Sudah enam bulan sejak Lalis keluar dari perusahaan yang membuatnya muak dalam waktu lama. Bermain kotor supaya mendapatkan promosi jabatan, bertindak curang agar hasil kinerja memuaskan.
Betapa leganya Lalis keluar dari perusahaan itu. Akan tetapi kekasih yang sangat ia cintai masih terikat dengan perusahaan itu. Kekasih Lalis yang merupakan putra penerus perusahaan JT Nether tentu tidak bisa meninggalkan apa yang akan jadi miliknya. Ia tahu bahwa kantornya penuh dengan aib. Bukan berarti ia sama dengan yang lain, justru kekasih Lalis sedang membuat peraturan ketat untuk perusahaannya.
Hambatan yang membuat perusahaan sulit menjadi benar-benar baik adalah karena ayahnya yang tak lain pemilik perusahaan ini. Sebut saja kekasih Lalis bernama Kent. Ayah Kent tidak mencegah keinginan kotor bawahannya. Semua ini dimulai oleh manajer JT Nether yang memiliki keinginan tidak terpenuhi. Akibatnya ia bertindak tidak senonoh untuk mendapatkan keinginannya.
"Aku sudah menemukan pekerjaan baru," ucap gadis usia 23 tahun berperawakan tinggi 165 dengan badan ideal layaknya jam pasir. Ia tengah terduduk sejenak di cafe sambil sesekali meneguk kopi yang ia pesan sebelumnya. Yang ia telpon tentu pacarnya yang masih sedang bekerja di jam 9 pagi seperti ini.
"Benarkah? Dimana kamu bekerja, Sayang?" tanya sang kekasih. Ia yang tengah fokus pada komputernya akhirnya terhenti karena pernyataan Lalis yang membuatnya bahagia.
"Aku bekerja di perusahaan TL Income. Aku ditawari untuk memilih dua tim karena keterampilanku dinilai bagus."
"Wah, sayang TL Income adalah perusahaan besar ke 2 di negara kita. Kau hebat sayang."
"Aku merasa beruntung karena ditolak di perusahaan kecil dan diterima di perusahaan besar. Entah mengapa itu terjadi."
"Sudahlah. Kapan kau mulai bekerja?"
"Besok aku sudah mulai, kok."
"Aku harus mengantarmu karena besok harimu bekerja."
"Ah benarkah? Aku suka saat kau mengantarku bekerja." Lalis tersenyum bahagia. Begitupun dengan Kent.
"Sudah dulu, ya. Aku harus bekerja. Nanti pulang kerja aku ke rumahmu. Ada yang ingin aku bicarakan."
"Ah ya baiklah."
Lalis meletakkan ponsel di meja lalu mengangkat tangan memanggil pelayan. Pelayan wanita itu datang dan menawari beberapa makanan dan minuman.
"Kopi susu satu lagi."
"Baik."
Setelah perginya pelayan, Lalis kembali menatap ke luar jendela cafe, memandangi perusahaan yang baru saja menerimanya. Ia tersenyum senang karena mulai besok ia bisa bekerja lagi setelah enam bulan jadi pengangguran.
"Aku harus merayakannya dengan Kent," gumamnya.
Lalis langsung antusias ketika pria berusia 27 tahun berperawakan gagah, bersih dan anggun yang tak lain adalah Kent datang ke apartemen barunya. Beberapa menit lalu ia memberikan alamat serta kode apartemen barunya kepada Kent. Lalis benar-benar bahagia hingga tidak mau melepas pelukan Kent.
"Kau sangat bahagia ya sampai memelukku erat seperti ini," ujar Kent sambil tersenyum kecil.
"Tidak. Aku sangat merindukanmu, karena itu aku memelukmu."
" Sudah, sudah. Mari kita duduk dulu."
Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa, "ada yang ingin aku bicarakan," ujar Kent dengan raut wajah tidak menyenangkan.
Lalis khawatir dengan ekspresi wajah Kent saat ini. Apa pembicaraannya akan melukainya atau melukai Kent. Kelihatannya salah satu dari Kent dan Lalis akan terluka.
"Hei, jangan membuatku cemas. Kenapa ekspresimu seperti itu?"
Tiba-tiba Kent tertawa melihat wajah Lalis yang tengah mencemaskannya. Lalis bingung dan terheran apa maksud Kent dengan ini?
"Kenapa kamu serius banget, Sayang?" Kent belum berhenti tertawa.
Lalis mengubah ekspresinya jadi mengambek. Ia meraih bantal dan memukul Kent dengan bantal itu. Itu pembalasannya karena sudah membuatnya khawatir dan menunggu.
"Kenapa gitu si. Kamu seneng isengin aku, ya?" ujar Lalis. Masih sambil dengan rajukannya.
Kent berhenti tertawa lalu membawa Lalis dalam pelukannya.
"Sudah, sudah. Maaf ya udah isengin Lalis," ucapnya sambil mengelus rambut lurus panjang nan hitam lekat milik Lalis.
Lalis mendekat lalu membalas pelukan Kent. "Aku tidak bisa merajuk lagi kalau kau seperti ini," ucap Lalis.
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan lebih berjuang untuk cinta kita," ucap Kent.
"Benarkah?" tanya Lalis sambil mendongak.
Kent mengangguk mengiyakan Lalis. Lalis kembali memeluknya.
"Aku sangat suka Kent Jwart."
Kent tersenyum, namun raut alisnya tidak bisa membohongi bahwa ia sedang sedih.
