Yolan berharap malam ini adalah misi yang terakhir dia lakukan, sepatu botnya sudah setengah tenggelam oleh air rawa di dalam hutan, tangannya nyaris membatu karena cuaca pegunungan di dalam hutan sangat dingin, Yolan yakin tubuhnya sebentar lagi akan menjadi kaku oleh udara. Targetnya berada sekitar 100 meter dari Siska, tangan kanan kepercayaan Yolan.
Siska pun terlihat siaga menunggu perintah dari Yolan untuk menembak target, seorang penghianat The Bloods, yang sedang membawa rekaman dan peta persembunyian gudang senjata Mafia terbesar di Negara tersebut, dia adalah Mario orang yang telah di anggap keluarga oleh El Chapo Guzman atau biasanya di panggil Guzman, Ayah Yolan yang sebagai pimpinan Mafia The Bloods.
Detik demi detik Yolan berjalan dengan pelan sambil memperhatikan dengan teliti, dimana Mario sembunyikan rekaman dan peta tersebut, Yolan bisa saja menembaki jika penghianat tersebut hanya seorang bawahan biasa, tapi seorang Mario, kepercayaan ketua Mafia berhianat berarti dia memiliki keahlian dan keberanian yang besar.
Mario terlihat memasukan peta tersebut di dalam sebuah kotak yang menggunakan sandi angka, kemudian beberapa galian sekitar untuk mengecoh tempat penyembunyian rekaman, tapi Siska dengan teliti mengahafal setiap angka yang di masukkan oleh Mario, dengan kode kedipan Yolan sudah tahu bahwa sudah saatnya di eksekusi,
"Good bye" gumam Yolan dengan memicingkan matanya yang saat itu di tangannya memegang laras AK-99.
Tiba-tiba muncul sosok lelaki yang jauh lebih tinggi dari Mario. Dia menenteng sebuah tas dan menyerahkan dua buah senjata, Mario dan seorang lagi tidak sadar bahwa mereka berdua sudah berada dalam area jebakan, entah apa salah dan dosanya dengan nasib orang yang akan mereka tinggalkan tapi seorang anak ketua Mafia Yolan di larang berpikir apapun selain fakta dia akan membunuh seorang penghianat.
"Dorr....."
"Dorr....."
Dua kali tembakan tepat di kepala Mario dan seorang lainnya, membuat mereka terkapar, "Ahh sayang sekali aku tidak menggunakan sniper kesayanganku". gumam Yolan
......................
Hari-hari Yolan habiskan di Markas The Bloods, hanya untuk sekedar melatih skillnya, Guzman pun seorang pengusaha dan memiliki beberapa perusahaan, walaupun tidak tercatat dalam Negara sebagai Perusahaan yang memiliki pengaruh, tapi Guzman tetap di segani oleh beberapa kalangan pejabat yang sering meminta jasanya untuk bekerja sama dalam dunia bawah tanah.
Sore hari Yolan menyusuri kota dengan menyetir mobil kesayangannya limusin Cadillac yang keren saat itu, menikmati macet dengan melihat orang yang tengah lalu lalang tanpa henti. Yolan berpikir di usianya yang ke 25 tahun itu harusnya dia sudah memikirkan tren warna apa yang sedang wanita usianya gunakan, pewarna bibir apa yang mebuatnya terlihat lebih seksi, mascara apa yang bertahan lama sampai seminggu atau bila perlu sebulan jadi tidak repot lagi memoles banyak bagian wajahnya tiap kali.
Yolan amat jarang berhias untuk dirinya sendiri, acara formal maupun nonformal, atau sekedar makan malam dengan seorang pria, menonton bioskop misalnya atau acara lainnya, Yolan hanya melakukan itu jika sedang melakukan perintah Ayahnya untuk bertukar informasi tentang penjualan senjata atau target yang akan di lenyapkan.
