Dinda Savier, dilamar oleh pacar nya dengan istimewa di depan Alice, sahabat nya. Mereka diam-diam merencanakan sebuah lamaran di restoran yang sangat terkenal. Lex telah menyiapkan sebuah kalung berlian sebagai hadiah dari lamarannya tersebut.
"Makasih Lex, aku suka sekali hadiah ini. Kamu memang sangat pintar memilih barang."
"Ummm, itu sebenarnya bukan aku yang memilih. Tapi Alice lah yang memilih nya. Aku meminta sarannya karena aku tidak tahu apa-apa dengan selera wanita." Kata Lex.
"Benarkah itu Alice. Pilihan sahabatku ini memang yang terbaik. Aku sangat menyukainya." Kata Dinda sambil memeluk tubuh Alice yang sedikit kikuk.
"Aku ikut senang mendengarnya. Aku memilihnya sambil memikirkan dirimu jadi aku yakin kamu menyukainya 100 persen." Alice membalas pelukan Dinda.
Malam ini Dinda merasa bahagia, pada akhirnya harapan atas hubungan dengan Lex tidak sia-sia. Hubungan mereka sudah terjalin selama 5 tahun bahkan sejak berada di bangku SMA.
Keesokan harinya Lex datang bersama kedua orangtuanya untuk meminta izin secara resmi ke keluarga Dinda. Hal itu diterima baik oleh ayah dan ibu Dinda, apalagi mereka juga sudah kenal dekat dengan Lex. Perbincangan yang sangat serius dan lama itu berakhir dengan lancar. Mereka membicarakan tentang penetapan tanggal pernikahan karena pertunangan dilaksanakan hari itu juga secara sederhana.
Pak Ferdi Savier (ayah Dinda) dan pak Paul Sanjaya(ayah Lex) berasal dari keluarga konglomerat. Lex sendiri sudah bekerja di perusahaan ayahnya karena Lex merupakan pewaris satu-satunya. Jadi untuk persiapan pesta pernikahan ditanggung oleh keluarga kedua mempelai.
Tiba saatnya dimana resepsi pernikahan dilaksanakan. Teman-teman sekolah mereka juga diundang ke pernikahan. Tamu yang hadir dalam acara pernikahan tersebut sekitar 5 ribu lebih jiwa. Pestanya juga sangat meriah. Selama acara pernikahan berlangsung Dinda terus menatap wajah Lex yang begitu tampan. Dan saat wajah mereka bertemu Lex melemparkan senyum manis padanya.
Tatapan Lex itu, mungkinkah dia sedang mengagumi betapa cantiknya aku. Dinda merasa senang membayangkan reaksi Lex saat melihat penampilan nya, mungkin Lex terpukau hanya saja dia memang tidak pandai memuji secara langsung. Alice juga hadir dalam pesta pernikahan mereka. Dandannya sangat cantik sehingga banyak pria yang melihat ke arahnya. Dari SMA alice memang sangat pintar berdandan, banyak pria tampan yang berusaha mendekatinya, namun Alice selalu menolak mereka.
Upacara pernikahan berjalan lancar. Bokong Dinda terasa sakit karena harus duduk berjam-jam. Tangannya juga sangat pegal karena berjabatan tangan dengan tamu undangan. Dinda dan Lex sudah bisa tidur sekamar mulai malam ini. Bukan hanya pasangan yang didandani dengan cantik tapi kamar pengantin mereka juga dihias dengan baik.
Namun saat mereka berdua memasuki kamar tidak ada sepatah katapun dari Lex. Ia langsung mengambil posisi tidur tepat disamping Dinda. Mungkin Lex lelah. Apalagi hari ini kami berdiri di sana sangat lama. Ya sudahlah, lagian kami masih punya banyak waktu untuk bicara berdua.
Dinda ikut berbaring sambil menatap punggung Lex yang membelakanginya. Dalam sekejap dirinya juga terlena oleh rasa kantuk yang tak bisa dibendung lagi sehingga ia tidur tak berapa lama setelah Lex.
Keesokan harinya Dinda bangun dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya. Ia baru menyadari kalau semalam ia lupa mengganti gaun tersebut. Sepertinya semalam aku sangat lelah sehingga lupa mengganti gaun ini.
