lebih tua ini, nak," tukas seorang pria paruh baya menimpali.

"Mari kita pilih pasangan mana yang paling cocok untuk anda, lalu tetapkan tanggal pernikahan dan buat pengumuman resmi. Dengan berkeluarga, kamu akan bisa lebih bertanggung jawab lagi!" ucap yang lainnya.

"Saya sudah menikah dan tak berniat untuk mengambil istri lagi?!" ucap Jamal dengan sangat serius.

Tak bisa menahan emosinya, sang kepala keluarga melempar gelas minum yang ada di depannya. "Dasar cucu durhaka! Kamu menikah tanpa bilang-bilang dan sekarang kamu baru menyampaikan hal seperti ini?" pecahan gelas kaca jatuh berserakan di lantai, isinya tertumpah menodai permadani indah yang terlihat sangat mahal. Entah berapa biaya untuk membersihkannya, sekarang bukan itu masalah yang paling penting. Sekarang sang kakek sudah kelewat murka, tak terima kalau cucu semata wayangnya menikah dengan wanita yang sama sekali tak dia kenal.

"Siapa dia? Apa pekerjaan keluarganya? Lulusan apa? Pernah bekerja di mana? Apa dia pintar? Bisa menguasai berbagai bahasa dan etiket kelas atas?" deretan pertanyaan yang seakan tak ada habisnya terdengar satu-persatu dari mulut sang kakek. Arman Sanjaya, tak akan pernah menerima menantu sembarangan untuk menjadi pendamping cucunya itu.

"Nanti akan saya kenalkan pada anda," tukas Jamal sengaja berbicara formal. Karena saat dia bicara biasa saja, tak ada yang mau mendengarkan atau percaya dengan apa yang dia ucapkan.

"Kapan? Berapa lama kamu berniat mengulur waktu?" hening, hanya kakek dan cucu itu saja yang saling berbalas ucapan. Tak ada yang berani ikut campur, mereka harus melihat situasi dan kondisi agar tak salah dalam mengambil langkah. Bagaimana pun keduanya adalah orang penting. Yang satunya merupakan kepala keluarga saat ini. Dan yang lainnya adalah satu-satunya penerus yang mereka miliki.

Arman hanya memiliki satu anak dan anaknya itu hanya memiliki Jamal sebelum tutup usia karena sakit. Jadilah mereka hanya tinggal berdua, Jamal yang masih kecil tak mungkin menjadi penerus keluarga, akhirnya sang kakek lah yang memenuhi tugas itu sampai menunggu cucunya menikah.

Bukan sembarang pernikahan, tapi harus pernikahan yang mendatangkan keuntungan bagi keluarga mereka. Setidaknya bisa melebarkan sayap di dunia bisnis dengan menjalin ikatan tersebut. Tapi semua sia-sia, cucunya malah menikah diam-diam tanpa sepengetahuannya. Siapa tak murka. Belum lagi Jamal juga seperti menyembunyikan identitas istrinya, membuat Arman semakin bertambah emosi saja.

"Biar saya yang mengurus waktunya, kakek!" putus Jamal menutupi sampai akhir siapa sebenarnya wanita yang dia pilih sampai dia tak bisa mengatakan yang sebenarnya di depan semua orang seperti saat ini.

"Jangan lebih dari tiga hari atau kamu tahu sendiri apa yang bisa kakekmu ini lakukan sebagai kepala keluarga!" ancam sang kakek dengan wajah serius. Menandakan kalau dia tak akan main-main dan hanya gertak sambal saja.

"Mari sudahi di sini, tak ada yang perlu dibicarakan lagi!" Arman berdiri dari duduknya, meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Dia segera menuju ruang pribadinya ditemani dengan asisten kepercayaannya.

"Saya siap mendengar perintah dari anda, tuan!" ucap Ardi yang sejak tadi berdiri di sisi Arman.

"Cari tahu di mana cucu tak tahu diri itu menyembunyikan permata yang paling dia sayangi itu!" Arman memang memberi waktu, tapi bukan berarti dia tak boleh mencari tahu lebih dulu seperti apa wanita yang dibawa oleh cucu busuknya itu.

