NovelToon NovelToon

PERKARA NAMA PENA

Gara-gara Nama Pena

[Waduh, kok ada namaku?]

Mataku membulat membaca komentar dari akun Facebook Aril Ganteng di cerita yang kuposting dalam grup khusus promosi novel.

Siapa yang bakal menyangka kalau tetanggaku itu bakalan membaca cerita yang aku tulis?

Sepertinya menggunakan nama asli sebagai nama pena adalah kesalahan besar.

[Bukannya ini mirip dengan kejadian tadi siang ya?] tambahnya lagi.

Sontak para pembaca langsung memberondong komentar itu dengan banyak pertanyaan yang menanyakan apakah Aril mengenalku di dunia nyata.

Aku dan Aril musuhan sejak zaman bayi. Nggak ya, mulai dari SD. Mana rumahnya di samping rumah pas lagi.

Namun di dalam novelku, aku menjadikan Aril sebagai pria yang diam-diam dicintai tokoh utama.

[Jadi diam-diam kamu suka sama aku?]

Aarrggh. Pengen masuk ke dalam gua aja rasanya. Entah gimana nanti kalau aku ketemu sama dia. Nyesel aku pakek namanya.

Langsung saja aku menonaktifkan kolom komentar.

Apa aku harus mengganti nama pena? Enaknya apa ya?

Yang nyentrik, biar gampang diingat.

Manggis Bakar? Ah, aneh banget. Manggis kok di bakar.

Payung bolong gimana? Duuhhh, tambah aneh.

Mau ganti nama pena tapi aku udah terlanjur nyaman pakek nama asli.

A-N-D-I-Y-A-S. Bagus kan namaku. Itu aja, nggak ada buntut-buntutnya lagi. Mudah diingat.

Terdiri dari tujuh huruf, dan angka tujuh adalah angka istimewa.

Hari ada tujuh, lapisan langit ada tujuh lapis, keajaiban dunia juga ada tujuh, dan masih banyak lagi keistimewaan angka tujuh.

Meskipun pendek nggak ada buntutnya, aku suka namaku.

Banyak pembaca yang mengira aku cowok karena nama ini, dan aku pun tak pernah menjawab pertanyaan dari pembaca yang menanyakan genderku. Biar misterius. Eaaa.

Prang!

Tiba-tiba dari arah dapur terdengar piring pecah.

Piring Pecah? Apa aku pakek itu aja buat nama pena ya?

***

Setahun setelah kejadian itu, aku memutuskan pindah rumah dan nggak pernah lagi ketemu sama Aril.

Nggak ya, bercanda. Hehehe. Mana mungkin aku pindah rumah cuma gara-gara itu.

Jadi setelah kejadian itu, tepat sudah melewati tiga hari. Aku selalu kontrol keadaan dulu sebelum keluar rumah. Menghindari kontak muka dengan Aril, dan ketika membuka aplikasi F dan B alias Facebook, aku mendapat notifikasi akun Aril Ganteng meminta pertemanan.

Jelas saja aku tak menerima permintaan pertemanan itu. Mungkin karena di Facebook tidak ada opsi minta permusuhan, makanya dia minta pertemanan.

Tertulis di keterangan dia meminta pertemanan tiga hari yang lalu, dan begitu aku posting cerita lagi untuk promosi, si Aril Tatum, eh salah. Aril Noah, duuuhh salah lagi. Si Aril aja komen lagi dong.

[Sombong banget. Minta pertemanan aja nggak diterima dari tiga hari yang lalu]

Aku melotot membaca komen itu.

Aku nggak mau citraku sebagai penulis yang ramah kepada pembaca jadi rusak gara-gara komentar makhluk yang satu ini.

Aku yang sedang duduk nyantai di teras langsung menoleh kala mendengar pintu rumah Aril dibuka.

"Hei! Apa maksudnya kamu komentar kayak gitu?! Hapus nggak!" Aku teriak ngalahin suara toa amal di perempatan depan.

"Kalau aku nggak mau?"

Aku menggaruk alisku yang memang gatal dengan kesal.

"Hapus sekarang! Kamu mau menghancurkan citraku sebagai penulis yang ramah, hah?!" Aku teriak lagi.

Beruntung di rumah lagi sepi. Jadi aku bebas mau teriak kek, gelantungan kek.

"Emangnya aku peduli?" Sahutannya membuat mataku melotot.

