Cahaya putih dan kuning dari lampu sorot yang berada di atas langit-langit stadion menyorot ke arah arena seluas lapangan sepak bola. Bangunan berbentuk oval ini memiliki kapasitas hingga mampu menampung 110,000 penonton. Seluruh bangku terisi penuh, dua kubu terbentuk, berpakaian sesuai ciri khas pemain andalan mereka. Di sisi kanan, penonton laki-laki memakai pakaian kaos putih dengan luaran baju koko berwarna merah marun dan hitam, celana komprang tanggung, dan sebuah sabuk hijau melingkar di pinggang..
Ketika seorang pemuda muncul, riuh teriakan dan tepuk tangan terdengar menyambut jawara. Pemuda berusia tiga puluhan dengan rambut hitam ikal, memakai pakaian berwarna hitam, dan kain bermotif batik geometris emas melingkar di pinggang dengan sisa kain menjulur sampai lutut.
Di sisi kiri, pendukung lawan memakai pakaian dengan atasan lengan panjang, bawahan celana selutut berwarna kuning lembut. Sebagian memakai selendang kain tenun yang melingkar di leher. ketika jawara lain muncul, kali ini suara terompet terdengar menyambutnya. Pria berusia dua puluhan dengan rambut cepak hitam, rahang tegas dan mata cemerlang berjalan ke tengah arena. Dia memakai pakaian serupa dengan pendukungnya, hanya warna yang membedakan. Jawara itu berpakaian serba merah, juga memakai ikat kepala bermotif batik Aksara Lontara hitam putih.
“Selamat malam semuanya!”
Seorang pria muda berpakaian serba hitam dengan blangkon batik coklat di kepala, berdiri di antara dua jawara, dia kembali berseru penuh semangat.
“Malam ini malam penentuan. Siapakah yang akan menjadi Wakil Indonesia di Piala Suku Dunia selanjutnya?!”
“Apakah Benyamin dari Suku Betawi?” teriakan di sisi kanan bergemuruh.
“Ataukah Tole dari Suku Toraja?” kali ini sisi kiri yang bersorak.
Pembawa acara tersenyum lebar, dia mengangkat tangan kanan ke atas,
“Tidak usah banyak cakap lagi! Mari kita saksikan bersama-sama!” lalu gestur tangannya membuat garis lurus secara vertikal sebagai tanda dimulainya pertarungan antar suku.
Suara bel panjang menandakan pertandingan dimulai terdengar.
Tole bergerak lebih dulu, cincin perak yang melingkar di telapak tangan bersinar lembut. Sedetik kemudian muncul perisai sepanjang 110 cm, kemudian jawara Toraja menarik tombak besi sepanjang 1 meter dengan ujung besi terdiri dari dua buah bilah bermata dua dari batu permata merah yang tertanam di tengah perisai besi. Kanta dan Bessing Banraga, begitulah orang-orang menyebut senjata dari Sulawesi Selatan.
Kedua tangan itu mengeratkan pegangan pada tombak, sedetik kemudian Tole melakukan serangan. Dia berteriak keras, gerakan tangannya cepat, melakukan teknik tarik-dorong sehingga ujung tombak besi terlihat hilang-muncul dengan cepat dan siap melukai lawan. Meski begitu lawannya tidak gentar, Benyamin berhasil menghindari setiap serangan dengan menghindar ke kanan, ke kiri, melompat, bahkan berguling. Seruan para pendukung terdengar saling sahut menyahut. Membuat stadion semakin panas walau pertarungan baru berjalan lima menit.
Serangan agresif Tole masih terus berlanjut, dia menggunakan ujung tombak untuk melempar pasir, siasat mengecoh lawan sebelum dia bergerak ke sisi lain dan melompat, bersiap menikam lawan. Suara denting senjata beradu terdengar--Tang!--Benyamin akhirnya mengeluarkan senjata setelah sejak tadi bertahan dengan tangan kosong.
Kapak besar sepanjang 90 cm dengan mata menyilang ke arah gagang pegangan berkilau terkena cahaya lampu. Kali ini giliran Benyamin melakukan serangan balasan. Ha! Ha! Ha! Gerakan dengan ayunan kuat beberapa kali menghantam perisai, menimbulkan percikan api dan gelombang udara. Setiap menyerang kekuatan Benyamin terus bertambah. Tole terdesak, tidak mendapat celah untuk mengayunkan tombak. Serangan jawara Betawi memaksanya bertahan dengan Bessing Banraga.
