NovelToon NovelToon

Red Hair Woman And MR. MAFIA

PROLOG - BUNYI LEDAKAN

Dorrr dorrr dorrr ....

Suara tembakan senjata terdengar saling bersahutan. Cahaya yang minim tak menyurutkan langkah kaki seorang pria untuk berpindah tempat untuk mencari celah di mana ia bisa menembak para musuhnya dengan lebih mudah.

Leander Aiden Graham, putra sulung Anthony Lee Graham, memegang senjata dengan sangat ahli. Kedua orang tuanya tak pernah mengetahui bahwa Aiden, demikian ia dipanggil, merupakan pimpinan dari salah satu kelompok mafia paling disegani di Kota Washington DC.

Tiga belas tahun yang lalu, tepatnya saat ia berusia 20 tahun, Kakeknya yang bernama Lee Graham serta Neneknya Anita Graham, ditembak mati di kediaman mereka oleh orang orang tak dikenal. Hal itu meninggalkan luka mendalam bagi Keluarga Graham, terutama putra semata wayang mereka, Anthony Lee Graham.

Tak pernah diketahui siapa penembak itu, bahkan polisi seakan bekerja lambat dan lama kelamaan kasus itu akhirnya dibiarkan hingga terlupakan. Hal itu juga membuat Aiden yang saat itu masih duduk di bangku kuliah, memutuskan masuk ke dalam dunia gelap. Hingga akhirnya ia kini menjadi salah satu ketua mafia yang paling disegani.

Dorrr!!

Sebuah peluru kembali melesat dan menyerempet lengan Aiden. Ia langsung memutar tubuhnya dan bersembunyi di belakang sebuah pohon yang lumayan besar. Ia memegang lengannya dan kembali mengintip posisi musuhnya. Satu buah tembakan kembali ia lesatkan dan tepat mengenai dadda orang tersebut.

"Grey, siapkan helikopter!" perintah Aiden pada asisten pribadinya di kelompok mafia miliknya. Sementara itu di Perusahaan Anlee Group, ia memiliki asisten bernama Ivander. Kadang Ivander juga bisa menggantikan posisi Grey. Keduanya saling bekerja sama dan saling melengkapi.

"Siap, bos!" Grey langsung menghubungi pilot helikopter agar mereka bisa segera terbang dan meninggalkan tempat itu. Mereka akan kembali ke markas kelompok mafia karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan.

*****

Fressia Moxie, kini duduk tepat di samping seorang anak berusia 5 tahun bernama Tristan Graham. Ia kembali memegang dahi Tristan dan kembali merasakan panas. Fressia mengambil termometer untuk mengukur suhu tubuh Tristan.

"39,8 derajat?" gumam Fressia sambil melihat layar termometer tersebut. Ia segera meraih ponselnya untuk menghubungi majikannya, ayah dari Tristan.

"Ah tidak bisa," Fressia kembali mencoba menghubunginya lagi dan lagi, tapi hasilnya selalu sama, tak bisa tersambung.

Fressia ingin sekali membawa Tristan ke dokter, tapi hari sudah malam dan supir juga sudah beristirahat. Ia tak pernah diizinkan keluar dari rumah kalau bukan karena sekolah Tristan. Ia sebenarnya merasa seperti terkurung, tapi ia juga kasihan pada Tristan kalau ia berhenti dari pekerjaan itu. Di lain pihak, Fressia memerlukan pekerjaan itu. Ia ingin membantu orang tua angkatnya, terutama Mommy nya.

Semalaman, Fressia mengompres dahi Tristan. Beberapa kali juga ia mencoba menghubungi majikannya, tapi masih saja belum berhasil. Bahkan Fressia juga menghubungi asisten pribadi majikannya dan hasilnya sama saja, nihil.

Fressia membelai rambut Tristan yang berwarna kemerahan. Beberapa kali ia memejamkan mata hingga tertidur, tapi selalu saja terbangun lagi karena begitu khawatir dengan keadaan Tristan. Fressia menggenggam tangan Tristan. Ia merasa iba dengan keadaan Tristan, apalagi anak laki laki tersebut begitu mendambakan perhatian dari ayahnya.

Mata dengan manik berwarna coklat itu mengerjap, pipinya masih terasa sedikit hangat hingga berwarna kemerahan.

"Aunty, apa Daddy sudah kembali?" tanya Tristan.

