NovelToon NovelToon

CINTA PANDANGAN PERTAMA

1. CPP

Seandainya bukunya tidak ketinggalan. Ia pasti tidak perlu masuk lagi ke rumah sementara ibunya sudah menunggu di luar dengan mobil dihidupkan, mesinnya mengepulkan asap knalpot di tengah panas siang hari.

Atau bahkan sebelum itu. Ia tidak menunda-nunda untuk mencoba gaunnya, dengan begitu ia bisa menyadari lebih awal bahwa tali gaun itu kepanjangan, & ibunya tidak perlu mengeluarkan mesin jahit tuanya menyelamatkan untaian sutra ungu lemas malang itu di saat-saat terakhir.

Atau sehabis itu : kalau saja jarinya tidak teriris kertas ketika menge-print tiketnya, kalau saja ia tidak kehilangan charge ponselnya, kalau saja jalan tol ke bandara tidak macet. Kalau saja mereka tidak melewatkan pintu keluar tol, atau tidak mencari-cari recehan untuk membayar tol.. sehingga semua koin itu jatuh menggelinding ke kolong kursi sementara mobil-mobil di belakang mereka memencet klakson keras-keras.

Kalau saja roda kopernya tidak rusak.

Kalau saja ia lari lebih cepat ke gerbang.

Meskipun mungkin semua itu akhirnya tetap tidak penting.

Mungkin semua keterlambatan hari itu tidak berhubungan, dan seandainya penyebabnya bukan salah satu dari hal-hal itu, pasti saja yang lain. Faktor cuaca mungkin, hujan di jakarta, awan badai yang mengambang sejam lebih lamasebelum melanjutkan perjalanan. Jasmine bukan orang yang percaya hal-hal seperti nasib atau takdir, kalau dipikir-pikir, ia juga tidak terlalu percaya pada ketetapan waktu industri penerbangan.

Lagi pula, siapa pernah dengar pesawat berangkat tepat waktu?

Jasmine tidak pernah ketinggalan pesawat seumur hidup. Sekali pun tidak.

Tetapi, saat akhirnya ia mencapai gerbang sore ini, ia melihat para petugas menutup pintu dan mematikan komputer, jam menunjukkan pukul 17.30, dan tepat di balik jendela, pesawat itu mendekam seperti benteng besi raksasa; keliatan dari raut wajah semua orang di sekelilingnya bahwa tidak ada lagi yang akan naik ke benda itu.

Jasmine terlambat empat menit, kalau di pikir-pikir, selisihnya tidaklah terlalu besar; lamanya seperti selingan iklan, jeda antar jam pelajaran, waktu yang diperlukan untuk menghangatkan hidangan microwave. Empat menit tidak ada artinya. Setiap hari, di setiap bandara, ada orang-orang yang sempat naik ke pesawat mereka pada saat terakhir, terengah-engah sambil menyeret tas-tas mereka, lalu mengenyakkan tubuh ke tempat duduk sambil mendesah lega selagi pesawat lepas landas ke angkasa.

Tetapi Jasmine Sanjaya tidak. Ia membiarkan ranselnya terjatuh dari tangan selagi berdiri di jendela, mengawasi pesawat memisahkan diri dari garbarata berbentuk akordeon, sayapnya berotasi saat menuju landasan pacu tanpa dirinya.

Di seberang samudra, Ayahya sedang bersulang untuk terakhir kalinya, dan staf hotel bersarung tangan putih sedang mengelap alat-alat makan dari perak untuk perayaan besok malam.

Di belakangnya, seorang cowok dengan tiket 18-C di penerbangan berikut ke jakarta sedang melahap donat bergula, sama sekali tidak menyadari taburan serbuk putih di bagian depan baju birunya.

Jasmine memejamkan mata, sebentar saja, dan saat membukanya kembali, pesawat itu telah pergi.

Siapa sangka empat menit bisa mengubah segalanya?

Bandara itu bagaikan kamar penyiksaan jika kita mempunyai Fobia terhadap ruang sempit.

Masalahnya bukan cuma ancaman perjalanan yang menanti di depan, dijejalkan ke kursi-kursi seperti ikan sarden, kemudian dilontarkan ke udara dalam tabung besi sempit, melainkan juga terminal bandara itu sendiri. Impitan orang-orang, gerak kabur & perputarannya, dengung suara yang naik turun & memusingkan, hiruk pikuk dan keributan. Semuanya tersekat jendela-jendela kaca seperti peternakan semut raksasa..

