*Perang Selat Gigit (PSG)*
Teng teng teng...!
Suara banyak besi dipukul nyaring berulang-ulang dengan nada yang sama, terdengar seolah-olah memenuhi permukaan laut luas tersebut. Suara itu berasal dari sekelompok armada kapal perang berwarna kuning-kuning hitam, identik dengan corak warna yang dipakai oleh lebah di dunia animasi.
Sebanyak sepuluh kapal perang berlayar dengan formasi mata anak panah. Setiap kapal berisi prajurit-prajurit Angkatan Laut berseragam kuning-kuning. Setiap kapal berbendera warna merah yang memiliki gambar gunung warna kuning. Sebenarnya itu bukan gambar gunung, tapi gambar gumpalan awan yang berbentuk seperti puncak gunung jika dilihat dari jauh.
Background warna merah menunjukkan bahwa kesepuluh kapal perang Negeri Pulau Kabut itu dalam posisi berperang. Jika tidak, mereka akan menaikkan bendera dengan gambar sama tapi background warna putih.
Teng teng teng...!
Suara dentingan yang ramai itu terus berkelanjutan.
Sementara para laksamana muda, kapten kapal dan para prajurit dalam kondisi bersiaga. Pandangan mereka tidak henti-hentinya memandang ke sekeliling, seolah-olah mereka sedang mewaspadai atau menunggu sesuatu.
“Ada yang datang dari selataaan!” teriak seorang prajurit yang berposisi di pos pengawas di atas tiang utama.
Teteng teteng teteng...!
Tiba-tiba kapal yang memberi peringatan itu mengubah irama pukulan besinya. Perubahan itu segera diikuti oleh kapal lain, sehingga irama dentingan kembali seragam.
Irama itu adalah bahasa sandi. Terbukti, semua prajurit memandang ke arah selatan. Yang paling tegang adalah kapal yang posisinya paling selatan.
Sebenarnya, hampir semua prajurit dalam armada itu tidak tahu, apa yang akan datang dari selatan dan siapa yang sedang mereka waspadai. Mereka tidak melihat ada kapal perang asing yang datang dari arah selatan.
“Jampari! Apa yang kau lihat?!” tanya Kapten Keong Gelap kepada prajurit di atas pos atas tiang utama kapal, dekat dengan bendera besar yang berkibar kencang.
Keong Gelap adalah seorang lelaki kurus berkulit hitam, tapi berotot alot.
“Titik merah!” teriak prajurit yang bernama Jampari.
“Mana?!” teriak Kapten Keong Gelap yang tidak melihat apa-apa setelah beberapa detik memerhatikan arah selatan, baik di ujung ombak atau pun di angkasa kosong tanpa burung yang terbang.
“Tidak tahu. Hilang!” jawab Jampari yang juga kehilangan objek yang dilihatnya tadi di arah selatan.
Akhirnya, hanya ketegangan yang tercipta. Hingga seratus tarikan napas, tidak ada sesuatu yang muncul dengan jelas.
Wuss!
Cprak! Cprak! Cprak!
Sungguh mengejutkan para manusia di atas sepuluh kapal perang itu, ketika tahu-tahu sepintas bayangan merah melesat terbang di atas dari arah belakang mereka, yaitu dari arah utara, kebalikan dari arah selatan yang sedang mereka waspadai.
Lintasan bayangan merah seperti burung besar itu, tidak bisa terlihat jelas ketika mereka melihatnya melintas di atas mereka. Namun, ketika bayangan merah itu sudah terbang menjauh, barulah mereka bisa memastikan makhluk apa itu.
Bayangan merah yang terbang seperti burung besar itu adalah seorang lelaki bertubuh kecil seperti bocil. Sosok berpakaian serba merah itu terbang dengan duduk di sebatang kayu bersayap yang juga berwarna merah.
Ternyata dengan lewatnya orang itu, ada tiga bola air yang melesat jatuh dan mengenai tiga titik salah satu kapal. tidak ada hal luar biasa yang terjadi, selain bagian kapal yang basah.