Tiga menit kedepan menjadi pertarungan sengit. Tombak Tole mengeluarkan petir biru, percikannya berkilat tajam, siap menyambar dan memberikan efek stun pada lawannya. Sementar itu Benyamin pun melakukan perlawanan, menggunakan senjatanya Beliung Gigi Gledek. Kapak besar itu terayun, membuat gelombang angin kuat, mementalkan lawannya beberapa meter ke belakang.
Tidak hanya kapak besar yang perlu diawasi, teknik tendangan serta tipuan kecil seperti menjegal kaki lawan pun tidak boleh luput dari pengawasan. Setelah hampir sepuluh menit bertahan, napas salah satu petarung mulai putus-putus. Tole kelelahan setelah sebelumnya dia terus melakukan serangan agresif. Dua kali tubuhnya terbanting mundur dua langkah, lalu berusaha merangsek maju.
“Aduh!”
Tole oleng ketika Benyamin berhasil menjegal kakinya. Dengan kesempatan yang ada, jawara Betawi langsung mengayunkan kapak besar yang terlihat mengerikan di mata lawannya.
Wushh! Buk!
Sebuah pukulan mendarat di pipi, mendorong jatuh seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Tiga orang anak seusianya tertawa melihatnya, dua bocah bertubuh kurus dan satu berbadan gemuk. Anak berkulit gelap, bertubuh kurus berdiri paling depan, menyeringai dengan raut puas.
“Pertandingan selesai dan pemenangnya adalah Nyoman dari Suku Sunda!”
Dia berseru sambil merentangkan kedua tangan dan menerima eluk-eluk dua temannya.
“Nyoman, Si Anak Emas, berhasil mengalahkan pencundang dan menjadi jawara Wakil Indonesia di Piala Suku Dunia!”
Dua temannya kembali bertepuk tangan, bersorak sorai. Sementara itu anak laki-laki yang duduk di tanah segera berdiri, membersihkan sisa tanah di celana, juga debu di rambut hitamnya yang berantakan. Dia mendongak, menatap mereka bertiga dengan sepasang mata biru jernih.
“Sudah?” tanyanya pelan.
Cengiran Nyoman perlahan hilang, matanya melirik sinis, namun tiba-tiba berubah terkejut, dia menunjuk ke atas dan berseru.
“LANGIT BISA BICARA?!” kemudian dia dan teman-temannya terbahak keras.
Anak laki-laki itu berkulit putih kemerahan, kontras sekali dengan tiga temannya yang berkulit gelap. Dia masih tetap diam, menuntut jawaban lewat tatapannya. Sampai akhirnya Nyoman berdecak pelan, mendekat, lalu menusuk dada lawan bicaranya dengan telunjuk.
“Langit tidak bisa bicara. Kalau bisa, dunia pasti kiamat. Jadi tutup mulutmu!”
Bocah bermata biru itu bergeming, kedua tangannya mengepal kuat. Sekilas mata sipitnya melirik buku catatan kecil dan pena yang tergeletak di tanah, tepat di belakang kaki bocah bertubuh gemuk. Itu miliknya, direbut paksa dan dilempar sembarang ketika tiga anak ini memaksanya ikut bermain, menjadi bulan-bulanan Nyoman dan kawannya.
“HEI!”
Teriakan nyaring terdengar dari arah kanan. Seorang anak perempuan berkulit sawo matang, memiliki mata dan rambut hitam kecoklatan, berlari menghampiri, lalu berdiri di depan anak berkulit putih dan menatap galak pada tiga orang lainnya.
“Apa yang kalian lakukan pada Langit?!”
Nyoman mengangkat bahu, “Tidak ada, kami malah berbaik hati mengajak Si Bisu bermain.”
“Langit tidak bisu!” gadis kecil menyergah cepat.
“Berhenti mengusiknya, Nyoman! Apa kau tidak tahu pepatah mengatakan, ‘jangan bangunkan macan yang sedang tidur.’ Bolos pelajaran bahasa membuatmu bodoh!”
Tidak terima dikatain, Nyoman mengherdik ketus. “Diamlah, Yatna! dia bicara dengan bahasa isyarat, menulis di catatan kecil, dan bicara hanya sepatah-dua kata! Dia lebih mirip macan ompong!”
