Byuuurrrrr
Genangan air kotor yang menggenang di tengah jalan selepas bumi di guyur air hujan, mengotori seragam sekolah seorang siswi yang sedang berjalan di pinggir jalan ketika sebuah mobil hitam melaju di kecepatan sedang.
Siswi itu terkejut, kemudian mengambil sebuah batu yang tergeletak di atas tanah lalu melempar nya ke arah mobil yang sedang melaju.
Buughh
Siswi itu tersenyum lebar ketika lemparannya tepat sasaran. Namun tak lama kemudian, senyumnya memudar dan berubah menegang ketika mobil itu berhenti lalu keluar seorang pria bertubuh tinggi tegap serta memakai kacamata hitam.
Ketika pria itu sedang mengecek body mobil yang tampak penyok, siswi itu memutuskan untuk berlari sebelum pemilik mobil itu memarahinya.
"Woy, jangan lari, woy!" teriak pria berkaca mata hitam itu dengan lantang kala menyadari orang yang sudah membuat mobil miliknya penyok akan melarikan diri. Namun siswi itu tidak menghiraukan teriakan nya melainkan terus berlari dan berlari hingga jauh dan apa saja yang menghalangi jalannya ia tabrak tanpa perasaan.
Ssssst
Kedua kaki lincah dan gesit itu tiba tiba mengerem pakem, dan dengan nafas tersengal ia menunduk. Seketika itu pula bola matanya membelalak melihat sepatu sebelah kiri menganga lebar sampai ke lima jari kaki menyembul ke luar.
"Ya ampun. Gimana ini? mana sepatu satu satunya yang aku punya," ucap sedih siswi itu lalu ia berjongkok memeriksa sepatunya yang jebol.
"Mau kabur kemana kamu bocah? jangan harap kamu bisa lolos dariku. Sampai lari ke lubang semut pun akan aku kejar ha ha."
Siswi itu terperanjat dan meringis ngeri mendengar suara bariton milik pria yang mengejarnya sudah ada di belakangnya.
Ketika pria itu berjalan mendekatinya di sertai senyuman menyeringai, di saat itu pula siswi itu melihat sebuah kain kotor tergeletak di atas tanah lalu ia buru-buru mengambilnya dan melemparnya ke arah pria itu hingga kain itu menutupi bagian wajahnya hingga melilit di kepalanya.
"Brengsek, brengsek," umpat kesal si pria sembari berusaha melepas kain itu. Tidak ingin membuang kesempatan yang ada, siswi itu mengambil seribu langkah berlari kencang hingga menjauhinya dan sangat jauh.
"Huh hah huh hah."
"Kenapa kamu lari-lari? apa sedang di kejar penagih hutang bapak mu?" Tanya sinis salah satu tetangga ketika siswi itu sedang mengatur nafasnya di depan rumahnya.
Ia menatap kesal pada wanita bertubuh gemuk yang sedang berdiri di ambang pintu rumahnya." Sotoy," ucap kesal siswi itu lalu beranjak pergi.
"Ishh, dasar bocah tidak punya adab," umpat kesal wanita gendut itu.
"Untung pria itu tidak melihat muka ku. Kalau sampai melihat bisa berabe urusannya. Lagian cuma penyok sedikit doang sampai segitunya mengejar aku. Dasar nya orang...."
"Zana..!" panggilan seorang pria paruh baya mengejutkan siswi itu kala ia memasuki rumah yang berbilik anyaman bambu dan beratap daun rumbia sembari bersungut sungut.
Zanara, siswi yang baru pulang sekolah itu tersenyum nyengir pada pria paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya." Iya pak!" sahut nya.
Amir memperhatikan penampilan sang puteri semata wayangnya yang tidak biasa. Seragam basah kuyup di sertai lumpur dimana mana. Sepatu dobrak bagian depan. Ia geleng-geleng kepala melihatnya.
"Kamu itu baru pulang dari sekolah apa baru pulang dari membajak sawah, Zana?"
"Dari sekolah lah pak. Ini kan Zana pakai seragam sekolah."
"Tapi kenapa seragam mu basah dan kotor seperti itu? trus itu kenapa sepatunya sampai jebol? bapak tidak punya uang untuk membeli yang baru, Zana."