Setelah lelah menyusuri kota, Yolan kembali ke rumah dan seperti biasa dia akan memasuki ruangan kerja Ayahnya dan mereka habiskan untuk bertukar cerita masalah bisnis dan para target selanjutnya,
"Ayah, kenapa sih suka memakai gelas itu?" tanya Yolan dengan setengah menerawang walaupun sebenarnya tidak ingin benar-benar tahu mengapa gelas berbentuk piala itu sering Guzman gunakan, karena menurutnya usia Ayahnya sudah memasuki Usia 'Aneh' dengan sikap yang berubah-ubah, terkadang dingin, terkadang berbelit-belit.
"Karena gelas seperti ini hanya bisa digunakan oleh orang penting saja di Negara ini"
"Oh..." timpal Yolan.
Kegiatan santai dengan percakapan yang tidak jelas, semua itu ciri kegiatan keluarga normal, "and yes we are normal" batin Yolan, pikirnya tanpa dapat menjelaskan kenapa harus ada The Bloods, apa tujuannya, mengapa harus menjadi Mafia.
......................
Markas The Bloods....
Yolan berjalan memasuki ruangan dengan setelan serba hitam, jeans, boots, jaket dan rambut cepolnya tidak lupa sebuah pisau kecil yang bertengger di paha kiri Yolan dan sebuah senjata Rivolver di balik jaketnya, sedang melihat tiga orang lelaki yang ternyata anak buah dari Mafia lainnya sedang di introgasi oleh Siska,
"Bagaimana Sis?"
"Dia masih bungkam".
Yolan hanya memberi tatapan tajaman dan sedikit anggukan kepada Siska membuatnya paham bahwa tiga tahanan tersebut harus di lenyapkan.
"Tidak berguna" gumam Yolan.
Kedatangan Yolan hanya untuk mengecek beberapa berkas laporan pesanan senjata dan beberapa tawanan yang berhianat pada The Bloods, Yolan memang di didik menjadi seorang Mafia dan Business Woman oleh ayahnya. Setelah semua pengecekan selesai, Yolan memutuskan untuk menghabiskan waktu di sebuah cafe yang memberi pemandangan Sejuk dengan menampilkan beberapa live music jazz clasik.
Sesekali kaki Yolan ikut alunan jazz yang berirama, membuat Yoland tidak ingin beranjak dari tempatnya, Black Coffe yang biasanya di pesan oleh beberapa tetua yang datang kali itu di serumput oleh seorang wanita cantik yang telah menjadi langganan cafe jazz.
Pukul 22.00 pm, kota metropolitan masih sangat ramai, Yolan memutuskan untuk kembali, Yolan melempar tas ke dalam mobil kemudian tidak beberapa lama dia menghentikan mobil pengeluaran Eropa tersebut di sebuah toko buku.
Yolan membuka dashboard dan menarik beberapa lembar uang lecet dari dalam tas di dashboard tersebut lalu berjalan.
Tidak kurang dari lima langkah, mobil Cadillac 70-an itu meledak dengan suara dentuman keras. Asap hitam membumbung memanaskan udara yang mulanya sanggup membekukan apa saja. Yolan membelalak selama beberapa detik. Beberapa orang di sekelilingnya yang juga terkejut dan takut mulai mengintip dan keluar, melihat apa yang terjadi.
Yolan mundur beberapa langkah, berusaha menempatkan diri sebagai bagian dari kerumunan orang yang ingin tahu. Beberapa saat Polisi datang, orang-orang semakin banyak, ia berjalan mengikuti arus, melewati Cadillac itu seolah tidak tahu menahu.
Polisi telah mengidentifikasi bekas ledakan mobil dengan beberapa orang lainnya mengintrogasi orang-orang yang berkerumun untuk mencari tahu siapa pemilik mobil tersebut.
Dengan kaca mata hitam dan jaket yang sedikit berukuran besar menyembunyikan kebenaran dia seorang wanita sedikit membantu dari rekaman CCTV, "Sialan, ada yang ingin menakutiku" batin Yolan.
Dia berjalan menjauhi kerumunan sebisa mungkin untuk memberikan informasi kepada Ayahnya tentang apa yang terjadi, tapi tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
Yolan memalingkan diri dan melihat dari arah belakang Yolan semua mata tertuju padanya, tepukan itu berasal dari pria paruh baya yang melihatnya keluar dari mobil Cardillac berwarna orange yang saat itu telah berubah menjadi warna hitam.
