NovelToon NovelToon

Cinta Berparas Malaikat

Meminta Balasan

"Are you ready, Kania?" suara pria tampan yang gagah meski sudah berumur itu menggema dari atas tangga kamar miliknya. Ia tersenyum menatap anak gadis yang memiliki tubuh begitu ideal di usianya yang akan menginjak sembilan belas tahun ini.

Jemi Skay, seorang pria duda yang hidup bersama gadis yang ia besarkan sejak kecil. Mereka tumbuh dengan saling menyayangi meski kerap kali Kania mendapatkan serangan dari keluarga sang papah. Sebab bagi mereka Kania hanyalah anak jalanan yang tidak pantas di pelihara di keluarga terhormat mereka.

"Yes. I am ready papah Jem." seruan Kania sontak membuat suasana pagi itu terasa begitu hangat.

Keduanya pun melangkah keluar rumah dimana supir sudah menyambut barang-barang mereka untuk menuju ke bandara. Rumah megah yang terasa sunyi itu kini mereka tinggalkan tersisa pelayan saja.

Mereka berdua bercerita panjang lebar mengenai semua rencana Kania ke depannya. Sekolah tinggi dan menjadi orang sukses itu adalah impiannya. Meski Jemi sering kali mengatakan jika Kania tak perlu terlalu serius dalam belajar. Yang terpenting ia mampu bekerja dan berpikir cerdas maka Kania akan bergabung di perusahaan Jemi.

"Kania, sudah papah katakan tidak perlu terlalu keras dalam memikirkan itu semua. Apa masih kurang cukup besar perusahaan papah untuk mu ikut bergabung?"

Mendengar itu Kania lantas menggelengkan kepala tersenyum. "Aku sadar siapa diriku ini, Papah Jem. Oma dan Tante lainnya pasti akan sangat marah dan murka jika sampai aku melakukan hal itu." Terlihat jelas bagaimana wajah Jemi nampak tak senang mendengar respon putri angkatnya.

Kini keduanya berpindah ketika sudah tiba di bandara. Mereka menaiki jet pribadi dimana Kania sudah merasa biasa akan fasilitas mewah ini. Keberuntungan benar-benar mengelilingi hidupnya sepanjang pertumbuhan. Jemi selalu memanjakan gadis belia ini. Tak jarang orang berpikir jika keduanya adalah sepasang kekasih yang berbeda usia. Sebab cara mereka menunjukkan kasih sayang tentu terlihat seperti sepasang kekasih sangat romantis dan serasi.

"Kira-kira liburan kita kali ini papah sudah bisa menemukan tambatan hatinya belum yah?" Kania berniat menggoda Jemi, pria mapan itu. Namun, tatapan mata Jemi justru membuat Kania salah tingkah.

Ia memalingkan mata kala melihat Jemi hanya menatapnya dalam diam. Tak ada yang pria itu ucapkan dari pertanyaan Kania. Sepanjang penerbangan pun mereka hanya diam dengan Kania yang memilih akhirnya tidur.

"Kamu sudah tumbuh dewasa, Kania. Kamu sudah sangat menjadi cantik saat ini. Bukankah aku sudah melakukan yang terbaik selama ini?" gumam pria itu yang menatap Kania dalam tidurnya saat ini.

Pelan Jemi bergerak menyelimuti tubuh Kania dengan jaketnya. Beberapa menit lagi mereka akan segera tiba. Dimana Jemi hanya menikmati penerbangan dengan memperhatikan gadis cantik di sebelahnya.

Singkat cerita ketika pesawat sudah tiba, Kania ternyata tak kunjung membuka mata. Jemi bergerak cepat menggendong anaknya ke mobil. Sementara barang mereka sudah di bantu oleh beberapa anak buah pria itu.

Sebuah hunian vila mewah milik Jemi pribadi kini mereka tempati. Vila yang di desain sangat indah dan nyaman sebab banyak kaca yang di gunakan bangunan itu menjadikan pencahayaan alami terasa sangat terang.

Deburan ombak yang semakin kencang menambah kesan romantis. Sosok pria duduk menanti sang gadis bangun dari tidurnya. Ia menatap birunya laut di depan sana.

"Papah, kita sudah sampai?" tanya Kania yang menatap Jemi dengan ceria.