Ini cuma salah satu dari banyak hal yang berusaha di pikirkan oleh Jasmine selagi ia berdiri tanpa daya di depan konter tiket

Bersambung

2. CPP

Jasmine bisa merasakan sesuatu dalam dirinya perlahan-lahan terlepas, seperti udara lamat-lamat mengembus dari balon. Sebagian rasa itu disebabkan oleh penerbangan yang tertunda, dan sebagian karena bandara itu sendiri. Tetapi sebagian besar adalah kesadaran bahwa ia sekarang akan terlambat menghadiri pernikahan yang bahkan pada awalnya tidak ingin dia hadiri. Perubahan nasib yang menyedihkan ini membuatnya ingin menangis.

Para awak gerbang telah berkumpul di sisi lain konter untuk mengerutkan dahi kepadanya dengan sangat tidak sabar. Layar di belakang mereka sudah berganti mengumumkan penerbangan dari London city ke SH, yang baru berangkat lebih dari tiga jam lagi. Jelas bahwa Jasminelah yang menghambat berakhirnya sif kerja mereka.

“ Maaf, Nona,” ujar salah satu awak, desah tertahan terdengar jelas dalam suaranya. “ Tidak ada jalan lain kecuali menaikkanmu ke penerbangan berikutnya.”

Jasmine mengangguk muram. Ia telah melewatkan beberapa minggu terakhir dengan diam-diam mengharapkan inilah yang akan terjadi, meskipun harus ia akui skenario bayangannya sedikit lebih dramatis: pemogokan penerbangan besar-besaran,hujan deras, flu berat yang bisa mencegahnya berangkat. Itu semua merupakan alasan yang sangat sempurna untuk melewatkan pernikahan ayahnya dengan seorang wanita yang tidak pernah ditemuinya.

Tetapi, empat menit ketinggalan pesawat tampak sedikit terlalu kebetulan, mungkin agak mencurigakan, dan Jasmine tidak benar-benar yakin orangtuanya, baik ayah dan ibunya, akan mengerti itu bukan salahnya. Malah, ia menduga ini mungkin tidak termasuk dalam sedikit hal yang disepakati kedua orangtuanya.

Ialah yang mengusulkan untuk melewatkan makan malam gladi resik, dan sebagai gantinya tiba di Jakarta pagi hari saat pernikahan dilangsungkan. Jasmine sudah setahun lebih tidak bertemu dengan ayahnya. Ia tidak yakin bisa duduk seruangan dengan semua orang penting dalam hidup sang ayah, teman-teman dan koleganya, dunia kecil yang di bangun sendiri oleh ayahnya di seberang samudra, saat mereka bersulang untuk kesehatan & hidup barunya. Seandainya semua terserah pada Jasmine, ia bahkan tidak akan menghadiri pernikahan itu sendiri, tetapi hal itu tidak bisa di tawar-tawar.

“ Dia tetap ayahmu,” ibuku terus mengingatkannya, seolah-olah hal ini bisa dilupakan Jasmine.

“ Jika kau tidak pergi, kau akan menyesalinya nanti. Aku tahu sulit membayangkannya saat umurmu 17 tahun, tetapi percayalah. Suatu hari nanti kau akan menyesal.”

Jasmine tidak yakin soal itu. Sang awak sekarang sibuk mengetik di keyboard komputernya dengan kecepatan ganas, memencet-mencet tombol sambil mengatup-ngatupkan gusinya. “ Kau beruntung,” katanya sambil mengangkat kedua tangan dengan bergaya. ” Aku bisa mendaftarkanmu ke penerbangan 8.30. Kursi 18-A. Di sebelah jendela.”

Jasmine nyaris takut bertanya, tetapi ia tetap berkata. “ Kapan mendaratnya?”

“ Jam sembilan lewat lima puluh empat menit,” jawab si awak. “ Besok pagi.”

Jasmine membayangkan kaligrafi indah pada undangan pernikahan tebal berwarna gading, yang tergeletak berbulan-bulan di meja riasnya sekarang. Upacara akan dimulai besok pada tengah hari, yang berarti jika segala sesuatu berjalan sesuai jadwal, penerbangan, pengambilan bagasi, taksi & lalu lintas, penentuan waktunya yang terkoreografi sempurna, ia masih bisa hadir tepat waktu. Tapi nyaris terlambat.

“ Boarding di gerbang ini jam sembilan lewat empat puluh lima menit,” ujar si petugas sambil memberikan kertas-kertas yang terikat rapi dalam bungkusan kecil. “ Semoga penerbanganmu menyenangkan.”

Jasmine perlahan menghampiri jendela & mengamati deretan kursi abu-abu menjemukan, kemudian Ia meletakkan ransel di atas koper jinjingnya & merogoh ponsel, lalu menelusuri daftar kontak untuk mencari nomor ponsel ayahnya.