"Maaf pak. Tadi di jalan tersiram genangan air sama mobil orang kaya. Kalau sepatunya....." Zana membuka sebelah sepatunya yang jebol." Ini..ini ya jebol saat Zana sedang jalan," ucap nya beralasan sembari memegang sepatu itu." Tapi bapak tidak usah khawatir ini masih bisa di lem atau di jahit nanti. Tidak perlu beli yang baru pak, sebentar lagi Zana kan akan lulus," sambungnya kemudian menenangkan ke khawatiran Amir.
Amir menghela nafas dan berkata," ya sudah sana kamu bersihkan dulu tubuh mu. Setelah itu bapak ingin bicara sama kamu.
"Iya pak."
Lima belas menit kemudian. Zana menghampiri Amir yang sedang duduk di atas tikar usang. Lalu ikut duduk berhadapan dengannya.
"Bapak mau bicara apa?"
Amir menatap bangga pada Zana yang cantik, pintar dan penurut. Bangga bisa menyekolahkannya hingga ke jenjang SMA meskipun hidupnya pas pasan. Selama ini Amir mendukung penuh cita cita Zana. Namun sepertinya cita cita nya itu akan kandas setelah Rocky sang kepala desa mendatanginya kemarin.
"Kapan kamu akan menerima ijazah?" Amir balik bertanya.
"Belum tau pak, hari ini Zana baru selesai mengikuti ujian terakhir dan belum ada pengumuman kelulusan. Doain ya pak! mudah mudahan Zana dapat beasiswa," ucap Zana di sertai senyuman di bibirnya.
"Kalau bapak minta kamu tidak usah kuliah apa kamu mau menurutinya, Zana?"
Senyum Zana meluntur lalu bertanya," Kenapa Zana tidak boleh kuliah, pak? bukannya bapak ingin Zana sekolah sampai kuliah?
Amir membisu dan menatap dalam sorot mata bening yang sudah berkaca kaca.
"Alasan bapak apa?" Zana bertanya kembali.
"Kalau kamu sayang sama bapak tolong turutin kemauan bapak."
"Maksud bapak?"
"Setelah menerima ijazah nanti bapak harap kamu mau menerima menikah dengan pak Rocky. Dia sudah meminang kamu sama bapak kemarin, Zana."
Bagai tersambar petir di siang hari mendengar keinginan sang ayah yang tidak pernah di sangka dan di duga nya. Seorang ayah yang selama ini selalu mendukungnya untuk terus sekolah agar dirinya menjadi orang yang pintar dan sukses di kemudian hari. Seorang ayah yang menaruh harapan penuh padanya untuk bisa mengubah takdir hidup dan menaikan derajat keluarga agar tidak selalu di pandang rendah oleh orang lain karena kemiskinan hidup mereka. Namun, sang ayah pula lah yang memupus semua harapan itu.
Netra bening milik gadis remaja itu semakin berkaca kaca. Namun, ia menahan sekuat tenaga agar tidak jatuh apalagi di hadapan sang ayah yang amat sangat di sayangi serta di hormati nya.
"Apa menurut bapak kalau Zana menikah dengan pak kades hidup kita akan terangkat derajat nya dan orang lain tidak akan menghina kemiskinan kita karena Zana menjadi istri orang nomer satu di kampung ini? dan apa bapak rela Zana menjadi istri ke tiga pak kades?"
"Bapak tidak punya pilihan lain Zana, kamu tau! gubuk yang kita tempati ini tanahnya merupakan tanah milik pak kades dan kita hanya menumpang selama belasan tahun. Perahu sebagai mata pencaharian satu satunya bapak itu juga milik pak kades, bapak hanya di pinjami olehnya saja. Kalau bapak menolak lamaran nya bapak takut dia mengusir kita dari rumah ini dan mengambil perahu yang selama ini menjadi mata pencaharian kita sehingga kita bisa makan. Jika hal itu terjadi kita mau tinggal dimana, Zana? dan juga bapak akan kehilangan perahu itu."
Penjelasan Amir membuat Zana menelan salivanya yang amat terasa getir. Sebegitu miskin nya kah hidup keluarganya hingga rumah sederhana nya saja harus menumpang di tanah milik orang lain. Perahu sebagai mata pencaharian mereka saja ternyata milik orang lain. Selama ini Zana tidak pernah tahu karena Amir tidak pernah bercerita padanya.