Tristan selalu memanggil Fressia dengan panggilan Aunty, meskipun Fressia adalah pengasuhnya. Ia merasa lebih dekat dengan panggilan itu.

"Belum, Tris. Aunty sudah mencoba menghubungi, tapi tak ada sambungan," jawab Fressia.

"Apa Daddy tak menyayangiku, Aunty?" tanya Tristan sendu.

Fressia menghela nafas pelan kemudian tersenyum tipis, "Daddy pasti menyayangimu, hanya saja mungkin ia sangat sibuk."

"Daddy selalu sibuk, Aunty. Apa mungkin Daddy membenciku?" ntah apa yang ada dalam pikiran Tristan kini hingga ia berpikir demikian.

"Tidak, sayang. Jangan berpikir seperti itu," Fressia langsung memeluk Tristan dan memberikan pelukan hangat untuk anak asuhnya itu.

Fressia memang baru beberapa bulan ini bekerja. Ia menggantikan posisi pengasuh Tristan yang sebelumnya karena pengasuhnya itu ikut suaminya bekerja di luar kota.

Pekerjaan sebagai pengasuh Tristan juga ia dapatkan dari Mommy nya, Roxane Moxie. Kebetulan Roxane memiliki kenalan dan ia langsung menawari Fressia pekerjaan itu, karena putri angkatnya itu baru saja diberhentikan secara sepihak oleh tempatnya bekerja karena mengalami kebangkrutan.

*****

"Bos!" sapa Ivander yang baru saja sampai di markas mafia bernama 'Dark Shades'.

Ivander diminta hadir di sana karena Aiden memerlukan bantuannya untuk membobol jaringan informasi musuh mereka. Mungkin dengan begitu, penyerangan akan lebih mudah dilakukan dan mereka akan tunduk pada 'Dark Shades'.

"Van, periksalah!" perintah Aiden.

Matanya menatap tajam pada layar besar di mana terdapat begitu banyak angka dan huruf yang tak ia mengerti. Terlalu banyak kode yang harus mereka pecahkan sebelum informasi musuh bisa mereka dapatkan.

Ivander mulai memainkan jari jemarinya di atas tuts keyboard dan sesekali menyentuh sebuah layar sentuh sambil menggeser sesuatu. Aiden dan Ivander tampak sangat berkonsentrasi dengan apa yang mereka kerjakan.

Ceklekkk ...

Pintu ruangan terbuka dan nampak sosok Grey, "Bos, mereka menghancurkan gudang keamanan yang tepat di sebelah gudang senjata."

"Whatt?!!" Aiden tak menyangka bahwa musuhnya mengambil langkah lebih cepat daripada dirinya. Ini tak bisa dibiarkan, ia harus berbuat sesuatu lagi.

"Van, lanjutkan apa yang sedang kita kerjakan. Aku ingin mereka juga hancur secara informasi digital. Kalau kamu sudah menemukan aib kebusukan mereka, segera bagikan ke seluruh jaringan terkait," perintah Aiden.

"Siap, Bos!" ucap Ivander.

"Kita berangkat sekarang, Grey!" Aiden langsung memasukkan sebuah senjata di rompi anti peluru yang ia kenakan.

Grey pun langsung mengikuti langkah Aiden menuju helikopter mereka. Ia akan langsung menuju ke area pegunungan di mana gudang senjata serta beberapa peralatan keamanan mereka simpan.

Helikopter langsung membawa Aiden dan Grey ke lokasi. Di sana Aiden memiliki sebuah villa yang di desain khusus agar aman dari para musuh, bahkan tak ada pengintai yang bisa mendeteksinya. Ini semua adalah hasil rancangan Ivander dan Aiden.

Dari villa tersebut, Aiden dan Grey melanjutkan perjalanan dengan sebuah jeep dan dikawal oleh beberapa anak buah. Sampai di gudang persenjataan, mereka melihat asap membumbung tinggi dan beberapa anak buah Aiden ada yang terluka parah.

"Sialannn!!!" teriak Aiden dan langsung turun dari jeep dan mendekati orang kepercayaannya yang bertugas mengawasi gudang persenjataan mereka.

"Bricks!" Bricks yang mendengar suara atasannya, langsung berjalan mendekat.

"Bos!"

Bricks menceritakan kejadian di mana tiba tiba saja terdengar bunyi ledakan yang cukup kencang dengan cukup detail, membuat Aiden mendengarkannya dengan serius.

