Cia mengemudikan mobil dengan sedikit cepat. Ia berjanji dengan temannya untuk bertemu, ada sebuah kotak besar berbungkus kertas warna di kursi penumpang sebelahnya. Hari ini adalah hari ulang tahun sahabatnya, Cia ingin memberikan yang spesial untuk teman yang sudah bersamanya sejak sekolah dasar, untuk teman yang selalu menemaninya siang malam, untuk teman yang selalu hadir di saat suka dan dukanya.
Cia sudah sampai di rumah Lusia—teman Cia. Ia melihat ke garasi, sebuah mobil sport warna merah terparkir di sana. Cia tersenyum, hingga kemudian turun dan tak lupa membawa kado yang dibelinya.
Cia tidak heran jika Kevin—kekasihnya, berada di rumah Lusia. Karena Kevin pasti juga ingin merayakan ulang tahun Lusia. Cia, Kevin, dan Lusia, sudah berteman sejak lama.
Cia berjalan masuk. Ia mencari keberadaan Lusia dan Kevin, tapi entah tak menemukan keduanya. Cia sedikit merasa aneh karena rumah Lusia terlihat sepi, pelayan rumah juga tidak terlihat. Karena terbiasa bersama Lusia, Cia tahu pasti setiap ruangan yang ada di rumah itu. Cia pun berpikir untuk langsung naik ke lantai dua menuju kamar Lusia untuk memberi kejutan.
"Kevin, jangan seperti itu!" Suara Lusia terdengar mendesah. "Bagaimana jika Cia datang?"
Cia bisa mendengar suara dari kamar Lusia. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam, Cia pun berjalan mendekat ke arah pintu kamar sahabatnya itu.
"Tenanglah, dia masih mencari hadiah untukmu, dia pasti belum sampai." Suara Kevin juga terdengar dari dalam.
Cia semakin penasaran dan curiga dengan kedua orang terdekatnya. Ia merasa gelisah, pikirannya melayang ke mana-mana.
Cia membuka perlahan pintu kamar yang ternyata tidak terkunci. Betapa terkejutnya Cia melihat apa yang terjadi di dalam kamar, satu teman baiknya dan satu lagi kekasihnya tengah memadu kasih.
"Oh Tuhan. Ingin rasanya aku menangis," keluh Cia dalam hati.
Cia mendorong dengan keras pintu itu, membuat kedua insan yang sedang bercumbu itu bisa terlihat jelas dari ambang pintu. Rongga dada Cia terasa terhimpit, dihantam oleh puluhan kilo batu tak kasat mata, sakit dan perih.
Kevin dan Lusia begitu terkejut saat melihat Cia berdiri di ambang pintu. Semakin terkejut lagi saat Cia melempar apa yang dibawanya ke arah keduanya.
"Cia!!" Lusia terkejut, dia menutup tubuh polosnya dengan selimut.
Cia menatap ke arah Kevin, bertanya pada dirinya sendiri. "Kenapa dia mengkhianatiku? Apa karena aku terlalu kolot untuk tidak melakukan hubungan seperti itu, yang membuatnya melakukan itu dengan wanita lain, terlebih itu adalah teman baikku?"
"Hahaha. Kalian benar-benar pasangan yang serasi, aku beri selamat pada kalian," ucap Cia seraya tertawa keras juga bertepuk tangan untuk menutupi kesedihan yang dirasakan.
"Cia, dengarkan aku dulu!" pinta Kevin seraya memakai pakaiannya dan mencoba berjalan ke arah Cia.
Cia mengangkat telapak tangan, meminta Kevin untuk tak mendekat. "Jangan memanggilku 'Cia', kamu dan kamu tidak pantas memanggil namaku," ucap Cia menatap tajam pada Kevin juga Lusia secara bergantian.
Cia membalikan badannya bersiap pergi dari sana. "Aku mendoakan yang terbaik untuk kalian, mulai hari ini hubungan kita berakhir sampai sini, tidak ada kata teman tidak ada kata kekasih. Kelak jangan pernah muncul dihadapanku atau aku akan membuat perhitungan dengan kalian," ancam Cia.
