NovelToon NovelToon

Lukisan Semesta Amerta

Prolog

"Happy birthday." Zahra tersenyum lebar, ia masih setia memberikan kadonya kepada Caca. Namun sayangnya, Caca hanya diam, menatap Zahra dan kado itu dengan tatapan datar.

Zahra masih setia memegangi kadonya, ia terus tersenyum pada Caca tulus dari hatinya.

"Buat gue?" tanya Caca sambil melihat kado itu tidak suka.

Zahra tersenyum, lalu mengangguk. "Iyah."

Caca memutar bola mata malas, ia mengambil kado pemberian Zahra dengan jijik.

Lalu menatap Zahra remeh, ia memegangi kado itu sangat tidak suka. "Ini? Buat gue?" lalu membuang kado tersebut tepat di hadapan Zahra, "Sorry, gak level!" lanjutnya.

Semua yang ada di pesta sana melihat ke arah mereka dan banyak sekali bisik-bisik mengenai mereka, ingin rasanya membantu Zahra. Tapi sayangnya, mereka hanya diam di tempat.

"Bukannya apa-apa ya, Ra. Gue itu sebenernya jijik liat kado murahan kaya gini, coba lo liat temen-temen gue semuanya, ada yang ngasih kado ke gue murah? semuanya mahal-mahal!" ejeknya, lalu Caca maju selangkah, ia memperhatikan Zahra dari atas sampai bawah.

"Baju lo aja gak sebanding sama kita-kita!" ejeknya, lagi, lalu tertawa terbahak-bahak.

Zahra mendongak, ia menghapus air matanya kasar. "Zahra tau itu. Tapi maaf, Zahra cuma bisa kasih ini." lagi dan lagi Zahra kembali memberikan kadonya.

Tapi sayangnya, Caca menolak itu mentah-mentah. "Gue gak butuh kado dari lo. Gue undang lo bukan atas dasar teman. Tapi..... lo harus liat ini." Caca tersenyum lebar, lalu menepuk kedua tangannya, mempersilahkan seseorang masuk.

"Tadaaaaaa badut gue!" ucap Caca senang sambil menunjukkan badutnya pada semua orang yang ada di sana, sehingga mereka tertawa terbahak-bahak.

"GUSY KENALIN INI BADUT ULTAH GUE HARI INI, KALIAN TAU GAK BADUT INI SIAPA?" teriaknya keras, lalu tersenyum miring ke arah Zahra.

"Siapa tuh Ca, ko aneh banget badutnya kaya orang gila gitu?" tanya salah satu teman Caca.

Caca tertawa, ia menatap Zahra tidak suka. "Lo pada tau kan di depan gue ini siapa?" tanyanya, membuat mereka menganggukkan kepalanya.

"Si Zahra ini anak dari badut ini, hahaha. Anak orang gila guys!" Caca terus tertawa, yang menonton pun ikut-ikutan tertawa.

Zahra menatap Caca dengan derai air mata, ia tidak kuat jika ibunya dipermalukan seperti itu, lalu dengan cepat Zahra menarik ibunya ke dalam pelukannya.

"Iyah bener Zahra memang anak dari badut ini, anak dari ibu yang sudah tidak waras!" Zahra diam sejenak, ia menatap mereka satu persatu yang sedang menontonnya, "Zahra juga tau kalau Zahra memang bukan kaya kalian semuanya, Zahra tau itu! kalian yang punya segalanya dan Zahra yang gak punya apa-apa, Zahra tau!"

Zahra menghapus air matanya kasar, ia tidak kuat dengan segala ejekan dan bully-an selama ini. Lalu ia beralih menatap Caca. "Mentang-mentang Caca anak orang kaya, Caca seenaknya rendahin Zahra! Zahra juga manusia Ca, Zahra juga punya hati, sama kaya kalian semuanya!"

"Emang gue anak orang kaya!" sombongnya sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.

Lagi dan lagi Caca tersenyum miring. "Ouh Iyah guys, gue juga punya berita penting nih buat kalian semuanya, pokoknya kalian harus tau!" teriaknya lagi, membuat semua orang penasaran dengan berita tersebut.

