NovelToon NovelToon

UNDENIABLE LOVE

UL 01

Senyum kotak tergurat di wajah tampan Victor. Lelaki berusia 27 tahun itu menatap lembut kekasihnya yang sedang mengunyah makanan sambil berceloteh ria.

“Dan kau tahu apa yang paling konyol darinya?” Victor menggeleng. “Dia tidak pernah bisa menolak permintaan orangtuanya, Vic.” Emily terkekeh membayangkan wajah sahabatnya, Rosie, saat kebingungan mendapati kabar akan dijodohkan.

“Itu bukan konyol, Sayang …” Tangan Victor terulur mengusap saus di bibir Emily. “Dia melakukan itu karena tidak ingin mengecewakan orangtuanya.”

“Tetap saja, Vic … hanya orang bodoh yang mau dijodohkan oleh orangtuanya. Kalau aku—“ Emily menunjuk dirinya sendiri. “Aku pasti akan menolaknya mentah-mentah! Aku tidak ingin siapapun mengatur hidupku, meskipun itu orangtuaku.”

“Jadi, artinya kau hanya mau menikah denganku?” goda Victor.

“Tentu saja!” Emily mengangguk, menggulung spageti dengan garpu lalu menyuapkannya ke dalam mulut, mengunyahnya dan buru-buru menelannya untuk membalas pertanyaan kekasihnya. “Aku hanya akan menikah dengan laki-laki yang kucintai. Kau juga, Vic … kau hanya boleh menikah dengan gadis yang kau cintai, yaitu aku!”

Victor tergelak melihat tingkah menggemaskan kekasihnya. Baginya, memiliki Emily sebagai kekasih ibarat menemukan satu harta karun tak ternilai. Meski pada saat awal hubungan mereka, dia akui hanya sekedar menyukai gadis itu, bukan mencintainya seperti sekarang.

* Ting

Denting ponsel Victor mendistraksi konversasi mereka. Emily turut melirik siapa pengirim pesan di ponsel Victor.

“Aku harus pergi sekarang.” Bangkit dari tempat duduknya, Victor meraih kacamata dan tas selempangnya.

“Kau akan kembali ke sini, kan, Vic?”

“Aku tidak janji, Sayang … Ayah bilang ini adalah makan malam keluarga jadi aku tidak mungkin pergi sebelum acaranya selesai,” jelas Victor sembari memakai blazer berwarna navy.

Emily membuang napas kasar sembari memutar bola mata. “Selalu saja keluarga, keluarga, dan keluarga,” kesalnya dalam hati.

“Kalau kau bosan, kau bisa pergi ke tempat Rosie, atau siapapun.” Satu tangan Victor terulur membawa kepala Emily mendekat guna dicium keningnya. “Sampai jumpa, emm … nanti malam akan aku usahakan, oke?!” ujarnya meyakinkan.

“Ya-ya-ya … pergilah. Aku akan bersenang-senang dengan Rosie,” balas Emily.

Victor hanya menyunggingkan senyum menanggapi gurauan kekasihnya, lantas memacu tungkai meninggalkan apartemen gadis berponi itu. Bukannya tinggal bersama, terkadang dia memang menginap di tempat Emily untuk menemani gadis itu, atau bertandang ke sana hanya untuk melepas rindu.

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

Ketukan heels gadis bersurai brunette berlomba dengan ayunan tungkai yang dipacu cepat selepas turun dari mobil. Gerakan kecil di pinggulnya saat menaiki tangga pintu utama gedung, menggoyang ujung gaun midi dress bermotif bunga yang membalut tubuh rampingnya.

Lima menit menjelang pertemuan keluarga, presensi gadis cantik itu baru mengisi lobi mewah gedung. Sesekon berselang, kedua iris yang sewarna almond itu tampak gusar mencari keberadaan lift khusus tempat bangunan angkuh di puncak gedung bertapa.

“Itu liftnya!”

Bibir berpoles lipstik itu mengulum senyum saat batin gadis itu bermonolog. Lalu, diarahkannya kedua kaki jenjang miliknya menuju lift bersimbol dua bentangan sayap dengan huruf P di dalamnya. Memaku tungkai di depan lift, gadis bernama Rosie itu menyibakkan surai brunette yang tampak bervolume oleh tatanan blow hairstyle, mengabaikan eksistensi seorang laki-laki yang turut berdiri di belakangnya.

* Ting

Pintu lift terbuka, Rosie sigap membawa tungkainya memasuki ruangan kotak bercorak emas dengan kaca besar di belakangnya. Tubuh yang ia putar dengan ringan guna menghadap pintu, menggoyangkan ujung dress, dan menerbangkan surai brunette-nya, hingga tak sengaja membelai lembut wajah lelaki yang mengulurkan tangan untuk memencet tombol lift.

Terkejut melihat tangan kekar itu, refleks, Rosie mengerutkan dahi, memutar kepala hanya untuk mendapati sang lelaki tengah menatapnya.