Yatna berteriak marah, wajahnya sudah merah padam dan tanpa bisa dicegah gadis itu melayangkan tinjunya. Perkelahian terjadi, kedua bocah beradu jotos, saling menarik kerah baju. Tidak peduli walau teman-temannya berusaha melerai, termasuk Langit yang menarik lengan Yatna, berusaha menghentikannya.
“Sebentar, Langit! aku belum puas jika tidak memukul kepala kosongnya!”
Dengan dua tangan kecilnya, Yatna menarik kasar baju Nyoman lalu menghantamkan kepalanya sehingga dua kening mereka beradu. Itu benturan keras yang menyakitkan.
Nyoman sontak terdiam, dua detik berikutnya wajahnya memerah dan suara tangisan serupa sirine ambulan terdengar memekakan telinga. Perkelahian hebat ini dimenangkan Yatna. Namun apa yang menunggu setelah ini tidaklah menyenangkan. Sesampainya mereka di Yayasan Panti Asuhan, Teteh Salsa sudah berkacak pinggang di depan pintu, menatap mereka satu persatu. Mata coklatnya jernih dan tajam, selalu berhasil membuat anak-anak sontak menunduk.
“kali ini apa yang terjadi?”
Teh Salsa bertanya dengan suara lembut dan tegas. Dia berlutut di depan anak-anak supaya pandangannya setara ketika bicara.
“Aku bisa menebaknya, tapi kalian pastilah tahu bahwa perkataan jujur lebih baik dari apapun.”
“Nyoman mengganggu Langit lagi.” Yatna membuka suara lebih dulu.
“Aku mengajaknya bermain!” dibalas sergahan Nyoman.
Mereka berdua kembali saling tatap, Yatna mendorong kasar Nyoman hingga bocah itu mundur selangkah.
“Kau bukan mengajaknya bermain, tapi merundungnya, menghinanya bisu padahal tidak!”
“Cukup anak-anak!”
Salsa berseru, menghentikan dua anak yang siap bertengkar lagi.
“Nyoman, kamu sudah berjanji tidak akan menghina, atau menjelekan teman-temanmu lagi. Kita ini keluarga, meski tidak sedarah tapi kita tinggal dan tumbuh besar bersama-sama. Apapun kekurangan dan kelebihan mereka, kita akan menerimanya.”
Nyoman kembali menunduk, “Maafkan aku, Teh.”
“Kau tahu harus meminta maaf pada siapa, bukan?” Salsa balas bertanya dan sedikit tersenyum ketika Nyoman mengangguk dan balik kanan.
Anak itu mengulurkan tangan pada Langit yang masih tertunduk sejak tadi.
“Maaf, sudah menghinamu.”
Langit menggelang, tersenyum tipis. “Se-senang kamu me-menyesalinya,” meski terbata dia berujar pelan sambil meraih uluran tangan Nyoman.
“Dan kamu, Yatna.” Kali ini Salsa menunjuk gadis kecil yang tersentak pelan ketika namanya disebut.
“Berapa kali kakak bilang, tidak semua masalah selesai dengan tinju. Kamu ini perempuan, kenapa kepalan tanganmu lebih dulu bicara daripada mulutmu?”
Yatna nyengir lebar, jelas dari tatapan matanya dia tidak mau disalahkan. “Aku sudah bicara lebih dulu, tanya saja Langit. Tapi mulut lemes Nyoman memang mengundang untuk dihajar.”
Nyoman hendak berseru tidak terima, tapi diam saat melihat Salsa melotot. Yatna ikut menunduk, lalu meminta maaf karena membantah. Setelah itu mereka berlima mendapat hukuman membersihkan dapur dan membantu menyiapkan makan malam.
Continue…
Yayasan Panti Asuhan Bakung namanya, sebuah bangunan tua dengan dua lantai berwarna coklat kayu, dari atas hingga sisi kanannya tertutupi sulur tanaman merambat. Seluruh ruangan, kamar-kamar serta lorong-lorong selalu bersih dan rapi. Yayasan ini berada di desa yang terletak di salah satu pulau besar Indonesia bagian barat, kalian bisa menyebutnya Desa Tang-urang.
