NovelToon NovelToon

Pria Lumpuh Itu, Suamiku

PLIS 1

Siang hari di Bandara. Seorang gadis dengan koper dan tas yang ia sandang beru saja turun dari pesawat lantas duduk di ruang tunggu menanti kedatangan saabat tercinta yang akan menjemputnya.

Dialah Elvira Pranata, seorang gadis yang baru saja mendapat cuti dari pekerjaannya diluar kota. Ia sudah setaun sengaja tak mengambil libur dari pekerjaannya sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit jiwa. Ia pulang demi menghadiri acara pernikahan saabatnya yang akan diselenggarakan seminggu lagi sejak hari ini dan bahkan ia diminta menjadi pendamping di pernikahan itu nanti.

"Ta, dimana?" tanya El pada sahabatnya yang kemungkinan telat.

"Lagi di jalan, El. Sabar, ya? Bentar lagi sampai kok," balas MIta padanya. Di tempatnya saat ini terjebak macet cukup parah, dan lagi ia telat karena harus mengambil pesanan kebaya untuk El yang akan jadi pendampingnya nanti. Mita sengaja memesankan kebaya abu-abu yang begitu indah sesuai dengan kebaya pernikahannya nanti.

"Temen kamu kalau kelamaan, suruh naik taxi aja, Sayang. Kasihan loh dia capek," sahut Bayu pada calon istrinya itu. Ia memang begitu pengertian, mengenal El meski amat jarang beretemu

Bayu dan Mita sudah dekat sejak masih sama-sama kuliah, dan saat itu El takt ahu karena mereka beda jurusan dan Mita tak terlalu terbuka mengenai asmaranya. Apalagi ketika bersama El, maka Mita akan fokus hanya pada mereka berdua dan tak mau membahas pria yang akan membuat El kurang nyaman.

"Gimana?" tanya Mita, yang sebenarnya tak enak pada El karena sudah berjanji untuk menjemputnya sejak membujuk El pulang demi dirinya. Mereka sudah lama sekali tak bertemu, hingga kini rasanya rindu itu sudah terlalu menggebu-gebu. Ingin sekali Mita berlari menghampiri dan memeluk El saat ini dengan begitu erat.

"Yaudah, aku tunggu setengah jam lagi aja. Nanti kalau kamu masih belum jemput juga, tandanya aku udah naik taxi ya," jawab El, dan Mita hanya meng'iyakan dengan anggukan kepalanya.

El mematikan hpnya kemudian duduk santai di kursi yang tersedia sembari mengenang persahabatan mereka dari masa kecil karena bertetangga. Siapa sangka, meski El pindah, mereka akan bertemu lagi dibangku SMA hingga bahkan kuliah di universitas yang sama meski dengan jurusan yang berbeda. Mita sebagai Dokter dan El sebagai perawat. Mereka bahkan sempat bercita-cita untuk membuka klinik bersama dan membuat Yayasan amal disana.

Elvira bahkan tersenyum sendiri membayangkan betapa konyol mereka berdua ketika remaja, yang bahkan sempat diberi predikat Duo somplak oleh guru-guru mereka.

Hingga setengah jam lebih karena akhirnya El melirik jam tangan yang ia pakai. Itu adalah hadian dari Mita ketika kelulusan, dan El pakai hingga saat ini karena butuh jam tangan ketika bekerja. El menghubungi nomor Mita saat itu namun taka da jawaban darinya, hingga ia berdiri dan berjalan menghampiri taxi yang sudah mempromosikan jasanya sejak tadi.

"Lagian udah janjian, kalau setengah jam belum sampai maka aku naik taxi." El mengingat perjanjian keduanya barusan. Bahkan dalam taxi, ia terus berusaha menghubungi Mita untuk memberitahu keberadaannya saat ini.

Chhiiitzzzz! Mobil mengerem mendadak hingga El nyaris tersungkur ke depan dan menabrak kursi supir taxi didepan.

"Bapaaaak," omel El sembari mengusap kepalanya saat itu.

"Maaf, Non. Itu, macet di depan ada kecelakaan." Pak supir tampak sedikit tak enak hati dengan apa yang terjadi saat itu.