Cia segera meninggalkan tempat itu, pergi dengan luka yang sangat dalam, begitu dalamnya hingga berpikir bahwa itu tidak akan pernah sembuh sampai kapan pun.
2 Tahun kemudian.
Suara alarm terdengar berbunyi, waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Cia terbangun dengan rasa kekecewaan, terduduk di atas tempat tidurnya dengan keringat yang bermanik di seluruh wajah.
Cia memegangi kepala seraya bergumam, "Dua Tahun, ini sudah dua tahun, tapi kenapa aku tidak bisa melupakan kejadian itu? Kenapa mimpi yang sama selalu muncul tiap malam."
Cia selalu memimpikan itu, mimpi tentang pengkhianatan orang yang disayangi dan percayai. Ia tidak tahu sampai kapan mimpi yang menyiksa itu akan berakhir.
Cia bergegas mandi dan bersiap pergi kuliah. Demi melupakan masa lalu itu, juga menghindari orang-orang yang tidak ingin dilihat, Cia pergi dari kota kelahirannya, bahkan kuliah di universitas tidak ternama untuk menghindari orang-orang yang dikenal saat SMA. Baginya asal itu bisa membuatnya tenang, maka ia akan menjalani itu, hidupnya harus terus berjalan meski ada sebuah pengkhianat di masa lalu.
-
-
Cia sudah sampai di Universitas tempatnya menimba ilmu. Cia memarkirkan mobil lalu turun dengan sikap angkuh dan dingin, hingga semua mata tertuju padanya, mereka saling bisik dan melirik, entah apa yang dibicarakan, Cia tak mau tahu.
Cia berjalan sendiri, tiada teman yang menemani, karena ia tidak percaya dengan kata teman, itu hanya akan membuatnya merasa sakit.
"Aduh, maaf." Seorang gadis terjatuh ke lantai, setelah tanpa sengaja menabrak Cia.
Cia menatap gadis berkacamata terduduk di lantai setelah menabraknya. Ia juga melihat buku gadis itu berserakah, membuat murid lain menatap ke arah mereka. Cia hanya memandang gadis itu, sedangkan gadis yang menabrak Cia tampak kikuk membereskan buku-buku. Meski Cia ingin membantu, tapi entah kenapa ditahan.
Cia berjalan melangkah melewati gadis itu, hingga seorang gadis bicara dengan nada tinggi ditunjukan kepada dirinya.
"Hah! Lihat itu, betapa sombongnya dia! Bahkan saat seseorang tidak sengaja menabraknya hingga terjatuh, dia tidak mengatakan sepatah kata pun! Bahkan saat seseorang meminta maaf pun dia tidak mengatakan sesuatu, memangnya siapa dia?!" Teriak gadis itu mencibir Cia.
Gadis yang mencibir Cia bernama Sunny. Gadis itu berada di satu jurusan dan tak pernah menyukai Cia, entah apa yang tidak dia sukai dari Cia. Sikap Cia yang terkesan sombong, dingin, atau karena Cia termasuk gadis yang populer di satu fakultas mereka. Lagi pula Sunny adalah gadis biasa yang beruntung bisa kuliah di sana karena beasiswa, dan karena kecerdasannya Sunny banyak disukai mahasiswa lain.
Cia berhenti melangkah, menoleh ke arah Sunny serta menatap tajam gadis itu. "Apa itu urusanmu? Lihat gadis itu, dia saja tidak marah? Bagaimana bisa kamu yang marah? Apa kamu yang jatuh? Heh, kamu ini lucu sekali, kalau mau jadi seorang pahlawan, sepertinya kamu berada di tempat yang salah," cibir Cia.
Cia berjalan menuju kelas, tanpa memedulikan sekitarnya. Sunny tampak kesal, bagaimanapun cara dia ingin menjatuhkan atau mengejek Cia, itu tidak pernah berhasil.