Semua mata tertuju pada Yolan, seolah tatapan mereka menghakimi dan berkata "kamu tadi disitu kan? Kamu pasti tahu sesuatu".
Senyum Yolan mengambang ragu-ragu "Well", tidak ada seseorang pun yang mengeluarkan kata-kata, mereka menunggu penjelasan dari Yolan,
"Saya baru keluar dari toko untuk membeli buku ini." Ucap Yolan dengan tangan yang terangkat menunjukkan buku berplastik yang belum di buka, sengaja menunjuk pada bagian label harganya yang kelihatan,
"Tiba-tiba mobil aneh itu meledak, aduh yaa ampun saya dekat sekali dengan mobil itu" jelas Yolan dengan sedikit drama.
"Tapi kau selamat kan Nak? Tidak ada yang cedera?" ucap wanita paruh baya yang tidak jauh dari Yolan
Yolan hanya mengangguk, beberapa lainnya berpendapat bahwa jalanan saat itu memang sudah tidak akan aman, apa lagi maraknya pembunuhan yang di rencakan dan beberapa lainnya sudah mengomentari cerita singkat itu lalu yang lainnya lagi menceritakan kisah yang agak mirip dan mereka saling berkomentar, akhirnya riuh oleh ocehan.
"Thanks God. Ibu-ibu emang paling gampang di alihkan perhatiannya" Batin Yolan.
Yolan kembali menatap layar Hp nya dan berjalan meninggalkan kerumuman, Yolan mengecek beberapa titik lokasi dimana Yolan meletakkan mata-mata untuk mencari informasi tentang ledakan yang terjadi pada mobil kesayangannya tapi tiba-tiba seorang pria bertubuh jangkung menjulang berjalan amat cepat ke arahnya.
Yolan berusaha menepi untuk memberinya jalan namun pria tersebut berjalan cepat ke arah Yolan. Pria tersebut berkacamata dan topi hitam dengan gerakan konstan seperti robot, ia melangkah lurus,
"Dia benar-benar berjalan ke arahku!", gumam Yolan.
Yolan kemudian berlari dan pria tersebut mengejarnya. Jalanan sepi, hanya satu dan dua orang yang sesekali berjalan pada trotoar tersebut tanpa peduli adegan kejar-kejaran yang terjadi di sana. Yolan berlari di sisi lain gedung tapi pria tersebut masih tetap mengejarnya, saat Yolan berbelok pria itupun ikut berbelok ke arah Yolan dan akhirnya Yolan melayangkan satu tendangan di dadanya, tetapi pria itu menangkap pergelangan kaki Yolan lalu tubuh Yolan di banting ke arah kiri.
Ini bukan soal tehnik lagi tapi ini tentang tenaga pria tersebut yang membuat Yolan tidak bisa memberi banyak gerakan.
Brughhh!!
Yolan mengerang karena dia yakin ada salah satu tulang lengannya yang retak. Yolan menggeliat dan berusaha menahan sakit di lengannya, dia beberapa kali mendapat serangan tapi tidak membuatnya mundur sampai pria yang di hadapannya pun ikut tumbang, salah satu senjata rahasia belati kecil Yolan di keluarkan pada saat terakhir, gerakan halus Yolan yang tidak membuat belati tersebut terlihat pada telapak tangan Yolan, memberi banyak luka sayatan dan menusuk jantung pria tersebut, hingga dia terkapar.
......................
Serangan pria tersebut membuat Yolan istrahat beberapa hari di dalam rumahnya, susu yang kini di aduk-aduknya membuat Yolan bosan berada dalam ruangan tersebut, "Aku perlu kegiatan" gumamnya.
Guzman memasuki kamar Yolan dengan tatapan yang tajam kemudian menarik sebuah kursi di hadapan Yolan.
Yolan tahu saat itu Guzman sedang marah besar karena dia hanya diam dan memberi tatapan tajam, bagi Yolan lebih baik Guzman ngomel dari pada diam, Yolan takut ayahnya mendadak terkena serangan jantung atau stroke kalau hanya diam.
"Ayah...."
