Tak tahan menunggu sedetik lebih lama. Aku melangkah keluar dari dalam taksi, mengabaikan uang kembalian yang terulur dari pak sopir.
“Untuk bonus, Pak!” seruku kemudian sembari menatap gedung rumah sakit tak jauh dari jalan arteri.
Aku yakin mas Dhika baik-baik saja, aku yakin.
Langkahku gegas menyusuri halaman rumah sakit dengan benak yang tak keruan menahan rasa panik di bawah pekatnya malam yang lengang dan sejuk.
Aku menggigit bibir bawahku dan menggenggam tanganku yang gemetar di balik saku jaket. Napasku tak beraturan nyaris ngos-ngosan.
Satu jam lalu aku mendapati telepon dari seseorang yang mengatasnamakan penolong mas Dhika yang kecelakaan. Namanya mas Andi.
“Assalamualaikum. Apa betul ini ayang Risha, pacar pengemudi mobil Brio hitam dengan KTP atas nama Dhika Wahyudin?
Dengan sungguh-sungguh aku mengiyakan dengan suara parau habis tidur.
“Maaf tapi ini siapa?” tanyaku heran sembari menyingkirkan selimut.
Kenapa ada orang lain yang menghubungiku dengan ponsel mas Dhika, padahal aku saja tidak pernah berani mengusik ponselnya jika itu tidak penting-penting amat.
“Maaf Mbak, saya dengan berat hati menyampaikan kabar duka kalau pacar Mbak kecelakaan tunggal di jalan Daendels, pantai selatan Jawa.” katanya terburu-buru dengan nada panik.
Sekilas aku mendengar sirene ambulans dan keriuhan yang sukar aku cerna sebelum sambungan telepon berakhir tanpa kejelasan yang pasti.
Mula-mula kupikir itu hanya bercandanya saja untuk menarik perhatianku atau bahasa bekennya ngeprank. Tetapi itu sama sekali bukan prank apalagi menarik perhatian. Mas Dhika benar-benar kecelakaan, mobilnya ringsek di bagian depan menubruk pohon jati berdiameter besar, pas betul di posisi pengemudi ketika dua foto di area tempat kejadian perkara di kirim mas Andi padaku berserta lokasi rumah sakit yang di tuju.
Bagai tersambar petir tanpa suara aku bersiap-siap tanpa aba-aba, pergilah aku ke rumah sakit daerah yang membutuhkan sejam perjalanan dengan kegelisahan yang hampir rata di sekujur tubuhku.
Beban yang kupikul terus selama itu menggembung di dalam diriku, mematik setiap sel tubuhku begitu aku memasuki gedung rumah sakit dan menanyakan kedatangan pasien kecelakaan bernama Dhika Wahyudin. Kekasihku yang sebulan lagi akan meminangku di masjid islamic center UAD, Yogyakarta.
Petugas jaga merespon kepanikanku dengan senyuman getir.
“Saya calon istrinya, saya dihubungi mas Andi. Orang yang menolongnya ke sini.” imbuhku menjelaskan.
Petugas jaga berusia sekitar lima puluhan dengan rambut setengah beruban itu langsung mengantarku ke ruang gawat darurat.
Aroma anyir dari darah yang menetes belum dibersihkan membuatku setengah mual. Tapi itu darah mas Dhika. Ya Allah...
Aku terduduk lemas di kursi tunggu. Tak lama setelah atensi di berikan perawat, seorang dokter menyibak tirai pembatas berwarna coklat tua.
Didahului senyum formal, dokter itu bergerak mendekat. “Selamat malam. Dengan keluarga pasien korban kecelakaan?”
“Saya calon istrinya, Dok.” ucapku gugup sambil menoleh ke arah ruangan mas Dhika.
“Bagaimana keadaan mas Dhika, Dok?”