Cia bisa mendengar murid di sana menjelekan-jelekannya, seperti mengatainya sombong, angkuh, dingin, keras kepala, dan yang mungkin paling kejam serta menyakitkan yaitu mereka mengatakan Cia mempunyai SUGAR DADDY, tapi Cia tidak pernah peduli. Ia selalu bicara dalam hatinya. "I DON'T CARE, karena ini adalah hidup yang aku inginkan, tanpa teman tanpa rasa cinta."
'Saat kata tak bisa menunjukkan sikap, maka aku memilih diam seribu bahasa.'
Nama:Velicia, panggilan: Cia(khusus yang akrab dengannya)
Sepulang dari kuliah, Cia selalu mampir ke sebuah toko kue. Ia sangat menyukai kue di sana, selain rasanya yang lezat, semua kue di sana juga buatan pemiliknya sendiri.
"Selamat datang!" sapa pemilik toko itu.
Wanita paruh baya umur sekitar 45 tahunan terlihat tersenyum ramah, dia adalah wanita yang ramah dan pekerja keras, Cia memanggilnya bibi Susi. Wanita itu selalu membuatnya teringat pada almarhum ibunya yang ramah dan penyabar.
"Siang Bibi! Hari ini apa ada yang spesial?" tanya Cia penuh semangat.
Saat bersama orang yang lebih tua darinya, Cia akan berubah menjadi gadis yang ramah dan hangat, tentu saja karena berpikir jika tidak mungkin orang-orang itu akan mengkhianatinya.
"Sama seperti biasanya, kue rasa strawberry kesukaanmu selalu tersedia," jawab bibi Susi dengan seulas senyum yang terpajang di bibir.
Cia tersenyum, selama ini pelipur laranya hanyalah orang-orang yang dianggap seperti orangtuanya.
Cia pun meminta Bibi pemilik toko untuk membungkus beberapa rasa kue yang biasa dibeli.
"Baiklah, tapi Bibi heran, kenapa kamu membeli kue sebanyak ini setiap ke sini? Bukankah kalau memakan semuanya nanti bisa gemuk? Gadis seumuranmu seharusnya lebih suka menjaga berat badan, 'kan?" tanya Bibi Susi bertubi.
"Bibi, aku tidak takut gemuk kok. Itu tidak berlaku untukku, mau gemuk mau nggak, kenapa harus takut? Yang perlu ditakutkan adalah kalau kita sakit hanya karena kita menahan lapar agar tidak gemuk, itu tidak baik!" ucap Cia seraya tersenyum pada wanita paruh baya itu.
"Baiklah, kamu memang gadis yang berbeda. Ini pesananmu sudah selesai!" Bibi Susi memberikan bungkusan kue kepada Cia.
Cia memberikan beberapa lembar uang kepada Bibi Susi, lantas mengambil kantong berisi kue pesanannya.
"Tapi Nona Veli, uangnya kelebihan!" Bibi Susi melihat kalau uang itu kelebihan dari yang seharusnya Cia bayarkan.
"Veli? Bibi, 'kan aku sudah bilang jangan panggil aku Veli. Orang yang dekat denganku biasa memanggilku 'Cia' tanpa kata Nona," protes Cia ketika mendengar panggilan yang dilontarkan wanita paruh baya itu.
"Maaf, lupa." Bibi Susi tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya.
Cia pun berpamitan, setelahnya tentu pulang ke apartemen yang sudah ditinggalinya beberapa tahun ini.
-
Setelah Cia pergi dari toko, seorang pemuda tampak masuk ke toko kue Bibi Susi.
"Bu!" panggil pemuda yang ternyata adalah putra pemilik toko.
"Dean, kamu baru pulang?" Bibi menoleh dan mendapati putranya—Ardeano, sudah berdiri di belakangnya.
"Kuenya sudah mau habis. Apa gadis yang selalu ibu bicarakan itu membeli kue lagi?" tanya Dean ketika melihat etalase agak kosong.
"Iya, bagaimana kamu tahu?" tanya Ibu balik.
"Karena setiap dia datang, Ibu pasti akan merasa senang," jawab Dean.
"Bagaimana tidak, dia gadis yang baik. Sudah setahun ini dia selalu datang membeli banyak kue setiap harinya, dan dia adalah gadis yang sopan, cantik, dan baik. Andai kamu kenal dia?"