Dorrr dorrr dorrr!!

DIMANA KAMU?

Aiden kembali ke kediamannya di Kota Washington DC. Ia baru saja kembali terserempet peluru musuh mereka. Tanpa Aiden ketahui, pihak musuh ternyata meletakkan seorang sniper. Untung saja Ivander langsung menghubunginya hingga ia mengetahui taktik mereka dan bisa menghindar dari tembakan sniper tersebut.

Ia bisa kembali ke Kediamannya di Washington DC karena Ivander berhasil menghancurkan sistem teknologi informasi milik musuh. Aiden yakin saat ini musuh nya tengah sibuk mengatasi segala konflik di dalam kepemimpinan mereka. Bahkan beberapa pengusaha turut terkena imbas dari hal ini, membuat mereka harus berhadapan dengan sumber keuangan mereka.

Aiden memegang lengannya yang terluka. Luka yang sebelumnya ternyata kembali terbuka dan mengeluarkan darah. Grey awalnya mau membawa atasannya itu ke rumah sakit, namun Aiden menolaknya. Ia meminta Grey mengantarkannya pulang saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, suasana di dalam rumah sudah sangat sepi. Ia pun melangkahkan kaki menuju kamar tidurnya. Fressia yang melihat majikannya itu kembali, langsung berjalan mendekat.

"Tuan," sapa Fressia.

"Kamu belum tidur?" tanya Aiden.

"Belum, Tuan," Fressia melihat bahwa Aiden terluka karena pakaiannya memiliki noda darah, bahkan ada noda yang masih terlihat basah.

"Saya bantu, Tuan," ucap Fressia yang kemudian memegang lengan Aiden dan membantunya.

Setelah mengantarkan Aiden ke dalam kamar tidur, Fressia pun berniat untuk keluar.

"Tunggu dulu, kamu jangan ke mana mana," perintah Aiden.

Pria itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan sedikit membersihkan lukanya. Ia sudah terbiasa terluka, tapi kali ini ntah mengapa terasa lebih sakit dari biasanya.

Fressia tetap berdiri di dekat pintu kamar tidur, menunggu Aiden keluar dari kamar mandi. Aiden keluar dari kamar mandi hanya menggunakan celana pendek saja dan tak menggunakan atasan sama sekali.

Fressia bisa melihat perban yang melilit salah satu bagian lengan dan terlihat sudah basah oleh noda arah.

"Tuan ...," ucap Fressia.

"Bantu aku mengganti perban ini," pinta Aiden.

Fressia berjalan mendekat setelah mengambil kotak obat di dalam lemari. Ia mendekati Aiden yang tengah duduk di sofa, ia pun duduk di sebelah majikannya itu. Dengan perlahan Fressia membuka perban yang lama, kemudian membersihkannya dan kembali membalutnya dengan perban baru. Fressia menggelengkan kepalanya ketika melihat bahwa luka yang dialami oleh Aiden tak hanya di sebelah tangan, melainkan kedua duanya.

Fressia berpindah tempat duduk untuk mengobati luka yang ada di lengan yang satunya lagi, lalu ia mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Aiden.

"Tuan, kemarin malam saya mencoba menghubungi Tuan melalui ponsel."

Aiden menautkan kedua alisnya karena Fressia tak pernah menghubunginya sejak pertama ia memberikan ponsel pada pengasuh putranya itu.

"Apa ada yang terjadi?" tanya Aiden.

"Tristan mengalami demam tinggi, hingga 39,8 derajat. Saya khawatir padanya dan berniat menghubungi Tuan untuk membantu membawanya ke rumah sakit," jawab Fressia.

"Kenapa tak menghubungi Ivan atau Grey?" tanya Aiden lagi.

"Sudah saya coba, tapi tetap tak bisa," jawab Fressia lagi.

Aiden mendessah kasar. Kalau saja ia meninggalkan Tristan dengan keluarganya di Kota New York, pasti hal itu tak akan terjadi. Tristan akan selalu mendapatkan perhatian yang besar dari mereka. Aiden yakin Dad Anthony dan Mom Kimberly akan merawatnya jauh lebih baik dari dirinya.

Namun, kedua orang tua nya tak mengetahui tentang Tristan. Aiden memang menyembunyikan keberadaan Tristan sampai ia berhasil menemukan ibu dari Tristan.

