Resepsi pernikahan sederhana telah pun usai di laksanakan. Sepasang anak manusia yang tadinya baru saja sah menjadi pasangan suami istri, kini diam dengan pikiran masing-masing.
Jangan harap bahwa mereka sedang memikirkan malam pertama mereka sekarang. Karena pernikahan itu bukanlah pernikahan atas dasar cinta. Melainkan, atas dasar terpaksa. Bahkan, sebelumnya mereka tidak pernah saling mengenal satu sama lain.
Adinda Manohara. Gadis cantik dengan rambut hitam lurus yang panjang itu sebenarnya punya masa depan yang sangat cerah. Dia lulusan terbaik manajemen akutansi di kota besar. Ia punya mimpi yang tinggi. Ingin menjadi wanita karier yang terkenal di kota besar tempat ia menuntut ilmu sebelumnya.
Tapi sayang, mimpi dan cita-cita itu hanya sebatas harapan yang mungkin tidak akan pernah bisa ia wujudkan. Karena sekarang, ia harus menikah dengan anak tetangga sebelah rumah karena hutang yang ayahnya miliki.
Pria yang terkenal karena sering digosipkan oleh ibu-ibu di desanya. Bukan terkenal karena kelebihan, melainkan, karena keburukan dari pria itu semata. Dia dikabarkan seorang playboy akut yang suka mempermainkan perasaan perempuan. Suka gonta-ganti pasangan dengan mudah.
Ilya Mulyadi namanya. Anak orang paling kaya di desa mereka. Anak orang terpandang yang sejak kecil selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Mungkin, karena faktor itulah si pria jadi playboy dan badboy sekarang.
Wajahnya diakui memang sangat tampan. Ia terlihat indah dipandang mata. Tubuh atletis yang sangat memukau. Dia cukup sempurna untuk diakui sebagai pria tampan dari kota.
Tapi sekarang, pria itu tidak lagi sempurna. Dia sudah lumpuh sejak tiga tahun yang lalu. Katanya, dia mengalami kecelakaan karena memperebutkan seorang perempuan.
Memang, pria ini punya nama yang sangat tidak baik di desa. Karena itu pula, kesan tidak baik langsung terukir dengan mudah di hati Dinda sekarang.
Kesan yang tidak baik itu membuat Dinda sangat enggan untuk bersahabat dengan Ilya. Dia sepertinya sangat ingin menghindar dari Ilya. Sayangnya, itu tidak bisa ia lakukan.
Karena jika ia keluar dari kamar pengantin ini, maka akan banyak tanggapan negatif yang akan beredar. Dia tidak ingin menciptakan masalah buat semuanya. Karena itu, Dinda memilih untuk terap bertahan meski hatinya merasa sangat tidak ingin.
Sementara Ilya, dia malah sibuk dengan urusannya sendiri. Sejak masuk ke kamar pengantin beberapa saat yang lalu, dia terus sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lakukan dengan ponsel tersebut, yang jelas, ia terlihat begitu fokus.
Beberapa jam berlalu. Suasana kamar itu masih sama seperti sebelumnya. Masing terasa hening tanpa ada satu patah katapun yang terucap dari kedua anak manusia yang ada di dalamnya.
Hingga akhirnya, Ilya merasa lelah duduk di atas kursi roda yang menjadi kaki pengganti buatnya selama beberapa tahun terakhir. Dia pun terlihat berusaha untuk berpindah posisi ke atas ranjang.
Awalnya, usaha Ilya ingin Dinda abaikan. Tapi, hati nuraninya tidak menginginkan hal itu ia lakukan. Dengan cepat, ia beranjak dari duduknya di atas sofa yang ada di samping kamar tersebut.
"Boleh aku bantu?" Kata-kata pertama Dinda langsung terdengar sejak pertama kali mereka bertemu.
Hal itu tentu saja membuat Ilya langsung terdiam dengan tatapan lekat melihat wajah perempuan cantik yang ada di dekatnya sekarang. Aroma harum tubuh itu sangat menenangkan buat Ilya. Pikirannya yang berkecamuk, mendadak rileks begitu saja.
