Baru saja mereka menikah badai rumah tangga sudah hadir sejak hari pertama pernikahan. Tak pernah di duga sebelumnya perusahaan yang ia pimpin mengalami kebangkrutan hingga kekayaan yang ia punya dalam satu malam ludes tanpa sisa.
Perusahaanya di umumkan gulung tikar tepat di hari pertama pernikahan hingga suasana menjadi berubah. Kedua orang tua istrinya yang semula bersikap begitu baik bahkan nyaris menerbangkannya ke langit ketujuh sekarang seperti monster yang kapan saja akan melenyapkan nyawanya.
Lalu bagaimana dengan Shireen Velly Harmon? Yah, wanita cantik seperti porselen mahal itu masih tetap mencintai Edwald dengan penuh tanpa minus sama sekali.
Tak ada rasa sesal di dalam hatinya atau enggan untuk menerima keadaan Edwald yang sekarang memang tengah mencari pekerjaan.
"Suamimu masih belum punya pekerjaan?" tanya Colins wanita paruh baya dengan tatapan rendah yang langsung menghentikan sendok Edwald yang tengah makan.
Pria berwajah tampan dengan garis rahang tegas berbulu tipis dan tatapan tajam itu hanya bisa diam tak lagi melanjutkan suapannya.
Melihat sang suami yang lagi-lagi terpojok, Shireen segera ambil posisi mengusap paha Edwald di bawah meja dengan senyum hangat mekar di bibir merah mungil natural itu.
"Mom! Kami baru saja menikah, urusan pekerjaan bisa di selesaikan nanti."
"Yang benar saja. Biaya pernikahanmu itu sangat besar dan semuanya kita yang membayarnya," ketus Nyonya Colins dengan emosi menyembur bahkan ia sudah tak berminat menyentuh piring di atas meja mahal ini.
Yah, keluarga Harmon memang cukup terpandang dan bisa dikatakan kaya raya. Mereka punya perusahaan yang bergerak di dalam bidang kosmetik yang diharap semakin maju bersama perusahaan milik Edwald yang dulu begitu besar melebihi mereka. Tapi, sialnya pria ini sudah jatuh miskin dan tak berdaya sekarang.
"Jika seperti ini terus kau akan hidup sengsara. Shireen!" pancingnya lagi dan itu membuat Shireen mulai merasa jengkel. Ia menatap tegas Nyonya Colins seraya masih memeggang paha kekar Edwald di bawah sana.
"Mom! Aku akan membayar kerugian itu dan jangan lagi merendahkan suamiku!"
"Ouh. Sudah mulai kau melawan-ku. Ha?" geram Nyonya Colins mengobarkan api marah yang menyala-nyala di netra coklat miliknya.
Shireen tak lagi menjawab. Ia sangat menghormati kedua orang tuanya tapi ini sudah seminggu dan Edwald masih direndahkan olehnya.
"Aku tak ingin tahu apapun alasan suamimu ini. Bosan rasanya melihat dia di rumah ini!"
"Mom!" lirih Shireen sesak menatap Nyonya Colins yang sudah melangkah pergi keluar dari ruang makan.
Seketika tatapan sendu manik hitam legam bak boneka milik Shireen merangkum wajah tampan Edwald yang sudah mengukir tempat di hatinya.
"Jangan pedulikan ucapan Mommy, ya? Dia tak berniat menyakitimu. Sayang!" ucapnya selembut mungkin.
Edwald diam sejenak. Ia beradu tatapan dengan manik cantik wanita yang baru seminggu ia nikahi ini dan rasanya inilah bentuk bidadari dan malaikat yang sama.
"Kau keberatan denganku?" pertanyaan penuh jebakan perasaan dan suaranya begitu datar tapi lembut.
"Tidak. Kenapa harus keberatan?" tanya Shireen berbalik tapi masih dengan kehangatan yang begitu damai terpancar di wajah teduhnya.
"Aku tak bisa memberimu uang dan kekayaan seperti yang ku janjikan pada mommy-mu."
Seketika sudut bibir merah muda itu tertarik menunjukan senyum indah yang menghipnotis mata Edwald. Dia memang reinkarnasi malaikat dan bidadari yang sebenarnya, pikir Edwald begitu.
"Ayolah. Aku tak kekurangan uang, sayang! Lagi pula pekerjaanku masih ada dan aku akan membantumu. Hm? Jangan dipikirkan lagi dan kau harus fokus pada rumah tangga kita. Paham?"