Bukan Zana tidak menerima takdir hidup terlahir dari keluarga miskin, bukan. Tapi kenapa takdir mengharuskan ia menikah dengan pria yang sudah memiliki istri dua dan pria yang sama sekali tidak ia cintai.
Masih adakah secercah harapan untuk Zanara menggapai sejuta impian nya ketika orang yang sangat terkasih meminta hal yang benar-benar sulit baginya. Mampukah ia menolaknya?
...****************...
Pagi ini matahari enggan muncul untuk berbagi manfaatnya, berganti dengan hujan yang turun dengan derasnya diiringi dengan rasa dingin yang menggoda untuk menutup mata kembali.
Zana terdiam sendiri hanya berteman dengan suara gemericik air yang jatuh dari atap rumbia ke tanah seakan menawarkan relaksasi bagi otaknya.
"Zana, bagaimana? apa kamu sudah memiliki keputusan untuk menerima atau menolak menikah dengan pak Rocky, nak?" Tanya Amir pada sang puteri yang tengah duduk termenung di atas amben sembari menatap gemericik air yang terjatuh ke tanah.
Zana memutar bola matanya ketika Amir mendekati dan bertanya. Seminggu yang lalu ia meminta waktu untuk berpikir terlebih dahulu atas tawaran menikah dengan kepala desa.
Zana menghela nafas panjang lalu mengeluarkan nya perlahan. Semoga apa yang menjadi ke putusannya saat ini adalah keputusan yang tepat untuk dirinya dan juga ayahnya.
"Iya pak, Zana bersedia."
Senyum mengembang di bibir Amir ketika mendengar kesediaan sang Puteri. Tak di pungkiri bahwa Zana merupakan seorang Puteri yang berbakti dan penurut. Hal itu tentu saja ia akan menuruti kemauannya tanpa berpayah memaksa.
"Kamu serius bersedia, Zana?"
Zana tersenyum dengan senyuman yang sebenarnya dipaksakan. Karena se sesak apa pun dadanya, se pusing apapun pikiran nya, se sedih apa pun hatinya saat ini, Zana hanya ingin melihat sang ayah tersenyum bahagia.
Tiga minggu berlalu setelah Zana memberikan keputusannya untuk bersedia menikah dengan kepala desa.
Zana menatap nanar pada sebuah map berisi selembar ijazah di sertai nilai UTBK paling besar di tingkat SMA se_provinsi. Bagaimana tidak sedih, ijazah yang di raihnya dengan susah payah. Mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga namun pada akhirnya tidak akan terpakai serta akan tersimpan begitu saja jika nanti ia menikahi Rocky.
"Zana!" Bu Ida, selaku wali kelas Zana memanggilnya. Zana segera menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya. Lalu berbalik badan dan memberikan senyuman pada wanita yang sudah menjadi wali kelas selama satu tahun terakhir.
Bu Ida mendekati Zana sembari membalas senyumannya. Setelah berada di depan Zana ia memegang lengan nya." Selamat ya Zan, ibu sebagai wali kelas mu ikut bangga sama prestasimu. Kamu tau Zan, berkat kamu sekolah ini di pandang hebat karena mampu menciptakan siswa siswi yang sangat berprestasi seperti mu dan kamu juga mendapat beasiswa untuk kuliah di sebuah universitas terbaik dan ternama di ibu kota.
Zana tersenyum getir mendengar pujian serta informasi yang di sampaikan oleh Bu Ida padanya. Beasiswa masuk ke universitas ternama itu merupakan keinginan terbesar Zana sejak semasih SMP. Namun apa daya, Zana yang notabene nya orang miskin dan lemah harus mengubur mimpinya demi ego seorang ayah yang lebih memikirkan kelangsungan hidup nya daripada memikirkan masa depannya.
"Terima kasih, Bu!"
Setelah selesai berbicara dengan Bu Ida, Zana melangkah menjauhi tempat acara karena Zana merasa pusing melihat kerumunan orang-orang di tempat tersebut.
Brughh
"Aww." Zana tersungkur ketika satu kaki kerempeng menghalangi langkahnya.
"Ha ha ha." Suara tawa puas menggema di lorong kosong yang Zana lewati.
