Ciiiiit...
Braak...
Sebuah sepeda motor matic yang tengah melaju kencang tiba-tiba jatuh hingga terseret sejauh beberapa meter dan berhenti tepat di hadapan seorang gadis yang sedang menunggu taksi di pinggir jalan.
Suara benturan yang sangat keras membuat gadis itu terkejut bukan main, apalagi saat mendapati seorang pria yang tergeletak di aspal.
Beruntung pria itu menggunakan helm, kepalanya masih selamat meski tangan dan kakinya tergores mengeluarkan darah segar.
Dari banyaknya kendaraan yang tengah berlalu lalang dan orang-orang yang ada di tempat kejadian, tidak satupun dari mereka yang mau berhenti dan menolong pria itu.
Tubuh pria malang itu dibiarkan tergeletak begitu saja dan hanya menjadi tontonan semata, bahkan banyak diantara mereka yang mengambil kesempatan untuk meraih pundi-pundi uang. Mereka malah mengabadikan musibah tersebut dan mempublikasikannya di media sosial.
Sepertinya rasa simpati sudah tidak ada lagi di dunia ini, mereka hanya mengambil keuntungan dari kejadian naas itu.
Namun hal tersebut tidak berlaku untuk gadis cantik yang baru saja mengalami sport jantung.
Dia adalah Alana, seorang gadis yang baru saja pulang sehabis mencari pekerjaan. Gadis itu sempat menjerit histeris sembari menutup mata dan telinga, kakinya seketika gemetaran, tidak kuat melihat adanya darah yang tumpah di aspal.
Akan tetapi, Alana bukanlah gadis yang lemah, dia masih mempunyai hati dan perasaan meski tumbuh diantara tumpukan beling-beling kaca yang tajam.
Dari banyaknya orang-orang yang mengelilingi pria itu, hanya Alana yang berani mendekatinya. Gadis itu berjongkok dan membantu membuka helm pria itu.
"Aaaawh..."
Pria itu meringis kesakitan saat Alana tidak sengaja menyentuh lengannya.
"Ma-maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu, aku tidak sengaja." ucap Alana dengan wajah pucat ketakutan.
Pria itu meremas lengannya sembari menatap wajah polos Alana dengan seksama. "Siapapun kau, tolong bantu aku, bawa aku pulang!"
"Ta-tapi, aku tidak tau dimana rumahmu." kata Alana menatap darah yang masih mengalir di lengan pria itu.
Alana kemudian membuka cardigan yang melekat di tubuhnya lalu merobeknya menjadi dua bagian.
Tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang masih mengelilingi mereka, Alana dengan cepat mengikat lengan pria itu, lalu mengikat kakinya yang terluka untuk menghentikan pendarahan sementara.
"Aku panggilkan taksi dulu ya, bertahanlah sebentar!"
Alana lekas bangkit dari jongkoknya dan menghentikan sebuah taksi yang lewat di hadapannya lalu berlari menghampiri pria itu lagi.
"Ayo, aku akan membawamu ke rumah sakit."
Alana mengerahkan seluruh tenaganya mengangkat ketiak pria itu. Setelah pria itu berhasil berdiri, Alana memapahnya memasuki taksi yang sudah menunggu, sang sopir membukakan pintu dan membantu pria itu duduk di bangku belakang.
Lalu Alana memasuki taksi itu dari pintu lainnya. "Ke rumah sakit terdekat ya, Pak." seru gadis itu setelah menutup pintu, dia duduk bersebelahan dengan pria itu.
"Ja-jangan, aku tidak mau ke rumah sakit. Tolong antar kami ke jalan mangga saja, gang marmut." timpal pria itu, dia tidak ingin ke rumah sakit, saat ini dia tidak memiliki uang untuk membayar biaya perawatan yang tentunya sangat mahal.
"Ya sudah, ke sana saja." imbuh Alana menurut.
Setelah taksi itu meninggalkan tempat kejadian, tiba-tiba ada mobil yang mengikuti dari belakang. Seorang wanita seusia Alana menyeringai sembari fokus menyetir mobilnya, dia penasaran kemana Alana akan membawa pria malang itu.
Di taksi, Alana hanya diam sembari menatap ke arah jendela yang ada di sampingnya, muka gadis itu nampak lusuh dan mengeluarkan keringat.