Di samping kanan terdapat pohon rindang, salah satu dahan besar terdapat dua buah ayunan yang terbuat dari tali tambang dan ban mobil bekas. Bangunan itu dikelilingi pagar-pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan lebatnya pepohonan. Sebuah pemandangan asri, damai, dan terkesan hangat.
Anak-anak yang tinggal di Yayasan ini tidak mengenal orang tua mereka. Hidup dan tumbuh besar bersama, setiap tahun saudara mereka bertambah, pun juga berkurang. Jika kalian beruntung terlahir dengan mewarisi gen genetik suatu Suku, maka orang-orang kelas menengah akan mengadopsi kalian. Menjadi anak mereka, disekolahkan tinggi-tinggi, dan dibanggakan karena memiliki kekuatan. Sementara jika tidak, biasanya mereka akan merantau ketika menginjak usia dewasa.
“Kali ini aku pasti akan diadopsi orang paling berpengaruh di dunia Antar Suku!”
Nyoman mengomel sambil mencuci piring, busa-busa tampak tinggi, ada satu menempel di hidungnya.
“Aku tidak perlu lagi mencuci piring, atau memasak, atau mencuci baju!”
“Aku ragu ada orang yang mau mengadopsi mu, Nyoman.” Yatna menyahut tanpa menghentikan gerakan tangan yang sedang memotong sayur.
“Siapa yang tahan mendengar mulut bawel mu itu?”
“Apa kau tidak ada cermin di kamarmu, Na?” Nyoman mendengus kasar, tidak terima. “Kalau kau tidak punya, pinjam sana sama Langit!”
Merasa terpanggil, bocah bermata biru yang sedang sibuk menyapu menoleh. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berusia lima tahun memeluk kakinya, tertawa renyah. lalu dia menarik celana seperempatnya, kemudian berlari mengambil mangkok dari atas meja. Langit segera menaruh sapu lalu mengejar anak kecil itu.
“Owen! Owen! Owen!” panggil Langit sambil mengejar, hendak mengambil kembali mangkok beling dari tangan Owen.
“Hati-hati,” ucapnya setelah berhasil merebut mangkok beling. Owen tertawa, melompat-lompat lalu berlari lagi mengambil sapu.
“Owen!” Langit berseru lagi.
Nyoman dan Yatna melihat mereka berdua dengan dua ekspresi berbeda. Tertawa gemes dan jengkel.
“Hei, Langit! lebih baik kau ajak mereka bermain di luar. Aku tidak mau harus membereskan kekacauan mereka!” ujar Nyoman bersungut-sungut.
“Tapi hu-hukuman?” tanya Langit setelah berhasil menangkap Owen. Bocah lima tahun itu tertawa renyah di gendongannya.
“SUDAHLAH, BAWA SAJA BOCAH-BOCAH ITU KELUAR!!” teriak Nyoman tidak sabaran.
Yatna mengerutkan kening, dia lalu memukul punggung Nyoman kuat membuat anak laki-laki itu mengaduh dan melotot ke arahnya. gadis kecil tidak takut, malah balas melotot, siap membela temannya.
“Jangan begitu, Nyoman! memang kamu tidak bisa bicara pelan-pelan?” Yatna mulai mengomel, “Aku aduin kamu sama Teh Salsa!”
“Ah! kau ini mainnya aduan saja! memang apa salahku?!”
“Kamu bisa bicara baik-baik. Seperti, ‘Langit, tidak apa-apa, di sini sudah ada aku, Yatna, Bill dan Bong.’ begitu!” Yatna berujar seakan-akan dirinya Nyoman.
“Tidak usah teriak-teriak, memang kau pikir ini di hutan?!”
Nyoman menatap Yatna jeri, lebih tepatnya pada pisau dapur di tangan gadis itu. Dua ancaman sekaligus diberikan membuatnya terdiam. Langit menghela napas pelan, dia lalu mengajak Owen dan juga Opie--anak perempuan yang sejak tadi diam memperhatikan-- untuk pergi ke atas, bermain ayunan.
Langit mulai mendorong ayunan yang terbuat dari tali tambang dan ban mobil. Untungnya siang ini tidak banyak anak-anak bermain di halaman, sebagian sudah tidur siang. Sehingga Owen dan Opie bisa bermain riang tanpa perlu bertengkar dan saling berebut.