Cowok berbadan tinggi itu berjalan ke halaman rumahnya dan hendak membuka pagar.

"Hapus Ril! Nanti pembacaku baca komenan kamu dan ngira aku sombong gimana?!" Aku bangkit dan ikut berjalan ke halaman rumahku.

Aku menyusul Aril yang berhenti di tukang cilok yang lagi mangkal di depan rumah kami.

"Hapus sekarang juga!"

"Terima dulu pertemanan yang aku kirim."

"Higgh! Kenapa kamu selalu cari ribut sih Ril?!"

"Ngapain Mas nyari saya? Saya kan selalu lewat di sini kalau siang?" Pak cilok yang memang namanya Ribut menyahut.

"Bukan Bapak yang aku maksud!" Aku kesel, pengen makan orang rasanya. Mau makan temen, nggak doyan.

"Siapa yang cari ribut? Aku cuma minta pertemanan," ucap Aril santai yang tambah membuatku gondok.

"Mau beli berapa Mas?" tanya Pak Ribut.

"Sebentar ya Pak. Saya duluan yang ngomong sama dia!" Aku menghela napas untuk mengurangi emosi.

Sabar Yas ... orang sabar jidatnya lebar. Eh? Nggak mau sabar deh! Aku nggak mau punya jidat lebar.

"Mau kamu apa sih Ril?!"

"Kalau kamu mau komentar itu aku hapus, tinggal konfirmasi pertemananku aja. Gampang kan?"

"Buat apa kamu minta pertemanan sama aku?! Mau ngerecokin novel yang aku tulis?! Ayolah Ril, kita udah sama-sama gede. Jangan kayak anak kecil yang ribut mulu!"

"Iya Mas. Kita harus bersikap dewasa." Pak Ribut ikut menimpali.

Aku tersenyum penuh kemenangan karena mendapat dukungan.

"Yaudah, jangan harap komentar itu bakal hilang."

Setiap apa yang keluar dari mulut Aril seperti cabe yang membuatku panas dan tambah emosi.

"Kenapa sih pakek acara minta pertemanan segala?!"

"Maaf menyela, ini jadi beli nggak? Saya mau lanjut ke lapangan depan," sela Pak Ribut.

"Sabar dulu Bapak Ribut yang nggak pernah nyari ribut. Saya lagi ngomong sama Aril Noah palsu!"

Aku kembali menatap Aril.

"Hapus cepetan komenan kamu Ril! Aku sudah lama membangun image baik sebagai penulis!"

"Tinggal terima pertemanan dariku."

Aku menghentakkan kaki kesal.

"Kenapa sih kamu ngotot minta pertemanan?! Sengaja mau ngancurin image aku di kalangan pembaca ya? Kenapa kamu minta pertemanannn?!" Aku sangat geregetan dengan manusia satu ini.

"Ya kalau ada pilihan minta permusuhan udah aku klik. Tapi berhubung nggak ada, ya aku klik yang ada aja."

Sudah kuduga! Pengen balik gerobak cilok aja rasanya, jika tak ingat ini milik orang.

Aku nggak akan menang debat sama Aril.

Dengan kesal aku mengambil ponsel di saku celana dan membuka Facebook.

"Nih lihat! Puas kamu?!" Aku meng-klik dan menerima permintaan pertemanan darinya. "Aku harap kamu segera menghapus komentar kamu!"

Aku meninggalkannya dengan menghentak-hentakkan kaki.

"Lho Mbak! Nggak jadi beli?" seru Pak Ribut.

"Nggak Pak. Dia kali yang beli!" sahutku tanpa menoleh.

"Beli berapa Mas?"

"Siapa yang mau beli? Orang saya mau buang sampah ke tong sampah yang ada di belakang Pak Ribut."

"Lah! Cah gemblong kabeh iki! Sudah ditunggu lama dari tadi ternyata nggak ada yang beli! Asem!"

Kangkung

Dua sudut siku-siku dikali dua-- salah alamat. Ini bukan pelajaran matematika.

Yang benar adalah, dua sudut bibirku terangkat ke atas ketika komenan Aril sudah gone alias hilang. Artinya, Aril menepati janji untuk menghapus komentarnya.

Aku senang. Ya, meskipun rada kesel juga karena harus menerima pertemanan darinya.