Tempat tidur yang ia tiduri saat ini berada di semi outdoor. Dimana ruang pembatasnya juga terdapat kaca yang bisa di geser full terbuka.

Jemi menoleh menatap Kania di atas tempat tidur itu.

"Istirahatlah. Malam ini kita akan pergi ke luar."

"Tidak. Aku ingin menikmati udara di sini dan pemandangannya juga." Kania bertutur dengan ikut duduk di kursi yang sama di samping Jemi.

"Nia," panggilan lembut dan bergetar itu entah mengapa membuat Kania terdiam. Sebab Jemi saat ini sudah menghadap pada tubuhnya. Dimana tatapan keduanya saling bertemu pandang.

"I-iiya, Pa-pah Jem?" sahut Kania yang gagap seketika.

"Brehenti memanggilku Papah, Nia." kening Kania pun mengerut dalam ketika mendengar permintaan itu.

Sontak Kania terkekeh mendengarnya. Ada rasa takut jika ia ternyata telah membuat sebuah kesalahan.

"Ma-maksud Papah apa?" tanyanya dengan gugup.

Hingga di bawah sana terasa hangat genggaman tangan yang Kania rasakan. Matanya bergerak menatap mata dan tangan milik pria di depannya bergantian. Seolah mencari jawaban dari pertanyaan di kepalanya saat ini.

"Aku ingin hubungan kita lebih dari ini, Kania. Aku mencintaimu..." senyum dan tawa di wajah cantik itu runtuh seketika.

Dada Kania bagai tersambar petir saat itu juga. Bagaimana mungkin pria yang selama ia kecil di panggil papah justru kini berbicara tentang rasa cinta? Kania menggeleng tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

"Papah sedang belajar menembak seseorang bukan?" tanya Kania berusaha meyakinkan diri jika semua tidak benar.

Namun, Jemi justru menggelengkan kepala. "Ini sungguhan, Nia. Sudah cukup aku menjagamu selama ini dengan baik. Bukankah sebuah balasan yang baik pun bisa ku dapatkan?" seketika tubuh Kania menegang. Ia menjauhkan wajah dari hadapan Jemi saat itu.

Mau marah, Kania tak berani. Pria yang selalu menjaganya benar-benar layaknya seorang papah. Menyayanginya dengan tulus dan penuh kelembutan nyatanya tengah menunggu hasil dari apa yang ia tuai. Kania hendak berlari menjauh namun secepat kilat Jemi justru menarik tangan Kania dan memutar posisi mereka dimana Kania terkungkung di bawah tubuh kekar itu.

Bibir yang ingin berteriak kini tertutup oleh bibir merah ceri milik pria tampan itu. Jemi, seorang pria duda yang frustasi akan cinta pertamanya justru melabuhkan hati pada anak angkatnya yang ia jaga sedari kecil.

Air mata Kania jatuh berderai saat tubuhnya mendapat paksaan dari sang papa. Helaian kain demi helaian telah tandas begitu saja di lantai. Dengan beringasnya Jemi menelusuri setiap inci tubuh gadis belia itu.

Pergi

"Papah Jem jahat! Aku benci!" Suara teriakan itu terdengar memekakkan telinga seorang pria tampan yang berusaha membuka pintu kamar mandi. Dimana di dalamnya ada Kania yang menangis histeris mendapati tubuhnya sudah tak lagi suci. Rasa benci kian tumbuh besar di benaknya. Bagaimana bisa seorang pria yang selama ini ia panggil dengan sebutan Papah justru tega berbuat hal demikian padanya.

"Kania, buka pintunya! Kania, dengar dulu ayo buka pintunya kita akan bicara." Jemi di luar sana berteriak sembari menggedor pintu.

Lama ia terus berteriak hingga akhirnya pintu terbuka ketika Kania mendengar pria itu mengancam akan mendobrak pintu. Dengan mata sembab dan tangan gemetar ketakutan Kania berdiri menundukkan kepalanya.

"Maafkan aku, Kania. Maaf." lirih suara pria itu terdengar. Tubuh kekarnya memeluk erat tubuh langsing Kania yang terasa sangat dingin.

Jemi kehilangan akal ketika bertahun-tahun ia menunggu waktu yang tepat.