Laki-laki asing itu sangat tampan, dan tatahan wajahnya begitu sempurna di mata Rosie. Namun hal yang membuat Rosie terhipnotis saat mengamatinya adalah, kedua iris hijau seperti batu giok yang terus merekam parasnya tanpa sekalipun mengedipkan kelopak mata.

Merasa canggung dengan keadaan, Rosie berdehem lantas berujar, “Terima kasih.”

Sosok yang diajak bicara tidak membalas, alih-alih, dia justru memperhatikan visi Rosie dari atas hingga bawah dalam diam. Penciumannya tergoda untuk mengendus kembali aroma bunga mawar yang mengunci surai brunette gadis itu, namun tentu saja ia tahan, mengingat tindak tanduknya mungkin bisa dicap sebagai laki-laki cabul.

Kini lift berhenti di lantai destinasi. Tanpa mempedulikan lelaki di belakangnya, Rosie melangkah keluar menuju satu-satunya pintu akses menuju sebuah penthouse.

Dada Rosie membusung saat mengasong sejumlah oksigen untuk menenangkan diri, tepat ketika kakinya terpasak di depan pintu utama penthouse. Sedetik kemudian, pintu terbuka, menampilkan sosok wanita anggun berkulit putih dengan rambut hitam yang digerai mencapai bahu.

“Rosie!” Wanita itu menyunggingkan senyum, lalu memeluk Rosie. “Masuklah! Kami sudah menunggumu.” Sambutnya dengan hangat.

“Terima kasih, Eonnie,” balas Rosie.

Saat tungkai Rosie bergerak untuk melangkah masuk, wanita cantik bernama Joanna itu kembali menyuarakan vokalnya. “Kau juga, Victor!”

Bingung dengan siapa yang dimaksud, spontan, Rosie mengerling laki-laki yang berjalan tak acuh mendahuluinya memasuki penthouse dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.

“Dia … Victor …?” batin Rosie, netra menatap punggung lelaki yang kini memeluk sang ibu dengan senyum kotak mengembang di paras tampannya.

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

Rosie baru tahu kalau lelaki yang mengekornya di belakang ternyata adalah Victor Kim, bungsu dari keluarga Kim, juga adik dari si kembar Joanna Kim dan Joella Kim.

“Kau semakin cantik, Rosie,” kata Joella, menuangkan minuman beraroma anggur di gelas ayah dan tamunya.

“Terima kasih, Eonnie,” ucap Rosie tersipu. Di sampingnya, ada Victor yang sedang duduk dengan jemari sibuk membalas pesan dari Emily.

Sekedar informasi, Rosie tidak tahu kalau Victor yang masih bersikap tak acuh padanya adalah kekasih dari sahabatnya, Emily, juga laki-laki yang akan dijodohkan dengannya.

“Victor!”

Atensi Victor terdistraksi, gawai ditangannya diletakkan di meja samping tempat duduknya. “Ya, Ayah?”

“Apa kau ingat percakapan kita tempo hari?” tanya Tn. Kim.

“Ya …?” Victor mengerutkan dahi. Seingatnya, percakapan dengan ayahnya tempo hari adalah saat mereka membahas film Hitch.

“Menurutmu, apakah Ayah bisa menggantikan peran Will Smith dalam film itu?”

Victor tertawa hambar. “Tidak! Ayah tidak berbakat dalam acting.”

“Kau lihat, Gyu?” Tn. Kim menyebut nama ayah Rosie yang duduk di sebelahnya. “Putraku ini memang tidak pernah bisa menyenangkan hati ayahnya.”

Victor menjadi tak enak hati. Dia berdiri dan menghampiri Tn. Kim. “Bukan begitu, Ayah …” Berlutut di depan ayahnya yang melipat kedua tangan dengan bibir mengerucut. “Ya ampun … kapan pria tua ini bisa bersikap dewasa,” gumamnya dalam hati. “Aku minta maaf telah menyakiti hati Ayah, tapi Ayah tahu, aku tidak pernah bermaksud untuk meremehkan kemampuan Ayah, hanya saja …” Manik jadenya mengerling Tn. Park yang menahan tawa. “Aku tidak ingin membuat Ayah malu di depan Paman Park dan keluarganya,” bisiknya lirih.

“Yak!” Victor terkekeh melihat Ayahnya pura-pura mendelik kesal. “Kau tidak hanya menyakitiku, tapi kau benar-benar mempermalukan Ayahmu, Vic.” Tn. Kim menghapus air mata palsunya.

Melihat reaksi ayahnya, Victor menjadi panik. “M-maaf, Ayah … aku tidak bermaksud—“

“Ayah benar-benar kecewa padamu.” Dengan satu mata tertutup, Tn. Kim mengerling istrinya yang terlihat sedang menahan tawa, lalu mengedipkan sebelah matanya.

Victor membuang napas. Dia tahu apa yang diinginkan ayahnya jika sudah bersikap kekanakan seperti ini. “Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar Ayah bisa memaafkanku?”