"Ibu bilang dia selalu membeli banyak kue disini, dia pasti bukan gadis biasa. Lagi pula orang seperti kita bagaimana bisa kenal dengan orang-orang yang derajat dan statusnya lebih tinggi dari kita," ujar Dean setelah mendengar harapan Ibu.
"Ya, mungkin benar, tapi dia memang benar-benar berbeda," timpal Ibu.
Dean hanya mengiakan ucapan ibunya, lantas berpamitan lagi karena harus bekerja di bengkel.
Sejak suami wanita itu meninggal dunia 5 tahun lalu. Dialah yang menjadi tulang punggung keluarga, berjuang mencukupi kebutuhan dua anak yang masih butuh pendidikan.
-
Cia sudah sampai di basement apartemen. Namun, sebelum naik ke lantai tempat unit berada, ia mampir ke lobi. Cia memberikan sebagian kue yang dibelinya untuk resepsionis dan security gedung.
"Wah, Mbak Cia baik banget. Makasih, Mbak." Semua orang mengucapkan hal yang sama. Siapa yang menyangka jika gadis yang begitu ramah itu, ternyata sangat dingin di luaran sana.
Setelah memberikan kue itu, Cia pun kembali masuk lift dan naik ke lantai tempat unitnya berada.
"Nona Cia. Anda sudah pulang, saya baru saja selesai dengan pekerjaan saya." Wanita paruh baya yang menyapa Cia bernama Ana, dia adalah pekerja harian yang dibayar Cia untuk membersihkan tempatnya.
"Bibi An, aku bawakan kue lagi, nanti jangan lupa bawa pulang ya." Cia meletakkan kotak kue di atas meja, agar Bibi Ana tidak lupa membawanya saat pulang.
"Non, kenapa suka membeli kue setiap hari lalu membaginya?" tanya wanita paruh baya itu.
"Karena aku suka."
"Aih, Anda ini kenapa sangat baik pada semua pekerja di sini? Herannya, kenapa Anda juga tidak mempunyai teman satu pun?"
"Karena aku tidak ingin punya, jadi bibi jangan khawatir, aku akan mandi dulu." Cia tersenyum getir, sebelum akhirnya memilih bergegas masuk ke kamar.
Bibi Ana memang perhatian pada Cia, sebab merasa kalau gadis itu kesepian. Wanita itu sering bertanya, kenapa Cia tak memiliki teman. Namun, gadis itu hanya tersenyum tak pernah menjawab, karena sebenarnya Cia takut akan pengkhianatan yang pernah dialaminya.
-
Hari berikutnya, Cia melakukan aktifitas seperti biasa, dan setiap malam mimpi yang sama masih selalu datang. Saat pikirannya kacau, Cia akan lari pagi di sekitar taman dekat apartemen, setidaknya itu adalah cara untuk menghilangkan tekanan yang diterimanya.
Cia sedang berjalan ke gedung apartemen, ketika ponselnya berdering dan satu nama terpampang di sana.
"Halo." Cia menjawab panggilan itu dengan senyum lebar. "Benarkah? Baiklah, aku akan ke sana setelah kuliah selesai. Tidak, tidak usah menjemputku, aku akan naik mobil sendiri. Oke, sampai ketemu nanti siang."
Cia mengakhiri panggilan, senyum terus terbit di wajah setelah mendapat panggilan dari seseorang itu.
-
Hari-hari di kampus berjalan seperti biasanya, hinaan dan cibiran tentu masih terus Cia dengar. Namun, Cia sendiri terus mengabaikan, karena menganggap jika itu tak penting.
Ketika Cia berjalan ke arah ruang kelas, tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya dari belakang, membuat buku yang dibawa Cia jatuh berserakan.
"Sial!" umpat Cia dalam hati.
Cia lantas berjongkok, memunguti buku-buku yang ada di lantai, hingga seseorang ikut berjongkok dan membantunya memungut.
Seorang pemuda tampak membantu Cia. Cia tahu kalau pemuda itu adalah teman satu kelasnya, tapi Cia tak kenal karena memang merasa tak peduli.