"Apakah kamu sudah gila?!" suara Guzman dengan penuh geram
"Ada apa Ayah?" tanya Yolan tanpa rasa bersalah.
"Kenapa kau melawannya? Kenapa kau tidak mengirim signal ke markas?"
Yolan tidak menjawab, inilah fase yang di sebut 'Aneh', Yolan di latih keras bela diri dalam segala hal untuk membunuh, keputusan di diskusikan sebelum marah, tapi saat itu terbalik. Ayahnya marah dulu kemudian mulai untuk di diskusikan setelah semuanya terlambat dan sudah tidak penting lagi untuk di diskusikan.
"Mungkin kamu merasa benar tapi nyawamu adalah yang penting, Ayah hanya punya kamu satu-satunya" jelas Guzman dengan menarik nafasnya dalam-dalam.
Guzman menceritakan siapa musuhnya kali ini, dia seorang pengusaha dan lainnya adalah ketua Mafia di wilayah lain, dia ingin menguasai wilayah Guzman dengan menargetkan penerus Guzman, Yolan.
Dia punya seorang istri dan tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan. Istrinya seorang pegawai Bank yang mengira suaminya seorang pebisnis yang sukses. Anak perempuannya hanya tahu bersenang-senang dengan anak perempuannya, sedangkan tiga kakak laki-lakinya, benar-benar serius menjalankan proses untuk masa depan yang akan memuluskan bisnis kotor ayahnya.
Satu orang calon pengacara yang akan menjadi kuasa hukum sang Ayah, seorang pengusaha Retail yang akan menyokong usaha ayahnya sekarang, dan seorang calon Dokter yang akan menyelamatkan mereka saat setiap kali mereka terkena uji coba pembunuhan. Yolan penasaran, apakah nanti anak perempuannya akan menjadi seorang ustazah yang akan selalu mendoakan orang tua dan saudara-saudaranya.
"Bagaimana kalau aku membunuh salah satu anggota keluarganya?" guman Yolan.
Mendengar itu, Guzman meninggalkan ruangan beberapa menit dan kembali membawah dua buah amplop. Melihat itu Yolan sangat paham bahwa dia akan di istrahatkan beberapa bulan dalam misi dan Yolan tidak menyukai hal itu, Yolan tidak ingin menghabiskan waktu dirumah yang membosankan, dunia Yolan sudah terkontaminasi dengan senjata, misi dan darah.
"Ayah, ayolah.. Ini bukan pertama kalinya aku seperti ini" bujuk Yolan.
"Kau harus meninggalkan negara ini dan menemui orang yang berada dalam amplop tersebut, mereka adalah sahabatku, mereka pernah melihatmu sewaktu bayi, mereka belum memiliki anak dan aku setuju mereka megadopsimu"
"What???! Ayah, aku sudah berumur 25 tahun, bagaimana bisa di adopsi"
"Diam! Ikuti apa yang Ayah perintahkan, nanti saatnya kau kembali saat ayah memanggilmu, apapun yang terjadi setelah kau bersama mereka, itu adalah tanggung jawab mereka"
"Tapi ayah...."
"Yolan, bukankah kau ingin merasakan keluarga yang utuh? Kehidupan yang normal? Maaf kan ayah jika mendidikmu selama ini di jakur yang salah, ayah yakin masih punya banyak waktu untuk memperbaikinya".
Ayah dan anak itu masih saling beradu argumen hingga akhirnya Yolan menerima segala perintah Guzman.
"Ingat identitas barumu, namamu Kania".
Yolan hanya memutar bola matanya jengah.
......................
Setahun berlalu, di negara lain dengan identitas yang baru Yolan kini bekerja di sebuah Restauran. Bentakan keras diiringi gebrakan membahana di dapur besar berisi koki, para asisten dan beberapa waiterss.
"Siapa yang masak ini?!" mendengar pertanyaan itu tidak ada yang berani membuka suara, semuanya menahan nafas. Keheningan kembali mencekam. Mata manager Restauran Megarasa tengah berusaha menguliti lima karyawan di hadapannya dengan tatapan mengintimidasi.
"Gaji kalian semua aku porong 50% jika tidak ada yang mengaku" ulfa melototkan matanya.
