Surat undangan pernikahan Saga dan Donita benar-benar menampar Amanda dengan begitu telak. Belum juga berjuang, cintanya sudah harus pupus di tengah jalan.
Ternyata selama ini Saga telah memiliki tambatan hatinya sendiri, tanpa Amanda tahu, siapa, dan seperti apa wanita itu.
Hati Amanda benar-benar terasa patah, apalagi saat dia menyaksikan sendiri, Saga yang dibalut tuksedo berwarna putih, tengah menunggu Donita dengan begitu gagah.
Sepertinya aku memang harus melupakan dia, dia tidak cocok denganmu, Amanda. Batin gadis itu, berdiri di tengah-tengah keluarganya yang turut serta memenuhi undangan.
Seluruh tamu diperintahkan untuk berdiri, karena mereka akan menyambut sang pengantin wanita. Suara tepuk tangan pun mulai riuh, saat bayangan tubuh Donita yang begitu proporsional mulai berjalan menuju aula.
Cantik. Satu kata itu memenuhi otak Amanda, bahkan jika dibandingkan dengan dia, sudah pasti dia akan kalah.
Saga nampak tersenyum tipis ke arah Donita. Membuat Amanda tak dapat lagi menahan perasaannya. Senyum pria itu benar-benar seperti belati yang dapat mencabik-cabik dada Amanda.
"Man, mau ke mana?" tanya Gloria saat melihat Amanda hendak pergi meninggalkan aula.
"Tiba-tiba aku ingin ke toilet, Aunty. Aku pergi dulu ya," balas Amanda berbohong, padahal dia ingin mendinginkan hatinya yang sedari tadi memanas.
Dengan langkah tergesa Amanda meninggalkan gedung pernikahan Saga dan Donita.
Namun, bukannya naik mobil, Amanda justru memilih untuk berjalan kaki dan melangkah tak tentu arah.
"Aku tidak boleh menjadi wanita egois. Dia sudah menikah dan aku tidak mungkin mengharapkannya lagi," gumam Amanda dengan mata yang berkaca-kaca.
Merasa kesulitan untuk berjalan, dia berhenti untuk melepas high heels-nya lalu membuangnya sembarangan. Tak peduli jika benda tersebut harganya sangat mahal.
"Benar-benar menyusahkan!" gerutu Amanda, mengomel pada dirinya sendiri. Dia ingin menangis tetapi tidak jadi, karena banyak orang yang memperhatikannya.
Dia jadi malu.
"Nona, apakah anda butuh tumpangan?" tanya salah seorang pria dari balik kemudi. Namun, Amanda langsung menggeleng. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa sekarang.
Padahal banyak sekali yang menawarkan tumpangan, tetapi Amanda terus menolaknya.
Hingga tiba-tiba dia melihat seekor kucing kecil yang tiba-tiba berlari ke arah jalan raya. Karena takut hewan manis itu tertabrak, sontak Amanda berlari untuk menangkapnya.
Namun, tepat pada saat itu, seorang pria menangkap tubuhnya dan membawa gadis itu ke sisi jalan.
Amanda yang terkejut sontak melebarkan kelopak matanya. Kaki gadis itu mengudara, sementara tangan kekar melingkar di perutnya.
"Heh, lepaskan aku, kamu pasti penculik yah?!" sentak Amanda seraya memukul-mukul tangan itu.
Pria itu menurunkan Amanda, lalu mendesaahkan nafas kasar. Dia terlihat cool dengan keringat yang mengucur di sekitar jambangnya.
"Enak saja kamu menuduhku sebagai penculik. Mana ada penculik setampan diriku!" cibirnya dengan sinis. Kebetulan mobilnya sedang mogok, dan dia sedang menunggu tukang servis untuk membetulkannya.
Namun, tak disangka dia malah melihat Amanda yang berlari ke tengah jalan raya. Padahal saat itu banyak kendaraan berlalu-lalang.
Amanda mengernyitkan bibirnya saat mendengar ucapan penuh rasa congkak itu.
"Hih, tampan dari mana? Tampangmu saja seperti om-om!" ejek Amanda.
Pria bernama Dominic itu langsung mendelik, karena dikatai om-om oleh gadis cantik di depannya.
"Heh, kenapa malah jadi mengejekku?"