“Langit,” Salsa memanggil dari kejauhan.
Dia menghampiri lalu memberikan buku catatan kecil dan pena, sedikit kotor oleh tanah, namun masih bisa digunakan. Itu adalah milik Langit yang direbut Nyoman dan teman-temannya.
“Aku menemukannya saat kembali dari rumah kepala desa.”
Langit segera mengambilnya, tersenyum lebar. “Terima kasih, Teh Salsa.”
Wanita itu balas tersenyum hangat, dia mengusap pelan puncak kepala Langit, juga membersihkan sisa noda tanah yang masih menempel di kerah baju.
“Sudah sore, waktunya kita pulang dan makan malam.”
Wanita muda itu menghentikan ayunan lalu menggendong Opie, sementara Owen menggenggam tangan Langit. Mereka berempat masuk dan mengunci pintu rumah. Sebuah ruangan cukup luas, dengan kesan jadul terasa ketika memasuki ruang tengah. Di tengah ruangan terdapat tiga sofa berwarna putih kusam, dindingnya abu-abu bercorak sulur tipis-tipis. Di beberapa sisi terdapat meja tua dengan kayu jati, juga tanaman hias. Ruangan tengah yang sering dijadikan tempat berkumpul.
Salsa menurunkan Opie, “Kalian pergi duluan ke ruang makan. Teteh perlu menemui Bibi Tun sebelum bergabung.”
Langit mengangguk, dia segera menggandeng Opie dengan tangannya yang bebas. Kemudian mereka bertiga menuju lorong sebelah kanan, menuju ruang makan dan dapur yang digabung menjadi satu ruangan. Salsa segera pergi ke sisi kiri, menuju ruang kantor Direktur Yayasan, Bibi Tun, untuk melapor mengenai hasil rapat yang dihadirinya siang tadi di Aula Desa.
Ruang makan tampak ramai dengan dua puluh anak-anak, sepuluh anak dibawah usia sepuluh tahun, lima anak balita, dan lima remaja. Di tengah-tengah ruangan terdapat tiga meja panjang bersisian, anak-anak saling bantu menyiapkan makan malam. Dari arah dapur, Langit melihat Yatna dan Nyoman sibuk mendorong troli penuh makanan.
“Jika saja yayasan memiliki uang lebih untuk membeli troli canggih dari Ibu Kota.”
Itu suara Nyoman, mulai mengeluh sambil mendorong troli perak ke arah meja panjang. “Aku tidak perlu mendorong troli berat ini, tidak perlu juga menaruh banyak makanan di meja.”
“Kalau semua pakai teknologi, aku yakin anak-anak akan jadi pemalas sepertimu.” Yatna berkomentar, dia mulai menaruh makanan di atas meja.
“Teknologi membuat mudah, segalanya serba instan, bukannya itu bagus? pemalas itu sifat bawaan seseorang, kalau dasarnya malas, ya malas saja! jangan malah mencari pembenaran dan menyalahkan teknologi!”
Langit tertawa pelan mendengar pembelaan Nyoman, dia lalu mendekat dan membantu mereka menata makanan di meja.
“Ki-kita perlu uang banyak untuk membeli tek-teknologi. Aku ti-tidak tega dengan Bibi Tun.”
“Wah, lihat! Langit bicara lebih dari dua suku kata.” Nyoman tersenyum miring, kemudian mengadu ketika kepalanya dikeplak Yatna.
“Benar kata Langit, beruntung Bibi Tun adalah orang yang bijak dan bertanggung jawab. Apa kau tidak baca berita? tidak sedikit pemilik panti asuhan korupsi dana santunan anak panti. Membiarkan anak-anak kelaparan, dan tidak mendapat kehidupan yang layak. Berbeda dengan kita yang masih hidup di tempat bagus seperti ini, makan tiga kali sehari, memakai pakaian bersih, bahkan bisa belajar baca dan berhitung. Kita harus banyak-banyak bersyukur, Nyoman.”
Yatna berbalik setelah menaruh makanan, dia menyeringai lebar. “Kalau kau ingin lebih banyak teknologi, maka rajinlah membantu di sawah supaya hasil panen kita melimpah dan mendapat uang banyak.”
“Aku tidak suka kotor-kotoran!” Nyoman menggeleng ngeri membayangkan tubuhnya dipenuhi lumpur.