Ulfa Hartono adalah anak pemilik restauran tersebut sekaligus manager operasional.
Ulfa Hartono seorang wanita semampai dengan tinggi 170 cm layaknya model yang akan membuat lelaki berpaling darinya saat ia berjalan melintasinya. Berkulit putih dan bermata bulat, berambut ikal sebahu, tampak pas dengan tubuh proposionalnya. Ulfa terkenal tempramental tapi siapa yang berani protes kalau dia adalah the next owner restauran tersebut.
Pemotongan gaji 50% tersebut memaksa Kiana mengangkat tangan. Sangat tidak adil kalau teman-temannya terkena potongan sementara penyebab makanan tersebut terlihat aneh adalah dirinya. Sungguh aneh jika sajian tersebut mendapat tuaian protes pengunjung sedangkan hidangan itu sejak awal tidak ada yang berubah.
Sesuai pesanan dalam daftar menu yang tercantum dengan saus kacang, Kiana sangat teliti saat makanan tersebut di sajikan, mengapa tiba-tiba ada saus tomat di atasnya.
"Kiana!!" ulfa menajamkan tatapannya.
"Kamu tau pengunjung kita kali ini adalah Bapak Sundari yang sudah menjadi tamu VIP kita?!, dia sangat teliti dan paling paham rasa. Kamu overcook saja dia tahu apa lagi perkara saus begini. Untung ini kesalahan pertamamu, kalau tidak aku tidak akan segan-segan!" jelas Ulfa dengan mata melotot kemudian berlalu.
Beberapa detik para karyawan terdiam karena shock.
Kiana Adiguna, Biasa di sapa Kiana. Menghembuskan nafasnya berat dengan berdesis "Perpaduan sempurna antara nenek sihir dan nenek lampir" gumamnya. Di sisi lain Kiana membatin "untung aku masih waras, kalau tidak, jantungmu sudah aku robek dengan pisau dapur".
Beberapa bibir membentuk senyuman mendengar gumaman Kiana, yang lainnya menggelengkan kepala sebagai pengingat untuk tidak membuat masalah bersama Kiana di lain waktu.
Ulfa adalah anak pemilik restauran yang angkuh sedangkan Kiana adalah asisten koki eksekutif yang bekerja sama dengan koki ahli dari Rusia, mereka di terima bersama saat pertama kali di terima oleh restauran tersebut dari Negara yang sama dan persamaan lainnya adalah mereka berdua masih tidak di sukai oleh para pegawai lama.
Orang-orang yang berdiri membentuk barisan tersebut mulai bubar satu persatu kembali ke kegiatan masing-masing. Ada yang membuat adonan, membuat minuman, memasukan adonan ke dalam oven, mengeluarkan pesanan, membersihkan sayur mayur, menata hiasan hidangan, menata meja, membersihkan peralatan dapur, menyiapkan menu berikutnya.
Kiana merenung, sekali lagi dia sangat yakin bahwa tadi dia sudah memasak dengan benar, lalu mengapa bisa muncul saus tomat di atas saus kacang, "Aku akan selidiki nanti" batin Kiana
"Kenapa Na?" tanya salah seorang teman Kiana yang menyadarkan Kiana dari lamunannya.
"Ah, tidak apa-apa, aku hanya sedikit ingat kejadian tadi"
"Sudah, lupakan saja"
"Ya ampun, aku harus pergi, bokap pasti sudah menunggu di depan, lewat dua menit lagi dia akan meledak, dia tidak bisa menunggu" jelas Kiana yang melepas apron dan viscosenya sambil berlari menuju locker. Dia meletakkan apron dan topi koki nya disana kemudian menyambar tas ransel dalam locker, dan berlari ke arah pintu belakang.
"Kamu mau di kawinkan atau mau di sembelih sih? Kok panik banget", teriak Gita yang yakin Kiana mendengar teriakannya.
"Mungkin dua-duanya" balas Kiana dengan teriakan sebelum benar-benar menghilang dari tatapan Gita.
......................
Kiana kini hidup sesuai yang diinginkannya sejak dulu, memiliki keluarga, teman, pekerjaan, rutinitas normal seperti manusia pada umumnya yang dulu Kiana lamunkan saat melihat manusia sedang lalu lalang di hadapannya.