Aku dan Aril sudah saingan sejak zaman SD. Kami nggak pernah akur dan selalu berlomba-lomba menjadi yang pertama, dan sialnya, aku selalu menjadi nomor dua dan dia selalu menjadi nomor satu.

Aku muak ketika selalu namanya yang pertama kali disebut saat pengambilan rapor. Yang berarti, dia ranking pertama.

Apalagi saat dia tersenyum padaku sambil maju ke depan untuk memenuhi panggilan bu guru.

Bukan cuma di sekolah saja dia nomor satu, tapi di tempat ngaji juga. Dia selalu menjadi kesayangan guru ngaji.

Kami sering ikut lomba baca Al-Qur'an dan lagi-lagi aku selalu kalah darinya.

Suaranya yang merdu saat membaca Al-Qur'an membuatnya selalu menjadi juara. Aku sebenarnya tak ingin mengakui itu.

Ketika SMP, aku ingin sekolah di tempat yang jauh dari rumah agar terbebas dari bayang-bayang Aril Noah palsu.

Aku malas selalu satu kelas dengannya. Apalagi selalu duduk di bangku yang sama karena aturan paten dari kepala sekolah yang mengatur duduk sesuai nama.

Nama kami yang sama-sama berawalan dari huruf A membuatku harus bertahan duduk di sampingnya sampai lulus SD, tapi begitu lulus SD, kebahagiaan yang aku tunggu-tunggu kandas sebelum dimulai.

Paduka Ratu tidak memberi restu hamba ini untuk sekolah di tempat yang jauh.

Dan sekarang, dia kembali sukses melebihi aku dengan berhasil membangun kafe yang sudah cabang tiga.

Eh, nggak ya. Aku juga sukses kok. Aku berhasil meraih mimpiku yang dari dulu ingin menjadi penulis. Aku menulis di sebuah platform online.

Lumayan, ongkang-ongkang kaki udah dapat duit!

Woy! Siapa itu yang bilang cuma ongkang-ongkang kaki dapat duit?

Sini maju kalau berani. Biar aku yang mundur! Eh, nggak ya. Sini aku hadapi.

Nggak ada itu namanya ongkang-ongkang kaki. Mataku sampai seperti dikasih arang gegara sering begadang.

Jika orang lain begadang buat balas chat dari ayang, kalau aku begadang buat balas komentar dari pembaca tercinta. Eaaa. Love you para pembacaku.

"Yas!" Suara Paduka Ratu bergema di dalam istana ini.

Aku yang menjabat sebagai abdi rumah langsung berlari menghadap.

Meskipun sebenarnya malas, tapi aku tetap memasang senyum di hadapan ibu. Jika tidak, aku akan dilempar keluar dari istana ini.

"Ada apa, Bu?"

"Kenapa nadanya gitu? Nggak suka Ibu panggil?!"

Buset, salah mulu perasaan.

Segala nada sudah kupakai. Mulai dari do-re-mi sampai do lagi, aku tetap salah. Harus pakai nada apa sih aku supaya Paduka Ratu tidak marah?

Karena tak ingin centong sayur yang sedang dipegangnya terbang ke arahku, aku hanya diam saja.

"Beli sayur kangkung. Pak Tarno udah tereakan di luar!" titah Ibu tanpa memberi uang.

Aku yang sudah paham langsung ngeloyor ke kamarku dan mengambil uang di dompet kodok persis punya Naruto.

Sebelum keluar, aku mengecek keadaan sekitar dulu. Terutama rumah Aril. Aku malas bertemu dengannya.

Setelah dirasa aman, aku langsung keluar, dan langsung menghampiri Pak Tarno. Memilih kangkung yang sama-sama warna hijau.

"Selain diam-diam suka, ternyata kamu juga ikut makan makanan kesukaan aku juga ya."

Aku refleks menoleh. Aril Noah palsu tau-tau sudah ada di sampingku.

"Sejak kapan kamu suka sama aku?"

Apa?!

Baru juga mulut mau mangap, dia sudah nyerocos lagi.

"Aku nggak nyangka lho kalau kamu diam-diam suka sama aku. Secara kan selama ini kamu kayak selalu musuhin aku karena nggak pernah menang dari aku."

"Kata siapa aku suka sama kamu?!"

"Itu, di novel kamu."

"Itu cuma cerita! Nggak ada aku suka sama kamu!"

