NovelToon NovelToon

Pak Guru Tajir VS Gadis Bar-bar

Kapten Tawuran yang Dikejar

Tongkat kasti selalu menjadi senjata andalan bagi Candice untuk melakukan serangannya melawan SMA lain dalam tawuran ke-20 kali ini. Si blasteran Indonesia-Inggris tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menebas tulang-tulang mereka sampai patah hanya demi memenangkan pertarungan antar sekolah. Suara cempreng dari mulutnya yang tipis dan manis mendukung keramaian yang terjadi atas peristiwa tersebut.

"Kapten! Awas!"

Seruan salah satu teman Candice terdengar ketika musuh datang dari sebelah kanan. Cepat, Candice bergerak ke bawah untuk menghindari sabetan ikat pinggang yang nyaris menyobek kulit lehernya.

"Sialan!" umpat Candice kesal sembari mengayunkan tongkat kasti ke arah musuhnya tersebut. "Mampus!"

"Candice lari! Polisi datang!"

Seruan kedua dari seseorang yang tak lain adalah Rusdy membuat fokus Candice pecah. Di mana musuhnya langsung sigap menangkap tongkat kasti yang ia ayunkan, lalu membuangnya begitu saja ketika suara sirine mobil polisi mulai terdengar. Tak hanya musuh Candice saja yang berlari, Candice, Rusdy, serta seluruh anggota kelompok tawuran itu menghambur ke arah yang berlawanan dari kedatangan mobil polisi.

"Padahal sedikit lagi, aku bisa mematahkan salah satu tulangnya!" ucap Candice kesal sembari terus berlari.

"Lupakan dulu soal itu, kita enggak boleh tertangkap terlebih dahulu!" sahut Rusdy sembari menarik lengan Candice. Ia membawa gadis blasteran itu memasuki salah satu gang sempit untuk melarikan diri.

Keadaan mencekam mulai sirna ketika Candice dan Rusdy berhasil memasuki salah satu warung makan yang kerap mereka kunjungi selepas pulang dari sekolah. Suara napas terengah-engah dan batuk masih kerap terdengar dari mulut kedua remaja tersebut. Hananto selalu pemilik warung hanya bisa menggelengkan kepala serta mendecapkan lidah. Ia tahu betul situasi yang baru saja terjadi pada kedua pelanggan setianya tersebut.

"Pak Hanan, Candice mau es teh dong! Yang manis seperti biasanya!" seru Candice memesan minuman populer yang masih menjadi favoritnya.

Hananto meletakkan dua botol air mineral untuk Candice dan Rusdy. "Ada baiknya Mas Rusdy dan Mbak Bule minum air putih terlebih dahulu setelah dikejar musuh!" ucapnya sarkastik. Namun, meski sedang menyindir, senyum ramah tidak menghilang dari wajahnya yang sudah paruh baya.

Tanpa banyak berpikir Candice langsung meraih botol air mineral. Gerakannya begitu gesit ketika membuka penutup botol dan segera menenggak isinya sampai hanya tersisa setengah dari porsi sebenarnya. Gadis remaja pemilik nama panjang Candice Nuansa Louis ini memang cenderung tidak sabaran. Untuk aktivitas apa pun. Sikapnya benar-benar kasar dan terkesan seperti preman. Meskipun secara fisik ia sudah cukup pantas dijadikan sebagai super model berkat wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang tinggi proporsional, sayangnya ia memilih jalan hidup sebagai gadis bar-bar.

"Aku tahu kamu kapten! Kamu kuat dengan kemampuan bertarung yang hebat. Tapi sehebat-hebatnya seorang gadis pasti tetap akan kalah pada laki-laki, Candice. Kamu hanya dibutuhkan untuk mengatur strategi bukannya malah ikut bertempur!" Rusdy mengomel. Ia selalu tidak ingin melibatkan Candice di dalam setiap pertempuran. Tak hanya karena Candice adalah seorang gadis, melainkan karena Rusdi merasa dirinya harus melindungi Candice sebagai gadis yang diam-diam selalu ia puja.