"Mommy dan daddymu mungkin akan terus membuatmu sakit hati. Maafkan aku!" ucap Edwald mengusap pipi mulus agak chubby Shireen yang seketika memerah.
Pipinya terlihat sepertu tomat dengan porsi rahang dan hidung mungil yang mancung. Siapa yang tak akan terkesima melihatnya?!
"Abaikan saja. Hari ini kau mau menemaniku-kan?" tanya Shireen menurunkan tangan kekar Edwald yang tadi di pipinya.
"Shireen!!"
Suara keras Nyonya Colins terdengar dari arah ruang depan. Seketika Edwald diam ikut berdiri kala Shireen juga bangkit dari duduknya.
"Sayang! Aku ke depan sebentar dan kau lanjutkan makan mu!"
"Aku akan membersihkan ini," gumam Edwald seperti biasa harus membersihkan meja makan ini setiap selesai menggunakannya.
Melihat itu Shireen segera menahan tangan Edwald untuk mengangkat piringnya.
"Biarkan pelayan yang bekerja. Kau lanjutkan makan mu!"
"Tapi aku.."
"Ed! Mommy tak ada disini. Kau bisa lanjut makan, Sayang!" bujuk Shireen tapi suara panas dari kerongkongan Nyonya Colins nyatanya kembali terdengar di ambang pintu masuk sana.
Wanita berpakaian mahal dan rambut di gulung bak keluarga bangsawan itu menatap tajam Edwald yang hanya memakai kaos lengan pendek yang menunjukan kekekaran tubuhnya dan celana jogger yang membuatnya tambah jenjang dan gagah.
"Biarkan dia bekerja!"
"Mom!" decah Shireen tapi Edwald segera memeggang bahunya. Tatapan manik kehijauan itu mengayomi Shireen agar jangan berdebat lagi.
"Tak apa. Aku bisa melakukannya."
"Tapi.."
"Biarkan saja dia menjadi berguna sedikit," sela Nyonya Colins membuat Shireen meredam emosinya. Tanpa bicara lagi Shireen membantu Edwald membersihkan meja makan dan itu semakin menambah sumbu api yang terus terkobar setiap melihat Edwald menumpang hidup di rumah ini.
"Kau ini memang keras kepala. Apa yang mau kau banggakan dari pria seperti itu. Ha? Anak saja tak cukup mendirikan kerajaan. Shireen!!"
Cecer Nyonya Colins tapi Shireen terus mengajak Edwald bicara dengan sengaja menumpuk setiap piring itu dengan suara yang diharap bisa meredam omelan kasar Nyonya Colins.
"Sayang! Aku yang cuci piring kau cukup pandangi aku saja."
"Aku bisa sendiri," decah Edwald mengambil alih tumpukan piring di tangan Shireen yang tak mau memberikannya.
Alhasil pemandangan ini lebih pada hal yang romantis membuat Nyonya Colins bertambah ingin menghancurkan Edwald.
"Kau sama sekali tak berguna lagi. Lebih baik aku menikahkan putriku pada lelaki yang lebih berpengaruh di luaran sana," gumam Nyonya Colins menyimpan penyesalan yang teramat dalam.
Para pelayan yang tadi hanya melihat itu seketika terdiam. Mereka begitu mengagumi ketampanan seorang Edwald tapi sayangnya pria itu bernasib malang padahal sebelumnya selalu di sanjung-sanjung oleh Nyonya Corlin dan suaminya Walter yang tengah bekerja diluar kota.
Mungkin jika Shireen tak bersikeras membela Edwald dengan berbagai alasan, bisa saja saat dimalam pernikahan itu Nyonya Colins dan Tuan Walter akan menceraikan mereka dan menikahkan Shireen dengan pria yang berbeda.
Begitu juga adiknya Shireen yang pernah ingin merebut Edwald saat pertama kali datang dengan kekayaan masih diduduki pria itu. Tapi, saat mengetahui Edwald tak lagi punya kekayaan dan harta yang berlimbah seperti sebelumnya ia berubah benci bahkan sering meledek Shireen yang begitu idiotnya menerima Edwald dalam keadaan seperti itu.
Menantu yang sangat malang, bukan?!
.....
Vote and Like Sayangku..