“Kondisi pasien dalam keadaan urgent, Kak. Kakinya terjepit dan—” Dokter laki-laki seumuran papa menatap sekilas cincin di jari manisku dan ekspresiku dengan pertimbangan. Suaranya penuh kekhawatiran sementara dari ruang yang mas Dhika tempati, dokter jaga dan perawat terdengar sibuk memberi penanganan pertama untuk mas Dhika.
Mataku menghangat, dadaku sakit. Barulah setelah beberapa menit berlalu aku menyadari keputusan ada di tanganku malam ini untuk keselamatan mas Dhika.
“Katakan saja, Dok. Biar tunanganku segera bisa di tangani.” kataku bergetar namun dengan kesungguhan hati.
Dokter segera menjelaskan. Pelan namun sangat mengejutkan.
“Kondisi kaki kiri cukup rusak. Dari pergelangan kaki hingga jemarinya maaf... Kakak sudah bisa mengiranya. Kondisi seperti itu hanya bisa dilakukan satu penanganan. Amputasi demi mencegah pendarahan semakin berisiko tinggi!”
Petir kedua menyambarku tanpa ampun. Aku tersentak tanpa bisa menyembunyikan ekspresiku yang carut marut kepada dokter itu.
Mas Dhika harus di amputasi? Allahu Akbar.
Ujian macam apa ini Ya Allah... Pernikahan sudah di depan mata, undangan sedang di cetak. Gaun pengantin sudah di pesan. Mahar dan seserahan baru kita usahakan untuk mengumpulkannya. Tapi mengapa Engkau memberi ujian terdahsyat di hubungan kami yang ingin mengumpulkan pahala berumah tangga setragis ini?
Aku menatap dokter itu dengan wajah bersimbah air mata dan kekhawatiran. Tanganku gemetar, situasi seperti ini belum pernah aku bayangkan. Aku kesulitan mencari jawaban final namun di saat aku menatapnya gelisah dokter itu langsung memberiku keputusan mengiyakan.
“Jika kakak setuju, kami akan mempersiapkan ambulan untuk pindah ke rumah pusat yang lebih memadai untuk operasi besar.”
“Lakukan yang terbaik sebisa mungkin, Dok. Dia harus selamat!”
Selang setengah jam aku menunggu para dokter melakukan penanganan pertama untuk mas Dhika, tirai tersibak. Kondisi mas Dhika yang sangat memprihatinkan terpampang di wajahku. Laki-laki yang mencintaiku sejak kami duduk di bangku SMA menatapku dengan tatapan sedih yang semakin menyayat hati.
“Kamu bertahan ya mas, plis. Aku belum siap kehilanganmu. Aku nggak siap. Tolong.” Aku menggapai tangannya berbarengan dengan ranjang pasien yang di dorong keluar oleh dua dokter.
“Sebaiknya Mbak tenang, jangan sampai kekhawatiran Mbak mempengaruhi keadaan pasien.” kata dokter perempuan yang naik ke dalam ambulans.
Aku mengangguk, aku usahakan tetapi mana mungkin... Usia hubungan kami sudah cukup lama, namun baru kali ini kami mengalami situasi yang benar-benar menaklukkan keinginan-keinginan duniawi dan menikam emosi hingga sepanjang perjalanan menuju rumah sakit pusat yang berada di kota. Aku hanya bisa menggenggam tangannya sembari menangis tersedu-sedu.
Tak bisa di pungkiri bahwa aku pastilah memiliki kekhawatiran yang berlipat ganda saat ini. Batinku menolak bujuk rayu duniawi yang ditawarkan dokter perempuan bernama Rahma yang ikut ke rumah sakit pusat di kota.
“Apa tidak ada solusi selain di amputasi, Dok?” kataku lemah ditengah mas Dhika yang merintih kesakitan di atas ranjang pasien yang di dorong petugas jaga rumah ke ruang operasi.
