"Cinta pertama itu cinta yang sulit dilupakan, karena itu pertama kalinya kita mengenal cinta."
***
Kaki April meraba lantai mencari letak sandal rumahnya yang berbulu. Matanya setengah terpejam tatkala ia keluar dari kamarnya. April meneguk setengah botol aqua yang ada di atas meja.
"Seger," ujarnya lega setelah memuaskan dahaga.
April mengucek kedua matanya dan melihat jarum jam yang sudah menunjuk pukul sembilan pagi. Atau siang? Terserah, April tidak peduli. Ia hendak kembali membaringkan tubuhnya di kasur saat ponselnya berdering. Ia menekan tombol hijau, kemudian suara sahabatnya sejak SMA terdengar.
"Udah bangun lo?"
"Udah."
"Weekend nih, main ke pantai, yuk."
"Bentar," April mengecek kalender yang tergantung di dinding samping kaca riasnya. Tanggal 1 April 20XX dilingkari dengan pena merah. Ini harinya.
"Gak bisa, gue mau pergi, Cit. Biasa, tanggal 1 April."
"Pasti lo mau ke sekolah kita lagi, deh. Lo ke sana tiap 1 April kenapa sih? Tahun lalu kan udah," protes Citra heran akan tingkah sahabatnya itu.
"Gue kan gak tahu kebohongan mana yang kira-kira bakal jadi nyata, Cit."
"Percaya aja lo takhayul begituan."
April terkekeh pelan.
"Malah ketawa lo, ya," ujar Citra dengan nada meninggi.
Tak mau mendapat semprotan dari sahabatnya, April buru-buru memutus sambungan telepon.
"Fyuh, selamat," ucapnya lega sembari mengelus dada.
Tak ingin membuang-buang waktu, April terpaksa menyudahi rebahannya hari ini. Mengambil handuk yang digantung di balkon apartemennya dan segera membersihkan diri. Bersiap pergi ke tempat tujuan.
Kadang, saat melakukan hal-hal simpel yang biasa kita temui sehari-hari, membuat April teringat cinta pertamanya. Seseorang pernah mengatakan, "Cinta pertama itu cinta yang sulit dilupakan, karena itu pertama kalinya kita mengenal cinta." Sepertinya itu berlaku untuk April. Karena sampai saat ini, ia masih belum bisa melupakan-nya.
Misalnya, saat ia mengenakan dasi, ia teringat bagaimana rapi dasi cinta pertamanya itu. Atau saat ia memakai bedak di dahinya, ia akan teringat bagaimana dia sering menyentil tempat itu. Mungkin love abuse? Tidak sakit sebenarnya, tetapi April suka mendramatisasi keadaan bersamanya. Ketika ia mengoleskan lipstick pada bibirnya, ia juga teringat dia—sebelum salah paham, tidak, mereka tidak pernah berciuman. Ia hanya teringat bahwa mereka tidak pernah sampai ke tahap itu.
April menatap sosoknya di pantulan cermin. Kaus putih polos dipadukan dengan jaket denim, serta kulot berwarna hitam sebagai bawahan. Tampilan yang akan membuat cinta pertamanya, jika melihatnya sekarang, akan bingung apakah ia adalah orang yang sama dengan orang yang pernah ia sukai. Gaya berpakaian April dulu cukup mencolok.
Mobil Brio merahnya menunggu di pojok parkiran apartemen. Jempolnya menekan tombol bergambar kunci terbuka pada kunci mobilnya, bunyi "klik" pun terdengar. April memasuki mobil itu dan membawanya melaju di jalanan ibukota.
Jalan yang kini ia tempuh sudah dihapalnya di luar kepala. Tak terhitung sudah berapa kali ia pergi ke sana. Tiga tahun masa sekolah, sisanya masa-masa ia berkunjung. Ia memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah. Menggeser pagarnya yang ditutup. Dikarenakan libur weekend, sekolah kosong total. April tak perlu khawatir ditegur atau disapa warga sekolah. Walau satpam sekolah ini sudah hapal, ia pasti berkunjung ke sekolah di tanggal ini.
Alasan mengapa April tak henti mendatangi sekolah ini meski ijazah telah ia terima bertahun-tahun lalu, adalah pohon beringin yang terletak di pojok belakang sekolah.
Di sekitar pohon, daun-daun tua berserakan. Bahkan, ketika ia datang, beberapa helai daun jatuh dengan lambat dari rantingnya.
April menyentuh batang pohon itu dan mengelusnya pelan. "Hai, lama gak ketemu, ya?"
***
April menatap amplop berisi surat berharga di dalamnya dengan teramat serius. Sahabatnya sampai geleng-geleng melihat raut serius April yang bahkan saat ulangan, kuis, dan persentasi tak pernah sekalipun ia tunjukkan.