Ya, seharian ini Alana sangat lelah setelah menghabiskan waktu mendatangi beberapa perusahaan, dia harus mendapatkan pekerjaan secepatnya. Akan tetapi dari sepuluh perusahaan yang dia datangi, tidak satupun yang mau menerima gadis tamatan SMA sepertinya.
Alana ingin menyerah tapi tidak mungkin melakukannya, dia tidak akan diizinkan pulang oleh ayahnya sebelum mendapatkan pekerjaan yang layak.
Melihat Alana yang hanya diam, pria itu memberanikan diri menyentuh tangannya. Alana terkesiap dan memutar leher ke arah pria itu lalu menarik tangannya perlahan.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyentuhmu." ucap pria itu dengan tatapan sayu, menyiratkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Alana tidak menjawab dan kembali membuang pandangan ke arah depan, dia tidak terbiasa berdekatan dengan laki-laki.
"Stop Pak, di sini saja!" seru pria itu setelah tiba di tempat tujuan, sang sopir menepikan mobilnya dan berhenti tepat di depan sebuah kontrakan.
Alana membuka pintu mobil dan turun terburu-buru lalu membantu pria itu turun. Mau tidak mau, Alana terpaksa membayar tagihan taksi dengan satu-satunya uang yang tersisa di kantongnya.
"Terima kasih," ucap Alana pada sang sopir lalu memapah pria itu memasuki kontrakan.
Tanpa Alana sadari, tenyata wanita tadi masih mengikutinya dan menyelinap dari samping kontrakan. Wanita itu mengeluarkan ponsel dari tasnya dan merekam apa saja yang terjadi di dalam sana.
"Maaf, aku hanya bisa membantumu sampai di sini." Alana membaringkan pria itu di kasur yang ada di satu ruangan, kontrakan itu tidak memiliki kamar.
Namun tanpa disengaja rok yang dikenakan Alana tertindih oleh pria itu, Alana tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat di atas tubuh pria itu, Alana tidak sengaja menciumnya dan tertangkap oleh kamera wanita yang membuntutinya.
"Yes, pucuk dicinta ulam pun tiba." batin wanita itu menyeringai lalu menyelesaikan rekamannya, dia pun berlari sedikit menjauh dan berteriak memanggil warga sekitar.
"Hello bapak-bapak, ibuk-ibuk, ayo kemarilah! Ada warga sini yang tengah berbuat mesum, apa kalian akan diam saja saat komplek kalian dicemari. Ini aib loh, bisa mengundang kesialan buat kalian semua." seru wanita itu di tengah banyaknya warga sekitar yang sedang bersantai menikmati cuaca indah di sore hari.
Seketika keributan pun tak dapat dielakkan di komplek padat penghuni itu, para warga yang mendengar seruan wanita itu berbondong-bondong menghampirinya dan menanyakan siapa yang tengah berbuat mesum di sore hari seperti ini.
Wanita itu tidak langsung menjawab dan malah menunjuk ke arah kontrakan yang dimasuki Alana tadi.
"Sial, lagi-lagi pria itu membuat onar di komplek kita."
"Dasar tidak tau diri!"
"Ini tidak bisa dibiarkan. Ayo, gerebek mereka, bila perlu kita arak keliling komplek biar tau rasa."
Para warga berbondong-bondong mendatangi kontrakan itu dan membanting pintu dengan kasar.
"Gubraak..."
Deg...
Alana terkesiap dan memelototi semua orang saking terkejutnya. Beruntung Alana sudah menjauh dari pria itu.
"Hei tukang mesum, berani sekali kalian berdua berbuat dosa di komplek ini. Apa kalian tidak punya uang untuk menyewa kamar hotel?"
"Dasar wanita rendahan, tidak punya akhlak!"
"Sudah, seret saja keduanya. Botakin kepala mereka lalu kita arak keliling komplek!"
"Iya, benar."
Dua orang wanita dengan wajah judes menghampiri Alana dan menariknya secara paksa. Begitu juga dengan pria itu, dia dipaksa bangun oleh dua orang pria dan menyeret mereka ke luar.
"Hentikan! Apa yang kalian lakukan?" sergah pria itu sembari memberontak saat tiba di teras kontrakan.
"Jangan sok suci kamu, jangan pikir kami tidak tau perbuatan bejat kalian."
"Perbuatan bejat apa? Apa yang kami lakukan?" tanya pria itu kebingungan.