"Si Zahra ini......"

"Ternyata lahir dari hubungan gelap guys, gila parah banget, kalau gue sih pasti malu. Berarti dia anak HARAM dong, hahaha!" ejeknya, membuat semua orang yang mendengar hal itu menatap Zahra kaget, lalu mereka tertawa terbahak-bahak.

Hati Zahra berdenyut sakit, air matanya terus keluar dengan deras dan bahkan tangannya sudah terkepal kuat.

Plak!

Zahra menampar pipi Caca keras, ia menatap Caca dan orang-orang di sana dengan marah.

"EMANGNYA KENAPA KALAU ZAHRA ANAK DARI HUBUNGAN GELAP?!" teriaknya, Zahra menatap mereka marah, ia tidak suka jika ada yang mengusik ibunya, sangat tidak suka.

Melihat kemarahan Zahra, semuanya terdiam. Baru kali ini mereka melihat Zahra semarah itu.

"KENAPA KALIAN SEMUA DIEM? ZAHRA TANYA EMANGNYA KENAPA KALAU ZAHRA ANAK HARAM?! Zahra diam sejenak, lalu menggenggam tangan ibunya dengan sayang.

Sudah berkali-kali Zahra menahan air matanya agar tidak keluar, sudah berkali-kali ia menghapus air matanya, apalagi dihadapan ibunya sendiri. Zahra memang tidak mau menunjukkan rasa kesedihannya pada ibunya. Tapi kali ini, ia benar-benar sakit hati atas ejekan mereka, sehingga ia menangis di depan ibunya sendiri.

"Kalian boleh hina Zahra, tapi jangan ibu Zahra!" Zahra diam sejenak, ia melihat ibunya yang sedang joget-joget tidak jelas.

"Walaupun ibu Zahra udah gak waras, tapi Zahra tetep sayang. Karena apa? KARENA IBU ZAHRA UDAH NGELAHIRIN ZAHRA DENGAN SUSAH PAYAH, IBU ZAHRA TETEP BERJUANG, MESKIPUN ZAHRA GAK PERNAH DIANGGAP ANAK OLEHNYA, TAPI ZAHRA BERSYUKUR DAN GAK PERNAH MALU SAMA SEKALI!"

Semua orang tetap diam, mereka diam seribu bahasa. Ternyata hidup Zahra sesakit itu.

"Dan bahkan ayah Zahra pergi ninggalin Zahra di saat Zahra masih kecil. Tapi ibu Zahra? dia gak pergi ninggalin Zahra sama kaya ayah. Ibu Zahra masih setia ada di samping Zahra!" Zahra menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan, lalu menatap mereka kembali.

"Zahra sakit, Zahra sakit gak pernah di anggap anak." ia menunduk, lalu kembali menatap mereka.

"Zahra kadang iri sama kalian semuanya, Zahra iri ketika orang tua kalian sangat menyayangi kalian. Zahra pengen banget kaya gitu, tapi sayangnya Zahra gak bisa, Zahra susah buat dapetin itu semua." Zahra menghapus air matanya, ia menatap Caca kembali.

"Caca mau bully Zahra apa lagi? Caca mau katain Zahra apa lagi? ayo hina Zahra terus, ayo!"

Caca terdiam, ia menundukkan kepalanya. Membuat Zahra kembali berbicara.

"Kenapa Caca diem? ayo hina Zahra lagi. Caca masih belum puaskan?!" lagi dan lagi Zahra kembali menangis, sebagian rasa sakitnya hilang, karena semua kemerahannya ia lontarkan.

"Ra." panggil seseorang.

Zahra menoleh, ia menatap Leo. "Apa Leo? Leo mau hina Zahra juga? Leo mau bully Zahra juga?" tanyanya, membuat Leo kembali terdiam.

"Zahra cape Leo, Zahra cape!" Zahra terus memukul-mukul dada bidang Leo, ia sangat marah.

Leo membiarkan dirinya dipukuli, lalu dengan cepat ia memeluk Zahra, sehingga Zahra tidak memukulinya lagi.