Omelan Rusdy seperti rengekan anak TK bagi Candice. Berisik dan menyebalkan. Setidaknya itu yang ia rasakan ketika melihat para anak kecil yang berceloteh. Ia memang tidak menyukai anak kecil. Mereka sangat lemah dan mudah menangis, sangat berbeda dengan jiwa Candice yang rasanya dipenuhi bara api yang tidak pernah padam.

"Berhentilah mengomel dan minumlah dengan cepat. Aku paling enggak senang mendengar orang banyak bicara! Bersikaplah seperti Pak Hananto yang meski heran, dia tetap bisa diam dan tahu posisi," sahut Candice atas ucapan Rusdy barusan. "Lagi pula, kamu sendiri enggak lebih kuat daripada aku, Rusdy Pangeran!"

"Seenggaknya aku bisa lebih gesit dan pintar. Apa kamu lupa, tadi kamu nyaris mati disabet ikat pinggang! Kalau Anhar tidak teriak, kamu pasti sudah tewas, tahu!" Rusdy tak ingin kalah dalam berdebat. Mau bagaimanapun ia tetap menginginkan keamanan Candice. Dan sudah seharusnya ia mengatakan kata-kata pedas hanya untuk membuat gadis itu menjadi sadar. "Belum lagi jika guru BK tahu, aku hanya akan disalahkan karena sudah mengajakmu tawuran!"

"Aku selalu berhasil mengatasi guru BK itu. Dan lagi kita sebentar lagi sudah kelas tiga, pasti enggak ada lagi waktu untuk berperang, bukan?"

Rusdy menghela napas, kesal. Sialnya, Candice jauh lebih keras kepala. "Ngomong-ngomong soal kenaikan kelas ...." Rusdy mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apa kamu yakin kita bisa naik kelas? Para guru saja selalu berdemo agar kepala sekolah mengeluarkan kita berdua."

"Naik kelas dong! Kalau sampai enggak naik, habis tuh kantor guru. Biar aku bakar habis sampai tak bersisa!"

"Hahaha!" Rusdy tergelak. "Aku akan membantumu, Candice!"

Seperti yang mereka perbincangkan, para guru memang sudah gerah dengan tingkah nakal mereka yang tak hanya sekadar bandel. Candice dan Rusdy sudah seperti geng mafia lingkup sekolah yang sulit diatasi. Namun, belakangan ini Candice mengetahui jika kepala sekolah masih berusaha melindunginya, dengan alasan karena Candice adalah remaja blasteran yang bisa menarik minat calon siswa. Ah, rasanya sangat menyebalkan karena terkesan dimanfaatkan. Akan tetapi, Candice selalu melihat keuntungan yang bisa ia dapatkan. Ia hanya akan diceramahi tanpa harus dikeluarkan.

***

Hans Diego Narendra, guru muda berusia 25 tahun sudah mempersiapkan diri atas kepindahannya dari SMA lain ke salah satu SMA. Saat ini pun, Hans sudah menghadap kepala sekolah dari SMA yang akan menjadi tempat kerja barunya. Ada beberapa alasan yang membuat kepala sekolah itu mengundangnya secara pribadi sore ini di salah satunya restoran dengan ruangan private.

"Sebelumnya saya meminta maaf karena telah membuat Tuan Hans datang di sore-sore seperti ini. Mengingat besok adalah hari pertama kerja Tuan Hans, tampaknya ada sesuatu yang harus kita bicarakan terlebih dahulu," ucap kepala sekolah tersebut.

"Tolong jangan panggil saya dengan sebutan 'tuan', Pak Kusuma. Saya hanyalah calon guru di sekolah Anda, dan bukan pengusaha besar seperti ayah saya." Hans memberikan sahutan dan sedikit ralat.

Kusuma alias kepala sekolah tersebut tersenyum kikuk. "Maafkan saya, Tuan, mm ... Pak Guru Hans! Saya hanya masih segan berbicara dengan salah satu anggota keluarga Narendra. Mm, begini, ada sesuatu yang harus saya katakan. Terkait dengan kelas yang akan Pak Guru Hans urus nantinya. Ada anak bernama Candice, dia blasteran Inggris dan juga Rusdy Pangeran. Mereka sangat sulit diatasi."

"Jadi, Pak Kepala Sekolah meminta guru baru seperti saya untuk mengurus anak-anak nakal itu?" tebak Hans.