"Alah, jangan membela diri. Sudah tertangkap basah masih saja mengelak."
"Tertangkap basah apanya? Memangnya apa yang kalian lihat?" tukas pria itu.
Semua warga sontak terdiam karena tidak tau harus menjawab apa.
"Sudah, cepat lepaskan kami! Jangan sampai kalian semua aku tuntut karena memfitnah dan mencemarkan nama baik kami, kalian bisa dituntut dengan pasal berlapis." ancam pria itu.
Para warga bergidik ngeri dan saling memandang satu sama lain. Mereka tidak ingin dituntut karena sudah menggerebek orang tanpa bukti.
"Jangan percaya, mereka berdua itu pembohong."
Wanita yang tadi berusaha memprovokasi warga tiba-tiba berseru dari arah belakang, lalu melewati mereka semua dan berdiri di depan Alana yang tengah menangis ketakutan.
"Kak..." gumam Alana terkejut.
"Diam, aku bukan kakakmu." bentak wanita itu lalu menyalakan ponsel miliknya dan memutar rekaman yang dia ambil tadi.
"Lihat ini, mereka baru saja melakukan tindakan asusila. Lihat dengan jelas!" wanita itu berjalan mengelilingi warga sembari memperlihatkan hasil video yang dia rekam.
"Kurang ajar, ternyata kalian sedang berusaha membodohi kami." berang salah satu warga lalu menyuruh yang lain menyeret keduanya dengan paksa.
"Tidak, itu tidak benar. Kami tidak melakukan apa-apa, aku tadi terjatuh, itu murni kecelakaan." Alana mencoba membela diri.
"Jangan percaya! Mana ada maling yang mau mengaku?" selang wanita penyebar fitnah itu.
"Ayo, arak mereka keliling kampung!" seru warga bersamaan lalu menyeret keduanya tanpa belas kasih.
"Berhenti! Kalian tidak bisa main hakim sendiri seperti ini." pria itu memberontak dan dengan cepat menjauhkan Alana dari para warga. "Dia tunanganku, kami berdua akan segera menikah dalam waktu dekat." tegas pria itu sembari mendekap tubuh Alana yang masih menggigil ketakutan.
Alana sontak terkejut mendengar ucapan pria itu, begitu juga dengan wanita iblis tadi dan para warga.
"Bohong, mereka-"
"Aku tidak bohong, kami memang akan menikah. Iya 'kan, sayang?" pria itu mengusap rambut Alana untuk meyakinkan bahwa mereka memang benar sepasang kekasih.
Alana mendongak dan memelototi pria itu. "Kau-"
"Hehe... Jangan malu dong, sayang. Katakan saja yang sebenarnya pada mereka!" pria itu memberi isyarat dengan kedipan mata.
"I-iya, itu benar. Kami akan segera menikah." angguk Alana dengan berat hati.
"Untuk memastikannya, kalian harus menikah malam ini juga!" seru seorang warga.
"Haaah..." Alana membulatkan mata tak percaya.
"Baiklah, kami akan menikah malam ini di depan kalian semua." ucap pria itu lalu membawa Alana memasuki rumah.
"Awas saja kalau kalian berbohong!"
"Huuuuu..." ejek para warga lalu berduyun-duyun meninggalkan kontrakan itu.
"Hei, kenapa kalian malah pergi?" wanita tukang fitnah itu merungut kesal, dia marah karena keinginannya tidak berjalan sesuai rencana lalu berlalu pergi begitu saja.
"Saya terima nikah dan kawinnya Alana Sanjaya binti Yasir Sanjaya dengan mas kawin tersebut, tunai."
Pria yang diketahui bernama Azzam itu mengucap ijab dengan jelas dan lantang. Dua orang saksi yang merupakan warga komplek menyerukan kata sah diikuti warga lainnya.
"Sah..."
"Sah..."
Selepas penghulu membacakan doa, Alana terpaksa menjabat tangan Azzam dan menciumnya. Azzam pun mengecup kening Alana setelahnya.
Pernikahan dadakan yang hanya disaksikan ketua RT, penghulu dan para warga itu berlangsung cukup dramatis. Azzam kemudian menyerahkan mahar berbentuk uang senilai tiga ratus lima puluh lima ribu rupiah.
...****************...
"Ceraikan aku sekarang juga, aku tidak ingin menjalani pernikahan seperti ini!" pinta Alana sesaat setelah semua orang pergi meninggalkan kontrakan.