"Mau ngapain lo?" tanya Citra seraya memutar kursinya menghadap ke belakang, tempat April duduk saat ini.
"Cit, pernah denger gak soal mitos SMA kita?"
"Mitos yang mana? Yang dulunya sekolah ini bekas rumah sakit jiwa? Pernah kalau yang itu," ujar gadis dengan rambut sebahu itu.
"Bukan yang itu. Tahu pohon beringin di belakang sekolah yang katanya udah berusia ratusan tahun, gak?"
"Buset, ratusan tahun? Yang bener aja lo?"
"Ih, Citra jangan salfok. Tahu gak?"
"Tahu, kok. Yang katanya berhantu, kan?"
April mengerjap cepat. "Citra jangan nakutin gitu, dong." Tangannya memukul tangan Citra gemas.
"Katanya doang, April. Belum tentu bener, kok."
"Oke-oke. Ada mitos, katanya kalau bohong di bawah pohon itu pada tanggal 1 April, nantinya kebohongannya jadi beneran!" ujar April menggebu-gebu.
"1 April berarti hari ini, dong."
"Iya!"
"Oke. Jadi?" Citra nggak paham kenapa sahabatnya tiba-tiba mengungkit-ungkit mitos sekolah. Mau ikut komunitas aliran mistis, gitu?
"Jadi, April bakal gunain kesempatan ini untuk ngungkapin perasaan ke Kak Husain!" Kelewat bersemangat, April memukul mejanya keras sampai anak-anak di kelasnya menoleh dengan tatapan penasaran. Bagi April, tatapan-tatapan itu tidak ada, merasa diperhatikan pun tidak.
"Doa'in, ya!" bisiknya sebelum berlari ke luar kelas dengan senyuman lebar.
"Woi!" pekik Citra mengejar April hingga ke depan pintu. Temen gue kenapa, ya tuhan.
April sendiri berjalan dengan lompatan-lompatan kecil di setiap langkahnya. Kelas sang gebetan berada satu gedung dengan kelasnya, hanya beda lantai. April di lantai satu untuk anak kelas X IPA, sementara doi di lantai dua untuk anak kelas XI IPA.
Kepalanya mendongak mencari papan nama kelas XI IPA 2, kelas Kak Husain, kakak kelas yang sejak lama ia sukai. Begitu menemukannya, April berjalan semakin pelan dan tubuhnya gemetar karena gugup. Sosoknya berhenti di depan pintu dan menemukan puluhan siswa-siswi yang satu tingkat lebih tinggi darinya menatapnya sekarang.
"Oke, tenang. Gak usah gugup, April," bisiknya pada diri sendiri.
"Nyari siapa, Dek?" Seorang kakak kelas bertubuh tinggi dengan alis tebal bagai Angry Bird merah berdiri di depan pintu.
"Kak Husain ada, Kak?" tanyaku lalu mengulum bibir. Sekilas, aku melirik ke dalam ruang kelas.
Kakak kelas di depanku manggut-manggut, kepalanya menoleh ke belakang lalu berkata dengan suara keras, "Husain, ada yang nyariin, nih!"
Sosok yang menduduki tahta di hatiku saat ini berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat. Tolong, jantung April mau lepas. Cepat-cepat ia mengatur napasnya yang hampir megap-megap cuma karena melihat ketampanan sang gebetan.
"Kenapa, Dek?"
Mata April bergerak tidak fokus. Tangannya yang gemetar terangkat dan menyerahkan surat berharga itu ke depan dada Husain. Padahal ia sudah mengulang-ulanh dialog antara ia dan Husain—dalam kepalanya—tetapi dihadapannya, ia tetap gugup dan sulit bicara. Sia-sia waktu tidur yang ia potong akibat overthinking berat karena pengakuan cinta ini.
"Buat Kak Husain." Menurut dialog yang harusnya ia gunakan, harusnya terdapat kurang lebih 80 kata yang dipersingkat menjadi 3 kata karena April telah kehilangan kemampuan berpikir dan berbicaranya sesaat.
Setelah suratnya berada di tangan yang tepat, April buru-buru membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Kakinya berlari cepat kembali ke kelas. Pintu kelasnya semakin dekat, tapi April tak dapat menghentikan langkahnya sehingga hampir terpeleset karena lantai yang basah setelah dipel.
"April! Baru dipel tahu!" Temannya yang memegang gagang pel-an berteriak kesal sembari mengangkat gagangnya, seolah siap memukul kepala April kapan saja.