Bersambung

3. CPP

Jasmine kemudian menghubungi ayahnya, jantungnya kini berpacu saat ponsel itu berbunyi; meskipun ayahnya masih cukup sering meneleponnya, Jasmine mungkin cuma meneleponnya sesekali. Waktu di jakarta menunjukkan hampir tengah malam , & saat ayahnya akhirnya mengangkat telepon, suaranya parau, diperlambat tidur atau alkohol atau mungkin keduanya.

“ Jasmine?”

“ Aku ketinggalan pesawat,” ujar Jasmine, menggunakan nada singkat yang keluar begitu alami setiap kali ia bicara dengan ayahnya belakangan ini, efek samping dari ketidaksukaan Jasmine kepadanya.

“ Apa?”

Jasmine mendesah & mengulang, “ Aku ketinggalan pesawat.”

Di belakang, Jasmine bisa mendengar Caroline menggumam, & sesuatu menyala di dalam dirinya, amarah yang meluap dengan cepat. Terlepas dari semua email manis yang dikirimkan wanita itu sejak ayahnya melamar, yang dipenuhi rencana pernikahan & foto-foto perjalanan mereka ke Paris, serta permohonan agar Jasmine ikut terlibat dalam upacara pernikahan mereka yang penuh drama.

Sudah setahun lebih sembilan puluh enam hari Jasmine memutuskan untuk membenci Caroline, & perlu usaha yang jauh lebih keras daripada undangan menjadi pengiring pengantin untuk menghapus kebencian itu.

“ Baik,” ujar ayahnya, “ Apa kau mendapat pesawat yang lain?”

“ Iya, tetapi mendaratnya jam sepuluh.”

“ Besok?”

“ Tidak, malam ini,” jawab Jasmine. “ Aku akan naik komet.”

Ayahnya mengabaikannya. “ Itu sudah terlambat. Terlalu mepet dengan jadwal upacara. Aku tidak akan bisa menjemputmu,” ujarnya. Terdengar suara teredam saat ia menutup telepon dengan tangan untuk berbisik dengan Caroline. “ Kami mungkin bisa meminta Bibi Maria menjemputmu.”

“ Siapa Bibi Maria?”

“ Bibinya Caroline.”

“ Umurku tujuh belas tahun,” Jasmine mengingatkannya. “ Aku sangat yakin bisa naik taksi sendiri ke gereja.”

“ Entahlah,” komentar Ayahnya.” Ini pertama kalinya kau ke Jakarta….” Ia tidak meneruskan kalimatnya, lalu berdehem. “ Menurutmu ibumu tidak keberatan?”

“ Ibuku tidak di sini,” cetus Jasmine. “ Kurasa ia menghadiri pernikahan yang pertama.”

Hening di sisi lain sambungan.

“ Tidak apa-apa, Ayah. Akan kutemui kau di gereja besok. Mudah-mudahan aku tidak terlalu terlambat.”

“ Oke,” ujar ayahnya lembut. “ Aku sudah kangen melihatmu.”

“ Iya,” balas Jasmine, tidak mampu mengucapkan hal yang sama kepada ayahnya. “ Sampai ketemu besok.”

Barulah setelah mereka memutuskan hubungan, Jasmine sadar ia bahkan tidak bertanya bagaimana kelangsungan makan malam gladi resiknya. Ia tidak terlalu yakin ingin tahu.

Untuk waktu yang lama, ia hanya berdiri seperti itu, dengan ponsel masih tergenggam erat di tangan, berusaha agar tidak memikirkan semua yang menantinya di seberang samudra. Aroma mentega dari stan pretzel di dekat situ membuatnya agak mual, & ia hanya ingin duduk, tetapi gerbang itu penuh sesak oleh para penumpang yang tumpah ruah di terminal lain.

Saat itu orang-orang menetapkan batas-batas wilayah mereka, seakan mengklaim bagian-bagian ruang tunggu seolah berencana tinggal di sana selamanya. Ada koper-koper yang bertengger di kursi-kursi kosong, kantong-kantong McDonald”s berminyak yang bertebaran di lantai.

Saat dengan hati-hati melewati seorang pria yang tidur beralas ransel, Jasmine sangat menyadari kedekatan langit-langit & himpitan dinding-dinding, juga orang-orang yang semakin menyemut di sekelilingnya, sehingga ia harus mengingatkan diri sendiri untuk bernapas.

Saat melihat sebuah kursi kosong, ia bergegas ke sana, menyetir koper-koper berodanya melalui lautan sepatu & berusaha tidak memikirkan betapa kusut gaun ungu konyol itu jika ia tiba besok pagi. Rencananya ia akan menghabiskan beberapa jam bersiap-siap di hotel sebelum upacara, tetapi sekarang ia harus mengejar waktu ke gereja.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!