"Sudah selesai," ucap Fressia kemudian memasukkan semua peralatan pengobatan itu ke dalam kotak dan mengembalikannya ke dalam lemari.

"Terima kasih," ucap Aiden.

"Saya permisi keluar dulu, Tuan."

Fressia pun keluar dari kamar tidur Aiden. Ia kembali ke kamar tidurnya sendiri. Sementara Aiden yang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, kini tengah berpikir, menghela nafas kasar, lalu memejamkan matanya.

*****

Keesokan paginya,

Aiden menghampiri meja makan dan duduk bersama dengan putranya, Tristan, di meja makan. Tepat di sebelah Tristan, sudah ada Fressia yang akan membantu putranya itu untuk makan.

"Selamat pagi," sapa Aiden pada Tristan sambil mengusap pucuk kepala putranya itu.

"Dad! Daddy sudah pulang?!" Wajah Tristan terlihat sangat antusias. Ia bahkan bangkit dari duduknya dan menghampiri Aiden kemudian memberikan pria itu sebuah pelukan.

"Kamu sudah sembuh?" tanya Aiden.

"Sudah, Aunty Fressia yang menjagaku, aku pasti sembuh. Tapi kalau Daddy yang menemaniku, maka aku pasti tidak akan sakit," ucap Tristan dengan nada sendu.

Tristan mengangkat kepalanya kemudian menatap mata tajam milik ayahnya. Jujur, Tristan sangat merindukan kehadiran Aiden di sampingnya. Ia menginginkan perhatian dan kasih sayang Aiden yang sangat besar untuknya.

"Dad, apa Daddy tak menyayangiku?" tanya Tristan.

"Apa maksudmu menanyakan itu? Tentu saja Daddy menyayangimu," jawab Aiden.

"Lalu mengapa Daddy jarang ada di rumah? Mengapa Daddy tak pernah menemaniku, sekedar bermain atau pun menemaniku tidur?" tanya Tristan dengan tatapan sedih.

"Tristan, Daddy ....,"

"Apa Daddy mau bilang lagi kalau Daddy sibuk? Apa semua pekerjaan Daddy lebih penting daripada Tristan? Atau lebih baik Tristan tidak pernah ada, jadi tak akan mengganggu kesibukan Daddy?"

"Tristann!!" suara Aiden sedikit meninggi. Ia tak suka dengan ucapan Tristan.

"Tuan," panggilan Fressia seakan menyadarkan Aiden. Wajahnya langsung kembali melembut meski masih dengan tatapan tajamnya.

"Maaf, sayang. Maafkan Daddy. Daddy tidak suka kamu mengatakan hal seperti itu," Aiden tak suka jika ada yang membicarakan tentang kematian. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang disayangi dan itu menyakitkan, apalagi jika kematian itu karena hal tragis.

"Tuan, maaf jika saya lancang mengatakan ini. Tapi sebaiknya Tuan bisa sedikit meluangkan waktu untuk Tristan. Misalkan dengan mengantarkannya ke sekolah, menemaninya bermain, atau sekedar menemaninya tidur. Ia tak akan merasa kehilangan sosok anda, Tuan."

Aiden menghela nafasnya pelan. Ia memang memfokuskan semua pikirannya pada pekerjaan, hingga ia menganggap bahwa Tristan sudah cukup dengan keberadaan seorang pengasuh saat ini.

Setelah selesai makan, Aiden bergegas masuk ke dalam ruang kerjanya. Hari ini ia tak pergi ke Perusahaan Anlee Group yang berada di Washington karena ia merasa masih belum terlalu fit, apalagi dengan luka di kedua lengannya. Ia memutuskan untuk bekerja dari rumah.

Sore hari, ia keluar dari ruang kerjanya. Kebetulan hari itu adalah hari Sabtu, jadi Tristan tidak bersekolah. Putranya itu terlihat sedang bersama dengan pengasuhnya, Fessia.

Suara tawa bisa Aiden dengar, membuatnya berjalan menghampiri area ruang keluarga. Aiden berdiri tak jauh dan memperhatikan keduanya. Ia melihat bagaimana keduanya terlihat begitu dekat. Sepertinya benar, bahwa Tristan begitu menginginkan perhatian, cinta serta kehangatan dari sebuah keluarga, tapi ...

Dimana kamu? - batin Aiden.