Bahkan, niat awal untuk menolak tawaran itupun mendadak sirna. Sedangkan Dinda, tanpa persetujuan dari Ilya pun ia terus saja membantu Ilya buat bangun dari kursi roda dan berpindah ke atas kasur.
Usai membantu Ilya, Dinda ingin langsung menjauh. Tapi Ilya langsung menghentikan niat itu dengan memegang tangan Dinda dengan cepat.
"Bisa bicara sebentar?" Ilya berkata dengan tatapan penuh harap ke arah Dinda.
Seketika, niat untuk menjauh pun hilang begitu saja. Tatapan penuh harap itu seakan meluluhkan hati Dinda dengan mudah.
"Bicara apa?"
"Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan. Yang jelas, semua tentang aku dan kamu."
"Bisa duduk dulu?" Ilya berucap lagi karena saat ini, Dinda sedang berdiri. Gak mungkin dia mengajak Dinda ngobrol dengan posisi yang seperti itu.
Sementara Dinda yang ditawarkan untuk duduk langsung memasang wajah bingung dan tidka nyaman. "Duduk? Di mana?"
"Di sini. Di sampingku. Karena gak mungkin kamu duduk di sofa yang ada di sana. Itu cukup jauh untuk kita saling bertukar obrolan. Dan, gak mungkin juga kalo kamu duduk di situ, bukan?" Ilya berucap sambil melihat ke arah lantai.
Dinda yang mendengar ucapan Ilya barusan tentu merasa sangat canggung. Iya pun berpikir cepat untuk menghindar dari permintaan Ilya barusan. Karena ia merasa, sangat-sangat tidak nyaman sekarang. Jangankan duduk di samping Ilya. Berdiri di depan Ilya seperti saat ini saja dia sudah merasa sangat tidak nyaman.
"Ee ... bagaimana jika aku gunakan kursi meja rias saja? Dengan begitu, kita bisa ngobrol dengan baik dengan jarak yang cukup pas."
Ucapan itu langsung membuat Ilya memberikan tatapan lekat ke arah Dinda.
"Apa duduk di samping aku sangat menyulitkan buat kamu? Sampai-sampai, kamu harus susah payah mencarikan kursi lain agar tidak duduk di dekatku?"
"Ah, bu-- bukan gitu. Maksud aku .... " Dan pada akhirnya, Dinda menyerah. "Baiklah. Aku duduk di sini. Maaf, aku gak niat bikin kamu merasa tidak nyaman. Aku hanya .... "
"Sudahlah. Tidak perlu dipikirkan lagi. Aku gak akan mempermasalahkan hal itu juga kok. Karena aku tahu, kamu menikah dengan aku bukan karena keinginan kamu sendiri. Melainkan, karena terpaksa."
"Lagian, kita juga tidak pernah saling kenal sebelumnya. Jangankan kenal, bertemu aja aku pikir tidak pernah sama sekali." Ilya berucap dengan nada tenang. Sepertinya, ia cukup bersahabat sebagai seseorang yang baru Dinda kenal.
"Oh iya, sebelumnya aku lupa nanya. Mau aku panggilkan apa kamu? Mano? Hara? Atau ... apa? Aku gak tahu apa nama panggilan kamu soalnya." Lagi, Ilya terus bicara dengan suara tenang yang ikut membuat perasaan gugup Dinda sedikit menghilang.
"Panggil aku dengan nama Dinda saja. Karena itu nama panggilanku selama ini." Dinda berucap dengan nada yang masih terdengar cukup canggung.
"Oh, Dinda. Mm ... nama yang bagus. Oh ya, aku dengar, kamu adalah gadis yang pintar. Kamu lulusan terbaik di tempat kamu kuliah, kan?"
"Aku tahu kampus itu. Kampus yang paling terkenal di kota tersebut. Bisa lulus dengan nilai terbaik adalah hal yang paling membanggakan. Tapi sayang, kamu harus menikah dengan pria cacat seperti aku. Pria lumpuh yang tidak bisa apa-apa selain duduk di kursi roda."