“Tidak! Tidak perlu!” Tn. Kim semakin memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan senyum. “Ayah yakin kau tidak akan bisa melakukannya.”

“Jangan seperti itu, Ayah … katakan saja apa yang Ayah inginkan, aku pasti akan melakukannya.”

Kedua bola mata Tn. Kim melebar. Atensinya dipatri sepenuhnya pada putra yang masih menumpu beban tubuh pada lututnya, di depannya. “Kau janji?” Victor mengangguk. “Apapun yang Ayah inginkan kau akan melakukannya?”

“Ya, Ayah … apapun!” tegas Victor.

“Bagus!” Seketika Tn. Kim berdiri. “Sudah kubilang dia akan melakukannya, Gyu!” Menarik tangan Tn. Park, lalu memeluk dan menepuk-nepuk punggungnya.

Firasat Victor mengatakan dirinya telah terjebak dalam permainan kata sang ayah. Lalu, ketika kedua manik hijaunya ia tarik ke arah sang ibu, wanita paruh baya yang mempunyai manik sewarna miliknya pun sedang melakukan hal yang sama. Seketika ia teringat konversasinya dengan Emily, saat kekasihnya itu bercerita tentang sahabatnya, Rosie, yang akan dijodohkan oleh orangtuanya.

Memutar kepala ke arah Rosie, lelaki bersurai ravenette itu bergumam, “Rosie? Apa dia Rosie yang sama dengan sahabat Emily?” Wajah Rosie sedikit menyembulkan rona merah saat ditatap Victor. “Sial, aku terjebak!”

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

Tidak bisa berpaling dari janjinya, kini Victor memaku kedua tungkainya di altar, menunggu kedatangan mempelai perempuan berjalan masuk melewati pintu.

Alunan musik khas pernikahan pun menggema. Sosok perempuan dalam balutan busana pengantinnya berjalan anggun dengan jemari mengapit erat lengan sang ayah.

Tertegun melihat calon istrinya terlihat begitu cantik dengan wajah tertunduk menghampirinya, rungu Victor seolah tuli, hingga mengabaikan ucapan calon ayah mertuanya saat pria paruh baya itu menyerahkan tanggung jawabnya pada Victor.

“Ehem!” Joella membuat sinyal untuk menarik kembali atensi Victor.

Segera setelah itu, prosesi sakral dari pernikahan mereka berlangsung. Victor dan Rosie mengucapkan janji suci mereka di hadapan pendeta, juga keluarga dan teman dekat.

“Dengan ini, aku nyatakan kalian sebagai pasangan suami istri,” final sang pendeta.

“Pst! Pst!” Joella kembali menarik atensi Victor. “Cepat cium dia!” Gerakan bibir Joella membuat kedua bola mata Victor membulat sempurna.

Victor seolah lupa kalau setelah pengumuman statusnya, dia harus melakukan satu ritual lagi untuk menyempurnakan acara sakral itu. Ya, dia harus mencium Rosie. Sementara Rosie yang gugup hanya bisa membeku di tempat.

“Maaf …” Satu kata itu meluncur dari bibir Victor sebelum dia melabuhkan bibirnya di ranum Rosie, mengecupnya singkat lalu menatap manik almond istrinya itu dengan canggung, dan berkata, “Emm … Ny. Kim.”

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

UL 02

...Flashback...

Kembali pada satu hari setelah pengumuman perjodohannya, Victor dan Rosie membuat janji temu bersama. Agendanya tentu saja untuk membahas perjodohan mereka, dan Emily.

“Maaf, aku benar-benar tidak tahu kalau kau adalah Victor yang sering diceritakan Lily,” ungkap Rosie.

“Tidak, ini bukan salahmu. Kau berada di Ausie selama ini.” Sikap tenang masih ditunjukkan Victor hingga kini. “Dan kita berdua juga sama-sama tidak tahu mengenai rencana keluarga kita kemarin.“

“Tapi, tetap saja … aku sudah tahu kalau akan dijodohkan.” Rasa bersalah terbaca dari manik almond Rosie saat netra mereka saling pandang. “Meskipun aku tidak tahu kalau laki-laki yang dimaksud ayah adalah kau.”

“Tapi kau tidak tahu kalau aku adalah kekasih Emily, jadi jangan menyalahkan dirimu lagi, oke?!” kata Victor menyakinkan.

Kedua manik Rosie sedikit membulat saat mendengar kata-kata itu. Awalnya dia berpikir kalau Victor akan marah besar, sebab sejak awal Rosie tahu kalau dirinya akan dijodohkan, namun, tanggapan Victor justru berbanding terbalik dengan prasangkanya. Setelah pada pertemuan pertama pria bersurai ravenette itu bersikap tak acuh, kini pada pertemuan kedua dia justru menunjukkan kelembutan, dan sikap dewasanya, membuat Rosie sedikit menaruh rasa kagum pada dirinya.