KEBERSAMAAN KITA

* Flashback On

Hari ini adalah hari pernikahan adik perempuan Aiden, Adeline Zinnia Graham. Adik perempuannya itu baru berusia 22 tahun, tapi sudah menikah. Berbeda dengan dirinya yang berusia 27 tahun tapi masih betah menjomblo.

Aiden sangat bahagia melihat senyum di wajah Adeline, juga di wajah kedua orang tuanya. Kisah cinta Adeline tak terlalu mulus. Adeline menikah dengan Reynzo Elden Frederick, putra sahabat Dad Anthony yang tinggal di Munich.

Keduanya bertemu saat Reyn yang berprofesi sebagai dosen, bertemu dengan Adeline yang merupakan salah satu mahasiswinya. (Novel : My Adeline)

Usia Reyn sama dengan Aiden dan saat ini hubungan mereka sangatlah baik. Reyn adalah pria yang baik dan lembut, namun ia juga bisa bertindak tegas dan disiplin. Oleh karena itulah Aiden yakin bisa mempercayakan adiknya itu pada Reyn.

Pesta resepsi pernikahan diadakan dua kali. Pertama di Kota Munich, tempat asal Reyn, dan yang kedua di New York. Resepsi kedua ini hanya berjarak satu minggu dari resepsi sebelumnya.

Saat ini, Aiden keluar dari acara resepsi pernikahan. Ia berjalan menuju sebuah balkon besar yang langsung berhadapan dengan sebuah taman yang luas dengan sebuah danau di bagian tengahnya. Mata Aiden menangkap sosok seorang wanita berambut merah yang kini tengah menangis sambil berpegangan pada sebuah railing batu. Meskipun pelan, Aiden masih bisa mendengarnya.

"Kamu tidak apa apa?" tanya Aiden saat ia sudah berdiri di dekat wanita itu.

Wanita itu menoleh, bulir air terlihat sudah membasahi wajahnya. Bahkan penampilannya saat ini sangat kacau, tapi ntah mengapa terlihat begitu seksi di mata Aiden.

"A-aku tidak apa apa," jawab wanita itu.

Wanita itu memutar tubuhnya dan ingin pergi dari sana, tapi tiba tiba tubuhnya tak seimbang dan ia hampir terjatuh.

Happp ...

Tubuhnya langsung ditangkap oleh Aiden. Saat itu mata keduanya bersirobok dan terasa getaran serta gelenyar di dalam tubuh keduanya. Ntah siapa yang memulai, akhirnya keduanya menempelkan bibir mereka.

Ciuman yang awalnya biasa saja, kini semakin lama semakin dalam. Aiden menggendong tubuh wanita itu dan wanita itu juga mengalungkan tangannya di leher Aiden, tanpa melepaskan ciuman mereka.

Aiden membawa wanita itu ke dalam kamar hotel yang sudah dipesan untuk menjadi tempat mereka bermalam. Ia membaringkan wanita itu di atas tempat tidur dan kembali menciumnya. Kedua bibir saling melummat dan menyesap hingga tak ada suara lain selain cecapan bibir keduanya.

Sebelumnya, tak pernah Aiden merasa seperti ini saat berdekatan dengan wanita. Pada pandangan pertama, wanita ini seakan telah menghipnotisnya dan membuatnya tak ragu untuk memiliki.

Jari jemari Aiden mulai bergerak menyusuri leher wanita itu, bahkan ciuman Aiden sudah mulai turun, hingga membuat wanita itu menggeliatt. Tubuh Aiden mulai panas dan ingin merasakan yang lebih. Ia membuka gaun wanita itu dan kini di hadapannya sudah terpampang dua aset kembar yang terlihat begitu menggoda.

Aiden tanpa ragu membuka jas serta kemeja miliknya. Ia kini mulai bermain main dengan apa yang terlihat begitu indah di matanya. Beberapa saat kemudian, tubuh keduanya telah polos. Mata keduanya telah diselimuti oleh gairrah yang tak terbendung. Keduanya tak saling mengenal, tapi merasa ingin saling memiliki.

Penyatuan pun terjadi dan Aiden merasa bahagia karena ia mendapatkan wanita yang masih menjaga segelnya dengan baik. Kamar hotel tersebut menjadi saksi percinttaan mereka malam itu.