"Siapa yang bakalan ngira kalau kamu suka sama aku. Secara kan, setiap kamu liat aku, matamu itu selalu ngeluarin sinar laser. Jangan-jangan, selama di sekolah dulu kamu mati-matian belajar supaya bisa terus bersanding sama aku. Kan kita berdua selalu ditunjuk jadi satu tim buat olimpiade."

"Apa?!" Aku benar-benar tak percaya mendengar kesimpulan konyol itu. "Kayaknya otak kamu konslet deh Ril!"

"Kalau aku nggak baca cerita itu, mungkin aku nggak bakalan tau." Aril malah terus nyerocos nggak peduli dengan penjelasanku.

"Aku itu cuma pinjam nama kamu! Siapa yang suk-"

"Neng, jadi beli nggak?" potong Pak Tarno.

"Sabar kenapa sih Pak!" Aku kesel karena kata-kataku dipotong.

"Denger ya Ril, itu cuma novel. Cuma nama! Jangan kegeeran deh! Dan soal kang-- tunggu Pak, Bapak mau kemana?" Aku menghentikan gerobak Pak Tarno yang mulai didorong oleh yang punya.

"Kalau nggak mau beli saya mau lanjut ngider Neng."

Haish! Nggak sabaran banget sih!

Aku mengambil kangkung lima ikat dan langsung membayarnya. Sementara Aril masih diam melihatku yang terus menggerutu, jatuhnya kayak dukun yang lagi komat-kamit.

"Dan soal kangkung," aku melanjutkan ucapanku yang sempat terpotong tadi. "Ini itu aku disuruh Ibu! Jadi hapus halusinasimu yang mengira aku suka sama kamu!"

Aku mendengus dan meninggalkannya.

"Nggak usah malu karena ketahuan Yas!" teriaknya ketika aku hendak membuka pagar.

"Dibilang--"

"DIYASSS!!" Suara Paduka Ratu menggema dari dalam rumah. "KAMU BELI KANGKUNG DI ARAB KAH? KENAPA LAMA BANGET!"

"Iya Bu! Sebentar!" Aku jadi tak bisa meladeni Aril gara-gara Paduka Ratu. "Awas kamu ya Ril!" ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.

"Aku cuma nggak mau kamu kecewa," sahut Aril, membuatku kembali nyembul dari balik pintu.

"Apa maksudmu?"

"Kamu nyerah aja deh. Aku itu udah punya gebetan. Jangan suka sama aku."

Mataku melotot. Untung buatan Allah. Jadi nggak mungkin menggelinding keluar.

"DIYASS!"

Baru juga mau mangap untuk membalas ucapan Aril, Ibu udah teriak lagi.

"Iya-iya Bu!" Aku segera berlari ke dapur sebelum terkena sapu ajaib punya ibu yang bisa terbang walaupun tidak punya sayap.

"Kenapa kita beli kangkung sih, Bu? Aku kan nggak suka kangkung. Ibu nggak pernah baca berita ya. Kalau di dalam batang kangkung suka ada lintah yang nggak bisa mati walau udah dimasak, dan itu bikin kita mati." Aku nyerocos sambil meletakkan kangkung di meja.

Ibu yang sedang ngulek bumbu menoleh ke arahku. Tiba-tiba ibu melotot melihat kangkung yang kubeli.

"Banyak banget kangkungnya? Dikira kita kambing makan kangkung sebanyak ini?!" Paduka Ratu marah lagi.

Sengaja aku beli banyak buat persediaan. Supaya besok nggak perlu keluar lagi dan aku nggak perlu ketemu sama Aril Ganteng. Eh, aku nyebutin nama akun Facebook dia ya, bukan bilang dia ganteng.

"Untuk beberapa hari ke depan, lauknya tumis kangkung terus. Sampai tuh kangkung yang kamu beli habis!"

Apa? Ini semua gara-gara Aril!

Musuh Sejak Zaman Balita

Jam setengah tiga pagi aku masih belum tidur.

Demi mengarang indah cerita yang kemarin heboh gara-gara pakek nama tetangga.

Pingin aku ganti nama tokohnya tapi udah terlanjur banyak episodenya.

Ngomong-ngomong soal nama, nama penaku masih belum ganti. Fokus namatin salah satu novel dulu aku. Karena aku lagi nulis tiga judul novel sekaligus.

Benar-benar berat rasanya. Aku sering begadang. Mungkin inilah penyebab munculnya lingkaran hitam di bawah mataku.