Moga suka ya say 😁
Setelah puas menerima hinaan dari Nyonya Colins akhirnya Edwald memilih untuk menemani Shireen ke perusahaan ayahnya. Tentu tak merasa canggung lagi menginjak lantai perusahaan yang berbentuk balok dua penjuru ini tapi yang menjadi permasalahan adalah Edwald tengah di kejar-kejar oleh media yang begitu haus akan informasi tentang kebangkrutan perusahaanya secara tiba-tiba.
Alhasil Shireen di sangkut pautkan bahkan mereka sudah memenuhi gerbang gedung besar itu sedangkan Edwald berdiri di dekat lobby bersama Shireen yang tampak cemas karna media begitu banyak berdatangan.
"Ya tuhan. Kenapa mereka tak pernah bisa berhenti menggali privasi orang lain?!" gumam Shireen kesal karna mobil mereka tadi terjepit di antara kerumunan media yang tak memberikan jalan.
Untung para keamanan disini sigap melerai hingga mereka bisa berdiri disini. Edwald hanya diam menjadi tontonan para karyawan yang tampaknya juga menatapnya aneh, ada ketidakpercayaan dan keraguan di mata mereka.
"Nona!"
Sekertaris Amber mendekati Shireen yang memang akan melakukan beberapa meeting dengan klien mereka hari ini. Tapi, Shireen berencana untuk memasukan Edwald ke dalam perusahaanya.
"Sayang! Bagaimana kalau kau bekerja di perusahaan ini?" tanya Shireen menggandeng lengan kekar Edwald yang tengah memakai jaket dan celana jeans yang membuat pesona mudanya keluar.
Mendengar tawaran Shireen yang menarik Edwald tak langsung menyetujuinya. Ia sudah mengirim beberapa lamaran di perusahaan lain karna tak mau bergantung pada wanita cantik ini.
"Jika kau bekerja disini kita akan sering bertemu. Itu sangat menyenangkan."
"Aku tak ingin menyusahkan mu," gumam Edwald mengusap punggung tangan Shireen yang begitu halus seperti tak berpori-pori.
Mendengar jawaban Edwald helaan nafas berat Shireen meruak. Ia kasihan melihat Edwald yang kesana-kemari mencari pekerjaan yang sesuai dengan keluarganya tapi karna liputan media yang malam itu membuat paradigma miring tentang kinerjanya membuat perusahaan-perusahaan lain meragukan keahlian pria ini.
"Aku tak merasa di susahkan. Sayang! Bahkan aku sangat senang," jawab Shireen terdengar tulus dan sangat lembut. Sekertaris Amber dapat melihat jika nonanya begitu mencintai pria tampan ini.
Tapi, berbeda dengan Shireen yang bersemangat mencarikannya pekerjaan, Edwald justru lebih memilih untuk tak melibatkan Shireen.
"Pergilah meeting. Aku akan menunggumu."
"Ayolah!" lirih Shireen tapi pendirian Edwald bak karang di lautan. Ia masih bertahan walau gempuran ombak rumah tangganya terus menggoyangkan air yang mendorong kakinya.
"Kita bicarakan lain kali. Pergilah!"
"Haiss.. Kalau ada apa-apa kau langsung bicara denganku. Hm?"
Edwald mengangguk memandangi wajah cantik Shireen yang tanpa ia duga melayangkan kecupan ringan ke pipinya dengan malu-malu. Hal itu membuat Sekertaris Amber menoleh ke arah lain.
"Tunggu aku!"
"Hm."
Edwald hanya mengangguk membiarkan Shireen pergi masuk ke pintu gedung besar ini. Saat wanita itu sudah ditelan pintu kaca sana pandangan datar Edwald menyapu beberapa karyawan yang lewat di sekelilingnya.
"Tuan!"
Sapa beberapa diantaranya karna aura Edwald masih belum berubah. Walau tak ada pijakan kekuasaan tapi kharismanya mampu membuat orang lain menundukan kepalanya.
"Siapa yang akan menerima lamaranku?!" gumam Edwald dengan makna yang hanya ia yang tahu.
Manik tajam kehijauan itu membidik ke arah gerbang dimana masih banyak media yang mengincarnya. Ia tak akan bisa keluar dari sini tanpa dicecer pertanyaan hina itu.
Setelah beberapa lama kemudian Edwald berdiri di depan lobby, tiba-tiba saja ia merasakan ada yang keluar dari pintu perusahaan dan orang itu tak asing bagi Edwald.