Tapi, mengapa mereka berdua bisa bersikap setenang itu mengenai masalah perjodohan mereka? Mereka berdua terlihat keren lantaran tetap berusaha mencari solusinya dengan kepala dingin, meski tidak dapat dipungkiri kalau hati mereka benar-benar gusar.

“Lalu … bagaimana dengan Lily?” Urgensi dari pertemuan mereka disuarakan Rosie. “Jujur saja … aku tidak berani mengatakan hal ini pada Lily. Aku takut dia akan terluka.”

“Dia pasti akan terluka. Walau bagaimanapun dia sangat mencintaiku, jadi wajar jika dia akan bersedih dan marah pada kita. Tapi, kita tetap harus mengatakan hal ini padanya,” saran Victor.

“Kau benar. Kita akan menemui Lily lalu memintanya untuk bertemu dengan keluargamu. Jika kau dan Lily mengatakan pada keluargamu kalau kalian saling mencintai, aku yakin paman Kim akan berubah pikiran.” Sebuah senyum merekah di wajah Rosie saat menuturkannya. Tanpa ada sedikitpun rasa kecewa karena Victor menolak tegas perjodohan mereka, dia menambahkan, “Aku juga akan bicara dengan ayahku mengenai hal ini.”

“Terima kasih, Rosie.” Bibir Victor mengulum senyum. “Aku bersyukur karena gadis yang akan dijodohkan denganku adalah kau, jika gadis itu adalah orang lain … mungkin solusi ini tidak akan pernah disepakati.”

Setelah mencapai kesepakatan, mereka pergi bersama ke apartemen Emily, namun di tengah jalan, Rosie mendapat telepon dari kakaknya, Jimmy. Pria yang 7 tahun lebih tua dari Rosie itu mengatakan kalau ayah mereka mengalami serangan jantung. Jadi Victor merubah destinasi mereka dari apartemen Emily menuju rumah sakit.

Sepanjang perjalanan hati Rosie gusar. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada ayahnya. “Aku mohon, Tuhan … tolong selamatkan ayahku, aku tidak siap kalau Kau harus mengambilnya sekarang.” Batin Rosie bermonolog.

“Paman akan baik-baik saja.” Bariton lembut Victor mengudara, mendistraksi kekalutan batin Rosie.

Kontan, manik almond gadis bersurai brunette itu terpatri pada sang empu suara. Netra Rosie merekam bagaimana pemilik senyum kotak itu mencoba menenangkan dirinya melalui tatapan lembut iris berwarna jade itu, juga tangan kekar yang menggenggam jemarinya dengan erat.

Sesampainya di rumah sakit, Rosie memacu tungkainya ke ruang IGD, diikuti Victor yang berlari di belakangnya.

* Ting

Satu notifikasi masuk ke dalam ponsel Victor. Tanpa memperlambat kecepatan tungkainya, tangan Victor merogoh saku celana, menggapai ponselnya, lalu membukanya saat mencapai depan ruang IGD.

“Ada pekerjaan penting dan ini sangat mendesak, jadi, aku harus kembali ke London.” (R)

“Pesawatku berangkat 5 menit lagi.” (D)

“Jangan merindukanku, oke!” (D)

“Aku mencintaimu.” (D)

“Sial! Kenapa dia selalu menghilang di saat genting seperti ini?” kesal Victor dalam batin, menyembunyikan masalah baru seraya menghembuskan napas kasar berulang.

Begitulah cerita dibalik pernikahan yang akhirnya tetap dilangsungkan. Kondisi kesehatan ayah Rosie, serta kesibukan Emily yang membuatnya abai dan lalai pada Victor, menjadi faktor utama ikrar pernikahan mereka tetap dilafalkan.

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

“Aku senang sekali karena akhirnya kita menjadi tetangga!” Joanna menjelajah rumah baru Victor dan Rosie, seolah itu adalah hunian pribadi miliknya.

“Aku di sisi kanan, Joanna di sisi kiri. Rumah barumu diapit oleh rumah kami berdua, Vic.” Joella menyeringai senang.

Victor memutar bola mata. Dia ingat kalau dulu ayahnya telah membeli 3 rumah dengan ukuran yang sama, namun desain yang berbeda untuk ketiga putra-putrinya.

Rumah Joanna lebih pada desain hanok modern. Rumah Joella mengusung desain ala mediterania, sedangkan milik Victor lebih mengacu pada modern minimalis. Rumah ketiganya dibangun sesuai dengan rumah impian mereka. Walaupun untuk kasus Victor, mungkin agak sedikit melenceng terkait dengan siapa yang menghuni rumah impiannya tersebut.

“Apa kalian akan di sini sampai malam?” tanya Victor dengan menampilkan ekspresi jenuhnya.

“Oh, maaf, kami lupa kalau kalian adalah pengantin baru.” Joanna terkekeh. “Baiklah, Rosie sayang … kami pulang dulu.” Dia mendekatkan wajahnya lalu menempelkan tangan di telinga Rosie. “Aku menunggu cerita malam pertama kalian.”