Dokter Rahma menggeleng. “Syaraf-syaraf di kaki pasien sudah rusak. Kakak berdoa saja yang terbaik untuk pasangan kakak saat ini. Para dokter pasti mengusahakan yang terbaik dan teraman untuk pasien.” Ia menyentuh bahuku dengan ekspresi simpati.
Tiba di depan ruang operasi. Dua pintu kaca di dorong oleh satu perawat pria sembari memberitahukan bahwa aku harus menunggu di luar ruang operasi demi kenyamanan dan etika profesi.
Aku mencium punggung tangan mas Dhika yang lecet dengan lembut sebelum ia lenyap dari pandangan mata. Mataku yang sembab dan terus berdera air mata karena keharuan yang teramat dalam.
Mas Dhika...
Aku menundukkan kepala sambil mengepalkan tanganku. Hanyut pada satu-satunya harapan yang bisa aku lakukan sekarang, berdoa. Aku yakin situasi yang menimpa kami adalah cara Tuhan mengingatkan kami untuk bisa berpasrah diri pada ketentuan takdir. Cara Tuhan agar kami yang telah berpaling dari-Nya tidak lagi berharap pada dunia melainkan kembali memalingkan wajah kepada-Nya, Zat Yang Maha Kuasa.
Dengan memberikan cobaan ini aku pun yakin, Tuhan tahu apa yang lebih baik untuk diri kita sebab apa yang menurut kita baik untuk saat ini, belum tentu baik juga di masa depan.
Dan malam ini aku hanya menginginkan ma'unah dari Tuhan agar operasi amputasi lancar walau hatiku terasa sangat bertalu-talu.
Aku membayangkan bagaimana hubungan kami setelah malam ini? Masihkah indah seperti awal kita jumpa di perpustakaan sekolah hingga berujung dengan pertemuan-pertemuan lanjutan di luar gedung sekolah? Masihkah romantis seperti saat kita merayakan ulang tahun hari jadi kita di rumah makan fried chicken yang ramah di kantong pelajar seperti kami?
Aku menundukkan kepala. Tergugu seorang diri di kursi tunggu besi aku mencoba menghubungi Tante Dewita—ibunda mas Dhika yang tak kunjung terhubung.
Aku mengeram. Mengecek jam di ponsel tanganku mengeratkan genggaman di sana.
“Baru jam duaan, masih dua jam lagi ke subuh. Lagipula aku penasaran kenapa mas Dhika bisa sampai jalan Daendels. Darimana dia? Bukannya tadi ngakunya cuma nongkrong di warung kopi dekat rumah?” gumamku sembari mencoba mengingat-ingat ada rencana apa dia minggu-minggu ini.
Rupanya aku menemukan sekat yang menghalangi jawaban itu. Mas Dhika hanya memiliki cuti dua h- pernikahan dan dua h+ pernikahan. Dua hari lagi kita prewedding di salah satu tempat wisata kebudayaan. Terus kenapa dia membohongiku?
Di cengkeraman rasa penasaran dan tidak tenang aku memandangi suasana rumah sakit yang sepi dan terlihat wingit. Tak bohong, sebagai anak rumahan berada di rumah sakit jam segini seorang diri membuatku bergidik takut.
Aku menundukkan kepala. Air mataku sudah berhenti menetes tetapi bola mataku masih berkaca-kaca. Dengan sepenuh daya aku berusaha kembali merapal doa, semoga tiada halangan di dalam ruang operasi di dalam hati. Tetapi atensi yang disajikan semesta di tempat ini membuatku beranjak.
Dengan langkah sedikit gontai aku berjalan menyelusuri koridor rumah sakit. Sejenak aku mengamati petunjuk menuju musholla di plat yang berdekatan dengan loket pelayanan. Aku akan beristirahat di sana sembari mengirim pesan untuk keluarga dan salat malam.
...***...
Bersambung.