"Aku tahu kampus itu. Kampus yang paling terkenal di kota tersebut. Bisa lulus dengan nilai terbaik adalah hal yang paling membanggakan. Tapi sayang, kamu harus menikah dengan pria cacat seperti aku. Pria lumpuh yang tidak bisa apa-apa selain duduk di atas kursi roda."
Ucapan itu membuat hati Dinda sedikit bergetar. Bukan karena ia dipuji oleh Ilya. Melainkan, karena ucap Ilya yang merendahkan dirinya sendiri membuat Dinda merasa sedikit tidak nyaman dengan hatinya.
"Ke-- kenapa ngomong gitu?"
"Karena itulah kenyataannya, Dinda. Aku pria lumpuh. Kamu juga sudah pasti sering mendengar gosip buruk tentang aku di desa ini, bukan? Aku yakin kamu pasti sangat terpaksa menerima pernikahan ini."
Dinda tidak tahu mau menjawab apa. Yang jelas, ucapan Ilya memang benar adanya. Ia memang sangat terpaksa menerima pernikahan ini.
"Kamu diam. Aku tahu apa yang aku katakan itu benar."
"Aku .... "
"Tidak perlu menyanggah. Karena sudah lumrahnya manusia menginginkan yang sempurna untuk pasangan hidup mereka. Di tambah, kita berdua yang tidak saling kenal apalagi jatuh cinta. Bagaimana bisa kamu tidak terpaksa menikah dengan aku?"
Dinda lagi-lagi hanya bisa diam. Soalnya, apa yang Ilya katakan itu benar. Ingin ia akui secara terang-terangan, tapi hati nuraninya masih berfungsi dengan baik. Tidak mungkin ia menyakiti pria itu secara langsung dengan mengakui apa yang pria itu katakan.
Sementara Ilya yang melihat Dinda tidak menjawab apa yang ia katakan, kini langsung angkat bicara kembali. "Untuk itu Dinda, aku minta maaf. Karena sejujurnya, aku juga tidak bisa menolak permintaan ayahku untuk menikah dengan kamu. Ayah bilang, kamu adalah perempuan yang tepat untuk aku. Karena itu, dia memaksa aku untuk menikah dengan kamu."
Penjelasan itu membuat Dinda cukup tertarik.
"Ayahmu ... bilang begitu? Bu-- bukannya pernikahan ini karena ayahmu ingin menarik hutang dari ayahku?"
"Itu hanya alasan saja, Dinda. Karena tujuan utama ayahku memang ingin menjadikan kamu sebagai istriku."
"Kok ... kok bisa? Kenapa ayahmu memilih aku untuk kamu? Bukankah aku datang dari keluarga yang tidak berpunya?"
"Aku juga tidak tahu. Yang pasti, ayah sangat bersikeras agar aku setuju menikah dengan kamu. Sampai, orang tua itu mengancam aku dengan ancaman tidak akan membiarkan aku tinggal di kota jika aku tidak mau menikah dengan kamu."
"Tinggal di kota? Maksud kamu?" Dinda semakin bingung sekarang. Setiap penjelasan yang Ilya berikan cukup membuat ia sulit untuk mencerna inti dari pokok permasalahan yang sedang ia hadapi. Karena itu, ia terlihat terus-terusan seperti orang yang di serang penyakit pusing.
"lho, orang tuamu tidak bilang kalo setelah menikah, kamu akan ikut aku tinggal di kota?"
Dinda menjawab dengan gelengan pelan saja. Karena memang, dia tidak di beritahukan apapun kecuali hari pernikahan mereka saja. Dia bahkan tidak tahu seperti apa Ilya sebelumnya. Karena tidak ada yang bercerita tentang Ilya.
Sebenarnya, bukan tidak ada. Hanya saja, Dinda dan Ilya sama-sama tidak menetap di kampung selama beberapa tahun terakhir.
Dinda sudah tinggal di kota bersama tantenya sejak ia menginjak bangku sekolah menengah atas (SMA). Lalu, ia terus berada di sana setelah ia lulus sekolah. Itu karena orang tua Dinda menginginkan Dinda untuk melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan di kota yang sama pula.