"Zahra cape Leo, Zahra udah gak kuat sama hinaan kalian. Zahra juga manusia Leo, Zahra juga punya perasaan."

"Kenapa semua orang jahat? apa salah Zahra."

"Hati Zahra sakit Leo...."

"Zahra mohon sama Leo, kali ini Leo jangan hina Zahra dulu. Zahra masih sakit...."

"Zahra mohon..... Zahra belum siap untuk mendengar hinaan lagi."

Leo melepaskan pelukannya, ia menghapus air mata Zahra.

Zahra perlahan menjauh, ia memegang tangan ibunya. "Makasih atas hinaan kalian selama ini, Zahra pamit. Maaf pestanya hancur gara-gara Zahra." setelah itu pergi dari hadapan mereka semua.

1. Zahra Story

"Orang gila!"

"Orang gila!"

"Orang gila!"

"Orang gila!"

"Saya bukan orang gila! hahahaha...." Ibu itu tertawa sendiri, ia mengacak-acak rambutnya. Membuat anak kecil yang mengelilingi ibu itu semakin senang untuk mengejeknya.

"Orang gila, orang gila!"

"Hahaha orang gila."

Anak kecil itu terus saja mengejek dan tertawa, sesekali mereka melemparkan batu-batu kecil pada ibu itu.

"Saya bukan gila!" Ibu itu marah, dia mengejar-ngejar banyak anak kecil yang mengejeknya, membuat anak kecil itu semakin tambah senang untuk mengejeknya.

"IBU!" Zahra melotot terkejut saat melihat Ibunya yang dikerumuni oleh anak kecil, lalu ia berlari dan langsung memeluk ibunya untuk melindungi ibunya dari lemparan batu. Lalu menatap anak kecil itu satu persatu, ia sangat marah karena ibunya di sebut perkataan yang menyakiti hatinya.

"Pergi kalian! jangan ganggu ibu saya!" ucapnya sedikit membentak.

"Huuuu gak asik! Yuk kabur keburu ngamuk orang gilanya, hahahaha!" lalu lari dengan kencang, karena tidak mau kena amuk.

"HEH ANAK KECIL!" teriak Zahra tidak terima.

Hati Zahra berdenyut sakit, ia menatap Ibunya sedih. Untung saja ia datang, kalau telat sudah di pastikan, pasti banyak luka. Zahra menitihkan air matanya, melihat ibunya yang tidak berdaya, hatinya sakit sekali.

"Ibu tenang yah, ada Zahra di sini." sambil memeluk Ibunya erat, ia sangat sedih dengan keadaan Ibunya. 

Zahra tersenyum lirih, ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Zahra harus kuat, ia tidak boleh lemah, lalu membantu ibunya dan menuntun untuk pulang.

Sesampainya di rumah. Zahra menenangkan Rita–Ibunya, lalu mendudukkan Rita di kursi makan. Setelah selesai, barulah ia mulai masak, sambil memperhatikan Ibunya, takut kenapa-napa.

Makan hari ini cukup sederhana, hanya tempe, tahu dan sayur. Zahra bersyukur, karena hari ini masih bisa makan, untuk dirinya dan juga ibunya.

"Ibu makan dulu yah." ajaknya sambil tersenyum.

Rita hanya menatap Zahra datar, itu sudah biasa bagi Zahra. Dengan perhatian dan kasih sayang, Zahra menyuapi Rita dengan telaten. Ia tersenyum senang, karena baru kali ini Rita tidak memberontak, tidak seperti kemarin-kemarin.

Setalah semuanya selesai mengurus ibunya, barulah ia masuk ke dalam kamarnya, mengerjakan tugas-tugasnya untuk kuliah besok.

Meskipun Zahra orang tidak punya, ia sangat bersyukur mendapatkan beasiswa untuk kuliah, itu tidak akan ia sia-siakan menuju masa depannya. Dengan sungguh-sungguh Zahra akan membahagiakan orang tuanya, ibu tersayangnya.

...---o0o---...

Sebelum berangkat kuliah, tidak lupa Zahra menyiapkan dan merawat ibunya terlebih dahulu.