"Ini bukumu!" Pemuda itu menyodorkan buku ke arah Cia.
Cia langsung mengambil buku dari tangan pemuda itu, tanpa senyum dan malah memasang wajah datar. Tanpa berterima kasih langsung meninggalkan pemuda itu.
"Dean, kenapa kamu membantu gadis sombong itu?" tanya Sunny yang muncul di sana.
Ternyata pemuda yang membantu Cia adalah Dean, putra dari pemilik toko kue langganan Cia.
"Aku hanya kasihan, sepertinya setiap hari banyak yang menjahilinya, tapi dia hanya diam saja." Dean masih melihat ke arah Cia berjalan.
"Untuk apa kasihan, salah dia sendiri begitu sombong, apa kamu tahu itu?Bagaimana mahasiswa seperti kita yang kuliah di kampus biasa-biasa saja ini bisa memakai pakaian mahal, juga punya mobil mewah, apa menurutmu dia tidak mencurigakan?" Sunny mencoba memperngaruhi penilaian Dean pada Cia.
"Kamu jangan bicara yang aneh-aneh dulu, bagaimanapun kita tidak tahu asal usul dan keluarganya. Jadi jangan dulu menyimpulkan, itu tidak baik." Dean adalah pemuda yang bijak.
"Bagaimana bisa tidak menyimpulkan?Kampus kita ini hanya orang biasa dan pintar saja yang kuliah di sini, bagaimana bisa seseorang yang memiliki status tinggi mau kuliah di kampus seperti ini, kalau keluargaku kaya, aku pasti akan kuliah di kampus terbaik di negara ini, bukan malah di kampus biasa seperti ini."
"Sebenarnya, apa yang mau kau katakan?" tanya Dean yang merasa aneh karena Sunny terkesan terus menyudutkan Cia.
"Ya, mungkin saja dia dari keluarga biasa-biasa saja, hanya saja dia--" Sunny menjeda ucapannya.
"Hanya saja, apa?"
"Hanya saja, jika ada orang kaya yang mau memeliharanya agar dia bisa memiliki barang-barang mewah itu." Sunny masih memcoba memprovokasi.
Dean menghela napas. "Sunny, jauhkan pikiran berburuk sangka, itu tidak baik, apa kamu mengerti?" Dean berjalan pergi meninggalkan Sunny setelah mengucapkan kalimat itu.
Nama:Ardeano,panggilan:Dean.
Setelah selesai kelas, Cia terlihat pergi dengan tergesa-gesa, ternyata ingin menemui seseorang yang menghubunginya pagi tadi. Cia sudah sampai di sebuah hotel berbintang lima. Ia pun segera pergi ke lobi hotel itu.
Cia melihat seorang pria berumur sekitar 54 tahun, memiliki perawakan tinggi, dan masih terlihat begitu tampan. Ya, pria itu adalah Felix Louise, ayah Velicia Louise.
"Lihat ini, gadis kecilku sudah datang." Felix langsung menyambut Cia yang berjalan cepat ke arahnya.
"Ayah!" Cia berlari dan langsung memeluk Felix.
"Kamu ini, sudah besar tapi masih saja seperti anak kecil,berlarian ke sana ke sini." Felix menatap putri yang sudah tidak tinggal bersamanya hampir dua tahun ini.
"Ayah yang menyebutku gadis kecil, lalu bagaimana bisa aku tidak menganggap diriku seorang anak kecil." Cia menunjukkan senyum manis pada Felix.
"Baiklah, kamu anak kecil. Sudah makan siang? Bagaimana jika makan siang?" tanya Felix kemudian.
"Oke!" Cia merangkul lengan Felix.
Cia pergi ke restoran yang terdapat di hotel bersama Felix. Keduanya makan siang bersama.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Felix di sela makan.
"Baik," jawab Cia singkat, masih fokus dengan makanan yang tersaji.
"Sudah punya teman baru?"
"Belum." Lagi-lagi Cia menjawab singkat.
"Kenapa? Ini sudah dua tahun, kenapa kamu masih menyendiri Cia?" tanya Felix tak mengerti.