"Maafkan saya sebelumnya, tapi kurang lebih memang seperti itu. Satu kelas berisi 38 siswa. Tapi, yang paling nakal adalah mereka. Jika mereka berhenti bandel, mungkin kelompok tawurannya pun akan diam juga."

Hans mengernyitkan dahi. "Kelompok tawuran?"

Dengan berat hati, Kusuma harus menganggukkan kepalanya. "Semua guru di sekolah kami benar-benar kesulitan mengatasi mereka. Sementara Pak Guru Hans masih sangat muda, itu artinya hanya Pak Guru yang mungkin bisa memahami mereka. Selain itu, Anda berasal dari keluarga terpandang, siapa tahu Anda tidak keberatan untuk menggunakan status itu sebagai gertakan dalam menghadapi mereka. Sebenarnya mereka hanya anak-anak biasa. Tapi, setelah saya memastikan latar belakang mereka lagi, mereka berasal dari keluarga yang tidak baik-baik saja. Candice yang meskipun gadis blasteran sudah lama ditinggal pergi oleh ayahnya yang tidak bertanggung jawab, sementara menurut keterangan dari neneknya, Rusdy memiliki trauma masa kecil. Sebagai kepala sekolah, saya tidak ingin murid-murid saya gagal, apalagi sebentar lagi mereka akan naik ke kelas tiga dan menghadapi ujian kelulusan yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya."

Hans tidak senang jika dirinya harus memanfaatkan statusnya sebagai salah satu putra seorang konglomerat. Bahkan sebelum ini ia sudah meminta Kusuma untuk merahasiakan kenyataan itu. Ia ingin menjadi seorang guru untuk beberapa alasan, dan terutama untuk menghindari sekolah bisnis yang diinginkan oleh orang tuanya. Namun, setelah mendengar alasan Kusuma sampai mengundangnya secara pribadi sore ini hanya demi mengatasi dua remaja nakal tersebut, Hans merasa bahwa dirinya memang harus membantu.

Lagi pula, Kusuma benar, Hans masih sangat muda dan mungkin bisa lebih memahami kedua remaja tersebut. Kusuma sendiri tidak hanya ingin mempertahankan Candice sebagai bintang yang bisa menarik minat para calon siswa, tetapi alasan latar belakang Candice dan Rusdy membuatnya harus mengambil sikap yang jauh lebih bijak.

"Baiklah saya rasa saya bisa melakukannya, Pak Kepala Sekolah," ucap Hans sembari tersenyum.

***

Hidup Candice yang Semrawut

Baru saja pulang dari sekolah, Candice sudah mendapat tamparan keras dari Lusiana—ibu kandungnya—sampai pipinya menjadi memerah. Namun sebagai gadis kuat, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan rasa nyeri akibat dari tamparan itu. Tak ada satu pun kalimat aduh kesakitan. Reaksinya terhadap sikap ibunya justru tampak jelas di wajahnya yang kebule-bulean tersebut. Reaksi kesal dan juga malas.

"Sudah Ibu bilang, jangan ikut-ikutan tawuran lagi! Wali kelasmu lagi-lagi menghubungi Ibu. Dan sekarang berita geger tawuran sedang muncul di televisi. Candice, jangan bikin Ibu malu lagi dong, Nak! Ibu kerja keras dari pagi sampai pagi lagi, biar kamu bisa tetap sekolah, kok ya malah tingkahmualah semakin seperti itu, sih?!" omel Lusiana saking kesalnya.

Candice mendecapkan lidah tanpa mau bersuara. Bahkan setelah itu ia langsung memaksa masuk ke dalam rumah lantai dua minimalis yang ia huni bersama ibunya tersebut. Semua ucapan ibunya masuk ke telinga kanan keluar telinga kiri. Bagi Candice, tak ada yang lebih penting daripada segera melesakkan diri ke dalam kamar dan merebahkan badan.

"Candice! Sekali lagi kamu melangkah dan enggak mau mendengarkan Ibu, jangan harap Ibu bakal kasih kamu uang jajan lagi, Nak!" ancam Lusiana yang sudah memutar tubuhnya untuk menatap anak perempuannya yang nakal itu.