Dalam keadaan telungkup Zana mendongak miring, tampak seorang siswa berpostur tubuh jangkis( jangkung, kurus, tipis) yang pernah di tolak cintanya dua minggu lalu bersama temannya tengah menertawakan nya dengan puas. Seolah olah terjatuh nya Zana seperti sebuah pertunjukan lawak lucu yang patut di tertawakan.
Kemarahan terpancar di wajah Zana lalu ia bangkit. Setelah berdiri tegak ia menatap kesal pada kedua siswa itu dan berkata meledek." Dasar bencong beraninya lawan perempuan. Main keroyokan pula. Kalau berani ayok lawan satu persatu."
Hening
Pria berbadan kurus itu balik menatap kesal Zana lalu menanggapi ledekan nya.
"Dasar gadis miskin, kumel, dekil, belagu nya selangit dan sok pintar."
Senyum miring terukir di bibir Zana lalu berdecak kesal." Biar dikata aku miskin, kumel dan dekil, tapi otak ku.......tidak bebal. Sementara kamu..mengaca dong!"
Pria kurus itu mengepalkan tangan di kedua sisi bersiap menampar zana. Namun sebelum hal itu terjadi, dengan perasaan kesal Zana beranjak pergi begitu saja.
"Dasar pe rek miskin, belagu dan sok jual mahal," ucap lantang siswa kurus itu.
Langkah Zana terhenti lalu berbalik badan dan berkata," sekalipun saya miskin dan gembel tapi saya masih punya level untuk menerima cowok mana yang pantas menjadi pacar saya. Untung saya tidak menerima kamu yang memiliki perangai buruk sekali."
" Kamu...." tunjuk pria kurus itu dendang tatapan berapi api.
"Sudah. Dari pada kamu ganggu hidup saya dan hina saya terus, lebih baik kamu fokus belajar agar tahun depan kamu bisa lulus. Supaya orang tua mu tidak sia sia menyekolahkan mu." Setelah menyindir pedas, Zana beranjak pergi.
"Heh, Zanara kumel binti kismin. Ku sumpahi kamu menjadi perawan tua yang abadi sepanjang masa," ucap Rizal lantang.
Di tengah langkahnya, Zana geleng-geleng kepala mendengar sumpah serapah dari pria sok kaya dan sok cakep namun bodoh dan tidak lulus sekolah tahun ini.
Zana melangkah pelan menyusuri koridor gedung sekolah berlantai tiga. Ini merupakan hari terakhir nya di sekolah maka sebagai hari terakhirnya ia ingin berlama lama di sana menikmati suasana yang sebentar lagi akan ia tinggalkan untuk selamanya.
Setelah lepas dari sekolah nanti status nya akan berubah menjadi seorang istri bukan lagi sebagai seorang siswi berseragam abu abu.
Dari jarak jauh Zana melihat ketiga temannya kemudian ia mendekati sebuah tiang agar keberadaanya tidak di ketahui oleh mereka. Pandangan Zana menatap pada wajah-wajah ceria yang terpancar dari wajah teman temannya itu. Dalam benak nya berkata, betapa beruntungnya hidup mereka di bandingkan hidupnya. Dia yang terlahir dari keluarga miskin harus mengikuti keinginan orang tua karena keadaan. Sementara mereka orang tua mereka lah yang mengikuti keinginan mereka karena keadaan hidup mereka baik baik saja termasuk keadaan ekonominya.
"Zana, kemari," panggil seorang siswi yang sedang mengambil foto bersama dua teman lainnya di sebuah taman sekolah. Zana tidak seperti teman temannya, ia tidak bisa mengabadikan momen bersejarah itu karena ia tidak memiliki sebuah ponsel.
Zana terperangah, ia tidak menyangka keberadaanya yang sedang bersembunyi di balik tiang dapat terlihat oleh salah satu temannya. Sehingga kedua teman lainnya pun mengikuti arah pandang teman yang memanggilnya sehingga mereka bertiga mengetahui keberadaannya.
"Zana, sini !"panggil ulang temannya itu. Zana masih diam di tempat. Ia ragu antara mendekati mereka atau menghindar. Jujur saja, Zana tidak ingin bertemu dengan mereka karena ia merasa insecure. Zana pun tidak ingin teman temanya akan mempertanyakan rencana setelah hari ini.
"Sini Zan, kita foto bersama," teriak temannya yang lain.