Semburat rona merah total menyelimuti wajah Rosie. Wanita brunette itu menjadi salah tingkah saat Victor menatapnya tajam.

“Kenapa dia?” batin Victor.

“Bye, Rosie … Bye, Victor.” Sengaja si kembar menggoda Rosie, sebab mereka senang mendapati wanita brunette itu sebagai adik ipar mereka.

“Apa yang dikatakan Joanna noona?” tanya Victor penasaran.

“Hah? T-tidak, b-bukan apa-apa,” jawab Rosie terbata, lalu melenggang pergi menghindari Victor.

Satu alis Victor tertarik ke atas melihat sikap aneh istrinya. Akan tetapi, dia urung untuk mempedulikannya. Proses yang terlalu cepat dari pertunangan hingga pernikahan, membuatnya enggan memusingkan hal-hal sepele, karena, bagi dia ada yang jauh lebih penting sekarang yaitu, menunggu kabar dari Emily, kekasihnya.

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

Sepakat untuk tidur di kamar yang berbeda, baik Rosie maupun Victor sedang menyibukkan diri di kamar masing-masing. Rosie yang sedang mengejar deadline desain gambarnya, sedangkan Victor yang berkutat dengan ponselnya.

“Dia tidak berubah, selalu mengacuhkanku saat berada di luar negeri.” Menghembuskan napas kasar, Victor menyerah untuk menghubungi Emily.

“Kita akan bercerai setelah satu tahun.”

“Kau tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu.”

“Hmm … aku percaya padamu, Vic. Kita berdua harus bekerja sama untuk menjaga hati Emily.”

Konversasi dengan Rosie tiba-tiba meniti benaknya, setelah dia merebahkan punggungnya di kasur. “Bagaimana kau bisa begitu yakin? Padahal kau tidak mengenalku.”

Kesan pertama yang Victor dapat setelah bertemu dengan Rosie adalah nol. Biasanya radar dalam diri Victor akan menuntunnya pada satu, dua, atau tiga karakter gadis yang ia jumpai, dan selama itu pula intuisinya tidak pernah salah. Namun saat menyangkut Rosie, Victor tidak bisa menebaknya.

Awalnya dia berpikir kalau Rosie adalah gadis pendiam, pemalu, manja, dan selalu bergantung pada orang lain. Akan tetapi, setelah satu minggu mengenalnya, wanita brunette itu menunjukkan sisi yang berbeda jauh dengan apa yang selama ini Victor kira.

Satu minggu, benar, waktu yang dilalui mereka kini dari pertama kali bertemu hingga pernikahan memang sesingkat itu.

Roseline Park yang kini telah menjadi istri Victor Kim, tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk menata kamarnya. Dia juga tidak mau merepotkan Victor untuk mengantar jemput dirinya saat bekerja, atau sungkan untuk mengajaknya bicara.

Jika dilihat sekarang ini, hubungan mereka lebih seperti teman asrama yang saling peduli, namun tidak saling membutuhkan. Dan Victor sangat mensyukuri akan hal itu, sebab itu artinya dia tidak perlu terlibat dalam skenario melo drama kehidupan pernikahan seperti pada kebanyakan orang-orang yang mengalami perjodohan.

Atau, Victor hanya belum mengalaminya saja? Entahlah, hanya waktu yang akan menyajikan jawabannya.

* Tok-tok

Suara ketukan pintu menyapa rungu Victor. Segera dia bangkit berjalan membuka pintu kamarnya. Dahinya berkerut, alisnya saling bertaut mendapati Rosie berdiri di depan kamarnya dengan tubuh basah kuyup.

“Emm … aku mencoba memperbaiki kran wastafel di kamar mandi, tapi, sepertinya tenagaku tidak cukup kuat saat memutarnya jadi—“ Netra Rosie menatap kemanapun selain wajah Victor.

“Bodoh! Kenapa tidak memanggilku?” Victor menyentil kening Rosie.

Sontak saja Rosie terkejut, lantas memegang keningnya sebelum membawa tungkainya mengikuti Victor berjalan menuju kamarnya.

Butuh waktu satu menit bagi Victor untuk memperbaiki kran wastafel yang kurang kencang pemasangannya, dan kaos putih Victor pun menjadi korban dari air yang menyembur.

“Sudah beres!” kata Victor, buru-buru memacu tungkai untuk keluar dari kamar Rosie.

“Tunggu!” Victor menaikkan satu alis. “Kau bisa terkena flu kalau seperti ini.” Rosie mengelap wajah Victor dengan handuk.

“Terima kasih.” Menghentikan pergerakan Rosie, Victor mengambil handuk dari tangan Rosie dan mengusapkannya sendiri, lalu membentangkannya. “Tapi kau lebih membutuhkannya dari pada aku,” ujarnya menutupi tubuh basah Rosie. Setelah itu dia langsung pergi keluar kamar.