Candice menggertakkan gigi kemudian berbalik badan lagi. Ia menatap ibunya dengan sangat nanar. "Ibu sudah enggak punya uang untuk aku? Apa Om Tua itu sudah enggak kasih Ibu tips kencan lagi? Apa Ibu sudah enggak sesuai seleranya lagi?" balasnya bertanya.

Lusiana menelan saliva, di saat sepasang matanya tengah mengerjap-ngerjap sekarang. Selalu seperti ini. Anaknya tak bisa menerima kenyataan tentang dirinya yang tengah menjalin hubungan dengan seorang pria tua. Yah, wajar saja. Karena pria tua itu memang sudah beristri. Dan kenyataan itulah yang membuat Lusiana tak bisa langsung berdalih. Ia cukup malu dan tahu diri. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menyudahi hubungan yang telah ia mulai sejak satu tahun yang lalu.

Tanpa pria tua itu, mungkin Lusiana tidak akan sanggup menyekolahkan Candice sampai ke jenjang SMA. Apalagi zaman sekarang, mencari pekerjaan bagi dirinya yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun sangatlah sulit. Terakhir ia bekerja di sebagai staff di sebuah perusahaan kecil, tetapi kemudian malah di-PHK karena pandemi. Beruntung, parasnya masih cantik sehingga tak sulit baginya menarik minat pria tua yang kaya-raya, yang ia temui di bar.

"Jangan bersikap kurang ajar pada Ibu, Candice. Ibu terpaksa melakukan hal itu untuk kamu! Ibu sampai harus menghilangkan harga diri, ya semuanya demi kamu!" ucap Lusiana.

Candice menyeringai. "Kalau begitu, Ibu juga harus menerima kenyataan bahwa anak yang Ibu besarkan dengan uang dari Tua Bangka suami orang itu, menjadi gadis pembangkang sekaligus nakal! Inilah hasil dari pekerjaan Ibu yang kotor!" tukasnya pedas. "Sudahlah! Berisik tahu! Aku lelah. Kalau memang sudah enggak mau kasih uang jajan, ya sudah! Aku bisa nyopet! Gampang, 'kan?! Sekalian saja Ibu keluarkan aku dari sekolah, biar Ibu bisa menikmati uang haram pemberian tua bangka itu sendirian!"

Candice mendesis, kemudian mengumpat pelan. Dengan sikap kurang ajarnya itu, ia mengabaikan ibunya yang memberikan reaksi begitu menyedihkan. Namun Candice tidak peduli. Ia sudah membenci apa pun di rumah ini, bahkan termasuk ibunya yang membuat keputusan bodoh dengan memacari pria berusia lima puluhan tahun yang masih memiliki istri sekaligus sudah memiliki tiga orang anak dewasa. Sayangnya, di waktu bersamaan, ia tidak bisa meninggalkan rumah itu karena di balik rasa bencinya, ia tetap menyayangi ibunya.

Entahlah. Candice merasa hidupnya sudah terlalu cacat untuk diperbaiki. Di masa kecilnya, ia sempat dibully karena tak punya ayah sekaligus karena memiliki paras yang berbeda dengan warga lokal. Rambutnya pirang, matanya biru kehijauan, dan kulitnya dianggap terlalu putih. Di masa itu, ia dianggap aneh. Meski sekarang kebanyakan orang menilainya sangat cantik, akibat trauma dari masa kecil, ia tetap tak mampu menerima dirinya sendiri dengan baik.

Selain itu, pria yang Candice ketahui bernama Ferguz Louse, selaku ayah kandungnya malah kabur setelah menikahi ibunya yang kala itu mengandung dirinya di usia masih cukup muda. Melelahkan. Candice merasa hidup segan mati tak mau.

Setelah Candice sudah naik ke lantai dua dan memasuki kamar, Lusiana yang masih berada di lantai pertama hanya mampu menghela napas. Wajahnya yang masih cantik itu tampak lebih pucat. Candice yang sulit diatur membuatnya kerap sesak napas. Tidak hanya sekali dua kali ia mendapatkan teguran dari wali kelas karena putrinya kerap terlibat tawuran atau berbagai masalah yang sangat merugikan. Masih beruntung, Candice tidak dikeluarkan, tetapi semakin lama mengapa Candice semakin urakan?