"Iya Zan, sini cepat." Teman yang lainnya pun ikut mendesak nya.
Desakan ke tiga teman baiknya itu membuat Zana tidak dapat menghindar. Tapi ia kebingungan apa yang harus di lakukan nya.
Ketiga temannya itu saling pandang melihat sikap Zana yang tidak biasa. Kemudian mereka memutuskan untuk mendekatinya saja.
Kedatangan teman teman nya itu membuat Zana menjadi gugup namun ia berusaha bersikap biasa seolah olah tidak terjadi apa apa.
"Kamu kenapa sih jauh-jauh terus dari kami? dari tadi kami mencari mu, Zan!"ucap kesal Nia, teman yang sudah satu tahun ini duduk sebangku dengannya.
"He'eh. Kita kan mau foto foto untuk kenang kenangan." Lusi membenarkan ucapan Nia serta menambahkan kalimatnya.
"Eh, tapi aku dengar kamu dapat beasiswa kuliah di kampus swasta ternama di ibu kota ya Zan?"Tanya Dewi dengan raut wajah penasaran. Tadi ia tidak sengaja mendengar obrolan para guru yang sedang membicarakan Zana.
"Apa!" ucap serempak Nia dan Lusi. Mereka terkejut atas informasi yang baru saja mereka dengar dari Dewi.
"Kamu serius Dewi?" Nia bertanya untuk memastikan apakah benar Zana teman mereka yang paling miskin namun paling pintar itu mendapat beasiswa untuk kuliah di universitas impian hampir semua siswa di berbagai sekolah menengah. Universitas yang sulit sekali di tembus oleh siswa yang hanya memiliki kecerdasan di bawah rata rata serta ekonomi dari menengah ke bawah. Karena universitas itu hanya bisa di tembus oleh kalangan orang berduit dan orang miskin namun memiliki kecerdasan di atas rata rata melalui jalur beasiswa.
"Iya, aku serius. Aku tidak sengaja mendengar obrolan Bu ida dan beberapa guru tadi."
"Wah, keren sekali kamu Zana, aku bangga sekali memiliki teman seperti mu, baik dan pintar serta calon orang sukses." Puji Nia sembari menatap kagum pada Zana.
"Nanti kalau kamu sudah kuliah di sana dan sudah menjadi orang sukses jangan lupakan kami ya Zan?"Ucap Lusi sembari memegang pundak kanan Zana.
"Iya Zan, jangan melupakan kita ya!" Dewi ikut memegang pundak sebelah kiri Zana.
"Andai saja kita bisa kuliah satu kampus apalagi satu jurusan senang sekali rasanya. Kita bisa bermain bersama sama lagi." Nia berandai andai dan ucapannya cukup membuat Zana menelan saliva nya yang terasa amat getir.
"Lantas bagaimana dengan mu Nia, kamu akan kuliah dimana?" Tanya Lusi pada Nia.
"Aku mau kuliah di universitas swasta yang ada di kota B. Kamu sendiri akan kuliah di mana?" Nia balik bertanya pada Lusi.
"Kalau aku akan berkuliah di kota C, kebetulan paman ku salah satu dosen di sana."
Nia dan Lusi menoleh pada Dewi." Kalau kamu sendiri Dewi?" Tanya mereka serempak.
"Aku...seperti nya mau mencari kerja saja. Orang tua ku kan tidak sekaya orang tua kalian,"jawab Dewi.
"Kenapa kamu tidak seperti Zana saja mencari beasiswa Dewi,"saran Lusi.
"Berat, otak ku tidak se encer otak Zana, Lusi. Apa lagi beasiswa yang di dapat oleh Zana itu merupakan atas rekomendasi oleh pemerintah langsung bukan dia sendiri yang mencari."
Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Zana. Ia hanya menyimak obrolan ketiga temannya dan sesekali menunjukan senyum kepalsuan pada tiga teman yang mengaguminya dan menganggap nya lebih beruntung dari pada mereka. Dalam benak nya berkata andai saja mereka tahu bagaimana dirinya nanti setelah lulus mungkin mereka akan merasa iba padanya atau menertawakan nya dan mungkin mereka lebih mensyukuri hidup mereka meskipun tidak pintar seperti dirinya.