Mimpi buruk tumpang tindih berlayar di kepalaku. Dalam balutan mukena yang menyamankan tidurku di musala, keringat dingin terasa mengalir di ragaku yang terbenam dalam cengkeraman keresahan.
Tentang gaun pengantin yang teronggok, tentang pernikahan kami yang menjadi samar, tentang mas Dhika yang tak lagi sama, tentang usahaku agar terlihat baik-baik saja atas perasaan masygul ini.
Tidak lama lagi aku bisa melihat keadaan mas Dhika dan menemaninya. Tidak lama lagi kenyataan pahit itu menghampirinya. Sanggupkah ia menerima?
Mas Dhika, sosok pria rupawan dan periang, rajin bekerja namun banyak juga yang menyukainya.
Sebagai cinta pertama aku merasa senang, kami saling memiliki saat semua masih apa adanya. Jangankan memakai gincu dan bedak, SMA, jilbab saja masih kupakai tanpa gaya. Begitu juga mas Dhika, lelaki yang memiliki selisih usia satu tahun denganku itu bermodal pas-pasan. Masih urakan. Pergi-pergi saja bensin patungan. Kendati begitu, memasuki masa kuliah kami sama-sama bekerja freelance di kafe-kafe yang berjamuran di pusat kota. Isi dompet kami membaik tetapi mas Dhika yang digandrungi oleh remaja-remaja tanggung membuatku cemburu.
Ya Tuhan, aku berjengit dari mimpi mendengar teriakan yang memanggil namaku. Tatapanku yang buram dan kantuk yang masih kentara di pelupuk mata kemudian bertumbukan dengan orang yang sedang mengamatiku lekat-lekat.
“Mama...” Kedua tanganku langsung terjulur untuk memeluknya. Wanita yang kuhubungi setiap kali kegusaran melandaku akhirnya datang menenangkan. “Mama... Risha Takut”
“Ya Allah Risha, akhirnya kamu sadar juga, Nak. Mama sampai bingung gimana cara bangunin kamu tadi.” Mama membalas pelukanku.
Aku mendekapnya semakin erat, menyerap kasih ibu yang terpancar dari hangatnya pelukan sementara tubuhku bergetar.
Selama beberapa saat pelukan ini terbiarkan menelan waktu sebelum mama menjauhkan tubuhnya dariku, kembali ia menatap mataku yang bengkak dengan matanya yang bening dan hangat.
“Aku takut banget, Ma. Mas Dhika, kakinya di amputasi!” kataku dengan tenggorokan yang tersekat.
Mama mengangguk tanpa mengomentari kecemasanku.
“Mama bawakan baju ganti dan air panas. Kamu mandi dulu terus salat subuh. Ngadu sama Allah!”
Aku memejamkan mata untuk menepis buliran air mata yang hendak meluncur di pipiku seraya mengangguk.
“Aku harus gimana, Ma?” tanyaku gusar. “Mas Dhika...”
“Pastinya nanti ada musyawarah lanjutan, Sha. Kamu jangan gegabah ambil keputusan. Ngadu sana sama Allah, jangan sama mama mulu.” omel Mama seraya menyunggingkan senyum, ia mengulurkan tas belanja besar dan berbobot.
Akhirnya aku melaksanakan semua yang di katakan mama tanpa protes walau aku cukup heran bisa-bisanya mama kepikiran membawa termos dari rumah. Apa di luar sana banyak ibu-ibu yang begini? Suka berpikir jauh?
Setelah merasa kondisiku jauh lebih tenang, aku melepas mukena seraya pergi ke kantin yang berada di samping rumah sakit. Kondisinya sepi. Hawanya pun makin dingin. Mama mengeluarkan bekal dari rumah yang berisi nasi hangat dan tumis jamur merang, lauknya telur mata sapi.
“Yang sabar, ujian pra pernikahan menguatkan kamu menjalani fase pernikahan nanti. Makan gih. Jangan sampai galau jadi tipes.” gurau mama sembari mengelus punggungku dengan lembut.