,"Aku akan mengatasi perjodohan itu. Tunggu aku, Lalis. Aku hanya akan hidup bersamamu," ucap Kent dalam hati.
\*\*\*
"Teman-teman akurlah. Dia adalah karyawan baru di tim pemasaran ini. Jangan ada yang mengganggunya saat ia bekerja, ya. Mengerti?"
Wanita yang lebih tua dari Lalis yang merupakan ketua tim pemasaran yang memperkenalkannya. Perawakan yang tidak jauh berbeda meskipun Lalis lebih tinggi darinya. Usianya akan menuju 40 tahun, ia ibu dari dua anak.
Saat semua sudah paham dan berkenalan dengan Lalis, Lalis mulai duduk dan bekerja. Lalis sangat nyaman dengan ruangan juga ke empat rekan barunya. Tidak ada yang mengajaknya mengobrol dan tidak ada juga yang mengajaknya bermusuhan. Semua aman-aman saja. Mereka semua rajin dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Tiba-tiba keua tim menyebut nama Lalis di sela-sela pekerjaannya.
"Iya, Bu?" sahut Lalis.
"Apa kerjaan anda ada yang menyulitkan? Jika ada kau tidak usah sungkan untuk bertanya atau meminta bantuan."
Lalis sedikit tersentuh karena perhatian Bu Saka selaku ketua tim di tim pemasaran ini. Dan benar, ini yang seharusnya ketua lalukan ketika ada anak baru di tim-nya.
"Ah, untuk sekarang tidak. Nanti kalau ada yang menyulitkan saya akan langsung minta bantuan."
Percakapan mereka berakhir dengan senyuman hangat.
Waktu istirahat tiba, Lalis bersiap untuk makan siang. Ia berencana makan siang di cafe terdekat. Seharusnya Lalis membawa bekal makan siang tapi karena ia takut kesiangan akhirnya tidak membuat bekal makan siang.
"Lalis,"
Lalis menoleh saat Bu Saka memanggilnya.
"Kami akan makan siang di cafe depan. Ayo ikutlah dengan kami," ucap Bu Saka.
Lalis sedikit canggung dengan rekan kerjanya. Mereka semua sangat dewasa dan kalem. Pembawaannya begitu hangat.
Diantara keempat rekan kerjanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia adalah Jovi Erland, berusia 25 tahun sosok pria tanpa banyak bicara namun tidak sombong. Jika dilihat dari fisik, Jovi bertinggi badan 178-180. Sedikit kurus namun itu membuatnya cocok menggunakan pakaian macam apapun.
Jovi akan sangat keren ketika memakai kacamata saat fokus dengan komputernya. Bisa dibilang itu kacamata kerjanya. Gaya rambut yang rapi meskipun bukan gaya kekinian. Intinya Jovi merupakan sosok yang cool tanpa banyak gaya.
"Kau tidak perlu canggung, Lalis. Sekarang kita rekan kerja," ucap wanita modis nan cantik bernama Kenya Gordan.
Kenya si paling modis di tim pemasaran ini. Berusia 27 tahun, masih single karena ia trauma untuk mencintai. Ia sangat mementingkan gaya tapi bukan berarti ia suka menghabiskan uang. Ia paling tahu cara mengelola uang. Hanya saja menurutnya penampilannya lebih penting.
Ia memiliki khas rambut yang selalu diikat di atas tanpa dicepol. Diikat namun dibiarkan terurai, layaknya Ariana Grande tanpa berponi.
Sedangkan dua wanita biasa rekan kerjanya hanya tersenyum tulus menunggu jawaban Lalis.
"Boleh."
Dan akhirnya mereka makan bersama di cafe depan perusahannya. Sebenarnya di perusahaan ada kafetaria, tapi kebiasaan karyawan tidak makan disana. Namun juga tidak semua karyawan makan siang di luar.
Sorot mata mereka tertuju pada meja nomor 6, kecuali Lalis. Lalis ikut-ikutan karena mereka terus melihat ke arah meja nomor 6 dimana seorang pemuda rapi dan berkarisma serta tak absen dari wajahnya yang tampan.
"Sebaiknya kita bersikap normal sebelum ketahuan kita sedang penasaran dengannya," ujar Bu Saka.
Penasaran apa? Siapa pria itu sehingga mereka begitu segan padanya?
"Oh, ya. Lalis pasti kebingungan. Orang yang kami lihat itu Pak Great, direktur di perusahaan TL Income. Kami heran karena beliau berada di luar. Biasanya Pak Great tidak suka menunjukkan dirinya, tapi kali ini- ya begitulah." Selia angkat bicara.
Wanita berusia 25 tahun itu menjelaskan secara rinci bagaimana kebiasaan direktur TL Income serta bagaimana dia menjabat di perusahaan. Sikap dan sifat Great Joul, semuanya Selia ceritakan dengan rinci.
"Kudengar orang tuanya menekan Pak Great untuk segera menikah karena tanggal 23 bulan depan ia berusia 31 tahun." Lanjut Veronika, bestie Selia. Bu Saka, Jovi dan Kenya sudah tahu kebiasaan mereka berdua yang kemana-mana selalu berdua.
Mereka berdua merupakan orang termuda di tim pemasaran, tetapi karena sekarang Lalis di bawah umur Selia dan Veronika, jadi Lalis menjadi orang termuda di tim pemasaran.
"Kenapa sedingin itu ya direktur perusahaan ini? perasaan Kent tidak begitu," ucap Lalis dalam hati.