Keduanya sempat bertatap-tatapan dalam beberapa detik tapi pria paruh baya berstelan jas itu sadar jika itu adalah Edwald.
"Aku hampir melupakanmu!" decahnya penuh cemo'oh. Dapat dilihat jika dia orang pertama yang menyukai kondisinya sekarang.
"Aku baru tahu jika kau mengirim surat lamaran ke perusahaan ku. Apa yang terjadi?" tanyanya bernada misterius mendekati Edwald yang masih diam di tempat.
Tatapan pria gempal berperut buncit ini seperti mengolok-ngolok Edwald dalam nada sapa dan cara memandang dirinya.
"Kenapa kau kesini? Bukankah kau punya perusahaan sendiri?"
Edwald tetap diam. Tapi, ia tak menunduk sama sekali bahkan tatapannya sangat intens membuat pria itu agak menjaga jarak.
"Dan tunggu.. Aku sepertinya melupakan sesuatu," gumamnya mencoba mengingatngingat beberapa hal. Saat sudah mendapatkannya ia langsung menunjuk Edwald dengan tangan kirinya.
"Perusahaan mu bangkrut?"
Tebaknya tapi itu hanya kepalsuan. Senyum puas yang merekah itu ingin berteriak senang jika tak ada halangan lagi.
"Perusahaan-mu yang bangkrut seminggu yang lalu, bukan? Aku sangat sedih saat mendengarnya."
Nada berempati tapi ia segera terkejut kala Edwald mencengkram telunjuknya yang tadi mengacung dengan berani. Keberanian yang tadi berkobar sekarang tak lebih seperti kerupuk terkena air.
"K..kau.."
"Kau menerima lamaran ku?" tanya Edwald dengan suara berat datarnya tapi tangan kekar itu mencengkram kuat telunjuk pria ini hingga terasa mau patah.
"L..Lepass!!"
Edwald hanya diam. Ia menjadi batu terus menekan jari pria ini hingga wajah tua itu sudah pucat dan mengeluarkan bulir keringat menahan sakit.
Saat mulai banyak orang di lobby ini Edwald segera melepaskan cengkramannya. Pria itu mendesis mengibas jarinya yang sudah terkulai pucat bahkan sangat sakit.
"Kau pantas di posisi ini. Akan ku pastikan tak akan ada yang mau menerimamu. Cuih!" kasarnya meludah ke arah samping dan berlalu pergi ke mobilnya.
Edwald tak ambil pusing. Ia masih setia menunggu Shireen tanpa ingin masuk. Pasti nanti akan jadi perbincangan saat kakinya menginjak lantai mahal itu.
Sekarang Edwald mulai dihantui ucapan Nyonya Colins. Tiba-tiba saja kepalannya menguat merasa jika wanita itu sudah terlalu lancang merendahkannya.
Ternyata manusia seperti itu memang ada. Isi kepalanya hanya harta dan kekuasaan padahal tak ada yang bisa di banggakan dari itu.
Dreet..
Ponsel Edwald berbunyi. Ia segera melihatnya hingga ada notif email yang mengkonfirmasi tentang lamarannya beberapa hari yang lalu.
"Supir?" gumam Edwald menyeringit kala membaca balasan ini. Ia diterima tapi hanya menjadi supir di salah satu perusahaan yang yang menyediakan jasa ini.
Helaan nafas Edwald muncul. Nyonya Colins tak akan setuju dengan pekerjaan ini karna wanita itu hanya ingin kursi CEO yang dulu ia duduki.
Kenapa jadi begitu rumit?!
Batin Edwald mengabaikan pesan ini. Ia berniat untuk melamar di perusahaan lain tapi karna namanya sudah buruk maka tak ada yang mau menerimanya.
Tapi, siapa sangka jika ada yang merekam Edwald secara diam-diam. Ia menyebarkan berita baru tentang 'MENANTU KELUARGA HARMON MELAMAR MENJADI SUPIR' menarik bukan?
Ntah bagaimana murkanya Nyonya Colins saat hal ini menyebar mempermalukan keluarga mereka. Sungguh pemandangan yang indah untuk di saksikan.
....
Vote and Like Sayang..