"Ayah, jangan bahas itu! Aku suka seperti ini," ucap Cia yang malas membahas masalah pertemanan.
"Seperti ini, seperti apa? Seperti membiarkan orang-orang membencimu, lalu memfitnah, mengatakan kalau kamu dipelihara orang kaya? Kenapa harus seperti itu Cia, apa kamu tidak tersiksa? Sekarang kamu menjadi gadis yang dingin kepada semua orang, di mana Ciaku yang manis dan baik hati?" Felix tak sampai hati mengetahui fakta putrinya jadi dingin dan pemurung.
"Ayah, apa kamu ingin membahas ini sepanjang kita makan?" Cia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Cia, ayah hanya ingin kamu bahagia. Ayah tidak bisa melihatmu seperti ini terus. Ayah ingin melihat Cia yang dulu." Felix menatap lekat wajah putrinya.
"Ayah, aku sudah bahagia seperti ini, mendapatkan teman hanya akan menambah beban perasaanku. Untuk penilaian mereka, biarkan saja seperti itu, yang terpenting aku tidak melakukannya."
Felix tidak bisa memaksa Cia, hanya bisa mendoakan agar putrinya itu mendapatkan kebahagiaan.
Cia tahu maksud Felix, tapi dia juga belum siap bangkit dari keterpurukan. Sendiri adalah jalan bagi Cia untuk bisa hidup dengan tenang.
Setelah makan siang dan menghabiskan waktu bersama, akhirnya Felix berpamitan karena harus kembali ke kota asal Cia. Cia sendiri yang mengantar Felix ke bandara.
Cia mengemudikan mobil menuju apartemen setelah dari bandara. Namun, tiba-tiba mesin mobilnya mati, Cia pun terpaksa berhenti di tengah jalan.
"Sial, kenapa mogok disini?" Cia yang sudah turun dari mobil, tak tahu harus bagaimana memperbaiki mobilnya.
Cia menengok pada arloji, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tentu jalanan sudah sepi dan bengkel pun sudah tutup.
"Apa mobilmu mogok?"
Suara seorang pria terdengar. Cia menoleh dan melihat seseorang berjalan ke arahnya, jalanan sedikit gelap hingga membuat Cia kesusahan melihat siapa itu.
"Apa mobilmu mogok?" Suara itu semakin dekat, kembali bertanya karena Cia tidak menjawab.
"Ya," jawab Cia waspada.
Cia melihat seorang pemuda yang kini berdiri tepat di hadapannya. Ia mencoba mengingat di mana pernah bertemu, hingga Cia baru sadar kalau pemuda itu adalah Dean, pemuda yang membantunya memungut buku.
"Apa kamu bisa memperbaiki mobil?" tanya Cia yang tidak tahu mau meminta tolong siapa.
"Ya." Tanpa bertanya serta tanpa disuruh Cia, Dean langsung membuka kap mobil untuk mengecek mesin.
Cia memperhatikan Dean yang terlihat begitu serius memperbaiki mobil. Ia sendiri merasa sedikit heran, Dean adalah mahasiswa jurusan bisnis, bagaimana bisa mengerti tentang mesin, apakah semua pria tahu mesin? Begitulah kira-kira yang ada dipikiran Cia sekarang.
"Sudah selesai, kamu bisa mencobanya." Dean menutup kap mobil.
Cia langsung masuk ke mobil untuk mengecek, saat menyalakan mesinnya sudah kembali seperti semula. Meski Cia senang karena mesin mobilnya bisa kembali menyala, tapi tetap tak bisa tersenyum kepada seorang pemuda yang sudah menolongnya.
Cia keluar lagi dari mobil setelah memastikan mesinnya menyala dengan baik. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari tas dan menyodorkan ke arah Dean.
"Untuk apa ini?" tanya Dean ketika melihat uang yang disodorkan Cia.
"Tentu saja uang jasa, kamu pikir apalagi?" Cia bicara dengan nada suara datar.
"Aku tidak perlu itu, bukankah kita teman sekelas, lalu bagaimana bisa aku membantu teman untuk sebuah imbalan." Dean terlihat tersenyum, meski Cia memasang wajah dingin.