Kapten kapal yang bernama Segaris Ayu hanya bisa menarik napas lemas melihat kapalnya dijatuhi tiga bola air yang kemudian pecah.
Kapten Segaris Ayu adalah seorang wanita berkulit hitam karena selalu berada di bawah terik matahari. Wanita berdada menantang itu memiliki luka codet pada wajahnya dan bersenjata dua jenis pedang berbeda.
“Kapal Mata Satu gugur! Turunkan bendera! Ganti bendera putih!” teriak Segaris Ayu.
Maka para prajurit bawahannya segera melaksanakan perintah. Dengan turunnya bendera Negeri Pulau Kabut dan berganti bendera putih polos, itu tandanya Kapal Mata Satu sudah berstatus tidak dalam perang.
Melintasnya sosok berpakaian merah itu bahkan tidak sempat untuk dibidik tembak, baik dengan panah atau tombak.
“Pasukan panah bersiap! Baca arah angin!” teriak Kapten Keong Gelap saat orang terbang itu berbelok di arah selatan dan bergerak terbang siap melintas di atas mereka.
Ketika sosok itu berbalik dan terbang lebih mendekat, maka terlihat jelas bahwa dia adalah seorang anak kecil berparas tampan. Dia menunggangi sebatang tongkat bersayap warna merah. Ada patung kepala kerbau kecil berwarna biru yang menjadi kepala tongkat.
Sosok anak lelaki tampan itu tidak lain adalah Raja Muda Arda Handara, Putra Mahkota Kerajaan Sanggana Kecil yang kini menjadi Raja Muda Kerajaan Kabut Kuning di Negeri Pulau Kabut. Dia saat ini sedang menaiki Tongkat Kerbau Merah yang bisa terbang.
Pada kepalanya ada selingkaran ring emas yang menjadi mahkotanya sebagai seorang raja. Pada bagian dahi mahkota itu ada sebulat batu mulia berwarna merah bening, yang akan memantulkan sinar kecil jika tersorot oleh matahari.
“Hahaha!” tawa Arda Handara yang terlihat begitu menikmati aksi terbangnya.
Wersss!
Tiba-tiba Arda Handara melesat merendah turun ke air. Arda Handara hanya menyambar permukaan air laut lalu naik lagi.
Entah bagaimana rumus fisikanya, ada lima bola air yang menggantung di bagian bawah tongkat terbang itu.
Arda Handara kian mendekati kapal perang paling selatan yang dikapteni oleh Keong Gelap. Di atas kapal itu sudah bersiap pasukan panah, bahkan ada prajurit panah siap di pos atas tiang.
Arda Handara semakin dekat dan....
“Panah!” teriak Kapten Keong Gelap.
Set set set...!
Sebanyak dua puluh anak panah dilepaskan ke udara ke arah selatan, menargetkan Arda Handara.
Set!
Satu panah jauh yang ada di atas anjungan juga ditembakkan ke selatan, menargetkan Arda Handara. Panah jauh melesatkan anak panah yang lebih tebal dan panjang dibandingkan anak panah standar.
“Hahaha! Belele!” tawa Arda Handara karena melihat puluhan anak panah biasa melesat melengkung karena terdorong oleh angin dari samping.
Namun, Arda Handara agak terkejut oleh panah jauh yang lebih cepat dan teguh dalam melesat. Dia cepat meliuk sedikit, membuat panah besar itu lewat di sisinya tanpa mau menetap.
Cprak cprak cprak!
Kegagalan serangan panah pasukan Keong Gelap membuat Arda Handara bebas melintas di atas kapal itu, sambil menjatuhkan semua bola air yang menggantung di tongkat terbang.
Lima bola air jatuh dan mendarat di lima titik bagian kapal, bahkan ada prajurit yang terjungkal karena bola air mengenai wajahnya. Namun, pengeboman lima bola air itu tidak memberi efek buruk apa-apa bagi kapal.