"Oh ya. Jangan terus membicarakannya. Aku ingin tahu banyak tentang Lalis," pungkas Kenya.
"Iya. Jangan merasa canggung dengan kami, Lalis. Dari riwayat pekerjaan sebelumnya, kau memiliki kemampuan dalam bekerja. Kau juga di promosikan menjadi skertaris direktur utama di JT Nether. Apa itu benar, Lalis?" tanya Bu Saka sambil melahap pelan makanannya.
"Itu-"
"Aku tidak suka mengungkit hal ini. Aku di promosikan karena-" batin Lalis.
"Maaf." Jovi berdiri dari tempat duduknya.
"Saya harus kembali ke kantor karena hari ini saya harus pulang cepat," ujar Jovi.
Kenya pun sama. Ia berdiri seperti Jovi. "Saya juga. Saya ingin pulang cepat karena ingin lebih santai di rumah nanti."
Bu Saka melihat jam di tangannya.
"Masih ada waktu 30 menit. Masuklah jika memang itu yang kalian inginkan. Kami akan tetap di sini."
Kecuali Lalis, ia segera menyahut. "Ah, saya juga akan masuk sekarang," ujarnya.
"Ah sekalian saja semuanya masuk," ucap Veronika.
Dan pada akhirnya tidak ada yang tinggal di cafe meskipun waktu istirahat masih panjang.
\*\*\*
"Bu Saka,"
"Ya Lalis," jawabnya.
"Saya pulang duluan," ucap Lalis sambil membenahi alat kerja di meja kerjanya.
Baru pertama kerja tapi Lalis harus di buat lembur. Entah kenapa secara tiba-tiba tim pemasaran memiliki tambahan kerjaan, dan itu ditunjukkan kepada Lalis.
Sebelumnya skertaris Pak Great datang dan menyampaikan tugas baru yang diinginkan Pak Great. Dia bilang bahwa anak baru yang harus mengerjakannya karena direktur ingin melihat kinerja anak baru itu yang tak lain adalah Lalis.
"Pulanglah, Lalis." Beruntung Lalis memiliki ketua tim yang baik dan hangat padanya.
Lalis keluar dari kantor menuju lift untuk turun ke lantai satu. Saat menunggu lift seseorang datang berdiri di samping Lalis. Lalis menoleh.
"Kenapa bisa barengan dengan Pak Great," batin Lalis.
Ia membungkuk serta memberi salam kepada Pak Great. "Selamat malam, Pak."
Great menolah, "selamat malam," ujarnya tanpa ekpresi.
Lalis sangat gugup karena harus satu lift dengan direkturnya.
Lift terbuka.
"Aku masuk tidak, ya?" batin Lalis.
"Masuk saja," ujar Great seolah tahu isi hati Lalis.
"A-ah, ya, Pak." Ujarnya gugup.
Hening.
Tiing, lift terbuka. Great keluar duluan dengan dinginnya, diikuti dengan Lalis.
Sengaja ia memperlambat jalannya agar tidak berbarengan dengan Pak Great. Eh tunggu, ada yang jatuh dari tangan Pak Great saat akan menuju parkiran.
Lalis menghampiri dan mengambil, itu kartu nama Pak Great. Lalis mengejar Pak Great tapi sayangnya ia sudah melajukan mobilnya.
"Yasudah besok saja," gumamnya.
Keesokan harinya Lalis memulai kerja lagi. Dari semalam ia memikirkan bagaimana dia mengembalikan kartu nama milik direkturnya. Hanya kartu nama saja, tapi itu harusnya penting bukan?
"Lalis, coba tolong pahami file yang saya kirim ke email-mu," ucap Bu Saka.
"Baik."
Lalis membuka file dan mulai mengerjakannya.
Beberapa menit kemudian, ponsel Lalis bergetar dna menyala. Notifikasi pesan dari Kent.
*Semangat sayang*
Begitulah isi pesan itu. Lalis tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa membalas pesan Kent.
3 hari kemudian.
Hari minggu, tentu hari libur sedunia. Lalis menghabiskan hari liburnya di apartemen. Tidak ada yang ia lakukan sejak pagi kecuali bersih-bersih apartemen.
Beberapa jam lalu Kent memberikan pesan bahwa ia harus menangani masalah di kantornya, meskipun ini hari minggu.
Lalis teringat dengan kartu nama Great. Ia beranjak mengambil ksrtu nama itu yang ia simpan di laci lemari. Tentu Lalis harus menyimpannya dengan apik karena itu milik direktur perusahaan tempat ia bekerja.
"Great Joul. Nama ini sangat bagus memiliki aksen english. Sebenarnya dia itu manusia seperti apa. Kenapa sangat tampan sekali bahkan Kent saja kalah tampan," gumam Lalis.
"Ini nomor telepon pribadinya, ya? Kenapa aku gak sadar ada nomor telpon tahu gitu aku telpon saja dan mengatakan semuanya," gumamnya lagi.
"Sulit kalau bertemu dengan Pak Great di kantor. Maklumlah dia kan direktur, pasti sangat sibuk dengan kerjaannya," monolognya.
"Apa aku sopan kalau menelpon Pak Great agar kartu namanya kembali ke pemiliknya."
Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya Lalis menelpon Great secara pribadi.
Deringan ponsel membuatnya gugup. Kenapa Great tidak menjawab?
Setelah berpikir Great tidak akan menjawab, akhirnya telpon Lalis diangkat oleh Great.
^^^"Halo."^^^
Lalis gugup mendengar suara Great yang terkenal dingin.
"Ha-halo, Pak Direktur."