Baik Alana maupun Azzam sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini, lalu untuk apa mengikat diri dalam hubungan yang tidak pasti?
"Apa kau sudah gila? Pernikahan ini baru berlangsung beberapa menit yang lalu, enak sekali minta cerai secepat ini." gerutu Azzam sembari merebahkan diri di kasur, wajahnya nampak santai seperti tidak ada beban sedikitpun, berbeda dengan Alana yang terlihat gelisah tak karuan.
"Ini bukan pernikahan, tapi ini merupakan pemaksaan. Aku tidak mengenalmu dan begitupun sebaliknya, tidak ada gunanya mempertahankan hubungan palsu ini." ketus Alana meninggikan suara, dia benar-benar tidak ingin menjalani pernikahan ini.
"Tidak ada yang palsu dalam sebuah pernikahan, kau hanya belum terbiasa dengan ini. Lagian bukan aku yang memaksamu, tapi warga itu." desis Azzam sembari memiringkan tubuhnya lalu mematut Alana dengan intim.
Alana memang bukan wanita pilihan Azzam, akan tetapi takdir sudah membawanya untuk mendekat, Azzam tidak mungkin menceraikan Alana tanpa mencobanya terlebih dahulu.
"Sudah, jangan berpikir macam-macam! Kemarilah, besok kita bicarakan lagi!" Azzam menepuk sisi kasur yang masih kosong di depannya, bermaksud menyuruh Alana tidur di sampingnya.
Melihat gaya Azzam yang sangat santai, Alana pun memelototinya. "Jangan mimpi, aku lebih baik tidur di lantai dari pada harus tidur bersamamu."
Alana menghampiri kasur dan menarik paksa selimut yang terhimpit di bawah kepala Azzam.
"Aaaawh... Pelan dikit bisa tidak? Kau lupa bahwa suamimu ini masih terluka?" cicit Azzam sedikit kesal.
"Bodo amat," Alana berbalik badan setelah mendapatkan bantal dan selimut.
"Dasar keras kepala! Lihat saja, sebentar lagi kau akan berlari dan tidur di sampingku, rumah ini banyak kecoa nya." desis Azzam mengulum senyum lalu memutar tubuhnya dan memilih membelakangi Alana.
"Jangankan kecoa, bahkan tikus sekalipun akan aku telan jika berani mendekatiku." ketus Alana, kemudian merentangkan selimut dan berbaring di atasnya.
Azzam menyeringai mendengar celetukan Alana lalu memilih memejamkan mata.
Azzam mengerti bagaimana perasaan gadis itu saat ini, tidak seharusnya dua orang yang tidak saling mengenal disatukan dalam ikatan yang sama sekali tidak diinginkan.
Akan tetapi Azzam tidak mempunyai pilihan lain, hanya dengan cara ini lah dia bisa menyelamatkan Alana dari amukan warga.
"Huuuu... Pernikahan macam apa ini? Aku tidak ingin menikah dengan orang asing sepertimu." gumam Alana menitikkan air mata.
Alana merasa hidupnya lebih menyedihkan daripada sebelumnya. Tidak dianggap dalam keluarga sudah membuatnya sangat kebal, bahkan semua hinaan dan perlakuan kasar sang ayah serta kakak tirinya sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya.
Tidak pernah terbersit di pikirannya akan menikah secepat ini dan dengan cara seperti ini. Ini sangat memalukan baginya. Ternyata tidak semua kebaikan akan membuahkan hasil yang baik pula, buktinya dia malah semakin menderita setelah berinisiatif menolong pria itu.
"Sial..." umpat Alana sembari meninju bantal dan menutup mukanya, ingin sekali dia berteriak sekencangnya namun tidak mungkin karena kontrakan itu sangat rapat.
"Maafkan aku, Alana. Aku tidak bermaksud membuatmu tersiksa. Bersabarlah untuk beberapa saat, aku janji akan menjalankan tanggung jawabku sebagai seorang suami." batin Azzam dalam hati, dia sadar sudah bersalah karena menyeret Alana ke dalam kehidupannya yang sangat rumit.
Saat Azzam sudah tertidur dan masuk ke alam mimpinya, Alana masih saja terlihat gelisah sembari memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan, matanya sama sekali tidak mengantuk dan sangat sulit dipejamkan.