“Kapal Mata Tiga guguuur!” teriak Kapten Keong Gelap. “Turunkan bendera perang, naikkan bendera putih!”
Setelah melewati kapal paling pinggir selatan yang bernama Kapal Mata Tiga, Arda Handara siap melewati sembilan kapal perang lainnya, di mana di antaranya Kapal Mata Satu juga telah mengklaim diri gugur.
Set set set...!
Surss!
Dari Kapal Mata Dua yang kapteni oleh Sayup Desah, melesat puluhan anak panah yang meski terbawa angin, tetapi arahnya lebih pas kepada Arda Handara. Bukan hanya puluhan anak panah, Kapten Sayup Desah juga melesat ilmu Bintang Genit, yaitu sinar putih berekor panjang kebiruan sebesar kepala ayam yang melesat dari tinjunya.
Kapten Sayup Desah adalah seorang wanita berusia tiga puluhan yang berkulit lebih hitam dari Segaris Ayu, tapi lebih manis. Namun, dadanya tidak semenantang Segaris Ayu, biasa-biasa saja.
Arda Handara langsung bermanuver dengan terbang berbelok menjauh dan merendah.
Werss!
Sambil menghindari serangan dari Kapal Mata Dua itu, Arda Handara terbang merendah dan kembali membelai permukaan air laut yang berombak. Dan ketika naik kembali, di bawah Tongkat Kerbau Merah telah menggantung lima bola air. (RH)
*Perang Selat Gigit (PSG)*
Genggam Garam, Ketua Bajak Laut Malam, kini menghadap Raja Muda Arda Handara dan Permaisuri Keken, sepasang pengantin baru di bawah umur. Arda Handara masih berusia sebelas tahun dan sang permaisuri berusia empat belas tahun.
Raja Muda dan Permaisuri Keken duduk di singgasana yang megah.
Di sisi kanan duduk Permaisuri Geger Jagad Dewi Ara yang cantik jelita, penuh wibawa dan kharisma dengan ekspresi dinginnya. Dia sebagai ibu dari Raja Muda mendampingi putra dan menantunya yang sudah yatim piatu.
Sementara di sisi kiri dari tahta duduk seorang lelaki separuh baya berpakaian hitam. Lelaki itu adalah tangan kanan Permaisuri Keken yang bernama Seser Kaseser. Dia kini menjabat sebagai Penasihat Raja.
Genggam Garam dalam posisi berlutut tiga tombak di depan Raja Muda yang penampilannya seperti pengantin sunat.
“Hamba bersedia mengemban amanah laksamana tinggi yang Gusti Raja Muda percayakan kepada hamba,” ucap Genggam Garam menjawab tawaran yang diberikan oleh Arda Handara kepadanya.
Tawaran Raja Muda sama saja dengan tawaran dari Permaisuri Geger Jagad, orang paling sakti di Negeri Pulau Kabut.
“Paman!” sebut Arda Handara lantang sambil berdiri dari duduknya. “Mulai saat ini, Paman Genggam Garam adalah Laksamana Tinggi Kerajaan Kabut Kuning yang akan memimpin seluruh armada angkatan laut negeri ini. Paman Seser, berikanlah tanda pangkat laksamana tinggi itu!”
Penasihat Raja lalu pergi mendatangi Garam Sakti dengan membawa sebuah tampah logam berisi selipat kain warna kuning dan sebatang toya kecil berlapis emas.
Maka, dengan diterimanya dua benda tersebut, resmilah Genggam Garam menjabat sebagai Laksamana Tinggi Kerajaan Kabut Kuning.
Laksamana Tinggi membawahi para laksamana muda.
Setelah Arda Handara menikahi Putri Keken dan diangkat sebagai raja muda, di bawah arahan sang ibu, Arda Handara segera membenahi dan memperkuat kemiliteran Kerajaan Kabut Kuning, terutama angkatan lautnya.