Aksi Victor barusan kembali menarik Rona merah untuk menghiasi kedua pipi Rosie. Bagaimana Rosie bisa lupa dengan keadaannya sendiri? Padahal bajunya jauh lebih basah dibanding Victor.

“Hmm … dia cukup perhatian.”

Dengan santai Rosie berjalan menuju kamar mandi. Saat mencapai wastafel untuk mengecek kran yang sudah diperbaiki Victor, handuk yang menutupi dadanya terjatuh, memperlihatkan salah satu pakaian dalamnya yang tampak menembus.

“T-tembus?” Kali ini seluruh wajah Rosie diselimuti rona merah. “Sangat memalukan, bagaiamana aku bisa seceroboh ini?” Membayangkan Victor yang sedari awal mungkin melihatnya.

Dugaan Rosie memang tidak salah, sebab, sedari awal dia datang mengetuk pintu kamar Victor, pria ravenette itu memang sudah melihat sesuatu yang tampak menembus bajunya. Tapi tentu saja itu bukan salah Victor, kan, itu salah Rosie sendiri karena dia bergegas meminta tolong tanpa mengecek keadaannya sendiri. Beruntung Victor adalah seorang gentleman. Dia sengaja menghindari bersitatap dengan Rosie, dan memilih untuk memunggunginya agar tidak melihat sesuatu yang kini membuat wanita brunette itu malu setengah mati. Kalau tidak, mungkin sesuatu dalam diri Victor sendiri akan ikut meronta.

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

UL 03

Satu minggu tinggal bersama, hubungan Victor dan Rosie tidak menunjukkan perkembangan apapun. Mereka bahkan cenderung abai satu sama lain, seolah tinggal sendiri di rumah besar itu.

Jika pagi tiba dan Rosie bangun lebih awal, dia akan membuatkan sarapan untuk dirinya serta Victor, tetapi belum pernah sekalipun mereka sarapan bersama dalam satu meja. Lalu, jika malam hari Victor pulang lebih awal, dia akan membuatkan makan malam atau membersihkan rumah jika tidak ada kerjaan. Akan tetapi, walaupun dia membuat makan malam untuk porsi dua orang, dia tetap akan makan malam sendiri tanpa menunggu kepulangan Rosie.

Untuk urusan membersihkan rumah memang mereka akan berbagi tugas. Namun untuk urusan binatu, mereka sepakat untuk mengerjakan hal itu sendiri-sendiri, bahkan jadwal mencuci mereka tidak boleh berbarengan. Alasannya tentu saja karena malu. Mereka malu kalau pasangan mereka harus melihat pakaian dalam mereka.

“Ahh … kenapa hari ini panas sekali?” Rosie meregangkan kedua tangan usai menjemur pakaian. Hari ini dia libur, jadi dia ingin memanjakan diri tanpa diganggu siapapun.

Selesai urusan binatu, wanita brunette itu merileks-kan tubuhnya dengan berendam dalam bathtub. Setengah jam berlalu, dia membasuh tubuhnya, mengeringkan rambut lalu memakai pakaian santai dan keluar kamar.

“Aku lapar.” Membuka lemari pendingin, dan mencari bahan makanan di pantri, namun yang dia temukan hanya sekotak sereal dan susu. “Oh, sial … aku lupa membeli bahan makanan.”

Tanpa menunggu lama, dia kembali memasuki kamar lalu keluar dengan pakaian yang berbeda 5 menit kemudian. Rosie memilih untuk berjalan kaki karena letak minimarket yang ia tuju hanya sekitar 20 menit dari rumah.

Sesampainya di minimarket, dia melihat siluet seseorang yang dikenalnya. Matanya pun mengerjap beberapa kali saat menyadari orang itu adalah Victor.

“Bukankah dia sedang bekerja?” gumam Rosie pada diri sendiri. Penasaran dengan hal itu, ia pun mengayunkan tungkainya menghampiri Victor. “Victor?” Tangannya menepuk punggung Victor.

“Rosie? Apa yang kau lakukan di sini?” Victor terkejut melihat Rosie.

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang kau lakukan di sini? Kupikir kau sedang bekerja.”

“Ya, aku memang pergi ke kantor, tapi Yeonsang hyung memintaku untuk menjemput Joella noona di sekolah Haru. Lalu saat lewat minimarket, aku ingat kita tidak punya stok bahan makanan apapun di rumah.”

Rosie mengangguk, “Ya … kau benar, aku kemari juga untuk itu.”

“Aku sudah mengambil daging dan sayuran, apa kau perlu sesuatu untuk menu nanti malam?” tanya Victor.

“Ya … tapi dibanding itu, aku sudah sangat lapar.” Rosie menggandeng tangan Victor. “Temani aku makan ramen, setelah itu baru kita belanja.”

Tanpa canggung Rosie memaksa Victor untuk ikut makan ramen dan kimbab. Mereka duduk beriringan dengan jalanan sebagai obyek penglihatan mereka.

“Kenapa?” tanya Rosie melihat raut wajah terkejut Victor.