“Setelah aku diadopsi orang kaya dan menjadi jawara, aku pastikan akan menjadi donatur terbesar bagi yayasan ini.”
Yatna memutar bola matanya jengah, “Ya, ya, karena itu kau harus bersakit-sakit dahulu sebelum bersenang-senang kemudian. Bekerjalah di sawah sambil menunggu orang tua angkat mu datang.”
Nyoman melotot kesal, dia berteriak marah. Yatna dan Langit menutup telinga sambil tertawa renyah. Ketika Salsa muncul bersama seorang wanita tua dengan kebaya sederhana berwarna coklat. Ruang makan yang semula riuh berubah senyap. Lalu serempak mereka menyapa dua wanita penting di panti.
“Selamat sore, Bibi Tun, Teh Salsa!”
Bibi Tun tersenyum cerah, gurat wajahnya hangat dan tampak masih muda meski garis-garis halus di sekitar mata jelas terlihat. Dia melambaikan tangan, memberi gesture pada anak-anak untuk duduk. Anak-anak panti segera menurut, selang satu menit, mereka sudah duduk rapi mengelilingi meja makan.
“Sebelum kita menikmati makan malam hari ini, ada dua hal yang perlu Bibi sampaikan pada kalian semua.” Bibi Tun terdiam sejenak, agaknya berita ini cukup enggan dia sampaikan.
“Pertama, ada kabar kalau seekor babi bagong yang sudah bermutasi telah menghancurkan beberapa lahan. Sampai binatang itu berhasil dikalahkan, kalian dilarang pergi terlalu jauh dari rumah, tidak ada yang boleh pergi ke hutan barat, meski itu hanya perbatasannya.”
Suara anak-anak yang terkejut, juga cemas mulai membuat ruang makan berubah bising. Saling berbisik mengutarakan kecemasan dan ketakutan mereka. Salsa segera berusaha menenangkan anak-anak.
“Kepala desa meminta pemuda-pemuda desa berkumpul untuk memburu binatang itu, dan beliau juga meminta beberapa dari anak-anak panti dengan kekuatan turut membantu.”
Perkataan terakhir Bibi Tun semakin membuat riuh ruang makan. Beberapa diantaranya tampak antusias, sebagian lagi cemas, dan juga takut. Nyoman tersenyum lebar, bahkan sudah mengepalkan tangannya. Yatna terlihat tidak tenang dan melirik Langit, bocah bermata biru itu tampak tenang memperhatikan Bibi Tun.
Continue…
Salsa sekali lagi menaruh telunjuk di depan mulut, memberi isyarat pada anak panti untuk kembali diam. Anak-anak menurut, suasana kembali tenang dan Bibi Tun melanjutkan ucapannya.
“Basuki.”
Remaja laki-laki berusia empat belas tahun dengan rambut keriting, berkulit gelap, mengangguk singkat ketika namanya dipanggil.
“Tio.”
Di samping Basuki, remaja seumurannya dengan kulit kuning langsat, berambut cepak, dan bermata coklat tua mengangkat tangan ketika disebut.
“Nyoman.”
Tidak perlu dilihat pun pastilah tahu siapa pemilik suara teriakan girang itu. Bibi Tun kemudian mengalihkan tatapannya pada anak terakhir.
“Dan Langit,”
Dua pasang mata berbeda warna itu saling tatap. Bocah berusia sepuluh tahun bermata biru tersenyum kecil, mengangguk, menanggapi tatapan tersirat itu. Bibi Tun menghela napas pelan, dadanya terasa sesak, namun dia berusaha tersenyum walau getir.
“Kalian berempat pergilah ke balai desa besok subuh. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk dan kalian kembali sehat walafiat.”
Ketiga anak laki-laki mengangguk mendengarkan, sementar Nyoman masih sibuk ber-yes-yes. Bibi Tun lalu menepuk tangan, seakan menandakan berakhirnya pembicaraan ini. Kemudian dia tersenyum lebar, siap melanjutkan kabar berikutnya.
“Bibi yakin, kabar kedua ini pasti akan sangat menggembirakan.” Wanita itu sengaja menggantung ucapannya supaya perhatian anak-anak tertuju padanya.
“Minggu depan kita akan kedatangan sepasang pasutri yang ingin menambah anggota keluarga mereka.”