"Aku sudah jatuh cinta sejak awal denganmu, Kania. Itu sebabnya aku sangat menjagamu selama ini." Tak ada yang Kania lakukan saat ini selain diam. Berbicara percuma untuknya. Tidak akan bisa mengembalikan semuanya. Air matanya terus berjatuhan tanpa henti.

Jemi melepas pelukan saat sadar wanita yang ia peluk tak menunjukkan respon sama sekali. Di rapikan anak rambut Kania yang menutup wajahnya. Di kecup dalam kening berkeringat itu.

"Ayo kita ganti baju dulu." tangannya menarik tangan Kania untuk di tuntun ke tempat koper mereka berada.

Kania hanya patuh ketika Jemi mengambil pakaian untuknya. Barulah setelah itu Jemi keluar dari kamar memberikan waktu Kania untuk berganti baju. Selang beberapa menit kemudian akhirnya ia kembali datang dengan nampan yang berisi makanan.

"Nia, ayo makan dulu." Jemi tak menyangka jika perbuatannya justru akan membuat Kania seperti ini.

Selembut apa pun ia memperlakukan Kania saat menyentuhnya, nyatanya gadis itu tak lagi respect padanya. Hanya ada rasa benci yang Kania rasakan saat ini.

Berusaha membujuk untuk makan bahkan Jemi sampai menyuapi Kania makan, namun mulut gadis itu tak kunjung mau terbuka. Ia hanya bebaring membelakangi Jemi dengan air mata yang berjatuhan.

Hingga malam pun tiba Jemi semakin cemas kala tak mendapati perubahan dari Kania. Sudah dua kali waktu makan ia lewatkan. Kania hanya berbaring. Saat ini pun tepat pada pukul sepuluh malam, dimana Jemi berniat tidur di kamar yang sama namun di sofa tepatnya ia membaringkan tubuh.

Setelah pertama kali menyentuh tubuh Kania, Jemi merasa bersalah. Meski rasa cinta itu jauh lebih mendominasi di hatinya. Tentu paksaan yang berujung kesedihan untuk Kania turut ia rasakan.

"Dimana orangtuaku?" pertanyaan yang tiba-tiba saja terlontar dari bibir Kania membuat Jemi urung untuk berbaring. Pria itu menatap Kania dari kejauhan.

"Kania, apa maksudmu bertanya demikian?" tanya Jemi yang sedikit meninggikan suaranya.

"Dimana orangtuaku? Aku ingin kembali pada mereka." Kepala Jemi menggeleng mendengar ucapan Kania yang pertama kalinya terdengar oleh Jemi.

Bukan tanpa alasan, selama ini Kania selalu bahagia dengan kasih sayang yang Jemi berikan. Itu sebabnya ia tak pernah mau mengungkit masalah orangtuanya yang mungkin akan membuatnya sedih dan tentu juga Jemi.

Sayangnya, keputusan Jemi yang terlalu cepat membuat sebuah kesalahan fatal yang berakhir Kania ingin pergi dari hidupnya.

"Nia, jangan pernah menanyakan hal itu lagi." ujar Jemi tegas.

Kania menoleh menatanya. "Kenapa memangnya? Apa kau menculik ku dari kedua orangtuaku?" Jemi menatap dalam kedua manik mata Kania. Untuk pertama kalinya gadis cantik ini menyebut Jemi dengan 'Kau'.

Saat itu Kania berdecih melihat tatapan mata Jemi. Ia sudah menduga jika pria ini tak akan mau mengembalikan Kania kepada orangtuanya yang entah masih ada atau sudah tak ada lagi.

Di waktu subuh ketika Kania terbangun dari tidurnya, ia melihat wajah tampan itu berbaring di sofa dengan mata terpejam. Tak bisa di pungkiri pesona Jemi sebagai duda tanpa anak masih sangat mempesona. Tak jarang para teman-teman Kania di sekolah menanyakan tentang Papah Jem yang di kenal penyayang itu.

Namun, semua sudah berubah. Kania tak lagi bisa menyebutnya sebagai Papah Jem sejak tahu tabiat asli pria tampan itu.

"Aku harus pergi," gumam Kania perlahan beranjak dari tempat tidurnya. Ia bergegas keluar kamar dengan langkah kaki sangat pelan. Kania tidak ingin hidup bersama pria yang sudah menghancurkan hidupnya. Masa depan yang ia impikan selama ini tak tahu apakah masih bisa di raihnya atau tidak.