"Aduh, maaf, Indah." Tangannya ditangkupkan, menunjukkan ketulusan permintaan maafnya. Tungkainya membawanya ke depan kursi sang sahabat, dengan semangat 45 ia berseru, "Horas, Citra!" Tetap semangat walau jantung berdetak seperti abis dikejar anjing. Untuk mengobati kegugupannya, gadis itu mulai bergoyang ke sana kemari sembari bersenandung.
Citra yang sibuk berkutat dengan peer kimia minggu lalu di kursinya menatap sahabatnya itu cengo. "Fiks, temen gue harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Eh iya, cocok. Sekolah ini kan dulunya RSJ."
***
Kaki April tak berhenti bergerak seperti cacing kesemutan karena kegugupannya. Kini, ia berdiri di bawah pohon beringin yang ada di mitos itu. Dengan bibir yang diulum, ia menahan air liurnya untuk tidak menetes ketika Kak Husain dengan tas disampirkan di bahunya berjalan mendekat.
"Maaf, lama ya?" Suaranya dengan lembut masuk ke pendengaran April.
"Nggak kok, Kak," jawab April dengan senyum lebar, kelewat lebar malah, deretan giginya terlihat. Kalau selamanya disuruh menunggu, mungkin April juga tetap masih di sini.
Husain mengeluarkan surat pemberian April dari saku celananya. "Gue udah baca suratnya."
So?
"Maaf, tapi gue gak suka sama lo. Jadi, gue harus nolak. Maaf, Dek," ujarnya seraya mengembalikan surat itu ke tangan pengirimnya.
April sudah menduga seperti apa jawaban Husain setelah surat ini diterima olehnya, dengan lapang dada ia menerima jawaban Husain. Namun, ada yang ia ingin Husain lakukan. "Gapapa, Kak. Tapi, April boleh minta tolong?" Husain mengernyitkan dahi sebelum mengiakan permintaan April.
"Tolong, sekali aja Kak Husain bilang kalau kakak suka April. Itu bisa menghibur April walau kakak cuman bohong," pinta April dengan wajah memelas.
Tangan Husain mengusap tengkuknya, ia sedikit bingung harus menjawab apa. Pada akhirnya, karena tidak enak menolak, Husain mengiakannya.
"Gue suka sama lo," ujarnya datar, sedatar perasaannya ke April. Tapi, jantung April udah jedag-jedug padahal tahu Husain bohong doang.
Keduanya diam saling menatap. April bahkan sampai melotot. Gak ada yang terjadi gitu? Misal tiba-tiba Kak Husain nyesal nolak April? batinnya.
"Kak Husain nggak ngerasain apa-apa gitu?"
"Nggak."
"Coba, liat April lebih dalam deh. Mungkin ada kupu-kupu yang bertebaran di perut, jantung diskoan, atau April jadi kelihatan lebih memesona gitu?"
"Oh iya, perut gue agak gak enak."
Jangan-jangan ....
"Kayaknya gue kebelet. Udah dulu ya, Dek." Husain berlari seraya memegangi celananya. Di tempatnya, April melongo tak percaya seraya menatap sosok Husain yang semakin menjauh.
"Kok nggak kejadian apa-apa, sih?" April cemberut, kakinya menghentak-hentak di atas tanah.
"Padahal April udah buang harga diri demi nembak duluan. Tapi gak kejadian apa-apa. Gini amat nasib," keluh April kecewa.
Dengan sisa harapan yang seupil, April berteriak, "APRIL JADIAN SAMA KAK HUSAIN HARI INI."
Kalau kebohongan yang tadi nggak menjadi nyata, yang ini aja nggak apa-apa. April ikhlas. Moga-moga ada mukjizat entah darimana, Kak Husain mau terima April jadi pacarnya.
"Jodohmu ada di pesawat kertas kedua." Sebuah postingan random dari media sosial. April tidak percaya, tentu saja. Karena pesawat kertas keduanya bukan Mr. Crush.
"April punya orang yang April sungguh sukai, dia itu ...," pikiran April terputus saat seorang kakak kelas memasuki ruang II, ruangan tempatnya dan anggota kelompok MPLS-nya saat ini duduk. Rambutnya sangat pendek, taat aturan sekolah sepertinya. Matanya yang teduh berbanding terbalik dengan alis tebalnya yang memberi kesan tegas.
April meneliti setiap detil penampilannya dengan sangat dalam. Hingga ia tak menyadari kakak kelas tersebut menaruh telapak tangannya di atas meja selagi menatapnya lurus.
"Kamu," ceplosnya tiba-tiba.
Kelas sedang sunyi saat mulutnya tiba-tiba melontarkan kata-kata tanpa konteks tersebut. Ia menjadi tokoh utama pada dialog MPLS hari ini.
"Dek, lo enggak perhatiin kami, kakak-kakak ngomong apa? Hm?"
"Hm? Hm-nya ... bikin April melayang." Khayalan April terbang lagi.