Sementara Ilya pula, dia bahkan sudah tidak tinggal di desanya sejak ia lulus sekolah dasar. Sekolah menengah pertama, juga pendidikan lanjutan lainnya ia lanjutkan di kota.
Di kota tersebut, ia di sediakan rumah mewah dengan sepasang suami istri tanpa anak sebagai pengurusnya. Pasangan suami isteri itu adalah orang kepercayaan ayah Ilya. Karena itu ayah Ilya bisa tenang saat anaknya jauh dari dia.
Sebenarnya, Ilya adalah anak yang baik sebelum bundanya pergi. Karena setelah pergi, ayah Ilya terus memanjakan Ilya secara berlebihan. Ia tidak pernah mendidik, melainkan mengikuti semua yang Ilya mau. Karena itu, Ilya dewasa jadi pria yang kurang baik.
Tapi, pendapat itu malah langsung di singkirkan oleh keadaan setelah Dinda melihat sendiri, kalau apa yang digosipkan malah sangat jauh berbeda dari apa yang sedang terjadi.
Ilya tidak terlihat seperti pria nakal yang selama ini ia pikirkan. Malahan, pria itu lebih mirip pria berhati besar dengan siap merendahkan diri di depan lawan bicaranya.
'Uh .... Dinda, jangan terpengaruh kamu sekarang. Jangan lupa kalau dia adalah pria playboy yang punya banyak banyak wanita. Jadi, jika ia baik dan lembut sekarang, itu adalah hal yang wajar. Buaya sedang mencari mangsa.' Dinda bicara dalam hati.
"Ah, jika tidak ada lagi yang mau kamu bicarakan, apakah aku bisa istirahat sekarang, Il-- Ilya?" Sungguh, saat ingin memanggil nama Ilya membuat Dinda merasa agak gugup sehingga ia berucap dengan nada gelagapan.
"Jangan panggil aku nama, Dinda. Gak enak di dengar orang. Panggil aku dengan embel-embel mas, atau ... kak. Mungkin akan lebih baik."
"O-- oh. Ba-- baiklah. Aku ... akan panggil kamu kakak saja."
"Terserah kamu. Asal terdengar manis di telinga saja."
"Oh iya, apa kamu siap kembali ke kota bersama aku, Din? Mm ... karena tadi kamu belum kasi aku jawaban maka aku ulangi pertanyaan yang tadi lagi. Jadi, tunggu sebentar jika mau istirahat yah."
"Itu ... kenapa kita harus tinggal di kota?"
"Karena aku punya usaha di sana."
"Usaha?" Saat alasan dari pilihan itu Ilya katakan, Dinda malah terlihat tidak yakin. Karena yang ada dalam pikirannya masih hal buruk tentang kehidupan Ilya sebelumnya.
"Iya. Usaha kecil-kecilan yang aku bangun beberapa waktu yang lalu. Tapi, hasilnya sudah terlihat kok, Din."
"Mm ... karena kita akan selalu dekat mulai dari sekarang. Aku akan bercerita sedikit soal usahaku padamu. Sebenarnya, aku sudah membangun sebuah usaha atau ... lebih tepatnya perusahaan. Namun, baru berjalan beberapa tahun."
"Apa? Kamu ... sedang membangun perusahaan?"
"Hem." Ilya berucap sambil mengangguk pelan. "Iya. Aku sedang membangun perusahaan. Eh, bukan sedang, tapi baru belajar. Namun, bukan aku yang menjalankannya. Aku hanya menggerakkannya lewat layar saja. Sedangkan yang menjalankan semuanya adalah orang kepercayaan ku."
Penjelasan itu sungguh membuat Dinda kagum. Yah, meskipun ada sedikit keraguan. Tapi sepertinya, keraguan itu mendadak sirna karena keyakinan dari apa yang Ilya katakan.
"Jadi ... karena itu kamu ingin tetap tinggal di kota, kak Ilya? Mm ... apa papa kamu tahu soal usaha yang sedang kamu bangun?"