"Ibu Zahra pamit kuliah dulu yah, setelah pulang kuliah Zahra kerja dulu, nanti pulang dari kerja ibu mau nitip apa?" ucapannya lembut sambil tersenyum.

Rita tidak menjawab, sudah berbagai cara untuk Rita mau berbicara dengannya. Namun, itu tidak mungkin. Mungkin ada saatnya, ia harus sabar menunggu.

"Yasudah kalau ibu gak mau nitip apa-apa, Zahra pamit yah." Rita menepis tangan Zahra, saat Zahra ingin salim dan itu membuat Zahra menghela napas sabar.

"Zahra pamit, assalamu'alaikum." lalu pergi ke kampus dengan motor kesayangannya, itu motor hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun untuk membeli itu.

...---o0o---...

Zahra tersenyum senang, ternyata kekasihnya ada di kelasnya. Dengan segera ia menghampiri kekasihnya itu, lalu menatap kekasihnya dengan senyum lebarnya.

"Leo." ucapnya dengan gembira.

Leo berbalik, ahhh ternyata dia. Ia menatap Zahra datar, itu sudah biasa bagi Zahra.

"Leo ke sini mau ketemu Zahra yah? iyakan, hayo ngaku." sambil terkekeh pelan.

Leo menatap Zahra datar. "Gak usah geer!"

"Terus Leo ke sini mau apa?" tanyanya.

"Dia ke sini mau nemuin gue, bukan lo!" sambil mendorong bahu kiri Zahra, untungnya ia tidak jatuh.

Dia Caca, orang yang berbicara tadi. Zahra melihat Leo yang tidak berbicara, dia malah menatap Zahra datar.

Caca memeluk lengan Leo, ia menatap Zahra tajam. "Sayang kita keluar aja yuk, di sini gak aman ada pengganggu!"

Leo mengangguk pelan, lalu melirik Zahra sekilas yang hendak duduk di kursinya.

Zahra sudah tidak asing lagi melihat Leo seperti itu, ia tidak mau ambil pusing lebih baik ia membaca buku.

Ririn melihat Zahra di perlakukan seperti itu kedua tangannya mengepal kuat, emosinya naik, ia tidak terima sahabatnya diperlakukan seperti itu. Kadang ia pun heran, hati Zahra terbuat dari apa? ia terlalu baik, padahal ia selalu di sakiti. Jujur Ririn sangat senang memiliki sahabat seperti Zahra, ia kenal Zahra sudah lama.

...---o0o---...

Akhirnya kelas sudah selesai. Ini saatnya Zahra pergi untuk kerja, ia bekerja di salah satu restoran yang lumayan tidak jauh dari kampus, hanya memerlukan waktu dua puluh menit baru sampai.

Walaupun hasil gajinya tidak terlalu besar. Tapi, itu cukup untuk Zahra dan ibunya. Jika kurang ia akan bekerja sampingan.

"Sore ka Damar." Zahra menyapa ramah pada atasannya.

"Sore juga Zahra." dibalas juga oleh Damar.

Zahra mengganti pakaiannya, memakai pakaian pelayan. Ia membersihkan meja-meja yang kotor dan juga menghantarkan menu-menu juga.

Ia mengerjakan itu semua dengan senang hati, ini semua demi ibunya. Zahra jadi kangen dengan ibunya, sedang apa dia? apa baik-baik saja? semoga.

"Pelayan." Zahra menengok, ia menghampiri meja yang tadi memanggilnya.

"Iya mau pesan apa?" tanyanya dengan ramah sambil memegang daftar menu di restoran ini.

"Caca, Le--" Zahra menutup mulutnya rapat, saat sudah mendapatkan tatapan tajam dari Leo.

"Oh, oh, oh. Ternyata lo kerja." ucap Caca sambil memperhatikan Zahra dari atas sampai bawah.

"Gak mampu lo buat bayar kuliah?!" lanjutnya lagi sambil terkekeh pelan.

"Jaga mulut lo!" ucap Fahmi pada Caca tajam.

Ternyata bukan hanya Caca dan Leo, tapi mereka juga bersama Fahmi, Gio dan Riska juga.