Berlari tanpa arah tanpa membawa apa pun di pulau yang terkenal banyak sekali pengunjungnya, Kania bingung. Di usia mudanya saat ini, ini adalah pertama kalinya ia pergi dari rumah tanpa pengawasan Papah Jem. Bingung dan takut tentu saja bisa ia rasakan. Tak tahu harus kemana pergi saat ini.

Di waktu yang masih cukup gelap dimana para wisatawan mulai ramai berjalan ke arah pantai.

"Kemana aku harus pergi?" batin Kania bingung sekali.

Ingin kembali ke rumah, tapi itu adalah rumah milik Jemi yang ingin ia hindari. Tidak mungkin jika Kania harus kembali ke rumah itu lagi.

Kania terus menyusuri jalanan di kota itu meski mentari di atas sana pun mulai terlihat. Ketakutan tentu juga ia rasakan jika sampai sang papah angkatnya bisa menemukan kembali dirinya. Meski selama ini Jemi tak pernah marah sedikit pun pada Kania tapi tetap saja Kania takut jika bertemu kembali. Mungkin hal yang baru terjadi pada mereka bisa saja terulang kembali.

Ingatan tentang kejadian itu tiba-tiba saja membuat dada Kania sesak sekali. Bagai mimpi buruk yang tak pernah ia sangka-sangka kejadiannya.

"Kania!" seruan dari arah yang tak jauh tiba-tiba saja terdenga. Kania membuka lebar mulutnya mendengar suara itu memanggil namanya. Segera ia menolehkan kepala mencari sosok yang memanggil namanya.

Menemukan Kerjaan

Melihat orang yang sangat Kania kenal berada di dekatnya saat ini, segera ia pun mendekat. Gadis muda yang setara dengan usianya berdiri di samping mobil.

“Tesa, tolongin aku…” Kania nampak ketakutan tangannya gemetar menggenggam tangan sang teman.

“Ada apa ini?” Suara wanita setengah baya keluar dari mobil yang di tumpangi Tesa barusan.

Dia adalah ibu dari Tesa. “Tante, tolongin saya. Tolong saya, Tante. Ada yang mau jahat dengan saya.”

Tanpa Kania duga jika wanita itu justru menepis kasar tangan Kania di lengannya. Wajahnya menunjukkan aura tak bersahabat saat ini.

“Mana om rasa papah kamu? Minta tolong dong sama dia. Ayo Tesa kita masuk. Jangan dekat-dekat sama dia. Mamah sudah ingatkan kamu untuk jauhi anak nggak bener kayak dia ini.” Kania menggeleng tak percaya mendengar ucapan mamah dari sahabatnya itu.

Tesa hanya menggeleng berusaha menolak ajakan sang mamah.

“Mah, tolongin Kania dulu. Kasihan dia.” ujar Tesa namun tak di gubris oleh sang mamah.

Tubuh mungil Tesa sudah di paksa masuk ke sebuah restauran meninggalkan Kania seorang diri.

Mobil yang di tumpangi Tesa pun sudah melaju menuju parkiran. Kania baru tahu sifat asli mamah dari sahabatnya ini. Selama ia dan Tesa bersama di sekolah Kania selalu mendengar jika mamahnya adalah wanita karir yang hebat.

Berstatus janda tak membuat mamah Tesa redup dalam kerjanya. Justru ia bekerja keras demi memenuhi kehidupannya dan juga sang anak.

“Maafkan aku, Nia. Aku tidak bisa menentang mamahku.” Dalam hati Tesa menyesali tingkahnya saat ini.

Tak tega rasanya melihat Kania yang ketakutan di luar sana. Apalagi Tesa melihat Kania sudah berlari kembali di jalanan.

“Pasti Kania sedang ada masalah.” gumam Tesa kembali.

Di cerahnya hari pagi itu Kania terus menelusuri jalan hingga ia terhenti ketika menubruk dada bidang seseorang.

“Argh!” Kania merintih hampir terjatuh saat tak sengaja menabrak.

“Kenapa jalan menoleh ke belakang?” Suara pria yang asing menjadi pusat perhatian Kania.

Gadis tinggi berwajah baby face itu menatap wajah pria tampan. Segera ia pun menunduk dan meminta maaf.