"Saya akan segera memberikan laporan pada anda, tuan."

Arman mengangguk, tak sabar untuk membaca semua informasi yang bisa dikorek oleh anak buahnya itu.

Ardi segera meninggalkan ruang pribadi tuannya. Dia harus melakukan perintah Arman dengan segera dan membawakan hasil yang bisa memuaskan tuannya itu.

Karena kinerja Ardi yang sangat profesional, dibarengi dengan luasnya koneksi yang dia miliki. Semua data hingga masa lalu wanita yang menjadi menantu dadakan Keluarga Sanjaya pun berhasil didapatkan. Berkas yang menumpuk menjadi bukti betapa banyaknya laporan yang dilampirkan oleh Ardi. Pria itu hanya memerlukan waktu kurang dari dua jam untuk mendapatkan itu semua.

Sengaja Ardi menunggu di sisi tuannya, barangkali tuannya akan memberikan perintah lainnya begitu selesai membaca laporan darinya.

Arman menggeram, semakin banyak yang dia baca, semakin buruk saja mimik wajah pria tua itu. Hingga akhirnya batas kesabaran yang dia miliki meledak, sisa laporan yang belum terbaca dilempar penuh emosi. Wajah Arman mengeras, matanya melotot menunjukkan ketidaksukaannya.

"Beraninya!" geramnya murka. "Berani-beraninya dia memilih orang yang tak berguna sebagai pendampingnya!!!"

Melihat tuannya murka, Ardi segera mengambilkan botol berisi obat dan juga air putih untuk bosnya itu. Dia tahu kalau gejala tekanan darah tuannya kambuh, soalnya Arman memegangi tengkuknya sambil menengadah ke atas. Kebiasaan setiap pria tua itu sakit kepala atau mengalami tegang karena emosi yang terlalu berlebihan.

"Anda harus tenang, tuan," tukas Ardi memberi saran. Dia tak ingin tuannya kenapa-napa. Susah payah dia mendapatkan posisi ini, dia pasti akan digantikan begitu tuan mudanya yang menjadi kepala keluarga.

"Belum terlambat bagi tuan untuk melakukan sesuatu," bisiknya dengan nada sopan. Dia yakin tuannya tak akan membiarkan segala sesuatu berjalan tak sesuai kemauannya. Entah itu dimusnahkan, atau harus dibiarkan sengsara, segala cara pasti akan dia lakukan agar keluarga Sanjaya bisa semakin bersinar pada puncaknya.

"Tinggalkan aku sendiri!" tukas Arman begitu dirinya mulai tenang.

Ardi mengangguk, pria itu pergi setelah membereskan kembali laporan yang tadi dibuang oleh majikannya. Laporan tentang istri tuan mudanya kembali tersusun rapi di meja sang tuan besar. Dia yakin tuannya akan membaca ulang semua laporan tersebut sebelum mengambil keputusan yang harus dia lakukan untuk memperbaiki semuanya.

2. Hanya ingin yang terbaik untukmu.

Pernyataan cucunya membuat Arman tak bisa tinggal diam. Meski dia memberikan waktu pada Jamal, cucunya. Namun, pria tua itu begitu tak sabar untuk mengetahui wanita mana yang berhasil masuk ke dalam lingkup keluarganya.

Ardi yang menjadi tangan kanan Arman pun diberi tugas untuk mencari tahu selengkapnya tentang wanita yang menurut pernyataan cucunya telah menjadi pendamping cucunya itu. Ardi menyanggupi, tak sampai dua jam, laporan yang diinginkan Arman sudah tersedia di atas mejanya. Semakin dibaca, semakin mengeras ekspresi Arman. Dia sangat tak menyukai apa yang tertulis di sana. Lebih baik cucunya tak usah menikah dari pada memilih sembarang orang yang tak berguna masuk ke dalam keluarga mereka.