Dinda menatap Lex yang masih tidur. Entah apa yang Lex mimpikan karena tanpa sengaja Dinda melihat bibirnya mengukir senyum tipis. Dinda mencium keningnya perlahan dan dengan sangat hati-hati agar Lex tidak terbangun. Dinda melihat jam di dinding kamar mereka yang menunjukkan pukul 5 lewat 40 menit.
Sepertinya aku kepagian bangunnya. Tapi tidak apa lah, lagian tubuhku ini sangat lengket. Sebaiknya aku mandi sekarang.
Dinda berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan sehelai handuk yang menutup tubuhnya.
Syukurlah Lex masih tidur jadi aku aman. Aku bakalan malu jika dia melihat ku seperti ini.
Dinda segera masuk ke dalam ruang ganti. Tak membutuhkan waktu yang lama, ia keluar setelah selesai bersiap. Ia pun turun ke bawah untuk memeriksa keadaan di bawah. Sebenarnya Dinda dan Lex masih berada di rumah orang tua Dinda karena upacara pernikahan dilangsungkan di sana. Sore nanti baru mereka pindah ke rumah baru nya. Rumah yang telah Lex siapkan agar mereka berdua bisa tinggal bersama. Pelayan yang bekerja pada mereka akan datang dan mulai bekerja besok.
Saat turun Dinda melihat betapa sibuknya para pelayan di rumah itu membersihkan semua pernak-pernik yang digunakan untuk acara mereka. Bu Bella(ibu nya Dinda) juga ada di sana karena harus mengontrol pekerjaan para pelayan. Bu Bella tersenyum saat Dinda berjalan mendekatinya.
"Kok pengantin baru sudah bangun jam segini?" Tanya Bu Bella menggoda Dinda
"Mama ini, aku lapar makanya aku turun."
"Lalu suamimu?"
"Dia belum bangun ma, mungkin dia kecapean."
Dinda bisa membaca reaksi mamanya yang saat ini terlihat mengintimidasi.
"Bukan itu maksudku ma. Lex kecapean karena acara kemarin lagian kami belum melakukan apa-apa kok." Dinda mencerna kembali kata-katanya, pipinya merona karena malu.
Dinda kembali ke kamarnya untuk menghindari bu Bella yang terus-menerus menganggunya. Rasa lapar terpaksa di tunda dulu, apalagi orang-orang di bawah masih sangat sibuk. Lex sepertinya sedang mandi karena saat masuk, tempat tidurnya sudah kosong dan ia bisa mendengar suara gemercik air yang berjatuhan dari shower. Apa yang harus aku lakukan kalau Lex keluar nanti.
Dinda merasa gugup, ia belum siap melihat tubuh kekar Lex. Dinda akhirnya memutuskan untuk merapikan tempat tidur sebagai bentuk pengalihan. Hiasan kelopak bunga mawar yang sebelumnya sangat cantik kini telah kering dan layu. Sebenarnya pekerjaan seperti ini bisa dilakukan para pelayan, hanya saja ini adalah kamar pengantin baru yang butuh privasi dan tidak diganggu oleh siapapun. Maka dari itu mendingan dia yang membersihkannya sendiri. Lagian pekerjaan itu tidak begitu sulit.
Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi dibuka. Lex keluar dengan handuk yang membaluti pinggang nya ke bawah sedangkan dadanya dibiarkan terbuka. Dinda bahkan bisa melihat bentuk abs milik Lex yang indah. Saat Lex menatap dirinya, Dinda mengalihkan pandangan nya dan berpura-pura membersihkan tempat tidurnya.
Aishhhh, malunya.
Lex masuk ke ruang ganti melewati dirinya.
Huh syukurlah Lex pergi. Dinda menarik nafas lega. Sungguh jika Lex masih berdiri di sana sambil menatapnya, mungkin dirinya sudah pingsan karena malu.
Pintu kamar ganti dibuka perlahan, Lex juga sudah selesai bersiap. Namun Dinda merasa ada yang aneh dengan sikap Lex. Dia berjalan keluar dari kamar tanpa menyapanya.