El kemudian memperhatian keadaan diluar yang memang begitu ramai dengan kerumunan orang banyak, dan bahkan sudah ada mobil Ambulance disana. Ia hanya menganggukkan kepala, lalu menyandarkan bahu di sofa mobil sembari terus memainkan hpnya saat itu, dan sesekali kembali menghubungi Mita. Karena jika belum kembali mengkonfirmasi, maka ia masih begitu penasaran rasanya.

"Mana sih, Mit?" gumam El sedikit kesal padanya. Hingga sebuah nada dering dari Hp terdengar ditelinga El saat itu, seperti nada dering yang sering MIta pakai karena itu adalah lagu kesukaannya. Begitu dekat meski samar karena kebisingan yang ada.

"Ah, nada begitu mah yang pakai banyak." El berusaha santai saat ini. Namun, makin lama nadanya semakin pas ketika El menghubungi MIta saat itu.

El menelan saliva, ia kemudian pamit keluar pada pak supir untuk mencari sumber suara yang ada disana. El menutup pintu taxi itu kemudian menerobos satu persatu kerumunan yang ada hingga tiba dititik kecelakaan dengan kondisi yang begitu parah disana.

"Parahnya," ngeri El melihat semua kondisi yang ada. Apalagi ketika mobil tampak hancur dibagian kanan karena menabrak pembatas jalan yang ada, tak terbayang oleh El bagaimana keadaan penumpangnya saat ini.

"Iya, katanya si cewek meninggal ditempat sedangkan cowoknya kritis," celetuk salah seorang dengan ucapan El didekatnya. Sekujur tubuh El seketika merinding dibuatnya, meski ia sudah seirng melihat yang seperti itu selama bekerja.

Beberapa petugas dan polisi ada disana dan bekerja sama mengidentifikasi semuanya. Tampak sebuah tandu disana dengan sesosok mayat yang ditutup seluruh tubuhnya, dan beberapa petugas Kesehatan berusaha mengangkat untuk dibawa ke Ambulance saat itu juga.

"Kasihan," ucap El ketika melhat kaki dan tangannya yang terbuka dari kantong jenazah itu begitu banyak darah. Namun, ada satu yang menjadi perhatiannya saat itu dengan jenazah yang sudah masuk kedalam Ambulance.

"Ngga mungkin!" Jantung El berdegup dengan kencang, dan ia segela melihat jam tangan yang ia pakai saat itu begitu sama dengan jam tangan wanita yang ada disana.

"Engga... engga... Ngga mungkin!" El berusaha menolak, tapi hati dan langnkah kakinya membawa EL berjalan menuju ke Ambulance saat itu juga hingga penampakannya semakin lama semakin jelas dimata Elvira.

"Permisi, Mba. Maaf, Jenazah akan segera kami bawa ke Rumah sakit untuk segera di identifikasi." Seorang petugas menghalangi El dan berusaha membawanya pergi dari sana agar tak mengganggu semua proses yanga da.

"Tapi Mba, itu teman saya. Saya harus lihat dia dan memastikan itu semua," raung El padanya. Tapi petugas it uterus mendorong El kebelakang agar Ambulance dapat pergi segera dan membawa jenazahanya.

"Mitaa!!" El berusaha memberontak dan mengejarnya. "Lepasin! Saya mau sama sahabat saya," erang Mita sekuat tenaga, seakan ia lupa dengan segala prosedur yang ada.

"Mba, kalau Mbanya mau pastikan, ke Rumah sakit aja. Semua barangnya juga sudah dibawa kesana, bahkan teman prianya juga Sudah mendapatkan perawatan sesuai lukanya."

Seakan tak mau mendengar apapun lagi, saat itu El melepaskan diri dan segera kembali naik kedalam taxi yang tadi. Em langsung meminta sang supir untuk segera membawanya menuju Rumah sakit yang membawa jenazah itu pergi darinya.

Sepanjang jalan El begitu gelisah dan cemas hingga airmatanya keluar tanpa sadar. Ia menggigiti bibir dan kukunya sendiri saat itu sangking tak bisa melakukan apa-apa lagi saat ini dengan semua kejadian yang ada.

"Aku maunya disambut senyum dan pelukan kamu, bukan seperti ini." El tersedu dengan suara seraknya saat itu.

PLIS 2

Elvira bergegas turun dari taxi tanpa sempat menghiraukan barangnya lagi. Dia sudah tiba di Rumah sakit sesuai dengan petunjuk dari yang diberikan petugas padanya. Entah kenapa belum ada keluarga sama sekali disana sebagai wali Mita, hingga El disana hanya berteman dengan air matanya.