Kakak kelas itu menyadarkan April dan menanyakan hal yang sama dengan suara lebih keras. Gadis itu kaget dan menjawab dengan suara bercicit seperti bayi burung, "I-iya, siap, Kak."
"Jangan kayak gitu lagi, selain enggak sopan, kami 'kan sedang membicarakan hal yang penting untuk kelanjutan hidup kalian di SMANDUGA. Alangkah baiknya, mendengarkan dengan seksama. Toh, tidak mungkin lebih dari satu jam." Usai menyelesaikan kata-katanya, kakak kelas tersebut dan teman-temannya ke luar kelas untuk menuju kelas berikutnya.
April membeku dan menoleh ke Citra, yang duduk di belakangnya. Belum keluar sepatah kata dari mulut gadis tersebut, Citra memutar bola matanya sembari berkata, "Padahal ocehannya bertahan selama 70 menitan. Mananya yang kurang dari 1 jam? Mereka emang enggak belajar berhitung, ya?"
"Eh?" April bahkan tidak sadar bahwa selama itu. Ia menikmati pemandangan hari ini.
Namun, kisah tadi terjadi berbulan-bulan lalu. Saat April pertama kali menemukan pesona Kak Husain, her first ever Mr. Crush.
***
Husain melepas helm yang terpasang di kepalanya setelah memarkirkan motornya di depan Kafe Senja. Sekitar enam lelaki seumurannya berkumpul mengelilingi satu meja panjang sembari menyesap rokok atau kopi. Ia memilih kursi di ujung meja, menemani mereka lalu memesan segelas kopi pada waitress.
"Baru dateng lo, Sen?"
Husain berdeham mengiakan, ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Membuka aplikasi media sosial, dan menggulir layar melihat postingan-postingan orang lain yang sebenarnya nggak penting-penting amat.
"Eh, lo habis ditembak ya sama adek kelas pas pulang sekolah kemaren? Ngaku!"
Ucapan lelaki—beralis tebal yang di atas bibirnya terdapat garis cokelat bekas kopi—itu disambut sorakan dari seluruh orang di meja itu kecuali Husain.
"Cie, jadian nih ya? Pajak jadiannya mana?"
"Wah, lepas predikat jomlo juga akhirnya lo, Sen. Gue pikir lo mau lajang seumur hidup," ujar temannya yang bertopi merah disahut gelakan tawa dari teman-temannya.
"Gue gak jadian sama siapa-siapa," jelas Husain masih menatap layar ponselnya.
"Lah, lo tolak gitu?" tanya Arais seraya mendelik.
"Hm," dehaman singkat Husain membuat teman-temannya mendesah kecewa. Padahal baru aja ada yang bisa diceng-ceng-in, pikir sebagian besar dari mereka.
Arais mengusap dagunya yang tak berjanggut sembari menatap selidik Husain. "Gue curiga, jangan-jangan lo homo ya? Masa umur udah mau 17 tahun enggak pernah pacaran." Ia memainkan alisnya.
"Hmm, mencurigakan."
Husain berdecih dan bicara dengan nada sinis, "Enggak pacaran bukan berarti homo, kali. Daripada si Arais, semua cewek dipacarin. Belum dua bulan putus."
Mereka bersorak mengompori Husain. Salah satu diantaranya malah memijat pundak Arais seperti ia adalah petinju saat istirahat sebelum babak selanjutnya dimulai.
"Bales, Ar!" kompor mereka sambil bertepuk tangan.
Arais berdeham sok ganteng, menyibak rambutnya ke belakang dan tersenyum smirk menatap temannya di seberang meja. "Itu artinya gue laku keras, bro."
"Berarti lo murahan dong? Kan yang laku keras cuman barang murah doang. Barang mahal biasanya limited edition kan? Kayak gue misalnya," balas Husain tak mau kalah.
Ucapan Husain sontak membuat mereka tertawa. Husain savage banget.
"Hajar, bro!" Semua menyoraki kedua orang itu, mereka bahkan tampak lebih semangat dibandingkan supporter bola di depan TV.
"Tapi gue jelas terbukti bukan homo dong. Sejarah gue sama cewek kan banyak, lo kan nggak?"
"Asek asek, jos!"
Husain menggeram dan meletakkan ponselnya di atas meja. "Oke, jadi lo mau gimana biar percaya gue bukan homo?" tantang Husain dengan berani.
"Wah, asek nih. Diapain nih, enaknya?"
"Gini-gini, lo nembak cewek deh depan kita. Baru percaya lo bukan homo," ujar Kipli, cowok bertopi merah.
"Boljug, Pli!" Semua menyoraki Husain. Kebelet banget mau lihat teman mereka sendiri nembak cewek.