Alana rasanya ingin kabur dari pria itu dan menjauh sejauh-jauhnya, dia tidak akan sanggup menjalani pernikahan dengan pria yang tidak dia cintai itu.
Pagi hari kokok ayam sudah bernyanyi memekakkan telinga, Azzam sontak terbangun, tapi tidak dengan Alana yang baru saja tertidur sekitar satu jam yang lalu.
Azzam bangkit dari pembaringan, matanya mengerjap mendapati istri cantiknya yang masih mendengkur di lantai.
Perlahan, Azzam menurunkan kakinya dari kasur lalu melangkah menghampiri Alana dengan jalannya yang sedikit pincang.
Azzam berjongkok di dekat Alana, menatapnya lekat dan memberanikan diri mengusap pucuk kepalanya.
Entah kenapa Azzam merasa tenang melihat muka polos istrinya, kecantikan Alana sangat alami, membuat jantung Azzam tiba-tiba berdetak sangat kencang.
Azzam mengerti tidak akan ada gadis manapun yang rela menikah dalam keterpaksaan seperti ini, mereka sama sekali tidak melakukan kesalahan, tapi fitnah membuat mereka harus bersama.
"Maafkan aku, Alana. Karena menolongku, kamu harus terikat dalam pernikahan seperti ini. Ini salahku, aku akan membayarnya dan berusaha menjadi suami yang baik untukmu."
Setelah bergumam, Azzam bangkit dari jongkoknya dan berjalan menuju kamar mandi.
Tidak lama berselang, Azzam keluar setelah membersihkan diri, dia cepat-cepat mengenakan pakaian dan keluar untuk mencari sarapan.
Sekitar pukul delapan pagi, Alana tersentak dan terkejut melihat jarum jam yang tersangkut di dinding. Segera Alana bangun dan melipat selimut lalu menaruhnya di atas kasur.
Alana buru-buru memasuki kamar mandi dan mencuci wajahnya, dia harus pulang ke rumah karena takut dimarahi sang ayah. Alana yakin kejadian kemarin sudah sampai ke telinga ayahnya.
Saat Alana keluar dari kamar mandi, Azzam memanggilnya untuk sarapan, tapi Alana malah menolak, dia tidak ingin menerima kebaikan pria itu, menjauh akan lebih baik mengingat hubungan mereka yang tidak memiliki dasar.
"Aku harus pulang, aku tidak akan pernah kembali ke sini. Anggap saja pernikahan ini hanya mimpi, aku tidak ingin hidup bersamamu." ucap Alana lalu melangkah menuju pintu dengan muka yang masih basah, dia bahkan enggan menggunakan handuk pria itu untuk mengelap wajahnya.
Azzam tertegun mendengar itu, garis bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman getir. "Aku tidak akan memaksamu untuk kembali, tapi jika kamu tidak bahagia di luar sana, pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu."
"Aku rasa hal itu tidak akan pernah terjadi, aku sangat bahagia, justru pernikahan ini lah yang membuatku sangat tersiksa."
Setelah mengatakan itu, Alana langsung menghilang tanpa menoleh ke belakang.
Azzam terdiam dan menghentikan suapannya. Dia mengambil ponsel miliknya yang ada di kasur lalu menghubungi seseorang.
Meski mendapatkan penolakan dari Alana, Azzam tidak mungkin membiarkan istrinya pergi begitu saja.
Hubungan ini tidak semudah itu, Azzam tidak akan melepaskan Alana tanpa alasan yang jelas, Azzam yakin mereka hanya kurang berkomunikasi sebab Alana masih menutup diri darinya. Wajar saja, karena pernikahan ini terjadi begitu mendadak. Gadis mana yang tidak akan terkejut jika dihadapkan dengan situasi serumit ini.
Tidak ada yang tau bagaimana cara Tuhan mengatur hidup seseorang. Alana sendiri harus pasrah menjalani kehidupan meski batinnya tidak dapat menerima.
Alana pulang dalam keadaan menyedihkan, dia terpaksa berjalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo meter karena tidak memiliki uang sama sekali.
Uang terakhir yang dia punya sudah digunakan untuk membayar taksi kemarin, dia juga tidak menyentuh uang mahar yang diberikan Azzam padanya.