Keesokan paginya, Aiden terbangun dengan senyum di wajahnya. Ia merasa hari ini begitu indah karena ia seperti mendapatkan vitamin semalam. Ia memegang tempat tidur di sampingnya dan seketika raut wajahnya berubah.

"Di mana dia?" gumam Aiden.

Aiden langsung bangkit dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi. Kosong! Ia tak mendapati wanita itu di mana pun.

"Apa dia meninggalkanku begitu saja? Bahkan aku tidak tahu siapa namanya," ucap Aiden gusar.

Perasaan Aiden sangat kacau saat ini. Kebahagiaan dirasakan oleh Adeline, tapi tidak dengan dirinya. Hal itu membuatnya kehilangan fokus dan sulit untuk berpikir. Setelah hari itu, Aiden lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bekerja, untuk menghilangkan pikirannya tentang wanita yang telah menghabiskan satu malam bersamanya.

9 bulan kemudian,

Adeline melahirkan seorang putri cantik. Bayi itu dibawa ke ruang khusus bayi untuk dibersihkan. Aiden berniat mengunjungi adiknya sepulang dari perusahaan. Bersama dengan Ivander, Aiden pun berangkat ke sana.

Saat ia hendak memasuki ruang rawat Adeline, ia melihat seorang perawat tengah membawa dua buah kotak kaca. Ia pun menautkan kedua alisnya dan mengikuti langkah perawat itu.

"Bayi siapa ini?" tanya Aiden. Pasalnya yang ia tahu, Adeline hanya melahirkan seorang putri. Mengapa kotak kaca yang dibawa ada dua bayi.

"Ah, ini ada seorang wanita yang menitipkan bayinya. Katanya diletakkan di ruangan Nyonya Adeline karena ia berkata ini adalah keponakan Nyonya Adeline," jawab perawat itu.

"Van ...," Aiden menangkap kejanggalan dari apa yang dikatakan oleh perawat itu.

"Bawa masuk bayi adikku saja. Untuk bayi ini biarkan dulu di sini," perintah Aiden.

Keponakan? Rasanya tak mungkin jika itu adalah anak dari saudara kandung Reyn, pasalnya di keluarga Frederick baru Reyn saja yang menikah. Ketika perawat itu keluar, Aiden memintanya untuk membawa bayi yang satunya ke ruang bayi saja. Ia tak ingin ada permasalahan antara Reyn dengan Adeline karena bayi lain.

"Periksa dengan teliti, Van," perintah Aiden. Aiden memerintahkan Ivander untuk melakukan test DNA pada bayi tadi, apa benar ada hubungannya dengan keluarga Frederick?

Tiga hari kemudian, hasil test DNA itu keluar dan mata Aiden membulat saat mengetahui bahwa hasil test DNA itu cocok dengan dirinya, bukan dengan Reyn.

"Apa ini?" Aiden kembali pada ingatannya tentang wanita yang menghabiskan satu malam panas dengannya.

Tanpa banyak bicara, ia memerintahkan Grey untuk membawa bayi itu ke Washington DC. Aiden memiliki sebuah mansion di sana yang tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. Ia menyewa seorang pengasuh untuk menjaga bayi yang berjenis kelaminn laki laki itu.

Sementara itu, Ivander segera mencari tahu tentang keberadaan wanita yang meninggalkan bayi itu pada Aiden. Dua bulan setelahnya, Ivander memberikan kabar bahwa wanita itu mengalami kecelakaan saat pergi bersama kedua orang tuanya. Wanita itu mengalami luka yang cukup parah, terutama di bagian wajah, hingga rumah sakit pun berinisiatif mengobati dan melakukan rekonstruksi wajah.

Oleh karena tak memiliki keluarga lagi, proses pengobatan wanita itu dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi dokter dokter muda, terutama yang mengambil spesialis bedah estetik atau kecantikan. Hanya itu informasi yang diketahui oleh Aiden, bahkan ada beberapa yang mengatakan bahwa wanita itu pergi karena wajahnya yang tak bisa kembali normal.

* Flashback Off

"Di mana kamu berada saat ini? Mengapa kamu pergi begitu saja? Mengapa kamu dengan mudahnya meninggalkan putra kita? Meskipun kita belum saling mengenal apalagi mencintai, tapi semua itu bisa dibangun dengan kebersamaan kita setiap hari. Aku akan tetap mencarimu dan memberikan keluarga yang utuh untuk Tristan," gumam Aiden.

🧡 🧡 🧡

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!