"Ya karena Om terlalu percaya diri, dan suka mencampuri urusan orang lain!"
"Sial, kenapa jadi kamu yang marah-marah? Seharusnya aku! Kamu ini kalau mau bunuh diri minimal yang lebih estetik, di atas jembatan sana!"
Amanda langsung melotot, tetapi bukannya seram, gadis itu malah semakin terlihat cantik di mata Dominic.
"Memangnya siapa yang mau bunuh diri?"
"Kamulah! Memangnya siapa yang ada di sini?"
"Hih, sudah tua sotoy lagi! Aku itu ingin menolong kucing—" Amanda menatap ke arah jalan, dia celingukan karena ternyata kucingnya tidak ada.
"Apa? Mau mencari alasan?" tukas Dominic.
"Tapi tadi memang ada kucing di sana!"
"Halah sudahlah, lain kali kalau ingin modus yang lebih pintar sedikit. Mengganggu jalan saja! Siapa namamu?" sentak Dominic, mengeluarkan ponsel siap untuk mencatat nama Amanda.
"Untuk apa tanya nama segala?!"
"Untuk aku masukkan ke daftar hitam. Kalau kamu berulah lagi, polisi akan menangkapmu."
Kening Amanda berkerut, kenapa hari ini dia sial sekali sih. Sudah ditinggal Saga menikah, sekarang dia malah bertemu pria aneh.
Hari ini adalah hari sial sedunia bagi Amanda.
***
Monmaap ya gaes, ceritanya aku pindah, karena jadi pada tanya judul🙈🙈
Semoga selalu suka, hihi ..
Salam anu👑
Sementara di sisi lain, tepatnya di gedung pernikahan antara Saga dan Donita tengah terjadi kericuhan. Karena tiba-tiba Donita pingsan.
Sontak Saga yang sedari tadi berdiri di atas pelaminan, segera berlari ke arah calon istrinya.
"Ada apa dengan Donita?" tanya Saga dengan cemas, sebab dari kemarin Donita tak pernah mengeluh apa-apa.
"Mama juga tidak tahu, Saga, sepertinya Donita hanya pingsan," balas ibu Donita. Lalu dengan cepat Saga mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke kamar pengantin mereka.
Perasaan Saga mendadak tak enak. Karena sudah satu langkah lagi mereka sah menjadi suami istri, yang terjadi malah seperti ini.
Suasana pesta pun menjadi gaduh, para tamu undangan bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya.
"Calon istri Kak Saga sepertinya kelelahan," ucap Gloria ikut berkomentar.
"Mungkin saja, Sayang. Tapi kenapa harus di saat-saat seperti ini? Rasanya tidak pas," balas Ziel, turut prihatin dengan kejadian yang menimpa asistennya.
"Ya namanya musibah siapa yang tahu, Ziel."
Mendengar itu, Ziel jadi menoleh, dia mengulum senyum seraya memeluk pinggang Gloria. "Aku jadi merasa bersyukur, meskipun saat itu kita banyak masalah, tapi aku sukses menikahimu."
"Ya, kamu memang harus banyak-banyak bersyukur, Ziel, apalagi memiliki istri seperti aku. Aku ini limited edition lho," ujar Gloria dengan senyum bangga.
"Kalau begitu jatahku harus bertambah," bisik Ziel, yang membuat pipi Gloria jadi bersemu merah.
Di saat orang-orang sedang ricuh, keduanya malah asyik bercengkrama.
*
*
Di kamar pengantin, Saga sedang berusaha untuk membuat Donita bangun. Bahkan karena rasa cemasnya, dia meminta salah seorang untuk menghubungi dokter.
Akan tetapi Donita yang sebenarnya pura-pura pingsan jadi berubah panik. Dia takut ketahuan.
Haish, apa yang harus aku lakukan?
"Sayang, bangunlah," mohon Saga seraya mengusap-usap pipi wanita itu. Namun, Donita benar-benar tak sedikit pun membuka matanya, dia ingin memastikan terlebih dahulu bahwa acara pernikahan mereka gagal.
"Saga, lebih baik kita tunda dulu acara pernikahan ini. Kondisi Donita tidak memungkinkan," ujar ibu Donita, merasa tak enak dengan tamu undangan yang menunggu mereka.