^^^"Siapa dan ada keperluan apa?"^^^
"Apa mungkin ini bukan Pak Great, ya?" hati Lalis bergumam.
"Saya Lalis, karyawan dari tim pemasaran."
^^^"Lalu?"^^^
"Kemarin kita- ah maksud saya, Bapak satu lift dengan saya. Dan saat menuju parkiran-"
^^^"Datanglah ke rumahku jika ada yang ingin kau sampaikan. Itu penting. Datanglah!"^^^
Lalis terheran saat telponnya diputus sepihak oleh Great.
"Apa-apaan. Kenapa sampai harus datang ke rumahnya," gumam Lalis. Ia menggigit kuku jempol tangannya karena gerogi.
"Jangan-jangan Pak Great menyadari kehilangan kartu namanya."
HP Lalis bergetar, notif dari nomor Great.
*Saya tunggu satu jam*
Di siang bolong begini harus merepotkan Lalis. Apalagi cuaca sangat terik. Bisa gawat kulit Lalis kalau terus berada di bawah terik matahari seperti ini.
Begitu casualnya Lalis. Jeans biru terang di padukan dengan kemeja daleman kaos putih. Rambut dibiarkan terurai dengan *style little pony*.
"Waaah, emang kalo rumah-rumah direktur tuh pada bagus, ya," ucapnya terkagum saat tahu kalau rumah Great sangat besar dan terlihat rapi dari luar.
Lalis berjalan menuju gerbang.
"Nona Lalis."
Seseorang berpakaian seragam satpam di depan gerbang rumah Great memanggilnya saat Lalis akan menuju gerbang.
"Bagaimana satpam ini bisa tahu namaku?" batin Lalis bertanya-tanya.
"Silakan masuk. Tuan sudah menunggu," ujar satpam itu.
Dengan canggung Lalis mengangguk setuju.
Bagaimana ini? harus jalan ke arah mana Lalis?
Rumah ini sangat besar sehingga Lalis harus berjalan lama sampai menuju pintu masuk.
Baru membuka pintu, Lalis dikejutkan dengan Great yang tengah terduduk di sofa mewah milik Great. Tentu Lalis canggung dengan situasi seperti ini sehingga ia terdiam cukup lama di depan pintu yang sudah terbuka.
"Pak-"
"Aku sengaja," ucap Great memotong pembicaraan Lalis yang baru berucap satu kata.
Tentu ucapan Great tidak bisa dimengerti Lalis. Apanya yang sengaja? ia saja belum banyak bicara apalagi Lalis baru menginjakkan kakinya di rumah Great.
"Masuklah dan duduk di sampingku," ujar Great.
Berkediplah Lalis!
"Bagaimana bisa dia sedatar ini ketika berbicara. Ternyata apa yang dikatakan Bu Saka dan yang lainnya tepat sekali. Pria ini sulit ditebak," batin Lalis.
"Sa-saya hanya akan memberikan barang anda yang terjatuh."
Lalis memperlihatkan barang yang dimaksudnya milik Great.
"Berikan itu," titah Great.
Lalis perlahan berjalan menghampiri Great meskipun gugup.
Great mengadahkan kepalanya kepada Lalis yang kini tepat di hadapannya. Sedikit lebih jauh.
"Ini, Pak."
Dalam beberapa detik Great mengabaikan apa yang ingin Lalis berikan. Sampai ia mengambilnya, Great berdiri.
"Apa kau akan terus berdiri ketika sedang bicara dengan atasanmu," ujar Great.
"Ah- maafkan saya jika saya bersikap tidak sopan. Tapi ..."
"Aku tidak bisa, dia sangat bersinar sehingga jantungku sulit berdetak normal," batin Lalis.
"Eee- mohon maaf, Pak."
Lalis membungkuk. Tidak ada kata yang bisa ia bicarakan dengan Great meskipun ini bukan pertama kalinya ia berbicara dengan atasan.
"Pak, apa ada lagi yang ingin bapak bicarakan?"
Great mendengus mengeluh, "aku tidak setua itu untuk dipanggil bapak," jawab Great.
"Anda direktur kami, Pak."
"Panggil aku Great," ujar Great. Namun Great sadar apa yang ia katakan barusan. Bukankah kedatangan Lalis sudah memperlihatkan bahwa Great bersikap tidak biasa. Great menyadari itu, akan tetapi Great harus menahan dulu. Belum saatnya untuk saat ini karena Lalis akan terkejut.
"Ya, panggil aku Pak. Karena aku direktur."
Lalis terkejut. Kenapa Great harus menyuruh Lalis tidak menyebut atasannya dengan sepantasnya. Sangat aneh.
"Ah ya, kau boleh pulang. Terimakasih sudah datang memberikan ini."
Great beranjak meninggalkan Lalis. Padahal seharusnya Lalis duluan yang meninggalkan rumah ini. Semakin tak terlihat wujud Great, Lalis berbalik untuk keluar dari rumah ini.
Lalis tidak menyadari bahwa Great melihatnya dari lantai dua. Ia mendengus frustasi karena harus senaif ini mengenai Lalis.
"Aku suka wajah polosmu Lalis. Kau membuatku gila," gumamnya.
Lalis mendengar ucapan-ucapan orang yang bekerja untuk Great ketika ia berjalan keluar dari kawasan rumah ini. Satu kalimat yang ia dengar adalah,
"tuan tidak mungkin mengundang tamu jika bukan tuan Willie, sahabat sejatinya."