Ia kebingungan sendiri disana, mengintip sejenak para perawat membersihkan luka sahabatnya. Dadanya begitu sesak, ia tak mampu tapi harus tetap membuka mata disana. Ia tahu jika sudah tak ada harapan lagi untuk Mita meski hanya sekedar untuk membuka mata dan menyapanya untuk yang terakhir kali.

"MIta," isak El yang sesegukan kehabisan airmata. Hingga akhirnya perawat keluar dan mempersilahkan El masuk menemui sahabatnya.

"Ke-keluarga sebentar lagi datang, dan saya sementara disini."

"Baik,"' angguk seorang perawat padanya.

Sekujur tubuh El gemetar mendekati brankar itu, dimana Mita sudah abadi memejamkan matanya. Semua telah dibersihkan, bahkan jam tangan kembaran mereka pun sudah ada di nampan dan terlepas dari tangan Mita beserta acesoris lain yang ia pakai sebelum kejadian.

"Mita," rengek El memeluk tubuh Mita yang diselimuti kain putih itu, dan bahkan ia tak berani membuka dan melihat wajah sang sahabat untuk yang terakhir kalinya. Ia menangis tersedu-sedu disana sendirian, tanpa ada seorangpun yang mengusap Pundaknya seperti ketika Mita mengusap Pundak El ketika kehilangan Ibunda tercinta.

"Aku maunya disambut sama senyum dan pelukan kamu, bukan begini. Tahu begini, aku ngga akan pulang asal masih bisa lihat kamu tersenyum di video pernikahan. Aku ngga mau.... Bangun, Mita!!" raung Elvira dengan isaknya yang membabi buta.

Tubuh El merosot hingga duduk meringkuk disamping brankar Mita saat itu, memeluk lututnya dan bersandar lemas disana kehabisan tenaga dan tak kuat lagi menangisinya.

Tatapan El tertuju pada sebuah paperbag yang ada dikolong brankar saat itu. El membukanya, dan ternyata adalah sebuah kebaya abu-abu dengan tulisan nama Elvira disana. Pasti itu kebaya yang dibuatkan oleh Mita untuknya, agar seragam dengan kebaya pernikahan Mita nanti. Tak ada kata lagi yang bisa El ucapkan, Ia seperti orang linglung dan begitu frustasi dengan keadaan saat ini.

El hanya memeluk lututnya sendiri dengan mata yang mulai membengkak akibat tangisnya tak kunjung reda. Hingga langkah kaki terdengar datang dalam jumlah banyak, mereka mencari Mita dan segera masuk kedalam ruangan itu setelah perawat memberitahu ruangannya.

"Mita! Astaga, Mita!" Ibu Nurul, ibunya MIta meraung-raung memeluk jasad anaknya yang telah dingin disana, begitu juga ayahnya.

"Elvira?" sapa ayah Mita yang saat itu melihat El meringkuk dilantai. Ia lantas meraih tubuh El dan memeluknya dengan erat karena memang sudah menganggap El sebagai putrinya sendiri saat ini.

"Pak... Bapak!!" tangis El lagi dalam pelukannya, meski tangis itu tanpa air mata karena sudah benar-benar kering saat ini.

"El, kamu selamat? Bukankah mereka menjemput kamu di Bandara?" El menggelengkan kepala dan menjelaskan semua kronologis kejadian yang ada. Perih, tapi itu semua sudah terjadi dan tak bisa dihindari lagi.

"Kenapa begini, Nak? Kamu baru aja mau bahagia, tapi kamu justru pergi secepat ini ninggalin ibu. Bangun, Nak." Ibu merintih perih, terdengar begitu perih dihati Elvira saat ini yang kembali teriris dengan suara ibu didekatnya.

Mereka semua mengurus kepulangan Mita saat itu. Berhubung hari masih sore, mereka akan secepatnya memakamkan Mita agar segera tenang dengan rumah barunya.

El ikut ke rumah itu karena Bu Nurul dan Pak Danang yang mengajaknya langsung pulang kesana karena memang itu tujuan awalnya. El hanya bisa duduk dipojok dengan segala rasa perih yang ada, ketika sang sahabat mulai diurus jenazahnya. Bahkan ia tak bisa ikut shalat jenazah saat itu karena berhalangan, hingga semakin sakit rasanya.