“Aku tidak tahu kalau kau bisa makan sebanyak ini.” Victor menunjuk makanan dengan gerakan kepala. “1 porsi ramen dan 3 porsi kimbab?” tanyanya tak percaya. “Kau bahkan menambahkan 2 telur rebus dan 2 choco lava sebagai hidangan penutup?”

“Jangan salahkan aku, tapi salahkan perutku yang kelaparan,” jawab Rosie santai.

“Aku pikir hanya Emily, gadis yang porsi makannya besar.” Victor menopang kepala dengan tangannya. “Tapi melihat dirimu … sepertinya aku salah.”

Rosie terkekeh. “Apa Lily pernah bercerita tentang pertemuan pertama kami?”

“Tidak.”

Suapan kimbab terakhir ditelan Rosie, kemudian dia meneguk minuman soda. “Saat itu aku sedang kelaparan, benar-benar kelaparan. Tapi, lamington di toko favoritku hanya tinggal 1 porsi. Karena takut akan direbut pembeli lain, aku berlari menuju etalase dan berteriak pada penjaga toko, Aku mau lamington-nya. Tapi, sayangnya … lamington terakhir telah dibeli Lily. Jadi aku hanya bisa menangis tanpa suara.”

“Karena merasa kasihan, lalu Emily memberikan lamington itu padamu?” tebak Victor.

“Tepat sekali!” Rosie memutar tubuh guna menghadap Victor. “Bagaimana kao bisa tahu?”

“Karena seperti itulah Emily. Dia akan mengalah untuk menyenangkan hati orang lain.” Sebuah senyum tergurat di wajah Victor saat menuturkan itu. Kedua iris jadenya sirat akan afeksi pada gadis yang ia cintai.

Rosie yang melihat hal itu turut mengembangkan senyum. Dia merasa bahagia karena Emily mendapatkan pria yang baik seperti Victor. “Semoga kelak aku juga bisa mendapatkan pria dengan tatapan penuh cinta sepertimu, Vic,” monolognya dalam hati.

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

“Kapan semua ini akan berakhir, Jackson?” Emily menghempaskan bokongnya dengan kasar di sofa.

“2 minggu lagi, bukankah kau sudah melihat jadwalmu 1 bulan ini?” Jackson, manajer Emily tampak sibuk dengan gawai pipih di tangannya.

“2 minggu lagi?” Emily melotot. “Kau gila? Apa kau sedang memerah keringatku seperti sapi? Kau bahkan hanya memberiku waktu 3 jam untuk tidur, Jack.”

“Maaf, tapi jadwal kita memang sangat padat,” ucapnya tanpa mengerling Emily.

“Kalau begitu berikan ponselku! Setidaknya biarkan aku melepas rindu dengan kekasihku!”

“Tidak-tidak-tidak! Kita sudah sepakat untuk tidak memainkan ponsel kita saat bekerja.”

“Tapi ini 1 bulan, Jackson! Apa kau tidak rindu pada istri dan anakmu?”

“Mereka sudah tahu kebiasaan kita, jadi tidak masalah untuk mereka.”

Emily berdiri, menghentakkan kaki dan berjalan keluar ruangan sembari berkata, “Kau sinting, Jackson!”

“Tiga jam lagi kita ada pertemuan dengan Pangeran Willy, pastikan kau tidak terlambat, Lily!” seru Jackson tanpa dihiraukan Emily.

Gadis yang berprofesi sebagai model itu pergi meninggalkan manajernya. Dia merasa jenuh dengan rutinitas pekerjaannya kali ini. Ditambah larangan untuk menghubungi Victor, rasanya kepala Emily mau pecah.

* Bruk

“Sorry …” Ingin sekali Emily mengumpat pada lelaki yang menabraknya dengan kasar, hingga membuatnya jatuh terduduk. “Are you okay?” Lelaki itu mengulurkan tangan untuk menolong Emily.

“Kau menabrakku hingga terjatuh, bagaimana aku bisa baik-baik saja?” kesal Emily.

“I’m sorry, Ma’am … I'm in a hurry, so—“ Ucapan pria itu tercekat.

Manik Emily membola. “Hey! Bagaimana kau bisa tahu ucapanku?”

Siapa yang menduga kalau lelaki yang menabraknya berasal dari Korea. Emily menjadi senang bukan main, karena, merasa mendapatkan teman. Dia bahkan membuat janji untuk bertemu kembali setelah semua jadwalnya hari ini selesai. Dan benar saja, pada pukul 11 malam setelah semua kegiatannya berakhir, dia mengendap-endap keluar dari hotel untuk menemui lelaki tersebut.

Lelaki itu menawari Emily makan malam, dan tentu saja Emily mengiyakan ajakan lelaki tersebut, karena, terakhir kali dia mengisi perutnya adalah saat bertemu dengan Pangeran Willy. Lelaki itu pun membawa Emily ke sebuah pecinan untuk memikmati masakan khas negara tirai bambu itu.