Lusiana kini duduk di salah satu kursi di sofa ruang tamu rumahnya. Ia menekan keningnya yang teramat pening. Lelah sekali. Dan malam ini ia harus datang ke pertemuannya dengan Tony Dharmendra, kekasih tuanya.

"Andaikan kamu enggak kabur, Fer! Aku pasti enggak akan berakhir seperti ini, Sialan! Ugh ...." Lusiana meratap, menyalahkan mantan suaminya yang entah ke mana. Bahkan sebelum Ferguz pergi pun, tak ada gugatan cerai sama sekali dari pria itu. Entah apa dan mengapa. Sampai pria yang berasal dari Inggris itu sampai meninggalkan Lusiana yang sedang hamil enam bulan.

Mungkinkah kala itu, Ferguz hanya memanfaatkan Lusiana untuk bisa membangun usaha di Indonesia? Lalu ketika gagal, Ferguz langsung memutuskan menghilang?

"Seenggaknya kasihani anakmu, Ferguz!"

Sementara itu, Candice terduduk muram di atas ranjangnya. Ia merasa hampa ketika sudah di rumah. Tak ada kehangatan, yang ada hanyalah berbagai kemarahan. Lebih baik berada di luar, tetapi bukan di sekolah. Di pinggir jalan, membuat keonaran, dan keramaian pun bisa ia dapatkan.

"Menyebalkan!" ucap Candice kesal. "Haruskah aku bakar salah satu rumah warga biar lebih menyenangkan?"

"Aaaah! Sial! Aku benci, kenapa di dunia ini ada hukum sih?!" pekik Candice kesal. "Dan mengapa harus ada yang namanya manusia? Aku bahkan enggak bisa menerima kalau diriku adalah manusia. Kenapa aku enggak terlahir sebagai alien saja, hah?!"

Detik berikutnya, gadis yang sebentar lagi akan berusia tujuh belas tahun itu langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang full hitamnya tanpa berkenan berganti pakaian terlebih dahulu. Ia menatap langit-langit kamarnya. Berpikir mengapa usia remajanya sudah terasa sangat melelahkan. Mengapa pula, ia tidak digugurkan ketika Lusiana ditinggalkan oleh Ferguz? Seandainya ia tidak pernah lahir, bukankah ibunya tidak akan pernah semenderita saat ini? Ibunya itu juga tak harus menjadi simpanan seorang pria lanjut usia, dan tidak akan pernah bekerja keras sampai sulit untuk ditemui oleh siapa pun termasuk dirinya.

"Ck, sangat menyebalkaaaaan! Rasanya enggak ingin hidup lagi, tapi aku juga takut mati. Bagaimana dooong?! Dan kenapa juga si Wali Kelas songong itu malah telepon Ibu coba? Dia enggak mengindahkan ancamanku ya? Awas saja!"

Candice mengumpat sampai beberapa kali sembari memukul ranjangnya sendiri. Ah, bukan hal asing lagi rumahnya memang membuatnya kian semrawut. Tak ada tempat pulang yang menyenangkan, jalanan jauh lebih membuatnya tersenyum tenang.

***

Pria Asing yang Tampan Sekaligus Menyebalkan

Candice Nuansa Louis. Gadis blasteran cantik yang juga merupakan anak broken home itu sedang berjalan memasuki gerbang sekolah. Ia hanya sendirian ketika anak-anak lain setidaknya memiliki teman untuk berjalan memasuki area dalam gedung sekolahan. Andai saja hari ini bukan hari di mana ujian kenaikan kelas dimulai, sudah pasti Candice lebih memilih berangkat terlambat daripada harus meruput sepagi ini.

Tak seperti siswa-siswi yang lain, sosok Candice sama sekali tidak menunjukkan keceriaan, tak pula kecemasan, sebab hanya kemasaman saja yang menghiasi wajah cantik Inggris-nya itu untuk saat ini. Rambutnya yang pirang pun hanya ia ikat ala kadarnya. Baju seragamnya tidak dikancingkan dan memperlihatkan kaos bergambar tengkorak yang ia kenakan sebagai kaos dalam. Belum lagi ketika rok span abu-abunya yang pendek malah ia padukan dengan sebuah celana olahraga panjang berwarna hitam dengan garis merah di kedua sisi samping, yang membuat Candice benar-benar terlihat sebagai anak badung dan bandel.