Saat ini, Kerajaan Kabut Kuning hanya memiliki tiga laksamana muda yang masing-masing memimpin satu armada perang. Satu armada hanya terdiri dari lima kapal perang. Berarti, Negeri Pulau Kabut hanya memiliki lima belas kapal perang, jumlah yang sangat sedikit bagi sebuah kerajaan pulau yang semua perbatasannya adalah laut.
Bajak Laut Malam adalah kelompok bajak laut yang ditakuti dan disegani di perairan barat Laut Selatan. Sebelumnya, Genggam Garam sepakat berkoalisi dengan Permaisuri Geger Jagad dalam membebaskan Negeri Pulau Kabut dari penjajahan Kerajaan Puncak Samudera.
Kerajaan Puncak Samudera sendiri berbasis di Negeri Karang Hijau.
Pasukan Kerajaan Puncak Samudera mereka kalahkan dan Negeri Pulau Kabut bebas dari penjajah. Ternyata, ketika Arda Handara naik sebagai Raja Muda, Genggam Garam justru ditawari posisi militer yang tinggi.
“Silakan kau pimpin angkatan laut dengan gaya bajak laut kalian,” kata Dewi Ara saat membujuk lelaki separuh baya itu agar mau menerima tawaran jabatan Laksamana Tinggi.
Maka, setelah memegang Angkatan Laut Kerajaan Kabut Kuning, Genggam Garam mengangkat sepuluh anak buahnya sebagai dua laksamana muda dan delapan kapten. Sementara sisa anak buahnya tetap berada di Kapal Bintang Emas, kapal andalan Bajak Laut Malam. Adapun satu armada lainnya dipimpin oleh seorang laksamana muda dari pasukan asli Kerajaan Kabut Kuning.
Genggam Garam mengangkat tangan kanannya yang bernama Tangan Kanan dan tangan kirinya yang bernama Raga Ombak sebagai laksamana muda.
Tangan Kanan memimpin armadanya yang bernama Armada Mata Dewa dengan empat orang kapten. Kapal yang dipimpin oleh Tangan Kanan sendiri bernama Kapal Mata Dewa. Kapal Mata Satu dikapteni oleh Segaris Ayu. Kapal Mata Dua dikapteni oleh Sayup Desah. Kapal Mata Tiga dikapteni oleh Keong Gelap. Kapal Mata Empat dikapteni oleh Arik Bengal.
Raga Ombak memimpin Armada Ombak Perjaka. Kapal yang dipimpin oleh Raga Ombak sendiri bernama Kapal Ombak Perjaka. Kapal Perjaka Tulen dikapteni oleh Bengkak Ubur. Kapal Perjaka Ganda dikapteni oleh Perkosa Ombak. Kapal Perjaka Sejati dikapteni oleh Rawa Setik. Dan Kapal Perjaka Tua dikapteni oleh Barong.
Itulah sepuluh anak buah utama Genggam Garam yang alih status dari anggota bajak laut menjadi perwira Angkatan Laut Kerajaan Kabut Kuning.
Dan kini, kesepuluh orang itu memimpin kapal mereka masing-masing dalam latihan perang melawan Raja Muda Arda Handara seorang diri.
“Kapal Ombak Perjaka guguuur!” teriak Raga Ombak, setelah kapalnya mendapat sejumlah bom air dari udara yang dijatuhkan oleh Raja Muda Arda Handara yang terbang seperti seekor capung tempur.
Selevel laksamana muda saja tidak bisa mengenai Raja Muda di udara. Padahal, Raga Ombak sendiri yang menembak Raja Muda dengan panah jauh. Raga Ombak memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandinkan para kaptennya.
Arda Handara sudah mengebom sembilan kapal perang dengan bom air. Karena latihan, jadi Arda Handara menggunakan bom air. Namun jika perang sungguhan, pastinya dia sudah punya senjata bom sendiri. Sayang jika hanya latihan harus merusak kapal perang sendiri.