Rasa lelah seakan sudah seperti makanan pokok bagi Alana, keringat yang mengalir sudah seperti ombak yang bermain di Samudera, bahkan teriknya sinar mentari layaknya payung di atas kepala Alana, dia sudah sangat terbiasa dengan semua itu.
"Dari mana saja kau, hah?" sergah Danu sesaat setelah Alana tiba di rumah. Pria itu mematikan rokok yang dihisapnya dan berjalan menghampiri Alana yang masih mematung di ambang pintu.
"Pak, Alana-"
Plaak...
Belum sempat Alana menjawab, sebuah tamparan keras sudah mendarat di pipinya. Tubuh Alana sontak terhuyung, dia menangkup tangan di pipinya yang terasa sakit bukan main, kebas dan langsung hilang rasa.
"Anak tidak tau diuntung. Bukannya mencari pekerjaan untuk meringankan beban keluarga, tapi malah keluyuran bersama pria asing. Mau jadi apa kau, hah?" berang Danu yang merupakan ayah tiri Alana.
Ya, Alana kehilangan ayah kandungnya sejak berumur dua bulan. Tidak lama setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Danu yang juga baru saja kehilangan istri. Keduanya sama-sama membawa satu anak dari pernikahan sebelumnya.
Akan tetapi, sekarang Alana sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali mereka berdua. Ibu Alana meninggal satu tahun yang lalu karena tekanan batin yang dialami, dia sekarang yatim piatu yang harus berjuang membalas jasa ayah tirinya.
"Hukum saja dia, dia sudah membuat malu keluarga!" timpal Desi, kakak tiri Alana yang kemarin sudah memfitnahnya hingga terpaksa menikah dengan pria yang tidak dia kenal.
"Tidak, Pak. Itu tidak benar, aku difitnah, aku dan pria itu-"
"Masih berani mengelak? Bapak sudah melihat buktinya dengan jelas, kau itu sama saja seperti ibumu, sama-sama..."
"Cukup!" Alana meninggikan suara saat nama ibunya dibawa-bawa. "Bapak boleh saja menghinaku sepuasnya, tapi tidak dengan ibuku. Ibuku bukan wanita seperti yang Bapak tuduhkan itu." tatapan mata Alana seketika menyala seperti seekor elang yang siap menyerang mangsa.
"Ciiih, masih berani membela diri. Sudah jelas kalian berdua sama saja, sama-sama ja*lang." selang Desi tersenyum sumbang mengejek Alana.
"Apa kau mendadak amnesia? Apa kau lupa siapa yang sudah memfitnahku?" cerca Alana menatap tajam pada Desi, Alana tau wanita itu sangat membencinya dari dulu, tapi Alana tidak menyangka bahwa Desi akan setega itu memfitnahnya dan menghancurkan hidupnya.
"Bukan urusanku, siapa suruh-"
"Aku tidak tahan lagi dengan kalian, lebih baik aku pergi dari rumah ini. Lagian aku sudah lelah menjadi budak dan mesin pencetak uang untuk kalian berdua."
Alana berbalik badan dan pergi tanpa membawa apa-apa. Kemarahannya sudah di puncak menara sehingga tidak sanggup lagi menahannya.
Tidak peduli seberapa sakit dan lelahnya jiwa Alana selama ini, dia masih bisa bersabar karena menganggap Danu dan Desi keluarganya.
Akan tetapi, sekarang amarah Alana sudah tidak bisa diredam lagi. Alana tidak bisa menerima saat mendiang ibunya direndahkan seperti tadi. Alana tau persis bukan ibunya yang salah, tapi Danu yang sama sekali tidak bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Danu tidak pernah bekerja dan hanya mengandalkan Alana dan ibunya, keduanya harus banting tulang demi menghidupi kedua manusia tidak tau diri itu.
...Dengan langkah gontai dan keringat yang bercucuran di dahinya, Alana kembali menyusuri jalanan tanpa tau kemana kakinya akan di langkahkan....
...Dunia seakan berguncang, gelap mulai menerpa. Detak jantungnya seketika tidak beraturan dan dia pun memilih duduk di sebuah taman kota, tepat di bawah sebuah pohon yang sangat rindang....
...****************...
"Benar, namanya Alana Sanjaya. Ayahnya meninggal saat usianya baru menginjak dua bulan, satu tahun yang lalu ibunya menyusul sang ayah menghadap Sang Pencipta. Dia sekarang tinggal bersama ayah dan kakak tirinya, hidupnya tidak sebaik yang terlihat."