"Malas sekali, ih! Rusdy pasti masih tidur jam segini. Kalau saja Ibu enggak cerewet gara-gara hari ini hari pertama ujian, aku enggak akan masuk sepagi ini. Sialan!" ucap Candice diiringi umpatan kasarnya sekaligus tendangan yang ia lakukan terhadap sebuah kaleng soda yang kebetulan ia temukan di tempatnya berpijak itu.

"Aaaa! Ih siapa sih?!" Suara pekikan dari siswi lain terdengar. Adalah Anita Prameswari, si idola sekolah yang cantik jelita dengan kecantikan Asianya. Detik berikutnya, ia membalikkan tubuh untuk memastikan siapa yang telah melemparkan kaleng bekas minuman itu.

Wajah Anita yang cantik itu langsung syok ketika mendapati si Gadis Bar-bar yang kerap membuat onar. Candice ada di belakangnya dan tengah berjalan ke arahnya, hingga membuatnya langsung menelan saliva.

"Ka-kamu yang melempar ka-kaleng itu ke kepalaku, ya?!" ucap Anita gugup.

Jane, teman Anita lantas menarik lengan Anita. "Ayo pergi, Nita, jangan bikin masalah sama dia," bisiknya.

Candice menyeringai. Salah satu alisnya sudah terangkat naik. Pun dengan kepala yang agak mendongak angkuh. "Kenapa? Mau menghajarku? Berani? Sini! Tonjok sini!" ucapnya tegas hingga membuat Anita perlahan mundur ketika langkahnya terayun maju. "Mau lapor guru BP? Atau mau mati saja!"

"Ih!"

Anita tidak berani dan langsung mengikuti saran dari Jane untuk segera pergi. Yah, daripada ia harus menderita babak-belur karena membuat masalah dengan Candice, kendati bukan dirinya yang bersalah, tetapi mau bagaimana lagi? Semua siswa di sekolah ini juga tahu bahwa Candice bukanlah siswi biasa, melainkan luar biasa. Saking luar biasanya, Candice dianggap gengster versi anak sekolahan.

Ketika Anita dan Jane sudah pergi, Candice justru dikejutkan dengan suara tepuk tangan. Awalnya ia pikir adalah Rusdy, sampai ia sudah mempersiapkan bogem mentahnya untuk teman tawurannya itu, tetapi ... seorang pria tampan berseragam guru malah hadir di belakangnya sekarang. Dan tentu saja keberadaan pria tampan itu membuat Candice merasa heran.

"Candice Nuansa Louis. Anak paling bandel di sekolah ini. Seorang siswi keturunan Inggris. Memiliki mata biru, ah ...." Pria tampan itu, yakni Hans agak mendekatkan wajahnya ke wajah Candice dengan jarak yang masih sopan. Ia memperhatikan sepasang bola mata Candice yang tampak tajam. "Rupanya kalau terkena sinar matahari mata kamu menjadi hijau ya. Mm, rambut pirang, penampilan berantakan, di tambah ada anting tiga di bagian telinga kanan dan—"

"Heh! Mas ini siapa ya?! Enggak sopan! Petugas TU ya? Jangan norak deh! Baru pertama kali lihat bule sampai se-detail itu melihat saya?! No-rak! Ngerti?!" sahut Candice, marah. "Menyebalkan!"

Detik berikutnya, Candice mengambil langkah untuk segera pergi menuju kelasnya. Pagi ini rasanya sudah menyebalkan saja. Baik, ia memang bersalah karena sudah menendang kaleng bekas minuman hingga mengenai kepala si Bunga Sekolah. Namun apa hal itu akan menjadi salahnya secara sepenuhnya? Oh tidak! Sebab, yang paling panas disalahkan adalah orang yang membuang sampah sembarangan dan cleaning service yang tidak bisa membersihkan tempat itu dengan baik! Bukan Candice!