Sudah hampir malam menunggu Shireen menyelesaikan pekerjaan, akhirnya tepat jam 8 malam ini barulah mereka bisa kembali ke kediaman. Edwald dengan sangat sabar menemani sang istri pergi kemanapun termasuk jalan-jalan di mall kota Milan yang nyatanya juga tak ada barang yang di beli.
Tapi, disela kesendiriannya Edwald selalu diam dengan pikiran melayang. Ada rasa sesal yang tampak di wajahnya setiap kali melihat Shireen sedang mengunjungi tempat mewah.
Seandainya perusahaan ku tak bangkrut mungkin aku bisa membawa apapun ke pangkuan mu. Begitulah raut yang terpancar di wajah tampan Edwald dan sangat mengganggu Shireen yang kadang kala juga merasakan ketidaknyamanan Edwald.
"Emm... Ed!" gumam Shireen menatap wajah tampan Edwald yang tengah fokus menyetir ke arah jalan pulang tapi ia tahu pikiran pria ini tengah melayang buana.
Satu panggilan tak ada jawaban dari Edwald yang masih melamun. Saat ia mengulangi lagi barulah Edwald tersentak menatap hangat ke arahnya.
"Iya, Sayang?"
"Kenapa melamun?" tanya Shireen menggandeng lengan kekar Edwald yang tengah menyetir stabil. Edwald menjawab pertanyaan Shireen dengan senyuman ringan yang tipis.
"Tidak ada."
"Kau memikirkan sesuatu?"
Edwald menggeleng. Walau tak bicara Shireen bisa tahu dari raut wajah Edwald yang terkadang pasti tak fokus.
"Jangan terlalu dipikirkan. Bangkrut itu hanya bahasa kasarnya. Perusahaan mu hanya tidur sejenak untuk mengguncang dunia bisnis. Hm?"
"Kau bisa saja, Shi!" gumam Edwald mengelus kepala Shireen yang mulai membawa ke topik lain. Ia ingin menanyakan sesuatu yang cukup intim tapi agak canggung.
Pandangannya berubah nanar dan sungguh Shireen sangat tak tega melihat tekanan di mata pria ini.
"Aku akan berusaha mencari pekerjaan yang layak untukmu. Tapi.."
Kalimatnya di jeda. Keadaan sekarang benar-benar sulit untuk bangkit dari masa sulitnya.
"Ed!"
"Tapi, hanya satu lamaran yang menerimaku. Itupun hanya menjadi ... Supir!" ucapnya penuh pertimbangan dan sesal.
Shireen diam. Ia tahu betapa banyak orang yang ingin Edwald terpuruk karna kebangkitan pria ini akan membuat bencana bagi para penguasa lainnya.
"Namaku sudah di black-list dan mungkin kau akan malu jika berjalan bersama seorang supir nantinya."
"Supir?" tanya Shireen lembut. Edwald mengangguk lemah menurunkan pandangannya ke gelang berlian yang ada di pergelangan tangan Shireen.
Aku belum bisa memberimu perhiasan yang lebih mahal dari itu. Pantas jika mereka ingin memisahkan kita, Shi!
"Apa kau tak suka aku menjadi seorang supir?"
"Kau nyaman dengan pekerjaan itu?" tanya Shireen mendalami perannya sebagai seorang istri. Edwald kira Shireen akan menanyakan gajinya tapi tak di sangka ia lebih mengejutkan.
"Gajinya kecil. Sayang!" gumam Edwald jujur.
Helaan nafas Shireen muncul menepuk bahu kokoh Edwald yang sangat tak cocok jadi supir tapi ia mendukung semua keputusan pria ini.
"Tak masalah. Yang penting kau nyaman dan aman. Aku akan selalu mendukungmu. Hm?"
"Benarkah?" tanya Edwald mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Yah. Kapan kau akan mulai bekerja? Aku akan memasak untukmu," semangat Shireen mengalahkan akal sehatnya.
"Besok pagi."
"Em..baiklah. Kau harus bekerja yang rajin dan ingat kau punya istri secantik aku untuk di manjakan," kelakar Shireen mengedipkan matanya yang seketika melebar saat Edwald mengecup kilas bibirnya.
Timbul semangat ingin bangkit di diri Edwald yang merasa lebih tenang setelah membicarakan hal ini dengan Shireen.
"Ed!"
"Hm?"
"Kalau aku boleh tahu. Kenapa bisa perusahaanmu mengalami hal itu?" tanya Shireen hati-hati takut menyinggung Edwald yang tampak santai.