Ucapan itu Lalis acuhkan. Toh, ia tidak paham apa yang dimaksud orang-orang itu.
Tanpa menunggu lama, taksi lewat di hadapannya. Tentu Lalis menghentikan taksi itu sebagai alat transportasinya untuk pulang ke apartemen.
Keesokan harinya.
Setelah menuangkan kopi panas, Lalis langsung berbalik badan untuk kembali ke timnya. Tanpa ia sengaja kopi itu harus tumpah di baju orang lain saat Lalis membalikkan badannya.
"Sshh-ah,"
"Oh gosh," umpat Lalis.
"Pak Great."
Lalis melihat tumpahan kopi itu mengotori kemeja dan jas yang Great kenakkan. Segera Lalis ambil tisu meskipun tidak akan membuat pakaian itu bersih. Tapi setidaknya Lalis bisa membersihkan lengan Great yang terkena tumpahan kopi milik Lalis.
Tidak ada pembicaraan, bahkan Great membiarkan Lalis berbuat sesuka hati kepadanya.
"Saya minta maaf, saya minta maaf," ujar Lalis sambil membungkukkan tubuhnya setelah membereskan kemeja Great.
"Habislah aku," batin Lalis ketakutan.
Hanya terkena panas sedikit, tangan Great langsung memerah. Lalis melihatnya dan itu membuat Lalis khawatir.
"Pak, tangan anda?"
Great tidak masalah bahkan tidak terasa sakit. Setelah melihatnya Great sadar tangannya terluka.
"Ah, ya. Ini panas sekali dan- terasa sakit," ungkapnya. Apapun yang Great bicarakan akan terlihat datar wajahnya.
"Perawat di klinik bisa mengatasinya. Mau saya antar?" Karena merasa harus bertanggung jawab, jadi Lalis menawarkan dirinya.
"Boleh."
Beberapa menit sampai di klinik, Lalis terheran kemana perawat yang bekerja di klinik ini.
Tinggal berdualah mereka. Great terduduk sambil mengelus tangannya yang masih memerah.
"Kemana perawat di sini? apa di perusahaan ini klinik sesepi ini, ya?" batin Lalis.
"Sshh,ah."
Ringisan Great membuat Lalis khawatir. Tapi seharusnya sudah tidak sakit karena sudah lama juga. Paling sedikit membekas di area luka.
"Bagaimana ini, apa aku harus menggantikan perawat dan merawat lukanya? aku kan banyak kerjaan," batin Lalis. "Tapi aku yang membuatnya begitu," lanjutnya.
Lalis beranjak, mencari letak kotak p3k darurat.
"Maaf, Pak. Apa kau tahu dimana letak obat-obatan dan peralatannya?" tanya Lalis dari kejauhan.
"Aku tidak tahu karena belum pernah masuk ke sini," jawab Great.
Great tersenyum melihat tingkah Lalis.
Notif dari skertaris Great menelpon. Tingkah Great sangat konyol ketika menyembunyikan pembicaraannya dari Lalis agar Lalis tidak mendengarkan percakapannya.
^^^"Perawat yang mengurus klinik sudah pulang dan menikmati cutinya, Pak."^^^
"Bagus. Sekarang pastikan bahwa tidak boleh ada yang masuk ke klinik untuk hari ini. Gantikan saja dengan cuti jika ada yang sakit," jawab Great.
^^^"Baik, Pak. Tapi kenapa bicara anda pelan sekali."^^^
"Itu tidak penting."
"Pak, sudah ketemu." Lalis berujar. Dengan cepat Great mematikan telpon yang tanpa disadari skertarisnya mendengar suara Lalis saat memanggil Great.
"Ah, ya. Bagus," ucapnya sembari menyembunyikan apa yang sudah ia lakukan.
Sebelumnya Great mengirim pesan kepada skertarisnya untuk menyuruh perawat keluar dari klinik sehingga di berikan cuti oleh Great. Dan akhirnya ya ... berjalan lancar seperti yang Great mau.
"Pak ulurkan tangan anda yang sakit," ucap Lalis setelah duduk berhadapan dengan Great.
Great yang patuh.
"Saya tidak tahu banyak tentang merawat luka jadi, saya akan mengoleskan salep ini," ujar Lalis.
"Apa kau tahu ini salep apa?"
Lalis mendongak.
"Emmm- sebenarnya saya memang tidak tahu cara merawat luka. Saya hanya melihat salep ini dan lainnya ada obat-obatan."
Great mendengus.
"Dari awal aku sangat ragu melihatmu ingin merawat lukaku." Great mengambil alih peralatan itu. Lalu menyimpannya di nakas. Letaknya tidak jauh dari kasur.
"Kau tidak perlu merawatnya lagi," ujar Great sambil beranjak menuju wastafel. Lalis menatap punggung pria itu.
Sambil membuka jas dan kemejanya Great berkata, "cuci saja bajuku kalau kau merasa bersalah."
Lalis langsung mengalihkan pandangannya setelah tubuh kekar Great terlihat olehnya.
"Kenapa Pak Great tidak malu membuka bajunya di depanku," batin Lalis.
"Boleh saja. Nanti sepulang kerja saya akan ambil pakaian bapak. Sekarang saya harus menyelesaikan pekerjaan saya terlebih dahulu," jawab Lalis tanpa menoleh ke arah Great.
"Siapa suruh kamu pergi sekarang?"
"Tapi saya-"
Lalis kaget karena Great sudah ada dihadapannya. Great membungkuk memandangi wajah Lalis dari dekat. Wajah yang malu dan gugup karena melihat Great tanpa baju.