"Kamu judes juga ya? Jadi, tawuran yang kemarin sempat ditayangkan di berita televisi, juga merupakan tawuran yang melibatkan kamu? Waaah!" Hans yang sudah menyamakan langkahnya dengan Candice kini kembali bertepuk tangan. "Hebat sekali, kamu enggak sampai ditangkap polisi. Sepertinya kamu enggak hanya jago berkelahi, tapi juga lari maraton ya, Dik? Tapi, bukankah nama SMA ini tetap ketahuan gara-gara tingkah kalian? Wali kelasmu sudah menegur orang tuamu lagi, 'kan? Hebat lho, kamu enggak di-skors, kalau aku jadi wali kelasmu atau guru BP aku sudah pasti mengeluarkanmu dari sekolah ini, Dik!"

"Ck!" Candice mendecapkan lidah. Hatinya semakin kesal ketika pria asing itu malah mengikuti dirinya, bahkan begitu cerewet. "Please deh Mas Petugas TU, jangan bawel dan jangan mengikuti saya! Kalau Mas TU ,tahu kalau saya jago berkelahi, sebaiknya Mas TU segera menyingkir, atau saya bogem sekarang juga?!"

Hans tersenyum. "Sepertinya saya lebih jago daripada kamu, Dik. Saya peraih medali emas taekwondo tingkat nasional lho. Ah, kalau kekurangan orang dalam rencana tawuran, kamu bisa hubungi saya juga lho!"

Rahang Candice tampak mengeras. Kedua telapak tangannya pun sudah mengepal. Kalau saja bukan di zona sekolah, ia tidak akan ragu untuk meninju perut pria asing itu. Yah, setidaknya ia juga tidak boleh membuat masalah ketika hari ini ia harus menjalani ujian kenaikan kelas. Setidaknya ia harus naik kelas terlebih dahulu, untuk membuktikan diri pada Rusdy yang sempat meragukan situasinya dengan temannya itu sendiri yang bisa saja tidak naik kelas karena kerap membolos dan terlibat tawuran.

Candice menghela napas. Detik berikutnya, ia menatap Hans dengan nanar. Bahkan tak hanya sekadar menatap, karena ia juga sampai meludah. Beruntungnya Hans dengan sigap langsung memundurkan langkah untuk menghindari sikap tak sopan sang gadis bar-bar.

"Aduuuh, anak zaman sekarang ... ternyata sama saja dengan zamanku dulu. Waaah! Tapi dia itu seorang siswi lho, bukan siswa!" gerutu Hans di saat Candice sudah berjalan lebih cepat untuk menghindarinya. Pagi ini pun, Hans juga sengaja menunggu kedatangan Candice yang entah mengapa malah diserahkan padanya sebagai calon wali kelas jika gadis itu naik ke kelas tiga.

Mengenai Candice yang tidak mengenali Hans sebagai guru baru sebenarnya karena Hans tidak menggunakan name tag dan pin gurunya. Sementara seragam yang ia kenakan sama seperti seragam petugas tata usaha yang memang sama persis dengan seragam guru. Untuk memastikan bagaimana perangai Candice, tentu saja Hans harus menyamarkan dirinya terlebih dahulu di hari pertamanya masuk ke dalam sekolah itu sebagai guru baru.

"Anak itu, apa yang membuatnya sampai menjadi anak bandel dan enggak tahu sopan santun sama sekali? Bahkan guru BK tampaknya juga sudah kesulitan. Kalau aku bukan orang dengan latar belakang enggak main-main, tentu aku juga enggak mungkin diberikan tanggung jawab ini. Kenapa pula pihak sekolah enggak mengeluarkannya saja? Kepala Sekolah itu ... dia terlalu baik, atau memang memiliki alasan yang lebih kuat untuk terus mempertahankan siswi senakal itu di sekolah ini? Karena menurut latar belakangnya pun, Candice bukan anak orang kaya, malahan dia merupakan anak broken home," ucap Hans lalu menghela napas.

Hans menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian berangsur mengambil name tag dan tanda guru dari saku celananya. Ia mengenakan kedua benda itu sembari mengambil langkah untuk menuju kantor guru. Dan ia pikir, menghadapi Candice termasuk siswa bernama Rusdy akan menjadi tantangan tersendiri baginya.

Jika Hans tidak bisa menangani mereka, setidaknya sampai mereka berkenan untuk mengubah tabiat, Hans serius akan pensiun dini dan kembali ke rumah keluarganya untuk menjadi pesuruh ayahnya lagi.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!