Bahkan ketika jenazah Mita dibawa ke makam, Bapak tak mengizinkan El ikut karena harus menjaga ibu di rumah dan menyapa tamu yang datang. Ibu masih syok dan murung saat ini, duduk melamun memegangi undangan sisa yang semuanya sudah tersebar dan tinggal menuju hari H. Bahkan disebelah ibu ada jam tangan dan cincin pertunangan Mita, dan ibu sama sekali tak menoleh atau menyentuhnya.

"Ibu minum dulu," tawar El, yang bahkan membantu ibu meneguk air putihnya saat itu. Terasa amat sakit meski hanya sekedar air yang bahkan bisa dengan sendirinya masuk kedalam tenggorokan hingga ibu kembali menteskan air matanya.

"Mita baru saja mau bahagia dengan kekasihnya, El. Tiga tahun menjalin hubungan itu tanpa restu, dan susah payah meraih izin dari orang tua Bayu untuk menikah. Tapi kenapa justru begini ketika sudah dekat pada semua yang Mita impikan," ucap ibu dengan wajah piasnya. Seakan taka da lagi harapan untuk melakukan apapun saat ini.

Mita memang berhubungan dan sempat ditentang orang tua Bayu kala itu karena Mita bukan berasal dari keluarga sekelas mereka yang kaya raya. Hingga akhirnya Mita mampu membuktikan diri jika Ia pantas bersanding bersama Bayu dengan gelar Dokter yang ia miliki.

"Bayu bagaimana?" tanya Ibu, dan El baru sadar bahwa ia tak memikirkan itu sejak tadi.

"Yang El tahu, Bayu selamat, Bu. Tapi, El tak tahu lagi bagaimana selanjutnya." El menundukkan kepala lagi-lagi menaha kepedihannya.

"Bagaimana ini? Undangan sudah disebar, semuanya sudah dipersiapkan dengan begitu matang. Tenda, dan semuanya Sudah siap dan akan datang sesuai waktu yang sudah ditentukan. Bahkan bagian dapur saja sudah penuh dengan persiapan pesta, bahan dan alatnya.

Harusnya mereka memasak untuk doa pesta, tapi yang terjadi adalah memasak untuk tahlilan malam pertama anak mereka.

"Bu Nurul, ada tamu." Seorang pria masuk dan memanggilnya saat itu. Bu Nurul sudah tak mampu berkata-kata lagi hingga hanya El yang mampu mewakilinya saat ini.

"Suruh masuk aja, Pak," pinta El padanya.

Pria itu mengangguk, lalu pergi hingga akhirnya tamu itu datang masuk dan menghampiri.

"Bu Lita?" panggil Bu Nurul pada calon besannya saat itu. Tapi El tak suka dengan cara Bu Lita menatap mereka, terutama dengan matanya yang tajam seperti tengah menyusuri rumah sederhana itu.

"Bagaimana keadaan Bayu, Bu?" tanya Ibu, padahal seharunya bu Lita menyampaikan dukanya untuk Mita saat itu terlebih dulu.

"Bayu bahkan belum sadarkan diri hingga saat ini. Tapi, setidaknya dia masih hidup."

Ucapan apa yang dilontarkan Bu Lita, padahal saat itu didepannya ada calon besan yang putrinya baru saja meninggal karena peristiwa yang sama dengan putranya. Ibu hanya bisa mengelus dada mendengarnya.

"Sejak awal saya sudah katakana, mereka tak mungkin menikah. Kenyataannya? Dari awal sampai saat ini, ada saja yang terjadi seolah memang takdir tak merestui."

Dada ibu langsung terasa sakit mendengar itu semua. Napasnya sesak, dan menundukkan kepala dengan napasnya yang terengah-engah tak karuan rasa, bahkan dunia seakan gelap dibuatnya karena sama sekali tak bisa membuka mata. Semua terasa berat.

"Bu, kami baru saja mendapat musibah dan calon menantu ibu meninggal. Bisakah sedikit berbela sungkawa? Apakah tak ada rasa simpati sama sekali dari ibu untuk Mita dan keluarganya?" El bersuara sedikit keras, dicampur segala rasa cemas dihatinya saat ini pada bu Nurul yang sudah sangat lemah dipangkuannya. Ia sudah menghadapi berbagai karakter orang disana, dan Ia juga terbiasa para orang seperti bu Lita.