Aku mengunyah sembari mengangguk.
“Habis ini kita ke ruang pasca operasi. Mau lihat mama si begajulan itu kayak apa sekarang. Masih bisa kemaki gak tuh?”
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk patuh, tiada daya untuk memprotes ajakan mama. Lagipula mas Dhika seorang diri, dia pasti nelangsa sekali tiada yang menemani.
...Ruang pasca operasi....
Sesuai peraturan yang tertulis di papan pengumuman rumah sakit hanya satu perwakilan pasien yang diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Mama mengizinkan ku lebih dulu untuk menjenguknya sementara ia berbaur dengan keluarga pasien yang lain menunggu di luar ruangan.
Aku melepas alas kaki seraya menangkap keberadaan mas Dhika di ranjang pasien posisi paling ujung. Beberapa pasien pasca operasi terlihat berbaring lemas tetapi tak ada yang lebih mengkhawatirkan seperti mas Dhika. Beberapa di antaranya adalah ibu hamil yang menjalani operasi sesar, terlihat dari pakaian operasi khusus berwarna merah muda dan memiliki bordiran gambar ibu dan bayi di bagaian kiri atas.
Aku menyeret langkahku yang gontai menuju tempat mas Dhika yang terlelap karena pengaruh obat bius total, sampai pagi harinya sekitar jam delapan aku bergantian menunggu dengan mama.
Mas Dhika mengedip-edipkan matanya di bawah terangnya lampu. Nampaknya ia mulai terjaga dari anestesi yang bekerja saat operasi berlangsung.
“Mas.” panggilku dengan lembut. Dia menolehkan kepala tanpa ekspresi. Entah sedih, bimbang atau belum mengerti kenyataannya dia hanya menantapku diam. Sementara di tangannya terpasang infus dan transfusi darah yang terhubung dengan infus pump.
Aku maklum. Dengan sikap perhatian aku mengusap kepalanya.
”Semuanya akan baik-baik saja mas. Serius, aku menyayangimu.”
Mas Dhika menatapku nanar sembari mengedip-edipkan matanya.
“Kalau udah buang angin bilang ya. Nanti boleh minum.”
Aku memeriksa ponselku, satu pesan dari mama yang pamit pulang sebentar membuatku menghela napas. Mama berpesan agar aku tidak gegabah dan menangis di depan mas Dhika.
Mas Dhika menyentuh lenganku. “Risha.” katanya serak dibarengi dengan bau hidrogen sulfida yang kuendus beberapa detik kemudian.
“Mas udah buang angin?” tanyaku lembut setelah kami hanya terdiam dan perawat yang kupanggil untuk memeriksa keadaan mas Dhika selesai mengecek kondisi suhu tubuh, tensi, dan detak jantungnya sekaligus rembesan darah di perbannya.
Mas Dhika berdehem sembari memejamkan mata. “Aku kenapa, Risha?”
“Minum dulu mas. Biar dokter nanti yang jawab.”
Dia membuka mulutnya perlahan-lahan, meneguk air putih sampai beberapa tegukan sebelum membuka mata lebih lebar dan menghirup napas dalam-dalam.
“Kakiku kebas. Kesemutan, sakit.”
“Tenang dulu mas... Nanti pasti membaik.” Aku meyakinkannya sembari tersenyum sedih.
Kamu cacat sekarang mas, sebentar lagi kamu tahu. Semoga kamu tabah. Aku yakin ini berat buat kamu.
Kutolehkan tatapanku ke selimut yang menutupi kaki dan badannya.
“Mas istirahat aja, aku tunggu sampai...”
Lengkingan suara perempuan yang panik tak terperikan terdengar dari ambang pintu. Langkahnya tergesa menuju kami, Tante Dewita mendorongku dari samping mas Dhika dengan emosi seorang ibu yang bertalu-talu menahan sendu.