"Guys...sekarang ayok kita mengambil foto bersama." Ajak Nia dan di antusias oleh kedua temannya namun tidak oleh Zana yang hanya bersikap datar saja.
Setelah mengambil beberapa foto bersama dengan ketiga temannya, Zana meminta ijin untuk pulang lebih dulu pada ketiga temannya.
"Pokoknya kalau kamu sudah sukses nanti jangan lupakan kita ya Zana!" ucap Nia sembari memegang lengannya. Begitu pula dengan kedua teman lainnya berpesan padanya untuk tidak melupakan mereka.
Zana tersenyum dengan senyuman yang di paksakan karena sebenarnya ia tidak ingin tersenyum melainkan ingin menangis di hadapan ke tiga temannya itu.
Setelah berpamitan, Zana melangkah gontai meninggalkan gedung dimana tempat ia menimba ilmu selama tiga tahun terakhir dan meninggalkan teman temannya yang sudah akrab sejak pertama kali mereka masuk ke sekolah tersebut. Di tengah melangkah, berulang kali ia menyeka air mata yang terus menerus mengalir tiada henti seperti sebuah sumber mata air yang tak pernah surut.
Dari kejauhan Zana memandangi Amir yang sedang sibuk membenarkan satu satunya alat penangkap ikan yang ia miliki di atas sebuah amben depan bangunan ber bilik anyaman bambu dan beratap daun rumbia. Sebuah rumah yang sudah ia huni sejak dari dalam kandungan sang ibu.
Terik nya sinar matahari siang ini tidak membuat Amir berhenti menjahit setiap terdapat robekan pada jaring itu meskipun keringat mengucur dari dahinya. Nampak sesekali ia menyeka keringat dengan tangannya.
Di saat itu pula bathin Zana berperang antara logika dan perasaan. Zana sempat berpikir untuk pergi dari rumah itu lalu mengejar mimpinya untuk berkuliah di ibu kota.Tapi, apa Zana akan setega itu meninggalkan sang ayah yang sudah membesarkan nya dengan susah payah.
"Abaikan saja keinginan ayah mu dan tinggal kan dia. Bea siswa untuk kuliah di universitas impianmu itu tidak akan datang dua kali padamu. Yakin lah setelah lulus nanti kau pasti akan menjadi orang sukses dan membanggakan nya."
"Lihat apa yang sedang ayah mu lakukan! apa kamu akan setega itu meninggalkan nya di rumah kecilmu? bagaimana nasibnya nanti jika kau nekat menolak menikah dengan pak kades?apa kau mau ayah mu menjadi seorang gelandangan di jalanan gara gara keegoisan mu."
Lagi-lagi benak Zana sibuk dengan situasi yang saling tangkis antara harus menguatkan logika atau ego. Hubungan disonan timbul karena sebenarnya Zana tahu logika yang harus di gunakan untuk berpikir, tapi sekarang ego terlalu merengek untuk diperhatikan.
Sejujurnya Zana benci situasi seperti ini. Hal yang sebenarnya telah mencoba menggiring nya untuk memilih berpikir secara dewasa, tanpa mementingkan ego.Tapi ternyata kekuatannya tak cukup mampu menahan senapan ego yang makin membombardir hati dan benak yang semakin memanas.
Zana menyeka air mata yang sudah menganak sungai. Kemudian melangkah mundur menjauhi sang ayah yang belum menyadari kehadiran nya lalu ia berlari secepat kilat.
Zana berlari dan terus berlari melewati pemukiman warga sehingga kelakuannya menjadi pusat perhatian penduduk setempat yang melihatnya dan memandang aneh padanya.
"Hei, Zana," teriak seorang wanita memanggil namanya dari arah belakang.
Seketika itu pula langkah Zana terhenti dengan nafas yang tersengal sengal.
"Kenapa kamu lari-lari? apa kamu sedang di kejar sama seekor serigala atau di kejar seorang penagih hutang?" Ledek wanita itu.
Tanpa menoleh ke arah sumber suara itu pun Zana mengetahui siapa pemilik suara cempreng itu.
Zana berbalik, nampak seorang wanita gempal memakai daster sedang menatap sinis ke arahnya."Apa Bu Suparmi bicara dengan saya?" Zana justru balik bertanya.