"Mita sudah meninggal dan urusan dia selesai. Anak saya Bayu, divonis lumpuh dalam waktu lama. Masa depan dia masih panjang seharusnya!" sergah bu Lita pada El yang berani menentangnya. Ia tak suka ditentang, apalagi gadis seperti El yang baru ia lihat seumur hiudupnya.

PLIS 3

Elvira membulatkan mata. Ia tak menyangka ada orang sekejam itu dihadapan matanya saat ini. Ia sangka yang seperti itu hanya ada dalam drakor yang pernah ia tonton.

"Saya sakit disini. Urusan Mita dengan dunia sudah selesai, dan dia sudah tenang, bukan? Bagaimana dengan Bayu?" Bu Lita kembali berceloteh dengan segala rasa kecewanya saat ini.

El ingin membalas, tapi ibu mencegahnya agar ia tetap diam dan tak semakin memperkeruh keadaan.

"Sudah benar dia saya jodohkan dengan gadis lain, tapi dia hanya mau Mita. Semua celaka. Celakaaaa!" tangis Bu Lita semakin menjadi disana seakan ia yang paling menderita seumur hidupnya.

"Saya anggap, itu adalah ucapan bela sungkawa ibu pada kami. Setelah ini, silahkan ibu pergi. Bayu lebih butuh ibu saat ini." Akhirnya Bu Nurul angkat bicara padanya. Ucapannya tenang, namun terdengar begitu lantang ditelinga.

El sampai menoleh, seakan tak percaya jika bu Nurul melakukan itu semua. Padahal ia sendiri sudah lemah sejak tadi.

" Anda mengusir saya?" tatap nyalang bu Lita padanya.

"Saya anggap, yang tadi adalah curahan hati sesama ibu. Apalagi anda, yang anaknya lumpuh." Ibu menekan kata Lumpuh dari bibirnya.

"Padahal yang anda labrak saat ini justru tak akan pernah lagi dapat memeluk anak gadisnya sendiri. Setidaknya anda masih bisa bersama Bayu, bahkan dia masih bisa menikah dan mencari gadis yang katanya akan lebih baik dari Mita. Lakukan! Lakukan apa yang anda inginkan selama ini, Bu Lita. Puaskan Anda dengan obsesi Anda itu!"

Akhirnya emosi ibu membuncah. Ia tak tahan lagi terus ditekan dan di hakimi seperti itu padahal ia tengah tertekan saat ini. Bu Lita saja datang seperti orang tak waras yang justru menyalahkan semuanya pada ibu disana.

"Ma!" panggil seorang pria yang baru saja datang menyusulnya. Ia datang bersama rombongan yang baru pulang dari makam, tapi ia sendiri baru datang kesana karena menunggu semua proses operasi darurat sang putra. Baru ia sadar istrinya tak ada disana.

Pak Thomas namanya. Ia masuk dan duduk, bahkan ia bersimpuh meminta maaf atas kelakuan istrinya disana. Ia menyesali semuanya karena tak dapat mengontrol emosi istrinya saat ini.

"Apapun yang mama Bayu katakan, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Dia syok dengan keadaan Bayu saat ini yang kritis dan memprihatinkan."

"Saya sudah dengar, Pak Thomas. Saya turut berduka atas keadaan Bayu saat ini. Semoga kalian tabah dengan semua cobaan yang ada, dan Mita tenang disana." Ibu masih dengan begitu tenang membalasnya, lebih dingin dari ketika Ia menghadapi bu Lita barusan.

Bapak masuk, ia terheran menyaksikan semua keadaan di rumahnya. Ada calon besan, dan ia segera menyapanya dengan ramah saat itu juga.

El berdiri, Ia membuatkan minum untuk tamu mereka saat itu dan meminta para ibu yang ada disana membuatkan minum untuk yang lainnya. El sendiri yang membawanya ke depan bu Lita dan pak Thomas, dan nempersilahkan mereka menikmati hidangannya.

"Kamu siapa? Saya tak pernah lihat?" tatap sinis bu Lita pada Elvira.