Sorakan mereka dibalas kernyitan oleh Husain. Mau nembak cewek sih ngomongnya enak, praktekinnya susah. Enggak ada kandidatnya masalahnya, kalaupun ada, resiko ditolak cuy. Gengsi dong, Husain, kalau ditolak depan teman-temannya. Memutar otak untuk menjawab tantangan mereka, Husain ingat April, cewek yang menyatakan perasaan padanya siang tadi. Husain sontak merogoh saku jaketnya, mencari surat pemberian April. Oh iya, sudah ia kembalikan. Ia mendecih kesal, sekarang ia harus mencari cara nembak cewek itu sekarang. Kenapa harus cewek itu? Karena dia kemungkinan besar akan menerima, jadi Husain enggak gengsi. Tunggu dia baru ingat, Arais, iya temannya yang satu itu tadi siang kan sempat membaca suratnya dan memasukkan nomor yang dengan sengaja ditulis April di bagian perkenalan.
"Ar, minjem hape lo. Kontak cewe di hape gua dikit doang, anak organisasi sama ekskul." Alasan. Kejujurannya adalah Husain tak ingat gadis yang menembaknya memberi ia nomor atau tidak.
"Nih," dengan enteng Arais memberikan ponselnya ke atas meja dan digeser mendekati Husain.
"Makasih," ucapnya lalu mencari kontak yang ia inginkan di sana. Tunggu, siapa nama cewek tadi siang? Di suratnya, kalau enggak salah, dia menuliskan bahwa namanya Aprilia Dona anak kelas X IPA 3 kan? Jari-jari Husain dengan cepat mengetik nama cewek itu di keyboard ponsel Arais.
Oke, ketemu, Aprilia X IPA 3. Normal juga ternyata si Arais itu memberi nama kontaknya. Husain pikir, akan ada embel-embel, cewek yang pernah nembak Husain, misalnya.
Tak menunggu lama, Husain menyalin nomor itu ke ponselnya. Ia menekan tombol panggil tanpa ragu. Dia sudah gatal ingin melepaskan diri dari tatapan teman-temannya yang membuatnya risih.
Melodi panggilan terdengar, pertanda bahwa telponnya tersambung, ia haya perlu menunggu cewek itu menerima telponnya. Namun, butuh dua kali panggilan sampai cewek itu tidak menolak panggilannya. Hampir saja Husain mati kutu.
"Halo," dengan lembut suara cewek itu menyapa telinga Husain. Senyuman menjijikan terbentuk di setiap bibir teman-temannya. Dia harus cepat menyudahi ini, jadi bisa bermain ponsel dengan tenang tanpa gangguan teman-temannya yang sering 2K, kompor dan kepo.
"Hai, April. Ini Husain, " jawab Husain tak kalah lembut. April yang ada di seberang sana megap-megap sambil memegangi dada.
"Kenapa telepon, Kak?" tanya April tak berharap banyak. Oke, bohong kalau dia enggak berharap. Kebohongannya tadi siang kan belum ada tanda-tanda bakal terwujud, tanda pertamanya sudah ada sih. Nih, ditelepon doi.
"Gue mau nanya, lo masih lowong posisi pacar kan?"
Teman-temannya berlomba menahan tawa dengan menutup mulut mereka rapat-rapat. Tak ingin mengganggu dua insan yang sedang berinteraksi melalui telepon genggam ini.
"Masih, Kak," lirih April amat pelan. Gugup tahu.
"Kalau gitu, mau jadi pacar gue?" tanya Husain to the point. Penonton mendesah kecewa, tak ada adegan gombalan maut yang melelehkan hati lawan jenisnya ternyata.
"Ha?" Di kamarnya, April mendelik dan refleks berdiri mendengar pertanyaan Kak Husain. Lah, dia mana menyangka kalau kebohongannya bakal kejadian.
"Kak Husain ga nge-prank April kan? Secara ini kan udah masuk April Mop." Sebelum jawab, ia harus memastikan keaslian Kak Husain, cowok yang ditaksirnya.
"Enggak, April. Gue serius."
"Berapa rius?"
"Dua rius, deh."
"Kurang. Seribu rius, ya?" .
Husain hampir tertawa mendengar suara April yang terdengar seperti ibu-ibu yang menawar belanjaan di pasar.
"Iya, April. Lo mau, gak?"
"Mau lah, jelas!" sahut April dengam semangat 45. Kesempatan enggak datang dua kali, kawan. Siapa tahu Kak Husain khilaf dan cancel ajakan berpacarannya.
"Oke, kita pacaran. Udah dulu ya," ujar Husain sebelum menekan tombol merah. Ia menunjukkan senyuman sombong ke teman-temannya yang dengan sabar menunggu panggilannya selesai.
"Diterima lo?" ujar lelaki berambut cepak, Ujang.