Suparmi mendengus kesal atas pertanyaan balik Zana padanya yang seolah olah pura-pura tidak mendengar ucapannya. Hal itu sering kali Zana lakukan ketika ia mengajak bicara gadis remaja yang ia benci dan di anggap miskin penghuni gubuk di samping kebun milik pak kades.
"Dasar orang miskin tidak tau adab. Berani sekali mempermainkan orang tua," kesal Suparmi dan menatap nyalang Zana.
"Maaf Bu, saya bukan mempermainkan ibu melainkan bertanya apa ibu bicara dengan saya?"
"Kamu benar benar ya! apa telinga mu itu tuli?" Ucap geram Suparmi.
"Maaf Bu, apa ibu ada perlu dengan saya? kalau tidak biarkan saya pergi."
Dada Suparmi naik turun menahan kekesalannya terhadap sikap Zana yang tenang namun menusuk. Sikap nya yang seperti itu justru membuatnya menjadi sangat kesal karena ia merasa Zana meledeknya dengan caranya.
"Kamu.. "
Sebelum Suparmi menyempurnakan kalimatnya Zana melengos begitu saja dan tingkah nya menambah kekesalan Suparmi pada Zana.
"Awas saja kalau aku melihatmu lewat depan rumah ku lagi," teriak nya ketika Zana melangkah pergi dengan santainya.
Setelah menjauh dari salah satu tetangga yang selalu membuat masalah dengannya, Zana memutuskan untuk melipir ke pantai. Selain merindukan pantai yang cukup lama tidak di kunjungi, ia ingin menenangkan pikirannya karena bagi nya laut merupakan satu satu nya tempat menenangkan di saat dirinya tertimpa sebuah masalah.
Zana menyusuri pantai yang nampak landai. Melangkah pelan menapaki hamparan pasir yang luas dan putih bersih. Lautan berwarna biru serta terdapat sebuah pulau kecil di tengah laut itu menambah keeksotisan pantai tersebut. Sebuah pantai yang sangat sepi pengunjung namun akan ada yang berkunjung ketika hari libur tiba.
Tanpa terasa sudah berapa jauh Zana menapaki pasir itu hingga ia menemukan dua buah tenda kemah. Dari kejauhan Zana memperhatikan tenda kemah yang nampak sepi seperti tidak tidak ada penghuninya.
"Tumben sekali ada orang berkemah saat bukan musim liburan. Apa pemilik tenda itu merupakan warga sini atau..."
Sebelum Zana menyelesaikan ucapannya, tiba tiba salah satu tenda itu keluar seorang pria dan seorang wanita yang nampak mesra. Kemudian mereka berciuman di samping tenda itu tanpa memperhatikan ke sekitar sehingga mereka tidak menyadari keberadaan Zana yang tengah berdiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari mereka.
Zana sangat terkejut atas apa yang sedang ia lihat tanpa sengaja. Seketika itu pula kedua pupil matanya membulat sempurna melihat aksi ciuman sepasang kekasih yang tidak tau malu dan tidak tau tempat. Namun yang membuat Zana sangat terkejut adalah ia sangat mengenal siapa sosok wanita itu yang tak lain adalah anak pertama kepala desa dari istri pertama yang sedang berkuliah di kota.
"Kenapa mba Rani ada di sini? bukan kah seharusnya dia sedang kuliah di kota? apa yang sedang dia lakukan di tempat seperti ini bersama pria kota itu?"
Zana yang tidak pernah berciuman dan tidak pernah memiliki seorang pacar merasa geram melihat pemandangan yang menurutnya menjijikan. Bukan karena Zana cemburu atau iri melihat Rani berkencan dengan pria kota melainkan perbuatan mesum mereka telah menodai matanya.
Seketika niat jahil untuk mengerjai mereka pun melintas di otaknya. Ekor mata Zana melirik ke sana kemari mencari sesuatu yang mungkin akan dapat menghentikan perbuatan mesum mereka. Dan di saat itu pula sorot matanya tertuju pada sebuah botol kaleng minuman yang tergeletak di atas pasir. Zana mengambilnya lalu memasuki butiran pasir kedalam kaleng itu hingga penuh agar berat dan jika di lempar tidak akan melayang. Setelah kaleng itu terisi penuh, Zana buru buru melempar ke arah dua orang yang sedang berbuat asusila itu dan lemparan nya pun melayang dengan sempurna.