"Teman, ya! Huh, aku hampir lupa apa itu kata teman," gumam Cia dalam hati.
"Aku tidak suka berhutang budi pada siapa pun, jadi terima saja ini." Cia memaksa Dean menerima uangnya.
"Apa kamu suka melakukan semuanya dengan cara memberi uang?" Dean merasa tak senang dengan sikap Cia, yang menganggap kalau semua bisa dibayar dengan uang.
"Ya, kalau bukan uang lalu apa?Bukankah orang bekerja keras karena ingin memdapatkan uang?" Cia terlihat salah tingkah ketika melihat tatapan Dean padanya.
Dean tersenyum mendengar ucapan Cia, membuat gadis itu kebingungan karena merasa tak mengucapkan kata yang lucu.
"Kamu tahu, apa yang lebih baik dari uang?" tanya Dean masih dengan senyum di bibir.
Cia tak menjawab, hanya menatap dengan wajah dinginnya.
"Terimakasih, itu adalah kata yang lebih baik dari uang, terkadang orang akan lebih menghargai kata terimakasih dari pada uang." Dean menjawab pertanyaannya sendiri karena Cia hanya diam.
"Itu omong kosong, aku tidak percaya," sangkal Cia.
Dean lagi-lagi tersenyum, membuat Cia kembali merasa terheran-heran karena senyum tak pernah hilang dari wajah pemuda itu.
"Kamu boleh tidak percaya, tapi aku percaya. Ini sudah semakin larut, lebih baik kamu segera pulang." Dean meninggalkan Cia setelah mengucapkan kalimat itu.
Cia bergeming mendengar ucapan Dean, baginya kata terima kasih tetap tak bisa mengalahkan uang. Nyatanya dia dulu sering mengucapkan kata itu, tapi pada akhirnya tetaplah uang yang bisa memenangkan segalanya.
Cia sudah sampai di apartemen. Ia masih memikirkan dan tak percaya dengan yang dikatakan Dean, meski mereka satu kelas tapi baginya sama sekali tak mengenal Dean. Bukankah terlalu munafik jika Dean berkata kalau mereka teman.
Cia pun merebahkan tubuh, mencoba memejamkan mata agar bisa jatuh dalam alam mimpi, berdoa agar mimpi di masa lalu tak kembali hadir.
-
-
Di sisi lain, Dean baru saja sampai rumah.
"Aku pulang." Dean masuk ke rumah dan melepas sepatunya.
"Kenapa kamu pulang sangat larut?" tanya Ibu yang masih belum tidur.
"Tadi bertemu seorang teman, mobilnya mogok jadi aku membantunya dulu." Dean langsung duduk setelah melepas sepatu.
Dean selalu pulang malam setelah bekerja di bengkel. Ia memang melakukannya untuk membantu ibunya, uang hasil bekerja digunakan untuk membiayai kuliahnya.
"Apa seorang gadis?" tanya Ibu yany duduk di sebelah Dean.
"Ya, seorang gadis," jawab Dean mengulas senyum.
"Apa dia cantik?" tanya Ibu penasaran, pasalnya jarang Dean membicarakan soal gadis.
"Ibu, pertanyaanmu mengarah ke mana?" Dean menatap ibunya, merasa ada maksud lain dari pertanyaan wanita itu.
"Ya, Ibu hanya ingin tahu saja, selama ini kamu sibuk bekerja dan kuliah, bahkan Ibu tidak tahu kamu punya teman seorang gadis atau tidak."
"Ibu, sudahlah. Terpenting adalah kuliah dan pekerjaanku." Dean memilih berdiri. "Aku akan mandi dan pergi tidur, ibu juga harus cepat istirahat," imbuh Dean sebelum pergi menuju kamarnya.
Ibu menatap punggung Dean yang berlalu, wajah wanita itu tampak muram ketika harus melihat putranya selalu pulang malam. Andai saja suaminya tidak meninggal, mungkin putranya itu tak perlu bekerja keras. Belajar dan bekerja di waktu bersamaan, hanya untuk memenuhi impian mendiang suaminya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!