"Tapi, Ma—"
"Kesehatan Donita lebih penting, Saga!" potong wanita paruh baya itu. Membuat Saga tak bisa berkutik, dan mau tidak mau akhirnya dia pun mengangguk.
Acara pernikahan mereka gagal.
Saat dokter datang, Donita langsung panik. Dia mengintipnya, lalu tiba-tiba sadarkan diri. "Saga." panggilnya. Jangan sampai dokter satu ini memeriksanya.
Melihat itu kecemasan di hati Saga langsung luruh begitu saja. Tanpa segan dia memeluk tubuh Donita.
"Akhirnya kamu sadar juga, Sayang. Aku sangat mengkhawatirkanmu," ujar Saga.
"Aku tidak apa-apa, Saga. Hanya saja aku sedikit pusing."
Saga melerai pelukan mereka.
"Kalau begitu kamu harus diperiksa, aku sudah memanggil dokter untukmu."
Sang dokter hendak melangkah ke arah Donita. Namun, wanita itu langsung menghentikannya. "Tidak, Sayang. Aku benar-benar tidak apa-apa. Aku sehat."
"Donita, tapi kamu pingsan begitu lama."
"I'm oke. Aku tidak butuh dokter."
Saga menatap mata Donita dengan begitu lekat. Dan dia memang tidak melihat bahwa Donita sakit. Karena sebenarnya tadi ada mantan kekasih Donita yang tiba-tiba datang, sebelumnya pria itu sudah mengancam bahwa dia akan menyebarkan video asusilaa mereka.
Donita awalnya tak percaya dan menganggapnya angin lalu. Namun, saat dia melangkah ke arah Saga, ternyata pria itu benar-benar datang dan mengancamnya melalui tatapan.
Donita yang ketakutan akhirnya memilih untuk berpura-pura pingsan. Dari pada dia dan keluarganya harus menanggung malu.
"Ya sudah kalau begitu, kamu istirahat dulu, baru setelah itu kita bicarakan lagi tentang pernikahan kita, oke?" Saga ingin menyuruh Donita untuk beristirahat, tetapi Donita malah menolak.
"Aku ingin pernikahan kita batal."
"What!?" Saga langsung terkejut, begitu pun dengan orang yang masih ada di sekitar mereka.
*
*
*
Amanda yang sudah pulang lebih dulu melihat kedua orang tuanya, serta beberapa anggota keluarga masuk ke dalam rumah. Dia yang sedang berusaha menghibur diri dengan menonton drama, nyatanya tetap tak bisa menahan laju air matanya.
Dengan cepat Amanda menghapus beberapa cairan bening yang menetes, agar tidak terlihat menyedihkan.
"Memang pestanya sudah selesai?" tanya Amanda basa-basi, membuat seluruh mata mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Heh, katamu ingin ke toilet, tapi ternyata pulang duluan," timpal Gloria, bukannya menjawab dia malah mengomel.
"Maaf, Aunty. Aku benar-benar bosan di sana. Jadi, bagaimana? Apakah pestanya berjalan dengan lancar?"
"Pesta pernikahan Saga dan Donita batal, Sayang," sambar Jennie—ibunya. Seraya menggandeng tangan sang suami untuk masuk ke dalam kamar.
Mendengar itu, Amanda langsung terhenyak, ekspresi wajahnya benar-benar menunjukkan sebuah keterkejutan yang tak biasa.
"Hah? Batal?"
*
*
*
Yang oleng lagi Dominic timpuk😂🤣
Mendengar kabar tentang batalnya pernikahan Saga dan Donita, sontak membuat Amanda terkejut bukan main. Dia sampai membulatkan matanya dengan mulut menganga.
"Mommy tidak bercanda 'kan?" teriak Amanda, padahal sang ibu sudah menaiki anak tangga.
"Hih, kamu sih pakai pulang duluan, jadi ketinggalan berita 'kan!" timpal Gloria seraya memeluk lengan suaminya. "Kita juga ke kamar yuk, Sayang. Persiapan bikin adonan."
Mendengar itu Ziel terkekeh dan mencubit pipi Gloria, karena gadis ini selalu berbicara ceplas-ceplos.
"Haish, kalian tidak sedang membohongiku 'kan?" Amanda lagi-lagi bertanya, bahkan dia yang semula duduk di sofa, kini sudah berdiri dan menatap sepasang pengantin baru itu.