"Wah, ga maen-maen temen gue."
"Ada yang baru jadian nih, PJ-nya mana?" goda Arais sembari memainkan alis tebaknya, bikin Husain makin geram aja sama sahabatnga ini.
"PJ terus lo mintain! Lo jadian ga ada yang minta PJ," protes Husain tak terima.
"Bangkrut gue kalau traktir kalian pada tiap punya cewek baru."
"Bilang aja misqueen."
"Anj, savage banget mulut temen gue, ya Allah!" Kipli tercengang akan jawaban Husain yang menusuk hingga ke tulang. Bibirnya membentuk smirk kecil, memancing teman-temannya makin heboh menyoraki perubahan status temannya yang tadinya jomlo abadi menjadi taken.
***
Kalau lagi jatuh cinta, atap kamar yang digelantungi sawang pun tetap kelihatan estetik. Setiap oksigen yang dihirup membuat dada penuh dan berdebar. Pokoknya, dunia kelihatan indah banget.
April jadi ingat, waktu dia pertama kali menumbuhkan rasa tertarik ke Kak Husain. Kak Husain itu, orangnya aktif di berbagai organisasi dan ekskul termasuk OSIS. Di hari MPLS kedua, April dan teman-teman sekelompoknya, kelompok 3, disuruh berjoget dan diposting ke media sosial sampai MPLS selesai baru boleh dihapus.
Kebetulan, Kak Husain melewati kelas yang kelompok April tempati. Ia masuk dan dengan lantang bertanya, "Ada apa ya?" Sepertinya dia melihat ketegangan tinggi di kelas ini. Dia bisa bicara santai karena pembimbing kelompok 3 saat itu seangkatan dengannya.
Anak-anak di kelas itu saling lirik. Salah satu di antara mereka yang duduk paling depan, bersuara amat pelan seperti tikus yang menyelinap di malam hari, hanya terdengar 'cit ... cit ... ' saja.
"Ngomong lebih keras, Dek." Biasanya, kakak kelas lain akan mengatakan kalimat itu dengan suara tinggi seperti bentakan. Tapi, Kak Husain berbicara dengan nada santai seakan mereka teman seangkatannya.
April sedikit berdiri dan melirik ke arah teman-temannya lalu dua kakak kelas yang membimbing mereka, barulah ia berkata, "Kami disuruh joget dan diposting ke media sosial, Kak."
Tepat setelah kalimat April habis, kakak kelas yang membimbing kami menyahut, "Wajar kan, buat bercandaan dan kenang-kenangan doang, Sen." Mereka berujar dengan sedikit tawa terselip diantaranya.
Kak Husain tampak ikut tertawa bersama mereka. Awalnya, April pikir dia akan membantu mereka. Bahunya yang berdiri tegak seketika merosot. Namun, Kak Husain menghentikan tawanya dengan cepat dan menatap mata April tepat. Rasanya, April seperti baru saja ditusuk hanya dengan tatapan saja.
"Tugas kita memperkenalkan sekolah, Jang. Bukan mempermalukan mereka, kan?"
Hening. April hanya mendengar ia meneguk ludahnya sendiri sesaat.
"Dah, dah, yang di sana duduk. Gak ada joget-joget ya? Anak SMA kok joget-joget, sih. Yang elit dikit lah kalau mau kasih tantangan, buat kenang-kenangan kan ga perlu joget, ya gak, Jang?" tanyanya pada temannya yang tercengang. Bersamaan dengan itu, April menarik kursinya dan duduk dengan nyaman.
"Oh iya, bener dong, Sen." Ia tertawa canggung, lalu menepuk tangannya sekali. "Oke, kita main tebak-tebakan aja ya."
Setelah itu, Kak Husain melambaikan tangannya dan pergi ke luar kelas. Mata April sulit melepaskan tubuh dengan bahu lebar dan rambut yang mengilap karena G*tsby itu.
April tak sabar bercerita pada sahabatnya, ia menghidupkan ponsel dan mencari kontak Citra. Begitu tulisan tersambung berganti 00:01 ia langsung menyerocos seberapa bahagianya dia saat ini.
"Citra!" panggilnya ceria. "Doi nelpon!" sambungnya.
Katakanlah April alay, tapi dia tidak tahan untuk tidak memasang status di whatsapp bergambar dua tangan yang bertaut dengan caption, "Day 1 Jadian". Alhasil, postingannya itu diserbu oleh sebagian besar teman sekelasnya, dengan pertanyaan yang intinya sama, "Pril, jadian sama siapa?"
Sepanjang perjalanan berangkat sekolah, April senyum terus sampai giginya kering saking lebarnya. Teman-teman sekelas menyorakinya, April senyum malu-malu. Kalau kata Citra, senyum April sekarang itu sebutannya, malu-malu tahi kucing.