Bukankah pasangan yang baru menikah biasanya mendapatkan salam ataupun kecupan hangat di pagi hari. Apa mungkin Lex masih malu dan belum terbiasa dengan hubungan baru kami yang kini berstatus suami istri. Dinda sedikit kecewa. Semuanya berjalan tidak sesuai dengan harapannya. Dinda segera berjalan keluar kamar untuk menyusul Lex. Lex sempat berbicara dengan mama Bella namun setelah itu ia berpamitan dan berjalan keluar rumah. Dinda kurang jelas mendengar apa yang mereka bicarakan, dan ia akhirnya bertanya pada mama Bella karena penasaran.
"Ma, Lex kemana?"
"Katanya ada urusan di luar. Emangnya dia tidak memberitahu kamu?"
"Tidak ma, setelah selesai ganti pakaian dia langsung keluar dari kamar. Emangnya apa yang kalian bicarakan ma? Bukannya kami harus bersiap-siap ke rumah baru?"
"Katanya kamu disuruh duluan. Dia akan menyusul nanti."
"Kalau itu yang dia bilang ya sudah nanti aku suruh pak Ruben mengantarku saja."
Dinda, mama Bella dan papa Ferdi duduk bersama di meja makan. Hari ini akan menjadi hari terakhir Dinda makan bersama kedua orang tuanya, meskipun sang suami tidak menemaninya.
Saat jam 4 sore, Dinda berpamitan pada kedua orang tuanya karena harus pindah ke rumah baru mereka.
"Jaga dirimu ya sayang. Kalau ada apa-apa bilang sama mama dan papa kami akan selalu ada untukmu." Dinda menangis di pelukan mamanya.
"Iya sayang. Apa yang mama kamu bilang itu benar. Jika ada sesuatu cerita sama kami berdua. Jangan lupa untuk selalu mampir ke sini jika kamu punya waktu."
"Iya papa, mama. Aku pasti ke sini kok. Aku tidak mungkin melupakan kalian. Aku berangkat dulu ya."
Setelah selesai berpamitan Dinda masuk ke dalam mobil. Tidak lupa Dinda melambaikan tangan kepada mama Bella dan papa Ferdi di saat mobil yang membawa dirinya mulai jalan meninggalkan perkarangan rumah mereka.
Setelah dua jam lebih perjalanan mereka akhirnya tiba di rumah yang akan ditempati oleh dirinya dan Lex. Rumah yang ukuran nya tidak kalah besar dengan rumah kedua orangtuanya. Dinda turun dari dalam mobil. Ia masuk ke dalam rumah untuk memeriksa keadaan di dalam, sedangkan pak Ruben masih menurunkan barang-barang dari dalam mobil.
"Eh pintunya kok nggak dikunci? Para pelayan kan baru masuk besok?" Padahal Dinda hanya mengetes memutar gagang pintunya, namun sungguh aneh karena pintu tersebut langsung terbuka.
Apa rumah ini dirampok. Mungkin saja pencurinya masih di dalam. Kalau aku memanggil pak Ruben pasti pencurinya mendengar suaraku dan kabur lewat pintu lain.
Keadaan di dalam sangat gelap apalagi sekarang sudah jam 6 sore dan lampu nya masih belum dinyalakan. Dinda mencari tombol saklar untuk menghidupkan lampunya. Ia berjalan ke tengah untuk memeriksa lagi. Dan tiba-tiba saja slungggg....
Ia ditimpa ribuan kelopak mawar merah yang cantik, berjatuhan bagai bulir-bulir hujan atau lebih tepatnya hujan kelopak mawar. Kini lantai keramik yang di pijaknya berubah menjadi lautan kelopak mawar.
Dinda yang begitu senang menikmati kelopak mawar yang berjatuhan tidak menyadari kedatangan seseorang yang memeluknya dari belakang.
"Lex? Apa kamu yang menyiapkan semua ini?"
Lex menganggukkan kepalanya menjawab Dinda.
"Aku sudah menunggumu dari tadi. Kamu kenapa lama?"