Impian hati ingin punya mata seperti Song Hye Kyo, tapi yang terwujud malah mata Maham Anga, tapi yaudahlah, syukurin aja. Yang penting sehat.

Setelah selesai, aku langsung posting di Facebook setengah bab.

Sudah jam tiga. Masih ada waktu buat tidur sebelum subuh.

Segera aku merebahkan diri di kasur yang spreinya gambar Barbie. Canda, sprei kasurku gambar Naruto.

Ting!

Notifikasi khusus Facebook berbunyi. Sepertinya ada pembaca yang komen di cerita yang aku posting barusan.

Udah jam segini ada juga pembaca yang belum tidur.

Segera aku menyambar ponsel dan membuka Facebook, mengabaikan mata yang sebenarnya tinggal lima watt.

Tak sabar aku membaca komen dari pembaca tercintaku.

[Next]

Aku begitu kesal membaca komen itu.

Jika pembaca lain yang komen seperti itu, dengan senang hati aku akan membalas, 'siap kak, makasih ya sudah mampir' beserta love love warna hitam.

Kenapa warna hitam? Ya karena aku suka.

Kalau kalian nggak suka, warnain sendiri aja lah.

Yang membuatku kesal adalah, orang yang komen adalah Aril. Iya, si musuh bebuyutan sejak zaman SD.

Eh, salah. Aku baru ingat, kalau kita sudah saingan sejak zaman balita.

Bahkan sejak balita aja kami udah saingan siapa yang duluan bisa jalan. Namun sayangnya aku kalah.

Kata ibu, Aril duluan yang bisa jalan ketimbang aku. Padahal kita lahirnya barengan. Di hari yang sama, jamnya pun juga sama.

Mulai dari merangkak, jalan, ngomong, semuanya Aril duluan. Kenapa aku selalu kalah?!

Ting!

Komen lagi dia.

[Kok belum tidur? Jaga lilin ya?]

Kantukku langsung hilang gara-gara baca komenan dia.

Aku nggak bisa langsung melabraknya di kolom komentar. Bisa hancur imageku di mata pembaca tercintaku.

Segera aku membuka messenger Facebook untuk melabraknya. Kenapa nggak di WhatsApp? Karena aku nggak punya nomornya. Bukan nggak punya, tapi nggak mau punya.

[Kenapa sih kamu komen terus di cerita yang aku posting?!]

Aku mengirim unek-unekku.

[Kamu nggak usah komen deh!] tambahku lagi.

Semenit, dua menit, tiga menit. Masih belum dibaca sama Aril. Aku masih tetap menunggu balasan darinya. Mata ini udah hilang ngantuknya.

Entah sudah berapa lama aku menunggu balasan darinya. Aku tetap mantengin ponsel.

Ting!

Akhirnya dia balas juga.

[Kalau nggak mau dikomen ya nggak usah posting cerita]

Balasan darinya sungguh membuat hati ini jengkel.

[Lagian wajar kan, pembaca komen di cerita yang dibacanya] tambahnya lagi.

Hiihgh! Gedebag-gedebug aku di atas kasur saking kesalnya.

Aku memutuskan menaruh ponsel dan tidur, tapi baru juga meluk guling, suara azan subuh berkumandang. Aku sudah tak bisa tidur.

Jika aku nekat tidur, maka air terjun akan pindah ke dalam kamarku. Alias, ibu akan menyiramku.

***

Ngantuk sebenarnya, tapi mau gimana lagi. Nggak mungkin aku tidur lagi. Aku harus bantu Paduka Ratu untuk memasak.

Hari ini menunya tumis kangkung. Tentu saja karena kemarin aku beli banyak, dan akan terus makan kangkung sampai kangkung itu habis, sesuai keputusan Ibu kemarin.

Aku memisahkan daun kangkung dari gagangnya, terus gagangnya aku buang. Sengaja biar cepet habis.

Aku nggak suka kangkung. Yang suka itu si Andika.

Andiyas, Andika. Pasti kalian ngiranya dia saudara kembar aku ya. Jawabannya bukan. Dia adikku yang baru masuk SMA.

"Loh Yas? Ini batang kangkungnya kok nggak ada?" tanya Ibu yang baru menyadari setelah kangkung matang dan tersaji di meja.

Yang memasak tadi aku, wajar Ibu nggak tau.