Tinggal Kapal Mata Dewa yang belum gugur dan masih mengibarkan bendera perang di tiang kapalnya.
“Bersiaplah, para prajuritku! Jangan lengah!” teriak Laksamana Muda Tangan Kanan.
“Baik, Gusti Juragan!” sahut para prajurit berseragam kuning-kuning itu.
Tangan Kanan memang paling suka disebut “Gusti Juragan”, meski dia bukan seorang juragan. Karena itulah, dia mewajibkan pasukan di bawah perintahnya langsung untuk menyebutnya “Gusti Juragan”.
Waktu masih sebagai anggota bajak laut, dia tidak berani disebut Gusti Juragan di depan Genggam Garam, karena akan dihukum. Namun di Angkatan Laut sekarang, dia bisa bebas melekatkan sebutan itu pada dirinya, meski di depan Genggam Garam.
Ketika Arda Handara datang mendekati kapal dengan tongkat terbangnya, Tangan Kanan segera menyiapkan ilmu pamungkasnya yang bernama Sepuluh Arwah Neraka.
“Jangan sungkan-sungkan menyerang Gusti Raja dengan kesaktian kalian karena Gusti Raja dilindungi perisai sakti. Jika pun Gusti Raja terkena, dia tidak akan apa-apa,” kata Eyang Hagara, paman sekaligus guru Raja Muda, tetapi Arda Handara menyebutnya “Eyang” karena fisiknya jauh sangat tua dibandingkan fisik adiknya yang awet muda, yaitu Permaisuri Geger Jagad.
Perkataan Eyang Hagara kepada kedua laksamana muda itu, menjadi alasan bagi Tangan Kanan tidak sungkan-sungkan untuk menggunakan kesaktiannya dalam upaya mengalahkan anak kecil junjungannya.
“Kalian yang terakhir! Giliran untuk tenggelam!” teriak Arda Handara yang melesat seperti jet tempur mendatangi Kapal Mata Dewa.
“Tembaaak!” teriak Tangan Kanan kepada pasukannya.
Set set set...!
Puluhan anak panah dilepaskan mengudara ke arah kedatangan raja mereka. Ditambah satu panah jauh.
Namun, seperti sebelum-sebelumnya, mudah bagi Arda Handara mengelak, termasuk menghindari panah jauh yang lebih besar dan lebih cepat lesatannya.
Serss!
Tangan Kanan menghentakkan lengan kanannya yang sudah bersinar hijau.
Dari hentakan itu melesat sepuluh sinar hijau kecil berekor yang melesat seperti sepuluh rudal mini.
“Bebek lele!” pekik Arda Handara terkejut melihat sifat serang sepuluh sinar hijau.
Pasalnya, ketika Arda Handara menghindar, kesepuluh sinar dari ilmu Sepuluh Arwah Neraka itu berbelok mengejar seperti peluru kendali.
Untuk lolos dari kejaran sepuluh sinar hijau, Arda Handara tiba-tiba berbelok menjauhi Kapal Mata Dewa dan kemudian menukik tajam ke bawah.
Jbur!
Cus cus cus...!
Terkejut para kapten kapal dan prajurit menyaksikan raja kecil mereka masuk ke dalam laut. Sementara sepuluh sinar hijau milik Tangan Kanan meledak-ledak kecil saat menabrak permukaan air.
“Gusti Juragan, Gusti Raja masuk ke laut. Kalau mati bagaimana? Kita bisa dipenggal!” teriak seorang prajurit kepada Tangan Kanan.
“Mana aku tahu. Bukan aku yang menyuruhnya masuk ke laut!” kata Tangan Kanan setengah panik juga.
Mereka semua memandang ke area air tempat Arda Handara masuk dan tidak keluar lagi.
Pcrak! Bruss!
Tiba-tiba terdengar suara air dari arah belakang mereka. Sontak penumpang Kapal Mata Dewa menengok serentak. Tahu-tahu mereka sudah melihat Arda Handara telah terbang naik mengudara dalam kondisi kuyup.