Kiana menyusuri deretan mobil mewah hingga 50 meter jauhnya, sesekali Kiana berhenti di salah satu mobil favoritnya walau hanya sekedar menyentuh, sudah sangat lama dia tidak merasakan mengendarai mobil buatan Eropa tersebut.
Tidak. Dia tidak bisa memikirkannya sekarang.
"Hai, Pa," ucap Kania dengan berpura-pura tidak melihat kerutan dan raut kesal yang terpampang jelas di wajah sang Papa.
"Ada maslaah tadi di dapur, manager Kania ngomel-ngomel makanya Kania lama" sambungnya lagi.
Papanya menginjak pedal gas, merespons.
"Mungkin kejadian di dapur sebagai petanda bahwa hal buruk berikutnya akan terjadi". batin Kania.
Sepanjang jalan Kania melihat awan mendung bergelantungan di atas sana, pngaruhnya begitu besar membuat Papanya cemberut, cemas, gelisah, resah, kacau, galau, dan entah istilah apa lagi yang bisa di gunakan untuk mengambarkan kekalutan pada wajah tuanya itu.
Tiba-tiba saja Papanya berubah menjadi seorang pembalap, mobil yang biasanya santai kini melaju kencang dan berhenti mendecit tepat di depan pagar rumah yang terletak di sebuah komplek perumahan.
Banyak mobil di dekat rumah mereka, para tetangga berkerumun. Kepala Kania di penuhi tanda tanya. Kania mengingat kembali pagi tadi yang masih terlihat normal saat dia meninggalkan rumah, seperti hari-hari biasanya. Mama yang sedang menyeduh kopi di dapur sedangkan Papa yang sedang membaca koran di teras rumah.
Saat itu terlihat banyak orang dan mobil yang terparkir tepat di depan rumahnya membuat Dada Kania berdegup.
"Kamu masuk lewat belakang, menunduk" ucap Papa mendesis tegas seperti Ayah Guzman yang sedang marah padanya, mengingat itu Kania tersenyum tipis kemudian melihat lelaki yang di panggil Papa itu meninggalkan Kania dengan balutan jas lengkap dengan dasi seperti saat Papa bertemu para klien bisnis.
Kania menahan rasa penasarannya kemudian dia berlari sambil menunduk, melewati beberapa lorong untuk tiba ke samping rumah dan berhasil memasuki bangunan tersebut.
"Ya ampun akhirnya kamu datang juga, Mama hampir kena serangan jantung" bisik Mama Sera dengan menyambut Kania sambil menekan tisu di keningnya yang terlihat baik-baik saja.
Napas Kania berhembus berat namun juga merasa lega. Kania melihat wanita yang di hadapannya itu tengah berdandan cantik dalam balutan kebaya terbaik yang di milikinya,
"Ada apa sih Ma?"
"Aduh ini sudah mendesak, walaupun sebenarnya bukan salah kita tapi salah mereka yang datang terlalu cepat tapi kita juga akan tetap salah kalau kamu ngga cepat keluar" ucap Mama Sera dengan mendorong Kania masuk ke kamarnya terburu-buru.
Kata-kata Mama Sera membuat Kania semakin bingung dan akhirnya sampai di depan pintu kamar, Kania masih belum paham sampai membuka pintu kamar, Kania sangat syok melihat kamar yang dia sudah rancang sedemikian rupa sesuai seleranya telah di sulap menjadi sebuah salon. Terrdapat cermin besar, koper-koper kecil berisi alat make up dan beberapa kebaya norak menurutnya dengan payet yang sangat mengkilau di atas ranjang tengah berjejer rapi.
Tiba-tiba dua orang wanita yang Kania tidak kenal mendekati Kania dan mengerayangi tubuhnya, membuka baju dan celananya. Kania berusaha mengelak, mempertahankan diri dari serangan brutal.
Kedua wanita tersebut, bukan karena Kania malu pada tubuhnya karena dia sehat dan kulitnya juga halus, hanya saja selama ini tak seorang pun tahu tentang tato yang berada di bahu kanan Kania.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!