“Hmm … aromanya sangat sedap.” Perut Emily mulai bersuara. ”Maaf.” Tersipu malu karena lelaki itu terkekeh mendengar suara perutnya.

“Jadwalmu pasti sangat padat, sampai kau lupa makan malam,” kata lelaki asing itu.

“Sebenarnya aku sudah makan malam dengan Pangeran Willy dan keluarganya.” Emily menarik kursi lalu duduk. “Tapi, aku tidak bisa mengisi penuh perutku, karena, harus menjaga sopan santunku di hadapan mereka.”

“Kau makan malam dengan Pangeran Willy dan keluarganya?” Emily mengangguk, bersamaan dengan saat lelaki itu mendudukkan bokongnya di kursi. “Hebat! Aku bahkan belum pernah bertemu dengan mereka secara langsung selama 6 bulan tinggal di London.”

Emily terkekah. “Aku bisa mengenalkanmu pada mereka kalau kau mau.”

“Tidak, terima kasih! Aku suka kehidupan yang bebas. Aku tidak suka pada hidup yang terikat pada banyak aturan. Cukup menjadi orang baik, dan tidak merugikan orang lain, itulah moto hidupku,” tutur lelaki yang menjentikkan jari untuk memanggil pelayan.

Emily merasa terkesan dengan cara berpikir lelaki tersebut. Dia berasa mempunyai kemiripan dalam cara pandang dengan lelaki yang belum genap ditemuinya selama 24 jam.

“Kau ingin pesan apa?” tanya lelaki tersebut setelah menyerahkan daftar menu pada Emily.

“Emm … berikan aku 3 menu terenak menurut versimu,” jawab Emily.

“Maksudmu kau akan memesan semuanya?” Emily mengangguk. “Hey! Perutmu bisa meledak jika makan sebanyak itu.”

“Tenang saja … perutku ini seperti karet.”

“Hmm … baiklah aku tidak akan bertanggung jawab kalau kau tidak bisa menghabiskannya.”

“Dimengerti, Tuan.”

Keduanya pun terkekeh. Lalu, kembali melanjutkan perbincangan mereka sembari menunggu kedatangan makanan yang mereka pesan.

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

* Tok-tok

Kepala Jimmy menyembul keluar dari balik pintu, sontak, Rosie mendongak. “Ada apa?”

“Aku akan makan siang dengan Ayeong dan Seoulhwa, apa kau mau ikut?” tawar Jimmy.

“Tidak, terima kasih. Victor akan menjemputku setengah jam lagi,” tolak Rosie.

Jimmy menyeringai senang, membawa kedua kakinya melangkah mendekati meja kerja ilustrator Sora Publisher. “Aku tidak tahu kalau perkembangan hubungan kalian bisa secepat ini. Apa kalian akan berkencan?” godanya.

Rosie memutar bola mata, membuang napas kasar, menatap tajam kakaknya. “Tidak! Aku hanya pergi untuk membantu Victor mencari hadiah untuk istri koleganya.”

“Hmm … kenapa aku mencium bau kekecewaan di sini?” Jimmy mendudukkan bokongnya di tepi meja.

“Sebaiknya kau keluar sekarang sebelum aku melemparimu dengan plakat-plakat itu, Jim!”

“Hey … berbuat kasar dengan atasanmu, kau bisa dituntut untuk itu.”

“Dan mengganggu pekerjaan bawahanmu, kau bisa kehilangan jutaan won karena melebihi deadline!” ancam Rosie.

“Cih! Kau memang tidak bisa diajak bercanda.”

“Tidak sekarang, Jim … aku harus segera menyelesaikan ini sebelum Victor datang.”

“Oh …” Netra sipit Jimmy membulat. Dia kembali mengembangkan senyum. “Jadi, semua ini karena Tn. Victor Kim?” ledeknya.

“Yak! Sudah kubilang bukan seperti itu!”

“Adik kecilku sudah jatuh pada pesona Victor Kim.” Beranjak dari meja kerja Rosie, Jimmy berjalan mundur sambil terus meledek adiknya. “Aku akan memberi tahu Ayeong dan memintanya untuk membuat perayaan kecil, karena, adikku tersayang sedang jatuh cinta pada suaminya.”

“Yak!” Rosie amat kesal dengan kelakuan Jimmy.

“Ahh … aku harus segera memberi tahu ayah dan ibu, kalau putri kecil mereka sudah tumbuh menjadi seorang wanita.” Berpura-pura mengambil ponsel untuk menghubungi ayahnya, seringai Jimmy terpatri di wajahnya.

“Yak! Jimmy Park!”

Tangan Rosie meraih kotak tisu di meja, lalu detik berikutnya, dia melemparkan kotak tisu itu ke arah Jimmy, namun, seseorang yang terkena hantaman benda kotak itu justru Victor, yang kini berdiri di depan ruangannya.

“Aww!”

...❦ 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑛𝑖𝑎𝑏𝑙𝑒 𝐿𝑜𝑣𝑒 ᰔᩚ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!