Lex membalikkan posisi tubuh Dinda agar menghadap ke arahnya. Dinda tak berani menatap wajah Lex, karena saat ini jantung nya terus berdetak kencang. Lex mengangkat dagu Dinda agar dia bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Dinda berdiri mematung saat Lex tiba-tiba saja mencium keningnya dengan penuh kelembutan. Tetapi saat akan mencium bibir Dinda, pak Ruben masuk membawa koper. Mereka segera menjaga jarak dan berpura-pura menyibukkan diri dengan hal lain yang tak jelas.
Semoga pak Ruben tidak melihat kami....
Sungguh aku tidak menduga Lex akan melakukan hal romantis seperti ini. Padahal tadi pagi aku sempat kecewa padanya. Ku kira dia tidak akan melakukan apapun, dan ternyata pikiran ku itu salah. Dia telah menyiapkan kejutan spesial seperti ini untuk ku.
"Maaf, sepertinya saya mengganggu." Pak Ruben tersenyum setelah melihat kelopak bunga mawar yang berserakan di lantai.
"Tidak apa pak. Bapak bisa lanjut bawa tasnya ke atas. Nanti akan saya rapikan." Pak Ruben memikul koper yang berisi pakaian Dinda menaiki anak tangga meninggalkan mereka berdua.
"Apa kamu suka sama kejutanku. Aku menyiapkan ini semua."
Dinda tersentuh dengan ucapan Lex.
Ternyata dia bisa romantis juga.
"Kamu menyiapkan ini semua?"
"Nggak sih. Aku dibantuin Alice."
"Alice?" Senyuman Dinda berkerut. Ia berusaha tersenyum walaupun sebenarnya ia tidak suka mendengar nama Alice disebutkan. Apapun yang dilakukan Lex selalu melibatkan Alice. Alice ini lah, Alice itulah. Dan berakhir dengan pujian pada Alice. Dinda merasa dia lebih senang jika Lex tidak melakukan apapun sehingga Alice tidak terlibat. Siapapun pasti akan cemburu kalau suaminya dekat dengan wanita lain.
"Emangnya Alice tadi ada di sini?"
"Iya dia tadi ke sini. Ide buat ngasih kamu kejutan juga dari dirinya."
"Benarkah. Alice memang sahabat yang paling pengertian yah."
"Iya dia adalah wanita yang pintar dan cantik." Kini Lex terang-terangan memuji Alice depan Dinda.
"Kita jalan-jalan gimana. Aku ingin menunjukkan suatu tempat sama kamu."
"Pilihan kamu atau Alice?"
"Alice? Nggak lah, hanya aku yang tahu tempat ini."
Syukurlah, senggaknya kali ini bukan tempat pilihan Alice. Karena setiap kami berdua berkencan pasti dia akan mengatakan itu rekomendasi dari Alice.
Dinda memutuskan untuk mengikuti Lex. Lagian dia merasa butuh udara segar sekaligus menjernihkan pikiran nya yang sempat terbakar api cemburu.
Mereka tiba di sebuah bukit, lebih tepatnya bukit moko yang merupakan tempat yang paling pas untuk melihat keindahan malam di kota bandung. Karena merupakan tempat wisata jadi ada banyak orang yang datang. Lampu-lampu di setiap gedung terang benderang dengan cantiknya. Begitupun di sekitar perumahan. Rasanya cahaya-cahaya dan keindahan itu pas masuk ke dalam mata.
"Ini adalah tempat yang selalu aku tuju, saat aku bosan, atau hanya sekedar menenangkan diri."
Tempat yang sangat cocok untuk Lex. Pantasan Lex membeli rumah di sekitaran kota bandung. Diajak oleh Lex ke tempat favoritnya membuat hatiku senang. Tapi semoga saja hanya aku yang tahu tempat ini. Batin Dinda.
"Kamu adalah satu-satunya orang yang aku ajak ke sini.Aku tahu kamu pasti tidak pernah ke tempat ini. Apalagi tinggal di kota pusat. Yang dilakukan hanyalah ke tempat perbelanjaan kalau nggak ke tempat rekreasi. Benarkan."
"Iya." Dinda tersenyum setelah mendengar pernyataan dari Lex. Sungguh, Lex seakan-akan mendengar isi hatinya.