Zahra hanya tersenyum, ia hiraukan perkataan Caca yang menyakiti hatinya. "Mau pesan apa?" tanyanya.

"Gue kaya biasa, Ra." ucap Fahmi, lalu di anggukkan olehnya.

"Semuanya samain aja." ucap Gio.

Lalu Zahra mencatat pesanan mereka. "Tunggu sebentar yah." lalu pergi dari tempat itu.

Leo memperhatikan Zahra sampai menghilang dari hadapannya. "Ternyata dia kerja."

Fahmi merasa iba pada Zahra. Zahra terlalu baik, ia tidak tega pada Zahra yang tidak dianggap ada oleh temannya itu. Mana ada cewek yang mau di perlakukan seperti itu, tapi dia? dia seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Zahra benar-benar orang yang sangat jauh berbeda dari perempuan lain.

"Gue harap lo cepet sadar." bisik Fahmi pada Leo, membuat Leo menegang, apa maksud Fahmi? ia tidak mengerti.

...---o0o---...

Zahra pulang jam sebelas malam, itu sudah biasa. Zahra terkejut saat mendengar teriakkan dari dalam rumah, ia sangat khawatir.

"Ibu." ucapnya sambil berlari.

"Aaaaaaa!"

Pranggg!

Zahra memeluk sang ibu erat, ia menangis dalam diam. Untung ibunya tidak terjadi apa-apa, meskipun dirinya yang kena luka pada keningnya, karena lemparan vas bunga oleh ibunya. Zahra tetap memeluk ibunya, ia menenangkan dalam pelukannya. Rita terus memberontak, ia tidak mau di peluk oleh anaknya.

"Lepas! saya tidak sudi di peluk oleh anda!" ucapnya tidak suka.

"Ibu tenang yah, ada Zahra di sini." sambil terus memeluk Rita erat, ia sangat sayang pada ibunya.

Rita terus memberontak. "Lepas!"

"Sa-sakit Bu, Za-zahra Su-susah na-napasnya." ucap Zahra sambil berusaha melepaskan tangan Rita dari lehernya.

Rita tidak peduli, ia terus mencekik leher Zahra, yang ia inginkan dia mati. Pergi untuk selamanya dan tidak ada yang menganggu kehidupannya.

Zahra tidak tahan, ia kehilangan untuk bernapas, bahkan keningnya pun terus mengeluarkan darah, akibat lemparan vas bunga tadi. Rita terus mencekik, ia menatap Zahra marah.

"Kamu harus MATI!" ucapnya sambil melotot tajam.

Zahra tidak tahan, ia melemas. Zahra menatap ibunya dengan senyuman tulus dari hatinya. "I-ibu Za-zahra sa-sayang i-ibu, selamanya." 

2. Senang Sesaat

Zahra terbangun dari tidurnya, ia melihat disekelilingnya, setelah itu ia memegang keningnya, lalu jalan menuju cermin. Alangkah bahagianya ia, saat dirinya melihat luka yang ada di keningnya yang sudah di tutupi oleh hansaplats.

Hatinya sangat senang, Zahra sudah tahu siapa yang mengobati lukanya. Baru kali ini Zahra senang atas perlakuan ibunya yang mengobati keningnya, itu sangat berarti untuknya. Dengan perasaan senangnya dan senyumannya terukir sempurna, ia segera mencari keberadaan ibunya.

Zahra tersenyum senang saat melihat ibunya sedang menonton televisi, lalu langsung menghampiri ibunya sedikit berlari dan....

Hap!

Zahra memeluk ibunya dari samping dan itu membuat Rita terkejut. Zahra masih setia memeluk ibunya, ia sangat senang.

Rita menatap Zahra tajam. Namun, Zahra tidak peduli, bahkan ia menyembunyikan wajahnya pada perut ibunya dan itu membuat Rita semakin kesal.

"Lepas!" ucapnya dingin tanpa menatap Zahra.

Zahra sedikit mendongak menatap ibunya, kemudian kembali pada posisi semula. "Nggak mau Bu. Ini sangat nyaman."