Begitu pedenya Great, ya.
"Aku harus keluar dengan tampilan seperti ini?"
Lalis menelan ludahnya sendiri lalu memalingkan tatapannya dari Great. Jantungnya berdegup kencang, entah karena gugup dan takut atau karena hal lain.
Great semakin mendekatkan tubuhnya, tangannya menyentuh ranjang. Lalis menjauhkan badannya namun harus bagaimana. Toh posisinya terduduk di hadang Great.
Tangan Lalis mencengkram rok span pendeknya. Lalis tidak bisa melawan jika dia atasan, tapi ini melewati batas. Great mengahalangi Lalis untuk bekerja. Tapi kan Great atasannya, ia sendiri yang menghalanginya. Jadi tidak akan ada sanksi atau pemotongan gaji untuk Lalis.
"Aku suka wajah polosnya. Aku menyukainya, dia- dia membuatku tidak bisa lupa dengan wajahnya," batin Great.
Lalis mendorong bahu Great. Tidak peduli ia bersikap lancang atau tidak, yang ia pikirkan adalah Kent. Pria lain tidak bisa begini padanya kecuali Kent.
"Pak, saya akan bertanggung jawab. Tolong simpan baju bapak di klinik, saya akan membawanya nanti setelah pulang kantor."
Lalis sedikit pun tidak memandang wajah Great. "Masih banyak kerjaan yang harus saya kerjakan. Saya pamit dulu, Pak."
Lalis beranjak pergi meninggalkan Great. Great mendengus lelah. Ia mengetikkan di HP lalu ke arah telinga.
"Joy, bawakan aku kemeja dan jas baru," ujarnya.
Joy yang merupakan skertarisnya. Berusia 40 tahun belum menikah juga belum punya pacar.
^^^"Baik, Pak."^^^
Baru keluar dari kantor, Lalis berpapasan dengan Great sampai-sampai menahan nafas.
"Huft," buangan nafas Lalis setelah Great mulai menjauh.
Lalis menggelengkan kepala lalu berjalan. Bukan menuju lift untuk turun ke bawah, justru ia ke klinik. Tentu ia tidak lupa janjinya untuk membersihkan pakaian Great yang tidak sengaja tertumpahi kopi Lalis.
Tidak lama Lalis mengambil pakaian kotor bosnya lalu pulang.
Keesokan harinya.
"Bu Saka?" ujar Lalis.
"Ya, Lalis?"
"Kalau jam istirahat siang Pak Great selalu ada di mana?"
Keempat rekan kerja Lalis langsung menatap Lalis. Apa mungkin yang Lalis katakan salah?
"Kenapa tiba-tiba menanyakan Pak Great, Lalis?" tanya Veronika penasaran.
Semua penasaran tentang Lalis yang menanyakan keberadaan Great, kecuali Jovi. Ia meneruskan kegiataannya, fokus dengan pekerjaannya.
"Itu- ada yang ingin saya sampaikan."
"Biasanya Pak Great ada di ruangannya. Beliau tidak akan kemana-mana lagi jika sudah di kantor. Kecuali yang waktu itu," jawab Bu Saka.
"Ah, ya baiklah."
Semua kembali dengan kegiatannya masing-masing. Fokus dan pikirkan target.
Kenya terdiam, melamun seperti orang bodoh. "Apa itu penting?" batin Kenya.
"Apa aku harus menemuinya di ruang direktur itu?" gusarnya dalam hati.
Istirahat siang sudah tiba. Lalis menghentikan pekerjaannya, ia berdiri namun saat akan berjalan, tiba-tiba HP-nya berdering menampilkan notif pesan.
*Baju itu mahal jadi jangan lama-lama untuk mengembalikannya padaku.*
Itu yang tertera. Lalis paham. Sedikit kesal dengan atasannya satu ini. Kenapa harus sampai sejauh ini berurusan dengan Great yang membuatnya merasa terbebani setiap hari.
"Lalis, ayo." Bu Saka menoleh kepada Lalis saat akan ke luar ruang.
"Ah, itu- kalian duluan saja. Saya akan menyusul."
"Baiklah. Kita di cafe yang sama."
"Iya baik, Bu."
Ting. Notif pesan dari Great lagi setelah semua rekan kerja Lalis keluar dari ruangan.
"Jangan lupa save nomorku!*
Akan semakin jauh urusannya jika Lalis tidak membalasnya. Great akan menganggap itu tidak sopan sebagai bawahannya.
"Ini sudah waktunya makan siang jadi saya akan menemui anda setengah jam lagi."
Ting.
*Temui aku sekarang di cafe belakang perusahaan. Sekalian kau makan siang saja.*
Lalis terkejut. Ia menggigit jari, berpikir bagaimana cara menolak permintaan direktur aneh itu.
*Tambahan ganti rugi kalo menolak. Aku hanya ingin pakaianku saja karena itu mahal*
Pesan itu seolah tahu kalau Lalis akan menolaknya.
Great yang sudah duduk di cafe mengendus frustasi. "Ini benar-benar konyol. Kenapa aku harus semurahan ini?" gumamnya.
"Saya segera ke sana."
***
Lalis duduk dengan gugup. Beberapa detik Lalis langsung memberikan paperbag yang berisikan pakaian formal milik Great. Great menerimanya tanpa terimakasih.
Tapi apa hidangan ini?
"Kau harus makan karena aku sudah memesan couple food."
Lalis membelalak sejenak. "Maksudnya apa dengan couple food?" batin Lalis.