Sebagai bawahan yang kompeten, Ardi menenangkan tuannya. Mengatakan kalau semua belum terlambat. Tuannya masih bisa mengubah keadaan seperti yang tuannya inginkan dengan mudah. Hanya perlu satu perintah dan akan ada banyak tangan yang siap mengerjakan perintah tersebut.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Di sinilah Arman, berhenti di depan rumah sederhana yang mungil dan bersih. Terdapat taman kecil yang ditumbuhi bunga-bunga indah. Seorang wanita terlihat sedang menyirami bunga sambil tersenyum dan sesekali bersenandung kecil. Wanita yang tak lain dan tak bukan merupakan pencuri hatinya, pendamping yang dia pilih, kekasih hidupnya, jodoh yang diberikan Tuhan padanya, serta cinta pertama yang untungnya bisa bertahan sampai mereka menikah.

"Aku pulang," ucap Jamal sembari tersenyum tipis. Beban di hatinya seolah menghilang hanya dengan melihat raut wajah bahagia istirnya. "Istri siapa ini? Cantik sekali," pujian pun dilontarkan. Sebelah tangan Jamal mencubit pelan pipi chubby Sinta, istrinya.

"Mas sudah makan?" oh lihat, betapa perhatiannya wanita ini kepadanya. Dia selalu diingatkan untuk makan tepat waktu dan minum air yang banyak agar tetap sehat.

"Belum, nih. Mas maunya makan di rumah aja bareng istri yang cantik ini!" tangan Jamal kembali mencubit kecil Sinta. Kali ini, hidung wanita itu yang jadi sasarannya.

"Harusnya mas makan aja duluan, ini udah lewat jam makan siang, loh," tukas sang istri sedikit mengomel sayang. Meski begitu, Laras segera menyudahi pekerjaannya. Wanita itu mencuci tangannya dan mengajak Jamal, suaminya masuk ke rumah.

"Mas cuci tangan gih sana, sekalian ganti baju yang lebih santai," ucap Sinta mendorong pelan suaminya.

"Yakin gak mau dibantu siapin makanan?" tanya Jamal tak bergerak dari tempatnya. "Berat loh dek bawa ini-itu," tambah pria itu melirik ke dapur.

"Aku bisa sendiri, mas ganti baju aja sana!" pengusiran kedua kali tak mungkin dibantah oleh Jamal. Pria itu segera mengikuti titah ratunya. Tak selamanya kepala keluarga harus dituruti, mendengarkan pasangan pun merupakan sikap yang baik.

Begitu masuk ke kamar, wajah Jamal kembali tak karuan. Dia tahu kakeknya tak akan tinggal diam. Tapi dia masih bingung apa yang harus dia lakukan untuk melindungi istrinya yang paling dia cintai. Sebagai keluarga dan satu-satunya cucu yang secara tak langsung dididik di bawah pengaturan Arman. Jamal sangat tahu bagaimana sifat kakeknya sendiri. Pria tua itu tak akan segan menutup mata dan melenyapkan semua penghalang yang menurutnya menghalangi jalan kesuksesan bagi keluarga Sanjaya.

Terlalu larut dalam pemikirannya sendiri, Jamal sampai lupa mengganti pakaiannya. Bahkan ke kamar mandi saja belum dia lakukan.

"Mas, makanannya sudah siap." suara pintu diketuk menyadarkan Jamal. Pria itu pun bergerak dengan cepat dan segera berganti baju rumahan.

"Duh, wanginya masakan istriku!" puji Jamal meninggalkan segala keresahan yang dia miliki jauh di lubuk hatinya. Untuk sekarang dia hanya ingin fokus pada istrinya. hal lain bisa dia pikirkan nanti.

Keduanya makan dengan lahap, sesekali mereka bercanda dan menunjukkan kemesraan. Jamal memperlakukan istrinya dengan penuh cinta, tak pernah pria itu berkata kasar atau pun marah. Dia selalu mengerti dan paham dengan berbagai perubahan mood yang sering dialami wanita itu setiap bulannya. Tak ada keluhan, Jamal malah dengan setia selalu mendengarkan apa yang menjadi keluh-kesah istrinya selama ini.