"Saya bilang lepas! anda masih tidak mengerti juga?!" ucapnya dengan wajah datarnya, lalu berdiri dan itu membuat Zahra melepaskan pelukannya.

Zahra menatap ibunya dengan sendu, baru saja ia merasakan bahagia.

Sedangkan Rita menatap Zahra datar. "Saya mengobati anda bukan berarti saya menyayangi anda!" lalu pergi meninggalkan Zahra.

Tes

Satu tetasan air mata jatuh dari sang pemilik. Zahra meneteskan air matanya, ia sakit sekali mendengar ucapan ibunya barusan. Semakin lama, semakin terus mengalir. Zahra tidak kuat, ia berlari masuk kedalam kamar.

Di dalam kamar Zahra menangis dalam diam, sakit rasanya tidak di anggap oleh ibu kandungnya sendiri. Sekuat apapun ia menahan perih pada hatinya, itu akan sakit jika lama-lama menahannya.

Baru saja tersenyum dan sekarang? mengapa harus menangis lagi?

Zahra bangkit, ia melangkah menuju meja belajarnya. Ia mengambil sesuatu di dalam laci meja sana, setelah mendapatkannya ia duduk di kursi. Zahra meletakkan buku yang berwarna hitam di meja belajar, mungkin itu buku diary-nya. Ia membuka buku itu, ada halaman kosong di sana. Zahra mulai menulis apa yang terjadi barusan pada buku itu. Menulis sambil meneteskan air mata, itu sangat sakit.

Bahagia sesaat itu sangat menyenangkan. Tapi, air mata ini kenapa harus kembali saat mendengar kata-kata yang dulu pernah di ucapkan?

Ya Allah aku ingin merasakan hangatnya kasih sayang, apa aku bisa mendapatkan itu semua?

Zahra berhenti menulis sejenak, air matanya terus mengalir dengan deras. Lalu ia kembali melanjutkan curhatannya pada buku itu.

Aku ingin nyerah....

Zahra menutup bukunya, ia memperhatikan buku itu sejenak, lalu kembali memasukkan buku itu pada tempat semula. Rasanya lega sudah menceritakan pada buku diary itu, bebannya hilang sebagian.

...---o0o---...

Hari ini Zahra bangun lebih pagi, karena sebelum berangkat kuliah ia harus mempersiapkan jualannya untuk di bawa ke kampus, selain itu ia juga harus merawat ibunya terlebih dahulu. Setelah semuanya selesai, Zahra langsung menghampiri ibunya yang berada di kamar.

Tok tok tok

"Ibu ayo buka pintunya, Zahra udah siapin sarapan untuk ibu." ucapnya dengan lembut sambil mengetuk pintu, ia tidak mau membuat ibunya marah.

Tidak ada jawaban.

Zahra kembali mengetuk pintu. "Ibu ayo kita sarapan sama-sama." ajaknya lagi.

Rita membuka matanya, ia kesal sekali mendengar suara Zahra di luar kamarnya.

Menggangu saja!

Dengan kesal Rita membuka pintu kamarnya, ia menatap Zahra datar. "Apa?!" ucapnya tidak suka.

Zahra tersenyum. "Ayo Bu kita makan. Zahra udah siapin semuanya." ucapnya, lalu meraih tangan kiri Rita. Rita menepis tangan Zahra kasar, ia tidak suka.

"Gak usah pegang-pegang!" sewotnya, setelah itu pergi meninggalkan Zahra.

Zahra menghela napas sabar, lalu ia mengikuti Rita dari belakang.

Di sana mereka berdua sedang makan. Mereka makan dalam diam, tidak ada bincangan yang memulai pertama. Setelah semuanya selesai barulah Zahra merapihkan dan mencuci piring bekas makan tadi.

Setelah semuanya selesai. Zahra membawa jualannya dan menghampiri ibunya yang sedang duduk di sofa.

"Zahra pamit kuliah dulu ya Bu. Nanti Zahra pulang malem." pamitnya, setelah itu pergi menuju kampus.

...---o0o---...

"Bu Zahra titip lagi ya, nanti pulang kuliah Zahra ambil." ucapnya pada ibu kantin.