"Iya tahu yang baru jadian, tapi itu bibirnya ditutup dulu. Gigi lo kuning banget, bikin malu, Pril."
Sontak, April menutup bibirnya rapat dan memandang Citra kesal. "Temennya lagi bahagia juga!"
"Lo pikir gue peduli? Enggak dong, haha." Tawa sarkas Citra memantul dari dinding kelas.
***
Lupakan kantin, begitu bel berbunyi, April langsung ke luar kelas dan pergi ke tempat yang ia tahu pasti ada Kak Husain di sana. Ruang OSIS, letaknya di dekat lab. Komputer.
Kepala April menyembul dari pintu, menampilkan setengah wajahnya sementara sebagian yang lain tertutup dinding. Matanya meneliti orang-orang di sana dengam gesit. Seorang siswa berambut berdiri seperti landak yang ia ketahui bernama Ujang, teman Kak Husain sekaligus pembimbing kelompoknya saat MPLS, tiba-tiba muncul di depan wajahnya.
"Nyari siapa, Dek?"
"Anu, Kak. Itu ... saya nyari ... " Jadi salah tingkah April, dia sejak lama tidak menyukai kakak kelas yang satu ini semenjak peristiwa waktu itu. Jadi gagu-gagu ngomongnya.
Beruntung, Kak Husain yang sepertinya tadi duduk di balik meja kini berdiri dan menghadapnya.
"Nyari dia, Kak," ujarnya sembari menunjuk Kak Husain.
Dengan tingkat kepekaan tinggi, mereka-anggota OSIS dan teman-teman Husain—langsung menyadari apa hubungan April dan Husain.
"Ooh, ini pacarnya Husain!" sorak mereka diiringi tepukan tangan. Heboh sekali. Apa fenomena Husain pacaran semenakjubkan itu?
Mendengar sorakan mereka, pipi April memerah karena tersipu. Ia bahkan mengulum bibirnya dalam-dalam agar tidak menunjukkan senyum lebar. Kedua tangannya bertautan di belakang punggung, kakinya bergerak-gerak aneh kayak cacing. Maklum, salting.
Sementara sang pacar, ia muak banget disoraki teman-temannya. Risih. Tak ingin berlama-lama mendengar sorakan ciee dari teman-temannya, Husain mendekati April dan berujar, "Pergi yok, di sini gerah." Ia ke luar ruangan lebih dulu April mengikuti di belakangnya.
Tindakannya sontak membuat Ujang dan Kipli yang sedang berada di ruang OSIS berteriak, "Gandeng dong, pacarnya!"
Husain menggeram, lalu menarik tangan April membuatnya berjalan di sebelahnya. April terperanjat akan tindakan tiba-tiba dari Husain. Pipinya bersemu dan ujung bibirnya tertarik ke atas tanpa bisa ia cegah.
Husain membawanya ke taman, letaknya di sebelah kanan kantin dan sebelah kiri WC kantor. Kursi di bawah pohon menjadi tempat duduk mereka sekarang. Saat pantat keduanya telah menempel dengan kursi, genggaman Husain terlepas. April mendesah kecewa.
"Kita belum kenal dekat, tapi sudah pacaran. Aneh ya?" ujar Husain tiba-tiba.
"Jaman sekarang banyak kok, yang pacaran walau baru kenal."
"Lo juga tipe yang begitu?"
"Mana ada! April tahu banyak kok, tentang Kak Husain!" ujar April menggebu-gebu. Hampir satu tahun ia dedikasikan untuk mengagumi Husain dari jauh. Tentu saja, ia tahu beberapa hal tentang lelaki itu.
"Contohnya?" Ini saatnya membuktikan kemampuanmu, Pril!
"Contohnya, April tahu ig Kak Husain itu @huszmmir, Kak Husain ikut banyak organisasi dan ekskul, masuk peringkat tiga besar paralel, trus tinggi Kak Husain 170 cm. Trus, apa lagi ya?"
April terdiam sejenak, berpikir keras. Saat genting seperti ini, otaknya enggak bisa diajak kerja sama. Ia melirik Kak Husain yang kebetulan juga sedang menatapnya.
Bibirnya bergerak tanpa ia sadari. "Trus, Kak Husain ganteng." Bahkan, April sendiri juga kaget akan ucapannya.
Pujian dari April tidak disangka sama sekali oleh Husain. Ia terkekeh pelan. Tawa pelan dari lelaki yang disukainya membuat hati April tersentuh. Husain berhasil membuat April meleleh.
"Makasih."
April mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa, otaknya sulit berpikir jernih kalau berada dekat dengan Husain.
"Sebenarnya, gue ajak lo ke sini, mau ngomongin sesuatu."