"Bagaimana pekerjaannya, mas? Gak ada masalah, kan?" kini keduanya sedang duduk santai di depan televisi. Ada buah-buahan yang sudah dipotong-potong menemani obrolan mereka.

'Banyak, tapi gak mungkin aku bilang gitu ke kamu, kan!'

Jamal menelan kembali kata-kata yang hampir meluncur begitu saja. Kalau dia mengatakan yang sebenarnya, entah bagaimana reaksi dari kekasih hatinya itu.

"Tak ada masalah. Kamu bisa tenang, dek," tukas pria itu menutupi semuanya dengan senyuman. Biar dia yang memikirkan jalan keluar terbaik untuk situasi mereka. Istrinya hanya harus mendengar hal-hal menggembirakan, melihat hal-hal indah, dan mendapatkan yang terbaik. Tak boleh ada kabar yang mengkhawatirkan sampai ke telinga wanita yang menjadi pendampingnya ini.

"Beneran?" Jamal menghindarinya tatapan Sinta. Di bawah tatapan mata istrinya, mana bisa dia berbohong. Lebih baik dia berpura-pura fokus pada film yang mereka tonton saja.

"He'eh,"

Sinta masih menatap ragu. Raut wajah suaminya sering berubah-ubah, seakan ada sesuatu yang dipikirkan. Dia hanya ingin Jamal berbagi segala cerita padanya, baik itu hal yang tak enak didengar atau kabar buruk sekali pun. Tapi kalau suaminya memang tak ingin mengatakan apa pun, dia tak mungkin memaksa. Sebagai istri, Sinta hanya bisa menunggu hingga suaminya mau berbicara jujur padanya.

"Jangan terlalu bekerja keras, mas. Mas juga harus istirahat biar tetap sehat!"

Jamal memejamkan matanya, bisa dibilang mereka masih bisa digolongkan sebagai pengantin baru. Tetapi sudah terlalu banyak kebenaran yang dirinya tutupi. Bahkan istrinya tak tahu fakta kalau dia dari keluarga ternama, calon penerus perusahaan, serta kepala keluarga generasi selanjutnya.

"Mas kan kerja biar bisa memberikan semua yang terbaik buat kamu, dek," ucap Jamal menepis keinginannya untuk jujur. Dia tak siap melihat reaksi istrinya kalau tahu dirinya memiliki banyak harta. Ada alasan tersendiri mengapa sampai sekarang Jamal belum juga mengatakan kalau dia merupakan cucu dari keluarga terpandang. Pria itu mengaku hanya pekerja biasa, memiliki gaji normal seperti pekerja lainnya, mobil pinjaman dari kantor, dan kantor yang sangat tepat waktu dalam hal kepulangan karyawannya. Tak ada lembur, tak ada perjalanan dinas. Semua hanya pekerjaan biasa tanpa harus membawa pekerjaan pulang ke rumah.

"Dan aku inginkan mas tetap sehat. Itu yang terbaik buat aku, mas!"

Jamal mengangguk, perasaan hangat menyeruak di dadanya. Dia merasa begitu diperhatikan dan dicintai. "Kesayangan mas yang cantik, sudahkah mas bilang kalau kamu sangat-sangat dicintai? Tentu saja cinta terbesar dari mas pastinya!" dekapan lembut berbalas, kekehan kecil terdengar dari belah bibir istrinya, menjadi jawaban atas rayuan yang dirinya berikan.

Jamal berdo'a dalam hati, semoga tak akan ada yang berubah walau istrinya tahu kebenarannya. Bagaimana pun, dia harus memberi tahu Sinta segalanya. Tentang dirinya, tentang keluarganya, dan tentang statusnya sebagai penerus.

3. Diundang atau diculik?

Jamal merasa terombang-ambing, dirinya tak tahu bagaimana harus berkata jujur pada istrinya. Dari mana dia harus bercerita dan seperti apa tanggapan Sinta nantinya. Semua itu membuat pikirannya kusut. Jamal sama sekali tak dapat memejamkan mata, dia hanya memeluk erat wanitanya yang terlelap di pelukannya. Dia tak ingin momen seperti ini menghilang, dia ingin ini bisa abadi selamanya. Tapi dirinya tahu bahwa jalan yang menanti di depan mereka akan semakin sulit.