Namun, tahu-tahu air sebola besar telah jatuh ke tengah-tengah dak kapal dan pecah saat menghantam. Pecahan airnya yang ke segala arah membuat sejumlah prajurit terhempas jatuh, bahkan ada dua prajurit yang jatuh ke laut.
“Hahaha! Aku menaaang!” teriak Arda Handara sambil terbang berputar-putar di angkasa.
“Jaya Raja Muda!” teriak Tangan Kanan kencang.
“Jaya Raja Muda!” teriak semua prajurit, tanpa lupa menolong dua prajurit yang jatuh ke laut.
Mendengar Kapal Mata Dewa berteriak, kapal perang yang lain juga ikut berteriak memuji.
“Jaya Raja Muda! Jaya Raja Muda!”
“Hahaha!” tawa senang Arda Handara sambil melesat pergi menjauh, terbang ke arah Pulau Kabut untuk pulang.
“Putar kapal! Kita pulang ke Negeri Pulau Kabut!” teriak perintah Tangan Kanan kepada pasukannya.
“Putar kapal!” teriak Laksamana Muda Raga Ombak dan para kapten pula.
Armada kapal perang itupun memutar haluan dan berbalik arah menuju pulang. (RH)
*Perang Selat Gigit (PSG)*
Raja Muda Arda Handara terus melesat terbang menuju ke sebuah area berkabut di atas laut, yang jika dilihat dari jauh, kabut itu tidak terlihat wujudnya. Namun, ketika kian didekati, kabut tebal akan terlihat luas, seperti menutupi sebuah alam.
Ketika Arda Handara terus terbang dengan Tongkat Kerbau Merah menerobos tebalnya kabut, maka kemudian terlihat ada dunia yang cukup terang di baliknya, yaitu sebuah pulau besar yang juga berkabut, tapi masih bisa melihat keindahan pulau. Di atas tengah pulau bahkan ada kabut tebal berwarna kuning.
Arda Handara terus terbang mendekati pulau, tepatnya pergi terbang mendekati sebuah pelabuhan yang sedang dalam proses pembangunan benteng. Itu adalah Pelabuhan Pintu Kabut. Ada sejumlah kapal perang yang bersandar di pelabuhan itu.
Setelah Permaisuri Dewi Ara dan pasukannya berhasil mengalahkan orang-orang Kerajaan Puncak Samudera beberapa pekan lalu, pelabuhan di sisi utara pulau itu hanya dikhususkan sebagai pelabuhan militer. Sementara Pelabuhan Kepeng yang ada di pesisir selatan menjadi pelabuhan komersial, tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang dan kapal-kapal tamu. Jika ada tamu yang datang dengan kapal perang, tetap harus berlabuh di Pelabuhan Kepeng. Jadi, Pelabuhan Pintu Kabut khusus untuk kapal-kapal militer Kerajaan Kabut Kuning.
Ketika Arda Handara kian mendekati pelabuhan yang sibuk dengan pekerjaan membangun benteng, dia melihat sang ibu yang cantik jelita sedang berdiri di dermaga seolah-olah memang menunggunya pulang dari latihan perang.
Permaisuri Dewi Ara tidak seorang diri, tetapi di temani oleh seorang kakek dan dua anak perempuan.
Si kakek berjubah putih dan bertongkat kayu berwarna merah memiliki wajah yang aneh dan menyeramkan, yakni tidak berhidung. Hidungnya dalam bentuk tengkorak. Rambutnya digelung rapi dengan ikatan pita putih. Dialah Eyang Hagara, guru sekaligus paman Arda Handara, tapi dipanggil “Eyang”.
Adapun dua anak perempuan yang berdiri di sisi kiri Permaisuri Dewi Ara, mereka berpenampilan berbeda dengan tingkat kecantikan yang berbeda.