"Tak buang Bu."

"Blegedes! Dika itu paling suka sama batangnya! Kenapa kamu buang?!"

Tok!

"Aduh Bu!" Aku digetok pakek centong sayur. "Aku nggak suka kangkung Bu!"

"Hari ini itu ulang tahun Andika. Makanya Ibu masak sayur kesukaan dia."

"Padahal pas aku ulang tahu nggak pernah dirayain." Aku berkata lirih. "Pilih kasih."

Aku kembali menata lauk ke meja makan.

Hari ini hari Senin. Hari yang paling tidak disukai semua orang, tapi bagiku tidak. Aku kan kerja dari rumah. Aseeek.

Andika sudah siap dengan seragam abu-abu putih. Bapak juga sudah siap ke warung bakso yang sudah bercabang jadi lima.

"Makan dulu Pak, Dika," panggil Ibu.

Di tengah mengunyah daun kangkung yang menurutku rasanya aneh, Dika tiba-tiba merengek minta dibeliin motor ninja kura-kura untuk hadiah ulang tahunnya.

"Cuma jalan kaki lima belas menit aja lebay banget sih Dik! Aku aja dulu juga jalan kaki!" cibirku.

"Iya, makanya sekarang badan Kakak jadi lurus kayak bambu!"

Aku melotot tak terima.

"Weii! Ini tuh langsing tau! Lang-sing!"

"Kak, dikatakan langsing itu kalau--"

"Sudah, jangan ribut. Ini masih pagi." Bapak menjadi wasit. "Nanti Bapak beliin Dik."

"Apa?! Kok Bapak gitu sih? Dulu aja waktu aku minta beliin katanya lebih sehat jalan kaki!" Aku tak terima.

Bukan cuma sepeda, ketika duduk di bangku SMA, di saat temanku sudah punya ponsel yang layarnya bisa digeser, aku cuma minta beliin ponsel tulit-tulit aja nggak dibeliin.

"Dan saat aku selalu juara dua, aku minta ponsel, tapi kata Ibu suruh nabung sendiri!"

Aku menoleh ke Dika yang anteng makan karena diiyakan permintaannya oleh bapak tanpa syarat apapun.

"Aku selalu dapat juara, tapi nggak pernah diturutin apa yang aku mau. Minimal buat penghargaan karena udah rajin belajar, tapi Dika, nggak pernah dapat juara, minta apa aja langsung dapet!"

Baru seminggu yang lalu Dika minta dibeliin ponsel merek apel digigit. Entah siapa yang menggigit. Padahal Dika selalu juara dua dari belakang.

"Ya kan ini supaya Dika tambah semangat belajar," sahut Ibu. "Kalau kamu, nggak usah dibeliin apapun juga udah semangat. Selalu dapat juara."

"Apa? Tau gitu aku dulu nggak usah belajar aja. Biar nggak dapat ranking. Biar dibeliin ini itu!"

Tok!

"Aduh!" Aku memegang kepalaku yang lagi-lagi digetok pakek centong sayur. "Kenapa ngetok kepala terus Bu? Ibu mau ketok magic?"

"Sana buka pintu! Kayaknya barusan ada yang ngucap salam."

"Kenapa nggak Dika aja?"

"Dika belum selesai makan. Kamu kan udah." Ibu menunjuk piringku yang sudah kosong.

Aku melotot ke Dika yang cekikikan mengejek.

"Awas, nanti matanya nggelinding ke piring lho!"

Ingin aku menjitak kepala Dika jika tak mendapat tatapan maut dari Paduka Ratu.

Siapa sih yang bertamu pagi-pagi? Nggak tau apa orang lagi makan! Aku terus ngedumel sambil berjalan ke arah pintu.

Begitu pintu terbuka, ternyata ada manusia si pemilik akun Aril Ganteng.

Ngapain nih orang kesini pagi-pagi?

"Hahaha!" Tawa Aril menyembur begitu melihatku.

"Eh malah ketawa. Sutres?"

"Sutres itu tukang sapu di sekolah kita kali!" Aril masih tergelak. "Yang makan mulut apa pipi?"

"Hah?" Aku tak mengerti maksud ucapannya.

"Tuh, ada nasi di pipimu!"

"Apa?" Langsung kuraba pipiku. Dan benar, ada nasi dua butir.

Aduh, malunya!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!