Kakeknya tentu tak akan menerima Sinta menjadi cucu menantu di Keluarga Sanjaya. Bagaimana pun caranya, mereka akan melakukan hal keji dan menghina istrinya. Ingin kabur, tapi dia tak mungkin lari dari tanggung jawab yang selama ini diembannya. Apa tak bisa dia memilih keduanya, antara cinta dan keluarga. Dia hanya ingin bahagia bersama semuanya.

Lamunan Jamal buyar saat sadar kalau istirnya menguap entah yang ke berapa kalinya. Pria itu pun mengusak pelan rambut istrinya yang tergerai panjang. "Tidur duluan sana, mas masih mau nonton sebentar lagi," tukasnya dengan lembut.

Sinta mengangguk, dia memang selalu cepat tidur biar bisa bangun lebih awal. Membuatkan sarapan sembari sedikit beberes rumah. Begitu suaminya berangkat bekerja, barulah dia mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya yang seakan tak ada habisnya meski sudah dikerjakan setiap waktu.

Jamal mengusap wajahnya kasar, dia tak fokus menonton. Itu hanya alasan saja agar dirinya bisa tetap di sini untuk sementara waktu dan menata pikirannya. Suka atau tidak, dirinya harus jujur suatu saat nanti.

Tak lama kemudian, pria itu mengangguk yakin. Dia harus bicara setelah pulang bekerja. Ya, itu yang harus dia lakukan agar istrinya tak terlalu kaget saat mengetahui kalau dia merupakan salah satu golongan konglomerat. Setelah menata hatinya, Jamal pun menyusul untuk mengarungi dunia mimpi. Tak lupa sebelumya dia memeriksa keamanan rumah, memastikan semua pintu dan jendela dalam keadaan terkunci.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Keesokan harinya, seperti biasa. Jamal berangkat kerja pada waktu yang sama. Pria itu paling anti yang namanya telat, dia menyukai kalau semuanya tertata dengan rapi dan sesuai jadwal atau tempatnya.

Baru saja Sinta akan kembali ke dalam rumahnya, sebuah mobil mengkilap yang terlihat sangat mahal berhenti tepat di depan pagarnya. Sinta mengernyitkan dahinya, tapi segera saja dia mengangkat bahu. Mungkin itu cuma orang yang berhenti untuk mencari alamat. Dan hanya kebetulan saja berhentinya tepat di depan rumahnya.

Sayangnya perkiraan wanita itu salah. Dua pria berpakaian serba hitam turun dari sana dan berjalan menuju arahnya. Takut kalau mereka mungkin orang jahat, Sinta segera menutup pintu dan hanya membuka sedikit saja.

"Permisi, kami di sini untuk menjemput Nona Sinta,"

Jantung Sinta berdegup kencang, dia tak kenal orang yang barusan. Tetapi mengapa mereka bisa tahu siapa namanya. Apa dia harus menelepon suaminya untuk kembali, tapi apa akan keburu.

"Kami tahu anda ada di dalam!"

Sinta mengintip melalui celah, mencoba menjawab meski dengan suara tergagap. "Si, si, siapa kalian?!"

"Kami di sini atas perintah tuan tuan. Beliau ingin kami membawa anda menemui beliau!"

"Saya tak kenal tuan kalian!" pekik Sinta cukup nyaring.

"Kami tak ingin menggunakan kekerasan, nona!"

Sinta tahu kalau ini sudah termasuk ancaman, tapi kalau dia menelepon polisi atau menghubungi suaminya, apa waktunya masih cukup. Apa orang-orang yang ada di depan pintunya ini mau menunggu hingga salah satu dari yang dihubungi Sinta datang menolong dia.

"Biarkan saya meminta izin pada suami saya dulu kalau begitu!" tukas Sinta mengulur waktu.