El hanya tersenyum dsn kembali duduk disebelah ibu saat itu. Bapak yang menjelaskan siapa Elvira didepan mereka semua, yang bahkan tak segan berkata jika El adalah anak angkat mereka bahkan sebelum Mita tak ada.

" Dia bekerja di luar kota sebagai perawat disana. Dia pulang untuk menemani Mita menikah, tapi disambut dengan berita duka."

Pak Thomas meraup wajahnya sendiri, tak dapat menahan segala rasa sedih dihatinya saat ini. Semua sudah terjadi, dan sama sekali tak ada yang menginginkan ini semua.

" Lalu bagaimana dengan Bayu?" celetuk bu Lita lagi dengan tatapan kosongnya.

" Ma, Bayu belum sadar. Kita harus segera kesana untuk memberi semangat padanya saat ini."

"Dia pasti syok dan sakit dengan kelumphuhannya, Pa!"

"Ma! Astaga," Pak Thomas memijat keningnya, sampai tak bisa berkata-kata lagi pada sang istri saat ini.

"Pa, Bayu, Pa..." ringis bu Lita didepan mereka semua. Terpaksa pak Thomas mengangkat tubuh istrinya dan pamit dari sana segera. Ia tak ingin ada keributan lagi, dan itu sangat tak enak dilihat nanti.

Bahkan pak Thomas berjanji akan menyempatkan diri dan ikut dalam segala rangkaian doa untuk mendiang calon menantunya nanti.

Ibu tampak menghela napas panjang usai kepergian mereka semua. Ia lantas mencoba berdiri meski terhuyung, kemudian merambat dinding masuk kedalam kamar Mita untuk mengistirahatkan dirinya.

Dari celah yang ada El melihat ibu memeluk kebaya abu-abu Mita yang tadinya akan dipakai untuk pernikahannya.

"Elvira istirahat dulu di kamar, nanti pasti akan sibuk dengan pelayat yang akan datang kemari."

"I-iya, Pak." El langsung berdiri dan berjalan menuju kamarnya yang memang sudah disediakan disana. Tampak foto mereka selagi masih bersama. Senyum Mita yang indah dengan lesung pipitnya, dan matanya yang bercahaya.

Di salah satu foto bahkan sebenarnya ada Bayu, tapi Mita tak memajangnya disana. Ia memilih memajang foto sang kekasih di kamarnya saat itu. Dengan kata lain, Bayu dan Elvira memang tak pernah akrab sama sekali dan sebatas bertegur sapa. Itupun jika ada Mita diantara mereka.

Suara monitor di Rumah sakit terdengar begitu nyaring. Itu irama jantung Bayu yang normal dan bergerak sesuai dengan ritmenya. Mama Lita dan papa Thomas duduk di sofa yang ada disana, diam dan terus berdoa untuk kemajuan sang putra.

"Harusnya Mama tak bertindak gegabah seperti tadi. Mereka lebih menderita daripada kita saat ini,"...

"Mama hanya ingin mencurahkan isi hati mama saat ini. Kecewa, dan sakit rasanya. Andai menurut sejak awal agar tak memaksakan diri untuk menikah, pasti semua tak akan terjadi."

"Ma... Bahkan jika mereka ingin, justru mereka yang akan menuntut kita karena telah membuat nyawa putrinya melayang. Mama mau, Bayu yang justru dijadikan tersangka dari semua kasus ini?" sergah papa Thomas pada istrinya.

Mama Lita hanya diam seribu bahasa, Ia tetap pada pendiriannya yang egois dan semaunya sendiri. Semua orang sudah paham itu, bahkan Mita sendiri yang akan menjadi menantunya. Bahkan titik tersulit bagi Mita memang ada pada Mama Lita.

Papa Thomas yang sejak tadi tak mengalihkan pandangan dari Bayu, melihat sesuatu. Tangan Bayu bergerak, dan itu bukan hanya sekali. Ia bahkan langsung berdiri dan mendekat padanya, menggenggam dan merasakan ketika Bayu merespon genggamannya saat itu.

"Bayu, kamu sadar? Coba respon papa lagi," pinta Papa, tapi sayangnya Bayu tak membalasnya saat itu.

Tak apa, setidaknya sedikit ada perkembangan dari tubuh lemahnya saat itu. Hanya tinggal menunggu kapan dia bangun, dan saat itu juga harus mendengar semua kenyataan yang terjadi dengan sebenar-benarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!