"Lalu?"
"Seharian kemarin, Alana mencoba melamar pekerjaan di sepuluh perusahaan, salah satunya anak perusahaan Global Grup, sayang tidak satupun yang menerima lamarannya karena pendidikannya hanya setingkat SMA."
"Baiklah, semua masalah ini aku serahkan padamu, kau pasti tau apa yang harus kau lakukan."
"Oke, aku mengerti."
Dari sebuah kontrakan, Azzam keluar dengan penampilan yang sangat apik. Rambutnya tertata rapi ke belakang dengan sedikit jambrit yang berjatuhan di keningnya, dia mengenakan jeans hitam dan kaos putih yang dibalut jaket kulit yang senada dengan celana, ditambah slipon putih berbahan kulit. Sekilas terlihat tampan dan sangat memukau.
Azzam menaiki sebuah moge dan meninggalkan kontrakan terburu-buru. Tatapannya sangat tajam saat menyisir jalanan yang dia lalui.
Tidak berselang lama, Azzam menghentikan laju mogenya di basement sebuah perusahaan. Dia turun dan berjalan memasuki gedung itu dengan santai lalu meneruskan langkahnya ke dalam lift menuju lantai lima, tepat dimana ruangan presdir berada.
Sesaat setelah tiba di lantai tersebut, para staf perusahaan membungkukkan punggung dan menyapanya dengan hormat, hal ini tentu terlihat janggal mengingat Azzam hanyalah orang biasa yang tinggal di sebuah kontrakan kecil.
Saat pintu ruangan presdir terbuka, Azzam melangkah masuk dan duduk di sebuah sofa. Seorang pria paruh baya menatapnya dingin sembari mengerutkan kening. "Angin apa yang membawamu datang kemari?"
"Angin kedamaian," jawab Azzam enteng sembari melipat kaki lalu merentangkan kedua tangan dengan punggung tersandar di kepala sofa.
"Hahaha... Sejak kapan kedamaian mendekatimu? Bukankah hidupmu sudah hancur seperti yang kau katakan sebelumnya?" tawa pria itu menggema memenuhi seisi ruangan.
"Sudahlah, tidak perlu mengejekku. Aku kemari karena ingin membuat penawaran denganmu." tukas Azzam yang tidak ingin berbasa-basi.
"Penawaran?" pria paruh baya itu menaikkan sebelah alisnya.
"Aku bersedia mengikuti keinginanmu, aku akan menangani cabang Global Grup, tapi sebagai gantinya, kau juga harus menuruti kemauanku." tegas Azzam dengan tatapan tajam.
"Memangnya apa yang kau inginkan?" tanya pria paruh baya itu penasaran.
"Aku ingin memiliki privasi sendiri. Apapun yang aku lakukan, kau tidak berhak ikut campur, apalagi mengenai masalah pribadiku. Dan aku minta, berhenti menjodohkan ku dengan anak temanmu itu, aku sudah mempunyai pilihanku sendiri." tekan Azzam.
"Siapa? Apa wanita itu sepadan dengan keluarga kita?" tanya pria yang ternyata adalah ayahnya Azzam, mereka memang tidak terlihat akur karena perang dingin yang sempat terjadi, sebab itulah Azzam memilih pergi dari rumah untuk mencari jati diri.
"Berhenti mempermasalahkan strata sosial, tidak semua orang miskin seburuk yang kau pikirkan." sergah Azzam mengeratkan rahang, hal itulah yang selalu mengundang perdebatan diantara mereka.
"Tapi-"
"Tidak apa-apa jika kau tidak setuju, aku masih bisa melamar pekerjaan di perusahaan lain." Azzam mencoba bangkit namun langkahnya langsung terhenti saat Kurniawan berseru.
"Baiklah, aku menerima penawaran ini, tapi aku harus memastikan dulu apakah gadis itu layak menjadi menantuku?"
"Tidak perlu, aku pastikan dia adalah pilihan yang tepat. Kau tidak akan pernah menyesal mendapatkan menantu seperti dia, aku sendiri yang akan menjamin itu."
Azzam kemudian melanjutkan langkahnya menuju pintu dan meninggalkan ruangan itu sembari tersenyum puas. Dia tidak peduli pada Kurniawan, dia hanya ingin membantu Alana agar terlepas dari penderitaan yang dia tanggung selama ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!