Mereka duduk di sebuah bangku sambil bertukar cerita. Malam ini mereka seperti sedang melakukan kencan bersama. Dinda dan Lex kembali ke rumah sekitar pukul 11 lewat 20 menit. Cukup lama mereka berada di tempat itu. Dan kebetulan juga sebelum balik mereka mampir di restoran untuk makan.
Pada pagi hari berikutnya, Dinda terbangun dan Lex berada tepat di sebelahnya. Seingat Dinda semalam saat di dalam mobil Lex menceritakan banyak hal. Karena ngantuk, ia akhirnya tertidur dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Apa mungkin Lex yang menggendong ku ke kamar? Aku rasa tebakan ku ini benar, sekarang dia tidur di sampingku. Tidak mungkin kan aku berjalan ke sini sambil tidur.
Dinda bangun dengan perlahan agar tidak mengganggu tidur Lex. Tapi tiba-tiba saja telepon Lex berbunyi. Ia ingin mengangkat panggilan nya namun Lex lebih dulu terbangun dan mengambil teleponnya.
"Halo... Hmm... Iya... Aku baru bangun... Ada di sampingku.... Apa? Hari ini? Aku akan bicara dengannya... Iya... juga"
Dinda merasa penasaran dengan siapa Lex berbicara. Apalagi Lex sangat serius menjawab panggilan dari orang itu.
"Siapa?"
"Mama bunga."
"Apa memangnya yang mama katakan?"
"Mama menyuruh kita ke rumah untuk makan malam bersama." Jelas Lex.
"Baiklah... Jam berapa kita berangkat?"
"Nanti sore saja." Kata Lex sambil bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah sofa dengan memegang laptop.
"Apa kamu akan bekerja?"
"Iya, ada berkas penting yang harus ku selesaikan."
"Mau ku buatkan kopi?" Tawar Dinda.
"Boleh." Jawab Lex dengan santai. Dinda turun ke bawah menuju arah dapur. Ia memanaskan air di dalam teko kecil, membuat takaran kopi pada cangkir. Airnya cepat mendidih, karena Dinda merebusnya hanya sedikit sesuai takaran cangkir sang suami. Ia menuangkan air panas tersebut ke gelas milik Lex, diadukannya sampai benar-benar terlarut, setelah itu ia membawanya menaiki anak tangga menuju kamar. Dinda meletakkan cangkir kopi tersebut di atas meja dekat Lex.
"Ini kopimu."
"Makasih."
Karena merasa lengket pada tubuhnya, Dinda memutuskan untuk mandi lebih dulu. Ia merasa sangat segar saat kulitnya bersentuhan dengan air yang jatuh dari shower.
Dinda keluar setelah 30 menit lamanya di dalam kamar mandi, dengan handuk yang menutup seluruh tubuhnya. Betapa terkejutnya saat mendapati Lex yang sedang berdiri di depan pintu kamar mandi.
"A..ada apa Lex?" Tanya Dinda dengan perasaan gugup bercampur malu sembari mengencangkan pegangan handuknya.
"Aku pengen buang air kecil. Maaf kalau aku mengagetkanmu."
"Ah, tidak apa-apa." Dinda mempersilahkan Lex masuk. Ia segera berjalan ke ruang ganti untuk mengenakan pakaian. Saat keluar dari kamar ganti, Lex sudah kembali sibuk dengan laptopnya. Bunyi bel pintu terdengar dari depan rumah.
Siapa ya yang datang?
Dinda menerka-nerka, siapakah yang datang di jam segini.
"Kayaknya sudah sampai." Kata Lex membuat Dinda semakin bingung.
Apa mungkin ada kenalan Lex yang datang? Aku sama sekali tidak tahu.
"Siapa memangnya? Apa itu kenalanmu yang datang?"
"Bukan. Itu, saat kamu mandi aku memesan makanan, lagian sore nanti baru pelayan kita datang. Kamu juga lapar kan. Nggak mungkin kita nggak makan pagi ini." Dinda sama sekali tidak memikirkan hal itu. Padahal mereka belum makan sama sekali pagi ini. Dan ia juga belum bisa memasak. Tidak mungkin mereka bisa bertahan sampai sore nanti di rumah orang tua Lex. Syukurlah karena Lex mengingatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!