"Itu juga tak boleh, nona! Tuan berpesan anda harus datang diam-diam tanpa memberi tahu siapa pun!"

"Saya sungguh tak kenal dengan tuan kalian! Saya tak tahu apa masalahnya hingga tuan kalian ingin bertemu dengan saya," ucap Sinta dengan wajah bingung. Dia tak diizinkan menghubungi suaminya. Berarti orang itu tahu siapa suaminya dan mungkin saja kalau dia menghubungi Jamal, pria itu akan terlibat masalah karenanya.

"Kami tak akan menyakiti anda! Anda bisa meninggalkan catatan kalau masih tak percaya. Tapi tolong jangan telepon siapa pun perihal kedatangan kami berdua!"

Memang benar kalau pernyataan itu diucapkan dengan lancar, bahkan terlalu lancar untuk dikatakan sebagai sebuah kebohongan yang disengaja. Tetapi apa bisa hanya sekedar ucapan dipercaya begitu saja.

"Nona, tuan sudah menunggu anda,"

Sinta memejamkan matanya, dia harus mengambil keputusan dengan cepat. Dirinya tak boleh membuat masalah ini berlarut-larut dan berimbas pada pekerjaan suaminya.

"Baiklah, tolong tunggu sebentar. Saya akan berganti pakaian dan menulis pesan,"

Mau tak mau, suka tak suka, Sinta

harus menghadapi semuanya. Walau dia tak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Dia harus siap untuk bertemu dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya.

"Mari kita pergi," ucap Sinta setelah mengunci pintu rumahnya.

"Silakan masuk, nona,"

Perlakukan sopan sedikit mengurangi kekhawatiran wanita itu. Dia terus berdo'a di dalam hatinya semoga tak ada masalah yang terjadi karena keputusan yang sudah dia buat.

"Kita sudah sampai, nona. Ikuti wanita itu, dia yang akan mengantar anda untuk menemui tuan,"

Saking sibuknya berdo'a, Sinta sampai tak sadar kalau mobil yang dia tumpangi sudah berhenti dan sampai di tujuan. Rumah yang sangat megah dengan gerbang tinggi yang berukiran cantik menyapanya begitu dirinya turun dari mobil. Seperti yang dikatakan pria tadi, sudah ada seorang wanita yang menunggu kedatangannya.

"Selamat datang, nona. Mari ikuti saya," ucapnya sopan.

Sinta hanya mengangguk, mengikuti wanita itu dengan baik. Sinta tak ingin tersesat di tempat yang dia tak ketahui sama sekali di mana ini.

"Tuan, tamu yang anda tunggu sudah di sini!"

"Suruh dia masuk!"

"Silakan masuk, nona. Saya hanya bisa mengantar anda sampai di sini,"

Ingin rasanya Sinta mencegah wanita itu pergi, dia takut ditinggal sendirian. Suara pemilik ruangan ini terdengar begitu dingin dan menakutkan. Dia tak mau bertemu hanya berdua saja dengan pria itu.

Sinta menarik napas panjang beberapa kali. Berharap hal itu bisa mengurangi ketegangan yang dia rasakan.

"Permisi, tuan," tukas Sinta tersenyum kaku. Dia tak berani menatap langsung orang yang berada di dalam ruangan ini. Hanya sekilas dia melihat dan segera saja Sinta mengalihkan pandangannya, takut kalau orang yang dipandangnya justru balas menatap tajam ke arahnya.

Hening, tak ada balasan. Namun, Sinta yakin kalau pria di depannya ini sednqb menatap lekat ke arahnya. Entah untuk tujuan apa hal itu dilakukan.

Helaan napas terdengar, disertai dengan decakan kesal yang membuat jantung Sinta semakin bertalu. Apa dia sudah melakukan kesalahan hanya dengan hadir di sini.

"Duduk! Kita perlu bicara!"

Bak terhipnotis, Sinta langsung duduk di sembarang kursi. Kakinya tak kuat untuk berdiri lama di depan manusia superior seperti orang ini. Semoga saja ini berakhir dengan baik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!