Anak perempuan yang mengenakan pakaian bagus berwarna kuning dan mengenakan banyak perhiasan emas, perak dan permata, berparas cantik dengan make-up yang sempurna. Ujung belakang pakaiannya cukup panjang dan akan terseret di tanah jika dia berjalan. Dia mengenakan mahkota emas. Yang khas dari wajahnya adalah model bibirnya yang agak mengerucut, bukan karena giginya tonggos, tapi terpengaruh dari model dagunya yang pendek. Dialah Permaisuri Keken, istri Arda Handara, tapi belum boleh tidur bersama hingga usia Raja Muda mencapai dewasa.
Anak perempuan satunya berwajah cantik nan indah. Dia juga berpakaian warna kuning cerah. Kulit wajahnya yang putih bersih seolah menandakan bahwa dia adalah anak seorang kaya atau bangsawan. Rambutnya yang tidak terlalu panjang dikuncir tiga dengan pita kecil warna merah muda. Dua kunciran di kanan dan kiri kepala, satu di puncak kepala. Model rambut itu membuatnya selain terlihat cantik, juga terlihat lucu. Hidungnya yang mungil mancung tanpa lendir. Namun, dia tidak terlihat mewah oleh perhiasan seperti sang permaisuri kecil. Usianya tiga belas tahun, lebih muda satu tahun dari Permaisuri Keken. Dia bernama Mimi Mama, mantan Pembunuh Kedua dari Sepuluh Pembunuh Kepeng Emas. Sebenarnya dia adalah putri dari Ratu Bunga Petir yang berkuasa di Pulau Tujuh Selir. Dia bergelar Putri Cahaya Bulan. Meski fisiknya kecil, tetapi kesaktiannya jangan ditanya.
Mimi Mama sebenarnya tidak memiliki hubungan kerabat dengan Permaisuri Dewi Ara atau dengan Permaisuri Keken. Pembunuh berdarah dingin itu hanya suka ikut dengan Permaisuri Dewi Ara yang sakti mandraguna. Dan Permaisuri Dewi Ara pun membiarkannya ikut yang kemudian dia juga menanam jasa saat perang pembebasan Negeri Pulau Kabut. Saat ini dia tidak memiliki status khusus dalam pemerintahan baru Kerajaan Kabut Kuning.
Sementara di belakang mereka berempat ada para pengawal dan dayang-dayang yang berdiri berbaris.
Suara ombak dan suara kerja para pekerja menjadi musik latar belakang pada senja itu.
Raja Muda Arda Handara datang dan mendarat seperti seekor burung yang mendarat halus di dermaga, tepatnya di depan ibunya, pamannya, istrinya dan temannya.
“Hahaha! Aku menang, Ibunda!” teriak Arda Handara girang, membuat Eyang Hagara dan Permaisuri Keken tersenyum lebar.
Sementara Permaisuri Dewi Ara, seperti biasa dia mahal senyum, meski kepada putra satu-satunya. Adapun Mimi Mama hanya memandang dengan cibiran bibir.
“Ibunda sudah tahu,” kata Dewi Ara.
“Bagaimana Ibunda bisa tahu?” tanya Arda Handara.
“Ilmu perisaimu tidak tersentuh oleh serangan,” jawan sang ibunda.
Dalam latihan perang barusan, tubuh Arda Handara memang dilindungi oleh perisai gaib yang tidak terlihat. Itu bertujuan agar sang raja muda tidak menderita cedera jika ada serangan yang mengenai. Ilmu perisai itu milik Permaisuri Dewi Ara. Jadi, dia akan tahu jika perisainya tidak tersentuh oleh serangan.
Melihat istrinya tersenyum gembira mendengar kabar kemenangannya, Arda Handara lalu berjalan tergesa sambil merentangkan kedua tangannya bermaksud memeluk Permaisuri Keken.
“Permaisuriku!” sebut Arda Handara dengan senyum lebarnya.