"Nggak. Tidak ada yang tahu selain orang-orang yang paling dekat dengan aku. Karena aku tidak ingin mereka mencemooh aku saat mereka tahu kalau aku gagal melakukan apa yang sedang aku kerjakan. Karena ... aku punya nama yang sangat buruk di mata banyak orang."
"Nggak. Tidak ada yang tahu selain orang-orang yang paling dekat dengan aku. Karena aku tidak ingin mereka mencemooh aku saat mereka tahu kalau aku gagal melakukan apa yang sedang aku kerjakan. Karena ... aku punya nama yang sangat buruk di mata banyak orang."
Ucapan itu membuat Dinda merasa bersalah dan kasihan. Tapi, dia tidak tahu bagaimana cara menghibur pria asing yang dengan tiba-tiba saja bisa menjadi suaminya.
"Ah, sudahlah, Dinda. Jangan pikirkan apa yang aku katakan barusan. Intinya, aku akan kembali ke kota dalam waktu dekat. Apa kamu bersedia ikut? Jika kamu keberatan, aku juga sebenarnya tidak ingin memaksa. Tapi ... aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak ikut aku kembali."
"Aku akan ikut. Kamu tenang saja, Kak Ilya. Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Karena itu, jangan cemas."
"Hm ... baiklah. Terima kasih, Dinda. Oh iya, terima kasih juga sudah mau membantu aku. Sebelumnya, setiap aku ingin beranjak dari kursi rodaku, ada mang Mamat yang akan membantu. Tapi malam ini, dia tidak lagi membantu aku turun dari kursi roda. Ia hanya mengantarkan aku sampai depan pintu kamar saja. Mungkin, ia pikir sudah ada orang lain yang menggantikan tugasnya buat membantu aku. Karena itu, terima kasih banyak."
"Tidak perlu berterima kasih, Kak Ilya. Karena aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan saja kok. Lagian, kamu juga sedang butuh bantuan tadi, bukan? Jahat banget dong aku kalo hanya diam dan ngeliat kamu yang sedang kesusahan."
Entah apa yang Dinda pikirkan saat ini. Ia begitu lancar mengatakan begitu banyak kata di depan Ilya. Karena beberapa saat yang lalu, ia terkesan masih sangat canggung ada di sekitar pria asing yang bergelar suaminya ini.
"Mm ... jika gak ada yang mau kakak bicarakan lagi, aku bisa istirahat sekarang?"
"Oh, iya. Silahkan. Istirahat saja. Karena kebetulan, aku juga mau istirahat karena cukup lelah dan ngantuk."
"Oh, iyalah."
Selesai berucap, Dinda langsung bangun dari duduknya. Ia berniat untuk tidur di sofa malam ini. Karena, sangat tidak mungkin bagi Dinda untuk tidur satu ranjang dengan Ilya meskipun mereka sudah halal untuk bersama.
Sementara itu, Ilya yang melihat Dinda semakin menjauh dari ranjang merasa heran. Awalnya, ia berpikir kalau Dinda mungkin ingin melakukan ritual manja anak perempuan sebelum tidur. Seperti, menyisir rambut, menggosok gigi, cuci muka, atau ... memakai beberapa alat kosmetik yang Ilya sendiri kurang memahami apa yang sebenarnya para perempuan itu kenakan. Cuma mau tidur doang, ribetnya minta ampun. Pikir Ilya ketika mengetahui para perempuan yang ia kenal mengatakan apa saja yang mereka lakukan sebelum tidur.
Namun, istri sahnya ini terlihat tidak sama dengan para perempuan itu. Ia malah langsung duduk di atas sofa setelah meninggalkan ranjang Ilya. Hal itu membuat Ilya sedikit bingung. Dan, ketika Dinda sedang mengatur posisi untuk berbaring, Ilya baru sadar kalau Dinda memang ingin beristirahat di atas sofa tersebut.
"Kamu kok malah ingin berbaring di sana? Apa di sini sudah tidak punya tempat lagi?"
Pertanyaan itu langsung membuat Dinda memasang wajah kaget. Karena dia sebelumnya benar-benar tidak berpikir, kalau Ilya juga akan meminta ia untuk tidur satu ranjang dengannya setelah permintaan Ilya yang ingin ia duduk di samping ketika ngobrol beberapa waktu barusan.