"Jika tidak suka. Kau harus suka!"
"Tidak suka gimana, justru ini makanan kesukaanku," batin Lalis.
Hidangan steak dengan nasi serta sayuran rebus. Meskipun aneh tapi Lalis menyukainya.
"Kenapa anda sendiri tidak makan, Pak?"
Great langsung membelah steak lalu memakannya perlahan. "Siapa yang tidak makan?"
Benar-benar geleng kepala Lalis. Great bertambah aneh ketika bersama Lalis.
Lalis perlahan memakan steak itu. "Ini kenapa sangat enak sekali," batin Lalis.
Sudah beberapa kali Lalis makan steak tapi kali ini steak yang terbaik menurutnya. Rasanya beda dari biasanya.
"Kau tidak pernah makan enak, ya?" ujar Great isengin Lalis.
Lalis mendongak. Baru sadar betapa malunya dia di depan atasannya. Apalagi seorang direktur. Lalis perlahan bersikap formal kembali.
"Kenapa sampai lupa bahwa aku sedang makan dengan siapa," batin Lalis.
Makanan ini menghipnotis dirinya samapi tidak tahu sopan santun di hadapan direktur.
Great tersenyum puas setelah isengin Lalis.
"Malam ini kantor adakan acara minum-minum."
"Itu- saya tidak bisa datang, Pak."
Great mengernyitkan alisnya. "Kenapa?"
Lalis sudah janji dengan Kent untuk menghabiskan waktu bersama nanti malam karena besok Kent akan terbang ke Eropa dengan urusan bisnis. Karena perusahaannya bukan perusahaan kecil yang hanya memiliki cabang di dalam negri.
"Ada hal penting. Jadi saya benar tidak akan ikut."
Great kesal.
"Pak, saya sudah selesai. Saya akan masuk sekarang."
Tidak ada jawaban dari Great kecuali tatapan menyebalkannya. Merasa Great sudah paham, Lalis pergi dari hadapannya.
Great mengangkat HP, menelpon Joy skertarisnya.
"Ada tugas yang harus di selesaikan tapi bukan urusan kantor."
***
Lalis menatap dirinya di cermin sambil merapikan uraian rambut hitamnya, dengan sedikit jepit rambut di sisi kanan rambut Lalis.
"Dress ini Kent yang pilihkan dan aku juga menyukainya," ucapnya.
Lalis terus membolak-balik tubuhnya memastikan tidak ada yang kurang untuk malam ini. Kencan malam ini harus spesial karena malam ini terakhir mereka bersama.
Lalis melihat jam di dinding. Menunjukkan pukul 8 malam, lalu ke luar kamar menghampiri Kent yang sudah menunggunya di sofa ruang tamu.
"Sudah kubilang itu sangat cocok untukmu," ujar Kent yang terkagum melihat kecantikan Lalis.
"Jangan terlalu memujiku," jawab Lalis.
"Baru sadar bahwa kau sangat cocok memakai warna apapun di pakaianmu."
Lalis terhenti di hadapan Kent.
"Kamu sangat manis malam ini, Sayang." Lalis mengelus pipi Kent sambil membungkuk sedikit.
Kent berdiri lalu mendekap sang kekasihnya yang cantik itu.
Tidak ada ucapan dari Kent dalam pelukan Lalis.
"Apa aku harus kalah lagi dari ayah. Tidak mungkin aku menikahi wanita yang tidak aku cintai," batin Kent.
Kent harap perjodohan yang dilakukan ayahnya bisa ia hentikan bagaimanapun caranya. Ayahnya harus mengorbankan putranya hanya karena haus tahta, kekuasaan dan uang.
"Apa kau akan membenciku jika suatu hari aku tidak bersamamu lagi?" tanya Kent.
Lalis terkejut, ia melepaskan pelukan Kent. "Kau akan meninggalkanku?" tanya Lalis khawatir.
"Aku hanya akan pergi ke Eropa."
"Itu tidak masalah. Asal kau tidak putus denganku."
Kent menatap Lalis penuh kelembutan. Ada hal yang seharusnya ia bicarakan, tapi ini akan menyakiti Lalis. Lebih baik Kent berjuang untuk mencari cara agar perjodohan itu tidak berlangsung.
Kent memeluk Lalis lagi.
"Maaf, bisakah kita memesan hotel. Aku lelah," pinta Kent.
Ayah Kent. Jey Gwart. Pria misterius. Sudah 30 tahun ia berkarir tapi sampai sekarang ia menyimpan rahasia dibalik kesuksesannya. Ia dikenal sebagai sosok sempurna, mau sebagai bos, ayah atau suami dari keluarganya. Sosok berwibawa yang dikenal publik.
"Kapan Kent melamar Vinsca cucuku? dia tidak suka menunggu hal yang diinginkannya. Secepatnya kami menginginkan Kent berada di kediamanku."
Pria paruh baya yang menjadi tamu penting ayah Kent adalah pendukung utama bisnis ayah Kent. Jey Gwart tidak ingin kehilangan berlian yang sudah bertahun-tahun ia pertahankan meskipun Jey kesulitan mendapati perintah.
"Ada masalah kecil yang menghalangi Kent. Kami akan segera menyingkirkannya. Asalkan tuan percaya pada saya, saya akan menjamin semuanya."
"Jika kau tidak mengecewakanku, aku juga tidak akan mengecewakanmu. Juga seluruh keluarga Gwart." Pria paruh baya itu berdiri, "ingat bisnismu, Jey. Semua milikmu sekarang sepenuhnya berada di bawah kendaliku." Lalu pergi meninggalkan kediaman Gwart.