April menunggu Husain melanjutkan ucapannya.
"Jujur, gue ajak lo pacaran semalam karena ditantang temen-temen gue," sambungnya.
Tubuh April bergeming. Ia terharu, Kak Husain memang baik banget. Dia mungkin tidak ingin April sakit hati jika mendengar fakta itu dari orang lain, makanya ia mengatakannya dengan jujur sekarang.
Padahal isi kepala Husain yang sebenarnya, "Siapa tahu setelah kubilang begini, nanti dia ajak putus. Kan ga enak kalau gue mutusin duluan. Aneh juga kalau tetap pacaran, gue kan ga ada perasaan apa-apa ke dia."
"Gapapa kok, Kak. Tapi, pacarannya beneran kan? Kak Husain 'kan semalam bilang kalau serius. Seribu rius pula."
Ha? Husain dibuat menganga akan jawaban April. Dia nggak marah, kesal, atau protes sama sekali gitu?
Lagipula, April juga curang, karena menggunakan mitos itu untuk berpacaran dengan Kak Husain. Siapa sangka kalau mitosnya beneran?
"Iya, pacarannya beneran kok, Pril," jawab Husain pada akhirnya. Rencana diputusin-nya gagal, deh.
"Alhamdulillah," ucap syukur April. Agak was-was juga tadi, takut ditolak.
April sepertinya tidak ingin memberi Husain jeda untuk bernapas, ia bertanya, "Kan udah jadian, Kak. Kencannya kapan?"
"Buset, gercep banget ni anak. Ngebet banget ya?" batin Husain disertai delikan singkat.
Tak enak hati menolak, Husain hanya bisa tersenyum sembari menjawab, "Secepatnya. Nanti kukabari ya."
"OH YES!" Hati kecil April bersorak gembira.
Husain menatap April sejenak, ada hal yang daritadi menganggunya.
"Pril, lo kalau ngomong emang nyebut nama sendiri dan nadanya agak sedikit ...."
Belum usai ucapan Husain, April memotong, "Kekanak-kanakan?"
Bukan sekali dua kali ada yang bertanya seperti ini. April jadi sudah menebak di luar kepala. Sementara Husain, merasa tidak enak, harusnya dia tidak bertanya seperti itu, ya. Bukan urusannya kan, mau seseorang menggunakan gaya bicara seperti apa.
Respon April yang terbilang santai justru semakin membuatnya merasa bersalah. "Gue jadi gak enak," gumamnya yang masih terdengar oleh telinga April.
"Gapapa kali, Kak. Udah sering, kok."
Husain melirik perempuan yang kini berstatus sebagai pacarnya itu. April melanjutkan, "Jadi, dari April masih SD sampe kelas 3 SMP, April sering bolak-balik rumah Mama sama rumah nenek. Di rumah nenek, anak kecilnya rame. Rata-rata kalau ngomong, manggil nama sendiri. April ketularan, deh. Kak Husain gak nyaman, ya?"
Penjelasan April bisa dipahami. Ia menggeleng tidak setuju, yah, sebenarnya bukan enggak nyaman, tapi aneh aja. Dia baru pertama kali dengar orang ngomong manggil nama sendiri.
"Ini juga April usahain buat berubah."
Sesaat, sangat sebentar, nada ceria yang selalu April lantunkan saat bicara terkesan sedih. Husain tak tahu harua bicara apa lagi. Obrolan mereka diselamatkan oleh bel tanda masuk kelas.
***
April bersenandung kecil sembari menenteng ranselnya ke luar kelas. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Kakinya meloncat-loncat aktif.
Sama seperti kata Citra, "Kalau lagi kasmaran, orang sering lupa daratan."
Sebelum meninggalkan koridor kelas X IPA, April teringat hal yang ingin ia lakukan. Kepalanya berbalik, tangannya ia lambaikan ke arah Citra. "Duluan aja, Cit. April mau perginke suatu tempat, dulu, hehe."
Kemudian, ia melewati gang super-sempit antara dinding pembatas sekolah dan perpus. Letak pohon beringin itu ada di belakang perpus, kebetulan jarak perpus dan kelasnya tidak jauh.
Begitu sampai di sana, April melompat ceria dan jatuh ke pelukan pohon. "Makasih, lho. Kebohongannya beneran jadi nyata, ternyata," ujar April dengan mata terpejam.
Terasa ada yang aneh, kaki dan tangannya terasa gatal. Begitu membuka mata, sekelompok semut memanjat kulit lembutnya. April bergerak heboh dan berlari menjauhi pohon dengan rengekan kesal karena semut-semut itu bergerak-gerak di tubuhnya.
Seseorang dengan buku di tangannya, memerhatikan semuanya dari balik kaca perpus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!