“Maaf, Kak. Saya tidak sengaja.” tuturnya bersalah. Pria yang terlihat lebih dari umurnya tertawa kecil.

“Mau kemana?” Kania menggeleng mendapati pertanyaan seperti itu.

“Kau menangis? Sedang ada masalah?” Lagi pria itu bertanya.

Kania hanya menggeleng berusaha menghindar. Ia ingin pergi, tapi justru pria itu menarik tangannya kuat.

“Ayo ikut aku. Kau harus membayar maafmu itu padaku.” ujarnya yang membuat Kania mendadak sangat takut.

Segera Kania menggelengkan kepala dan memberontak. Sayangnya pria tersebut bergerak jauh lebih cepat. Sebuah mobil pun sudah menghampiri mereka.

“Tidak, tolong jangan paksa saya. Tolong biarkan saya pergi!” Sepanjang jalan di dalam mobil Kania terus saja memberontak.

Belum saja hilang rasa trauma akibat Jemi, kini ia justru bertemu pria asing yang entah ingin membawanya kemana.

Beberapa menit berlalu kini mobil terparkir di sebuah rumah mewah berlantai satu. Kania ketakutan namun tubuhnya terus di tarik paksa oleh pria tersebut.

“Tuan,” Seorang pelayan datang menghampiri.

“Bibi, awasi dia mencuci pakaian dan menjemur serta menyetrika.” Tanpa bantahan, pelayan wanita itu segera mengangguk.

“Mencuci? Menyetrika? Tidak. Aku tidak mau. Aku mau pergi!” Kania kesal dan memberontak. Baru saja tubuhnya berbalik pria tersebut sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangannya lagi.

“Kerjakan semuanya maka kau boleh pergi. Anggap saja itu sebagai permintaan maafmu.” Ia berkata dengan santai sampai pada akhirnya tangannya terulur mengusap puncak kepala Kania.

Entah siapa dan dari mana datangnya? Yang jelas Kania merasa bersyukur jika saat ini ia di pertemukan oleh pria yang tidak semesum di pikirannya. Yang terpenting di rumah ini tidak sepi. Artinya Kania tidak mungkin mendapatkan pelecehan.

Segera ia pun mengerjakan apa yang di perintah pria tadi. Sepanjang mengerjakan, sang pelayan terus mengarahkan Kania kerjaan itu dengan benar.

Lama fokus dengan kerjaan, akhirnya Kania muncul ide briliant.

“Bibi, apa di sini membutuhkan pelayan?” Harap cemas Kania bisa memiliki kesempatan kerja dan tinggal di sini.

Setidaknya dengan kerja di rumah, maka ia akan bisa bersembunyi dari sang papah.

“Maaf jika aku harus mengingkari janjiku untuk selalu di sampingmu, Papah Jem. Kau yang merusah semuanya. Dulu aku bersumpah akan di sampingmu sampai merawatmu ketika tua nanti. Tapi, kini aku tak bisa lagi melakukan itu.” Kania menunduk sejenak mengingat pria yang sangat ia sayangi itu.

“Yah di sini pasti selalu membutuhkan pelayan. Tuan kan selalu cerewet. Mana ada pelayan yang betah kerja di sini. Semoga Non betah yah kerja di sini?”

“Hah?” Kania lantas terperangah mendengar ucapan bibi. Sebab niatnya bertanya untuk mencari peluang kerja sekali gus tempat tinggal. Nyatanya wanita itu justru menyangka jika ia memang akan kerja di sini.

“Memangnya saya sudah kerja di sini, Bi?” tanya Kania polos.

“Lah iya ini kan Non sudah kerja toh?” Kania menatap cucian di tangannya. Benar, ini adalah kerjaan yang ia kerjakan saat ini. Artinya ia sedang bekerja di sini.

“Maksud saya kerja untuk sampai ke depannya, Bi? Kalau bisa saya mau kerja di sini.”

“Yah silahkan, Non. Asal betah sama Tuan yah boleh-boleh aja.” Kening Kania mengerut.

Mengartikan secerewet apa pria itu sampai membuat pelayan tak betah kerja dengannya.

“Sudah selesai belum?” Teriakan dari arah kamar membuat Kania dan bibi bergerak menyelesaikan cucian.

“Belum selesai juga? Lama banget sih?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!