“Jangan coba-coba memeluk Permaisuri, Arda,” kata Dewi Ara sambil mencengkeram belakang leher baju putranya dan menariknya ke belakang, sehingga gagallah tercipta pelukan suami istri bocil itu.
“Hihihi!” tawa Mimi Mama melihat itu, di saat Permaisuri Keken jadi terbeliak diam.
Ketika cekalan ibunya dilepas, Arda Handara tiba-tiba berlari kecil kepada Mimi Mama.
Mimi Mama yang sedang menertawai raja dan permaisuri jadi terkejut saat Arda Handara tahu-tahu memeluknya.
“Gusti Raja Arda, lepaskan! Atau aku akan melemparkanmu ke laut, tidak peduli kau adalah raja!” teriak Mimi Mama gusar di dalam pelukan Arda Handara.
Sebenarnya dia bisa langsung menghajar Arda Handara. Namun, jika dia melakukannya, itu sama saja menghajar semua penghuni Negeri Pulau Kabut, karena Arda adalah rajanya.
“Hahaha!” tawa Arda Handara sambil melepaskan pelukannya kepada Mimi Mama yang memang memiliki kecantikan jauh di atas Permaisuri Keken.
Istri muda itu hanya merengut melihat tindakan suaminya yang memeluk wanita lain di depan matanya.
“Kalau aku memelukmu, aku tidak punya larangan. Kalau aku memeluk Ibunda, sudah keseringan selama sebelas tahun. Hahaha!” kilah Arda Handara enteng.
“Tapi itu tindakan tidak patut, Arda. Apalagi kau seorang raja yang disaksikan oleh rakyatmu. Yang lebih buruk lagi, kau memeluk wanita lain di depan istrimu. Itu akan membuatnya sakit hati dan cemburu,” kata Dewi Ara menasihati.
“Tapi, Ibunda. Aku memeluk Mimi Mama bukan untuk mengajaknya menikah. Aku memeluknya hanya karena senang dan tidak ada aturan yang melarangku,” kilah Arda Handara.
“Jadi kau mau dibuatkan banyak larangan?” tanya sang ibu.
“Tidak, Ibunda,” jawab Arda Handara patuh.
“Takdirmu menjadi raja di usia muda. Jadi, teruslah berlatih dan belajar. Ingat, nyawa rakyat negeri ini ada di tanganmu,” kata Dewi Ara.
“Iya, Ibunda,” ucap Arda Handara.
Dia lalu bergeser ke depan permaisurinya.
“Maafkan aku, Permaisuriku,” ucap Arda Handara sembari menunduk merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Rajaku. Seharusnya aku tidak boleh cemburu di masa-masa kecil seperti ini,” ucap Permaisuri Keken lalu tersenyum lembut.
Arda Handara kemudian tersenyum lebar.
“Nanti malam, setelah latihan dengan Eyang, aku janji, kita main uyut-uyut,” janji Arda Handara.
Sembari tersenyum lebar, Permaisuri Keken mengangguk, menunjukkan bahwa dia senang.
“Gusti Raja!” panggil Eyang Hagara.
Arda Handara pun beralih memandang kepada gurunya.
“Dengan mengalahkan Armada Mata Dewa dan Armada Ombak Perjaka, menunjukkan bahwa perkembangan kesaktian Gusti Raja Muda sangat baik. Malam ini kita akan mematangkan ilmu Bola Mata Pemarah,” kata Eyang Hagara.
“Baik, Eyang,” ucap Arda Handara patuh.
Dari arah belakang muncul seorang prajurit. Kedatangannya segera dihentikan oleh Tikam Ginting, pendekar wanita cantik yang merupakan pengawal pribadi Permaisuri Dewi Ara.
“Ada apa, Prajurit?” tanya Tikam Ginting.
“Ada pesan burung dari teliksandi di Negeri Karang Hijau, Gusti,” jawab prajurit itu sambil mengulurkan telapak tangan kanannya yang membawa segulung kain hitam kecil. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!