"Ap-- apa maksud kak Ilya barusan?" Ingin pura-pura tidak mengerti padahal kenyatannya ia sungguh sangat memahami apa yang Ilya katakan. Jika tidak, mana mungkin dia barusan berucap dengan nada gelagapan kalo bukan gugup.
"Kamu tahu apa yang aku maksud. Jangan berbaring di sana. Di sebelah aku masih ada tempat yang cukup luas buat kamu tidur. Tubuhmu yang mungil itu tidak akan mengganggu batasan antara aku dengan kamu. Jadi, tidurlah di sini sekarang."
"Ta-- tapi .... "
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Dinda? Kamu takut aku akan mengganggu tidurmu? Jika benar begitu, kamu tidak perlu cemas Adinda, karena aku lumpuh, tidak akan bisa mengusik ketenangan orang lain meskipun orang itu ada di sampingku."
"Dan lagi, aku masih punya perasaan kok. Gak akan mengusik tanpa seizin dari orang yang ingin aku usik. Aku masih tahu batasan ku, Din. Jadi, jangan takut padaku. Meskipun kita tidur satu ranjang, tidak akan terjadi apa-apa antara aku dengan kamu."
Penjelasan panjang lebar itu membuat Dinda merasa cukup bersalah atas penolakan yang ia buat barusan. Karena itu, tanpa menjawab dengan kata-kata, Dinda langsung memilih mengikuti apa yang Ilya katakan.
Meski terlihat sangat canggung untuk bergerak, Dinda tetap berusaha keras agar apa yang ia rasakan tidak terlihat oleh Ilya. Dia pun berbaring dengan hati-hati di samping Ilya dengan jarak yang lumayan jauh.
"Kamu masih saja takut padaku. Baiklah kalau gitu, aku berikan batasan buat aku dan kamu." Ilya pun langsung meletakkan guling di tengah-tengah mereka. "Ini batasannya. Di sana milikmu. Dan ini milikku. Bagaimana? Apa kamu merasa nyaman dengan batasan ini?"
"A-- aku .... Maaf, kak Ilya." Hanya itu yang bisa Dinda ucapkan. Padahal, yang ingin ia katakan sangat banyak pada Ilya. Tapi, bibirnya terasa sangat berat. Jangankan berucap banyak kata, beberapa kata itu saja sangat sulit untuk keluar dari bibirnya.
"Ya sudahlah. Tidak perlu minta maaf. Aku maklum apa yang kamu rasakan saat ini. Kamu butuh waktu untuk terbiasa dengan aku yang bawel dan banyak mintanya ini. Maklum, sudah terbiasa bawel dan cerewet sejak kecil."
"Ah, jadi makin banyak ngomong aku sekarang. Ya sudah, selamat istirahat. Semoga mimpi indah."
Setelah kata-kata itu terucap, tidak ada jawaban juga tidak ada kata-kata lain yang terdengar. Keduanya pun sama-sama terlelap beberapa waktu kemudian. Mungkin, karena cukup lelah seharian dengan apa yang mereka alami, keduanya malah langsung bisa memejamkan mata meski berada dalam kondisi yang baru bagi mereka.
Pagi menjelang dengan cepat. Malam dingin ternyata berlalu begitu saja. Namun, siapa sangka jika pagi ini akan sedikit mengejutkan buat hati Dinda. Dia yang tidak sadar saat tidur nyenyak, kini malah berada di samping Ilya. Bahkan lebih tepatnya, ia kini tidur dengan berbantalkan lengan Ilya.
"Ah, in-- ini .... Ya Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang terjadi sebenarnya?" Dinda heboh sendiri sampai membuat Ilya langsung terjaga dari tidurnya.
"Ada apa, Din?" Ilya berpura-pura tidak tahu padahal sebenarnya, dia sudah bangun beberapa menit sebelum Dinda terjaga dari tidurnya.
"It-- itu ... kak Ilya. Ah, ng-- nggak ada apa-apa kok. Aku hanya ... hanya .... "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!