Bughhh
Namun tiba tiba kaleng itu mendarat tepat di punggung si pria. Tautan bibir mereka pun seketika terlepas lalu terdengar pekikan kesakitan.
"Aaaaaaaakk."
Zana tercengang melihat kaleng yang ia lempar tepat mengenai punggung si pria padahal jarak mereka tidak terlalu dekat. Apakah lemparan nya merupakan suatu hal yang hebat dan di anggap sebuah prestasi karena ia melempar tepat sasaran? Tapi, Zana tidak bermaksud menyakiti pria itu dan apa yang sudah ia lakukan di luar dugaannya.
Rani terkejut melihat pria yang baru saja menyentuh bibirnya tiba tiba memekik dan memegang punggungnya." Kamu kenapa, Rain?"
Pria yang bernama Rain itu tidak langsung menjawab melainkan meringis menahan sakit.
"Rain, kamu kenapa?" Ulang Rani sembari mengguncang lengan Rain.
"Seseorang melempar punggungku," kata Rain lalu menunduk. Ia menyipitkan kedua matanya ketika melihat sebuah kaleng tergeletak di samping kaki kirinya. Bekas kaleng minuman miliknya yang telah ia buang ke sembarang arah.
Rain berjongkok mengambil kaleng itu lalu berdiri kembali."Lihat ini, Ran. Seseorang telah melempar ku dengan ini." Rain memperlihatkan kaleng itu pada Rani.
Rani sedikit membesarkan bola matanya melihat sebuah kaleng minuman yang ada di tangan Rain."Kaleng! seseorang telah melempar mu dengan kaleng ini. Tapi bukan nya kaleng ini bekas minuman kamu?"
"Ya, tapi aku sudah membuang nya jauh tapi kenapa kembali lagi kesini. Benar-benar sialan sekali. Awas saja kalau ku temukan orangnya aku tidak akan memberinya ampun." Rain menggerutu kesal lalu melirik ke kiri dan ke kanan namun tidak menemukan siapa pun.
"Tapi kamu tidak apa apa kan. Emm, sudah lah lebih baik kita lanjutkan lagi saja di dalam tenda. Aku sudah tidak tahan ingin cepat di sentuh oleh mu," kata Rani sembari bergelayut manja berusaha menggoda pria kaya yang telah di kenal kan oleh ayahnya untuk menemaninya selama berada di kampungnya.
Rain tidak menghiraukan perkataan Rani melainkan ekor matanya mengitari sekitar dengan detail, mencari sosok yang telah berani melemparnya dengan kaleng isi pasir. Tak selang lama, sorot matanya tertuju pada seseorang yang sedang bersembunyi di balik pohon kelapa yang hanya nampak lengan nya saja.
Rain menyeringai melihatnya.
"Apa kau pikir aku tidak tau siapa yang sudah berani melempar ku dengan kaleng sialan ini?" Teriak Rain.
Zana yang sedang bersembunyi di balik pohon terkejut mendengar teriakan pria mesum itu.
"Ya Tuhan, apa...apa pria itu melihatku?"
"Keluar kamu. Kalau tidak aku akan melempar mu ke dalam laut untuk menjadi santapan Ikan hiu. Apa kau tau jika di laut ini banyak Ikan hiu?"
Zana meringis ngeri mendengar ancaman pria itu.
"Ku hitung mundur kalau tidak keluar maka aku akan menyeret mu paksa dan melempar mu detik ini juga."
Pupil mata Zana berubah membulat sempurna mendengar ancaman yang ketiga kalinya.
"Lima...empat...tiga...dua...sat.."
Mau tidak mau akhirnya Zana menyerah lalu menampak kan dirinya pada dua orang itu. Zana menunduk kan wajahnya tidak memiliki keberanian menatap dua orang yang sedang marah padanya.
Rain tercengang melihat sosok yang telah melemparnya. Ternyata hanya seorang bocah ingusan memakai seragam putih abu abu dan rambut di kepang dua.
Begitu pula dengan Rani ia pun sama halnya dengan Rain, ia cukup terkejut melihat nya. Siapa yang tidak mengenal sosok Zanara? seorang gadis yang terlahir dari sepasang suami istri miskin di kampung nya yang tinggal menumpang di tanah milik orang tuanya serta selalu berpenampilan jadul dan big size.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!