“Kok bisa kamu kayak gini, Dhik. Ya Tuhan. Darimana kalian berdua?”
Aku diam di posisiku, menanti mas Dhika menjawabnya. Tetapi wajah itu nampak memikir sesuatu dengan keras.
“Darimana kamu, Dhika?”
Mas Dhika terbelenggu. Darimana dia?
...***...
“Sumpah Risha nggak tahu Tante mas Dhika habis dari mana. Ketemu yang nolongin mas Dhika aja enggak.” ucapku menggebu setelah kami keluar dari ruang pasca operasi karena keributan mini yang terjadi antara aku dan Tante Dewita.
“Risha nyusul ke rumah sakit daerah setelah di telepon mas Andi, Risha dari rumah. Tante bisa tanya mama kalau nggak percaya atau riwayat perjalanan dari taksi online yang Risha sewa karena Risha bener-bener nggak tau mas Dhika ke mana semalam!”
Tante Dewita menatapku lamat-lamat, dia seakan-akan tidak percaya bahwa aku sama sekali tidak ikut mas Dhika yang entah ke mana itu bahkan keadaan mas Dhika yang sepenuhnya belum di ketahui olehnya dan keluarganya pasti akan membuat suatu kehebohan yang menyakitkan.
Tante Dewita menghela napas seraya memukul pahanya sendiri karena mungkin saking mangkelnya dengan tingkah anak kesayangannya itu.
“Dhika, Dhika... Ampun, sebulan lagi nikah kenapa malah keluyuran nggak jelas!”
Di landa kekhawatiran yang berlebihan hingga terlihat sangat frustasi dan sedih, Tante Dewita memukul-mukulkan tas tentengnya ke tembok seakan melepaskan ketegangan yang terjadi di benaknya.
“Terus di mana dia kecelakaannya, Sha? Tante mau cari tahu!”
Aku menyebutnya jawaban sekenanya sembari menundukkan kepala.
“Di sana?” sentak Tante Dewita dengan mata membeliak. “Ngapain Dhika lewat sana, udah tahu rawan, awas saja kalau dia nge-drift ugal-ugalan!” Tante Dewita mengerang frustasi.
Tidak kuasa melihat calon mertuaku yang tidak terima anaknya begitu aku hanya bisa berharap hal-hal yang jauh lebih buruk tidak terjadi. Itu akan jauh lebih rumit setelah kami mengetahui kenyataan yang sudah terjadi. Aku yakin.
Berdiri, dengan harap-harap cemas di ruang tunggu ruang operasi yang serupa teras asri. Aku tercenung di pinggir kolam ikan sembari mengeratkan genggaman tanganku sendiri.
Dugaanku semoga tidak benar. Dhika Wahyudin, lulusan teknik mesin dengan nilai unggulan terbaik kampus ternama di Yogyakarta setahun yang lalu mulai menggeluti dunia balap mobil. Brio hitam yang ia kendarai sudah melewati banyak modifikasi hingga menjadi mobil drag race. Spot light yang menghiasi atap mobilnya menjadi penerang, tetapi nitrous oxide system atau biasa disebut NOS adalah gas yang dapat mempercepat laju mobil semoga bukan menjadi dalangnya. Kecelakaan itu murni musibah bukan drag race.
Aku sepertinya harus ketemu teman-temannya.
Tante Dewita berdiri di sebelahku. “Risha, administrasi rumah sakit sudah kamu urus?”
“Belum, Tante. Belum sempat.” Aku menggeleng, tidak kepikiran. “Semalam Risha cuma nunggu di ruang operasi dan musala. Belum ke pelayanan administrasi.”
“Bagus, keluarga Tante nggak mau hutang budi sama keluargamu.” Tante Dewita menoleh ke belakang sebentar. Melihat ruang operasi yang masih sepi.
“Tante baru ingat, Dhika operasi apa, Sha?”