"Aku memiliki banyak musuh. Hanya saja saat pernikahan kita itu ada konflik internal perusahaan. Aku tak sempat menyelesaikannya karna fokus pada hari pernikahan kita."
"lalu bagaimana dengan keluargamu?" tanya Shireen. Edwald diam sejenak membingkai wajah cantik yang selalu menenagkannya ini.
"Kedua orang tuaku kembali ke kota mereka. Daddy sangat marah dengan kinerjaku yang tersebar buruk sampai sekarang dia belum mengabariku," Jawab Edwald dengan suara rendah pertanda ini masa-masa paling berat.
Apalagi akibat kebangrutan perusahaan Edwald terjadi perubahan sangat drastis dari pihaknya. Nyonya Colins yang semula mendewakan Edwald sekarang berubah menjadi musuh yang nyata.
"Apa perlu kita pergi menemui orang tuamu?"
"Sekarang bukan waktu yang tepat. Apalagi, mereka pasti masih marah padaku," jawab Edwald tak mau memperburuk. Alhasil Shireen mengangguk mendukung keputusan Edwald yang tak punya rekan untuk masih bertahan di posisi ini.
Karna merasa suasana begitu suram, Shireen mengambil inisiatif mencium Edwald sebagai bentuk dukungan dan rasa sayang yang tak akan pernah meninggalkan pria ini.
Mau bagaimanapun keadaanmu, aku akan tetap bertahan selagi kau masih membutuhkanku. Ed!
Berbeda dengan Shireen yang berpikiran lurus, benak Edwald justru berkata sebaliknya. Hanya ia dan tuhan yang tahu apa yang tengah di rancang dalam kepalanya.
Dreet..
Ponsel Shireen berbunyi tapi keduanya acuh. Mereka sama-sama menginginkan satu sama lain tak perduli lagi tempat atau suasana malam yang begitu dingin.
...........
Di tempat yang berbeda. Nyonya Colins benar-benar murka mengetahui bagaimana gemparnya media menyiarkan tentang Edwald yang di gadang-gadang akan menjadi supir profesional.
Bahkan, perusahaan yang menerima lamaran pria malang itu membeberkan langsung surat lamaran Edwald yang tampak menjadi bahan olok-olokan di kalangan pengusaha.
"Apa-apaan ini. Haa?? Sampai kapan dia akan mempermalukan keluarga ini??" geram Nyonya Colins hampir ingin memecahkan televisi di hadapannya.
Ia sudah menelpon Shireen tapi wanita keras kepala itu sama sekali tak mengangkat panggilannya.
"Benar-benar pria pembawa siaal!! Kenapa aku bisa menerimanya di keluarga ini!!"
"Ada apa? Mom!" tanya seorang gadis berumur 19 tahun yang memiliki wajah bulat dan rambut sebahu.
Ia datang dari arah tangga karna tergganggu akan suara berisik Nyonya Colins.
"Lihat suami tak berguna kakakmu ini!! Dia hanya selalu mempermainkan keluarga kita," umpat Nyonya Colins terduduk dk sofa depan televisi hingga para pelayan langsung mengipasinya.
Freya menatap layar LED itu. Ia sempat terkejut tapi senyum remehnya mekar merasa beruntung dan puas melihat nasib kakaknya yang sangat malang.
"Untung saja dulu dia tak menikah denganku. Shireen terlalu nai'f."
"Itu masalahnya. Dia seperti buta dan hilang akal. Ingin rasanya aku menceraikan mereka berdua," umpat Nyonya Colins dan Freya si adik kandung tak tahu diri itu mulai tercetus niat buruknya.
"Mom! Kenapa kau tak menikahkan Shireen dengan lelaki lain yang lebih kaya saja?! Edwald sudah tak berguna dan hanya menumpang hidup disini."
Nyonya Colins diam sejenak. Ide Freya itu brilian dan cukup membuatnya lega.
"Kita hanya cukup terus menekan Edwald agar meninggalkan Shireen. Lagi pula dia juga tak punya apapun lagi."
"Kau benar. Nyatanya otakmu lebih berguna dari pada sebelumnya," jawab Nyonya Colins akan menyusun rencana perjodohan Shireen. Ia tak bisa terus menampung menantu tak berguna dan parasit itu lebih lama.
...
Vote and Like Sayang..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!