Seperginya pria itu, Jey marah besar sampai membanting gelas mahal yang terukir cantik miliknya. Mana bisa miliknya yang ia pertahankan harus hilang begitu saja. Apalagi selama bertahun-tahun ia berjuang agar sukses sampai dikenal publik sampai sekarang.
"Apa yang harus kulakukan?" gusarnya.
Asisten pribadinya datang. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Dimana Kent?" tanya Jey.
"Tuan muda sedang keluar. Dia bilang ada hal pribadi yang harus ia selesaikan."
Jey tahu jika Kent berhubungan dengan Lalis. Sejak Lalis bekerja di kantornya, ia tidak melupakan wajah itu, wajah emosi serta kekesalan Lalis pada perusahaan JT Nether. Beruntung Lalis bisa aman karena Kent. Semua karyawan yang pernah bekerja di JT Nether tidak akan bisa bertahan di negri ini selama ia masih berdiam disini.
"Telpon skertaris Kent. Tanyakan apakah ada jadwal penting Kent untuk malam ini!"
"Baik, Tuan."
Setelah beberapa menit asisten Jey berkata, "Skertaris tuan muda mengatakan tuan muda membatalkan pertemuan dari manajer cabang jepang yang sudah dijanjikannya. Setelah itu pergi ke luar karena ada hal penting lainnya."
Jey menggertakkan giginya. Ia merasa tertekan sehingga harus marah besar seperti ini. Kent sangat sulit diatur olehnya. Jika bukan karena kecocokkannya sebagai direktur, Jey tidak akan menpertahankan Kent sebagai direktur.
"Panggil beberapa orang untuk keluar malam ini."
"Baik, Tuan."
Suasana malam yang dingin tapi dihangatkan oleh sentuhan-sentuhan tangan yang hangat. Kecupan dan gerakan lembut membuat mereka berdua menginginkan lebih dari ini. Bisakah mereka menutupi tubuhnya hanya dengan selimut saja? jangan menyisakan pakaian di tubuh kalian!
"Kamu sangat mempesona malam ini, aku jadi tidak ingin berhenti sampai pagi."
"Ss,ah."
Kent sangat menyukai tubuh Lalis. Kent tidak ingin melewatkan apapun dari tubuh Lalis. Semha tubuh Lalis adalah miliknya seorang.
"Aku senang karena kau mengizinkanku," ucap Kent lagi.
"Kent."
Kent berhenti lalu menatap Lalis penuh cinta.
"Kau tidak akan meninggalkanku, kan? aku sangat mencintaimu," ujsr Lalis.
"Aku tidak akan meninggalkanmu bahkan apapun yang menghalanginya aku akan menerobos agar bisa bersamamu," jawab Kent.
Lalis tersenyum. Lalu mempersatukan bibir mereka kembali. Lalis terus mendesah saat tangan Kent menjelajahi tubuhnya. Ini kali pertama bagi Lalis jadi sulit untuk bisa menahannya.
Duk, duk, duk, duk, duk.
Mereka terhenti. Siapa yang mengganggu kebersamaan mereka dan ini juga sudah malam.
"Apa kau mengundang seseorang?" tanya Lalis.
"Tidak, kok."
Duk, duk, duk, duk.
Itu semakin kencang. Kent mengernyit kesal lalu turun dari tubuh Lalis. "Tidak sopan sekali," umpatnya.
"Lalis tunggu di sini, pakai dulu bajumu," ucapnya sambil memakai kaos yang ada di sekitarnya.
Kent berjalan membukakkan pintu. Ia terkejut saat melihat siapa yang datang.
"Kenapa ayah tahu aku ada di sini?" tanya Kent.
Jey Gwart tidak akan tinggal diam ketika tahu anaknya pergi dengan Lalis. Apalagi sampai membatalkan pertemuan penting. Kent waspada karena Ayahnya membawa dua anak buah andalannya. Jey masuk tanpa ijin Kent.
Dan benar, tebakan Jey tepat sekali bahwa Kent sedang bersama Lalis. Wanita yang ia benci karena merebut Kent darinya.
Lalis kasian sampai harus terkejut seperti itu.
"Ayah, keluarlah. Kau tidak boleh mengganggu,"
"Mengganggu apa?" tegas Jey. "Bawa Kent ke kediaman, dan buang wanita ini."
Kent maupun Lalis membelalakkan matanya. Kekhawatiran Kent sangat besar sehingga tidak sengaja memberikan kata-kata kasar kepada ayahnya. Mau bertindak kasar pun tidak bisa karena anak buah andalan ini tidak bisa di kalahkan meskipun menggunakan semaksimal mungkin tenaganya.
"Ayah, jangan lakukan apapun terhadap Lalis. Jangan sakiti dia."
Terlambat. Meskipun Lalis menghindar ataupun memberontak, anak buah Jey bisa dengan mudah melumpuhkan kesadaran Lalis dengan sekali pukulan.
"Tidak. Lalis," teriak Jey.
"Buat dia pingsan agar aku tidak menghabiskan energiku untuk memberikannya pelajaran," titah Jey.
Dan pada akhirnya mereka berdua dalam bahaya. Ingat, ini bukan di hotel jadi tidak akan ada yang menolong mereka berdua meskipun harus berteriak minta tolong.
Ini villa Kent yang terletak di tempat terpencil, sedikit jauh dari kota.
"Merepotkan ."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!