Aku menatap mama yang mengangkat tatapannya dari layar laptop yang ia bawa untuk kerja. Aku menggeleng samar. Tahu aku kesulitan untuk menjawabnya, mama yang harus mempunyai besan galak seperti Tante Dewita merendahkan monitor laptopnya.
“Dhika mengalami kerusakan pada kaki kanannya, Dew. Aku sudah komunikasi dengan dokter yang menanganinya semalam kalau kakinya harus di amputasi demi keselamatannya sendiri.”
“Di amputasi?” Tante Dewita setengah berteriak. “Nggak mungkin, nggak mungkin.” Tergesa-gesa dia masuk ke dalam ruang pasca operasi dan aku mengikutinya tak kalah tergesa-gesa.
Di depan ranjang pasien mas Dhika yang terlelap, Tante Dewita langsung membuka selimut yang menutupi kakinya. Ia terpaku sembari menutup mulutnya yang ternganga hingga perlahan-lahan air matanya menetes di pipinya.
Tante Dewita terpukul sekali, wajahnya muram dan dia sampai terduduk di lantai agar perawat yang melihatnya membuat kegaduhan lagi tidak mengusirnya.
“Ini benar-benar kacau, Tuhan. Ini benar-benar diluar nalarku.”
“Saya panggilkan satpam jika ibu kembali berulah!” ancam perawat dengan muka garang.
Tante Dewita berdiri setelah mengangguk pasrah dan menepis tangan perawat yang hendak membantunya berdiri.
“Kenapa kamu nggak nangis, Sha. Kamu nggak kasian sama Dhika, dia tunanganmu!” omelnya saat aku hanya diam menunduk sembari menyentuh lengan mas Dhika.
“Udah kok, Tante. Aku sudah nangis semalaman.” Aku sengaja memperlihatkan kantong mataku yang bengkak lebih dekat ke wajahnya.
Tante Dewita mengangguk seakan paham aku tidak bohong. “Janji kamu jangan tinggalin Dhika, Ris!” desaknya sembari merangkul pundakku. “Janji sama Tante.”
Aku kesulitan untuk mengatakan iya...Dengan banyak hal yang mengisi kepala, meninggalkan mas Dhika atau tidak, belum aku pikirkan. Aku mencintainya sungguh-sungguh sampai detik ini di keadaan ini. Kendati begitu aku hanya ingin semua jelas ke mana dia semalam.
Tante Dewita menyandarkan kepalanya di bahuku. Tangannya terjulur, membelai selimut yang menutupi kaki putranya.
Sekilas aku melirik ekspresi Tante Dewita dengan ekor mata. Dia mengigit bibirnya, tak kuasa menahan haru dan pembayaran rumah sakit pastinya.
Tante Dewita tersedu-sedu, napasnya tersengal-sengal, tangannya meraba wajah Dhika yang pucat dan tidak berdaya penuh perasaan yang sulit diatasi.
“Kasian kamu, Nak. Cita-citamu hancur. Mobilmu hancur. Masa depanmu—”
“Nggak, Tante. Masa depan mas Dhika masih ada.” sahutku sembari ikut meraba wajah mas Dhika sembari tersenyum kecil.
Setidaknya masa depan pernikahan kita. Asal dia tidak main serong di belakangku.
Aku mengajak Tante Dewita keluar dari ruang pasca operasi sebelum di usir satpam karena membuat ketidaknyamanan di sini. Menuju ke pelayanan administrasi rumah sakit. Tante Dewita mempertanyakan biaya perawatan putranya sampai sembuh. Minimal ada 1-2 Minggu atau lebih dan perawatan tambahan sampai mas Dhika betul-betul sehat. Dan Tante Deswita tercengang, pingsanlah ia beberapa detik kemudian. Nyaris 200 juta lebih harus keluarganya gelontorkan dan aku hanya bisa menangkap tubuhnya dengan sigap lalu berteriak meminta pertolongan.
...*****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!