"Terserahmu sajalah, Amanda, kenapa kamu tidak tanya sendiri saja pada asisten Saga, bila perlu kamu hibur dia," balas Gloria tanpa menoleh sedikit pun, karena dia lebih senang memperhatikan wajah tampan suaminya.
Tubuh Amanda langsung lemas, sementara harapan yang semula pupus kembali melambung tinggi, karena doa yang sempat terlintas di otaknya menjadi kenyataan.
"Ya Tuhan ... jahat tidak sih kalau aku merasa senang?" gumam Amanda, wajahnya nampak sendu karena merasa kasihan pada Saga, tapi tak bisa bohong, karena dibalik itu dia malah bahagia. Karena akhirnya dia bisa memperjuangkan cinta kepada pria pujaannya.
"Apakah aku harus menghubunginya? Tapi—"
Amanda memang sudah lama menyimpan nomor Saga, tetapi sampai detik ini dia belum berani mengirim pesan pada pria tampan itu.
"Rasanya aneh tidak sih kalau aku tiba-tiba mengirimi dia pesan?" Amanda menghempaskan tubuhnya ke sofa seraya memandangi kontak Saga. "Lagi pula belum tentu dibalas juga."
Amanda terdiam sesaat untuk menimang-nimang. Sampai sepuluh menit berlalu, tak kunjung ada jawaban.
"Ah pusing sekali. Kenapa di saat ada kesempatan nyaliku malah menciut. Mana sifat berani yang diturunkan dari Daddy?" Amanda malah mengomel sendiri, karena sebagai seorang gadis tentu dia malu untuk memulai lebih dulu.
"Ah masa bodo dengan urat malu. Yang penting sekarang aku usaha dulu!"
Tanya sendiri, jawab sendiri. Itulah kondisi Amanda saat ini. Hingga akhirnya dia benar-benar memutuskan untuk menghubungi Saga.
Namun, kendala berikutnya adalah Amanda kebingungan untuk memulai. Sedari tadi dia mengetik, lalu menghapusnya lagi, ketik lagi, hapus lagi, ketik lagi, hapus lagi.
Hingga tak terasa dia sudah menghabiskan waktu satu jam hanya untuk mengirim pesan pada Saga. Dan ujung-ujungnya, dia hanya mengetik tiga kata.
[Halo, Kak Saga.]
Itu saja sudah cukup membuat jantung Amanda berdebar dengan keras. Dia menunggu dengan cemas, kira-kira apa balasan pria itu.
"ARGH!!"
Amanda berteriak kencang saat dia melihat Saga membalas pesannya. Jennie, Aneeq, Zoya, sampai keluar dari kamar karena mendengar teriakkan itu.
Sementara pengantin baru bersikap masa bodo, karena mereka sedang asyik main tangkap ikan di atas ranjang.
"Manda, ada apa?" tanya Jennie dengan kening yang mengernyit. Karena dia malah melihat sang anak yang berjingkrak-jingkrak di atas sofa.
"Hah, ada apa, apanya, Mom?" Amanda balik bertanya dengan wajah cengengesan.
"Kamu tadi berteriak kencang, Amanda," timpal Aneeq yang ikut merasa heran.
Mendengar itu, Amanda malah celingak-celinguk. "Oh masa sih? Aku tidak merasa."
Sontak saja Aneeq, Jennie dan Zoya saling pandang satu sama lain.
"Anakmu itu lagi kenapa, An?" tanya Zoya sambil geleng-geleng kepala. Karena tak melihat adanya masalah, wanita paruh baya itu pun kembali ke kamarnya.
"Sepertinya dia baru saja mendapatkan berita bahagia," ujar Jennie yang hanya mampu menerka-nerka.
"Ya sudahlah, ayo kita kembali ke kamar. Ganggu aku saja yang sedang menikmati semangka."
Jennie langsung mencubit perut suaminya, membuat Aneeq terkekeh. Tak ingin membuang-buang waktu, mereka pun menyusul Zoya untuk meninggalkan Amanda.
Sementara gadis itu masih tersenyum-senyum, padahal Saga hanya membalas satu kata.
[Siapa?]
***
Pernah ngerasain gini gak gaes 🙈🤣
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!