"Iya neng. Nanti bikinnya yang lebih banyak lagi ya neng, anak-anak pada suka sama masakan neng Zahra." ucap ibu kantin itu.

Zahra tersenyum senang. "Alhamdulillah. Nanti besok Zahra bawa lagi yang lebih banyak." ucapnya senang.

Ibu kantin itu mengangguk, ia akrab sekali dengan Zahra. Tidak aneh lagi jika Zahra menitipkan jualnya padanya, meskipun hanya sebagaian saja, karena yang sebagiannya lagi biasanya Zahra jual pada mahasiswa yang ada di kampus.

"Kalau gitu Zahra pamit masuk kelas dulu ya, Bu." pamitnya, setelah mendapatkan anggukan barulah ia pergi.

Zahra pergi menuju kelas, sepanjang perjalanan ia terus tersenyum.

"Zahra!" Zahra berbalik badan saat ada yang memanggil namanya, lalu tersenyum lebar saat tahu siapa yang memanggilnya.

"Ririn." ucapnya sambil tersenyum lebar.

Ririn tersenyum lebar, ia langsung sedikit berlari ke arah Zahra. "Dari mana aja, Ra?" tanyanya saat sudah dihadapan Zahra.

"Dari kantin, biasa." jawabnya, lalu merangkul Ririn dan kembali jalan menuju kelas.

Saat sampai di kelas, sudah banyak orang yang sedang berkumpul, membaca buku dan lain sebagainya. Itu adalah kesempatan untuk Zahra, dengan semangat ia menghampiri mereka dan di ikuti oleh Ririn.

"Temen-temen ada yang mau beli gak? enak tau." ucapnya dengan ramah pada teman-temannya.

"Ini apa Ra?" tanya salah satu temannya sambil memperhatikan jualan Zahra.

"Ini tuh risol. Enak tau, ayo cobain dulu, kalau enak kalian boleh beli." ucapnya.

Lalu tanpa ragu, mereka mulai mencoba, enak. Itu yang mereka rasakan.

"Gue mau Ra, satu."

"Gue juga."

"Iya gue juga."

"Gue dua ya Ra."

"Gue satu, Ra."

"Iya, iya. Sabar ya satu-satu." sambil membungkus risolnya dan memberikan pada mereka.

Ririn tidak hanya diam, ia juga ikut membantu Zahra dan itu membuat Zahra sangat senang pada Ririn.

"Alhamdulillah abis Ra." ucap Ririn senang.

"Iya Alhamdulillah Rin. Pokoknya mulai besok harus lebih banyak lagi nih bikinnya." ucapnya senang, lalu merapikan tempatnya yang sudah ludes habis, tak bersisa.

"Wah wah wah. Ada orang gak mampu di sini!" ucap Caca tiba-tiba sambil menepuk-nepuk tangan, lalu Caca mendekat, ia menatap Zahra dan barang jualannya.

"Kasian banget pasti gak mampu buat bayar kuliah yah? hahahaha." ejeknya bersama dengan Riska, mereka berdua menertawakan Zahra.

Melihat Zahra diperlukan seperti itu, membuat Ririn mengepalkan tangannya kuat. Ia menatap Caca dan Riska satu persatu, ia tidak rela sahabatnya di ejek seperti itu.

"Jaga ucapan lo!" ucapnya tajam saat sudah di hadapan Caca.

Caca mengibaskan rambutnya kebelakang. "Emang fakta!"

Ririn menatap Caca tidak suka, ia tidak terima. "Jangan hina sahabat gue. Jaga mulut lo yang gak bermutu itu!" ucapnya dengan emosi yang tidak stabil.

Melihat keadaan yang semakin memburuk, Zahra langsung menarik tangan Ririn mundur. "Jangan Rin." larangnya.

Ririn menatap Zahra, lalu memegang kedua bahu Zahra. "Gue harus bales tuh orang Ra, gue gak terima sahabat gue sendiri di hina kaya gini." lalu menatap Caca dan Riska tajam.

"Awas lo!" ucapnya, lalu pergi ke tempat duduk, kerena bel sudah berbunyi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!