“SUNGGUH?!” suara itu berasal dari Nyoman yang sudah berdiri sambil menatap Bibi Tun. “Apakah mereka orang berpengaruh? apakah mereka kaya?”
Bibi Tun tertawa renyah, Yatna sudah menarik ujung baju Nyoman, memaksanya kembali duduk. Suasana ruang makan berubah bising, dan diliputi antusiasme. Anak-anak itu mulai berceloteh, berangan-angan bahwa kali ini mereka akan mendapatkan orang tua yang di impikan sejak lama.
Hampir semua anak tidak sabar bertemu dengan calon orang tua mereka, kecuali Langit.
Bocah itu hanya diam dengan segaris senyum tipis. Sinar matanya terlihat tidak peduli, dia lebih memperhatikan Owen di sampingnya. Mencubit pelan pipi gembil dan terkekeh pelan.
***
Pukul sebelas malam.
Semua lampu sudah dimatikan, anak-anak tertidur pulas di ranjang masing-masing. Namun ada satu kasur kosong dengan selimut tersibak dan hampir jatuh ke lantai. Menuju arah dapur, secercah cahaya remang-remang terlihat. Di meja berbentuk persegi panjang, duduk seorang remaja berambut cepak. Anak laki-laki itu menunduk, menatap pantulan wajahnya di permukaan susu hangat.
“Kak Tio?”
Tio tersentak dan menoleh cepat sebelum dia menghela napas lega setelah tahu siapa yang datang. Dia tersenyum hangat dan menyuruh Langit untuk duduk di sampingnya.
“kenapa kamu belum tidur, Langit? Besok kita harus berangkat pagi-pagi. Atau kamu gugup? jadi tidak bisa tidur?”
Langit menggeleng pelan, “A-aku ha-haus.”
“Ah! kau mau minum susu hangat?” Tio menawarkan gelasnya, dan diterima dengan senang hati oleh Langit.
Bocah itu meniup pelan sebelum menyesapnya dengan hati-hati. Tio tersenyum, gemas melihatnya. Namun sinar matanya kembali meredup. Seakan mampu membaca kegelisahan Tio, Langit berujar pelan.
“Semua akan baik-baik saja, Kak.”
Mendengar perkataan Langit, agaknya membuat hati Tio tenang. Dia mengelus pelan puncak kepala adik kecilnya. Semua orang di yayasan tahu betul, jika Langit sudah bicara jelas tanpa terbata, maka biasanya apa yang dia katakan menjadi kenyataan. Itulah salah satu kemampuan unik yang dimiliki Langit.
“Terima kasih, Langit. Besok, kau harus berada di dekatku, aku akan menjagamu dengan baik.”
“Um! a-aku ju-juga a-akan menjaga, kak Ti-Tio!”
“Nah, sekarang kita harus tidur. Besok adalah hari penting!” Tio segera beranjak dan membawa Langit kembali ke kasurnya.
***
Tepat pukul lima pagi, empat anak laki-laki sudah bersiap menuju balai desa. Bibi Tun, Teh Salsa dan Yatna akan mengantar mereka.Sebenarnya gadis kecil itu sudah dilarang, namun bersikeras untuk ikut karena mencemaskan teman-temannya. Hingga akhirnya Bibi Tun memperbolehkannya dengan helaan napas berat Salsa yang terpaksa setuju.
Sesampainya mereka di balai desa, suasana terlihat ramai. Para wanita sudah memasak sejak subuh, menyiapkan makanan untuk mereka yang akan pergi berburu. Sementara para laki-laki, sibuk menyiapkan senjata mereka. Di bagian sisi kanan balai sudah dipenuhi dengan berbagai macam tombak runcing, pedang, anak panah dan senapan laras panjang.
Nyoman yang memang sudah bersemangat, semakin tidak terkendali ketika matanya melihat senapan. Matanya berbinar, dan mulai merengek meminta untuk mendapatkan senapan sebagai senjatanya. Teh Salsa sudah mulai naik darah, menyuruh anak laki-laki itu untuk diam sebentar dan mengikuti Bibi Tun bertemu kepala desa.
Seorang pria berkisar umur lima puluh tahunan menghampiri Bibi Tun ketika melihatnya datang. Badannya pendek, sedikit gemuk, dengan rambut tipis yang mulai penuh uban. Dia memakai peci dan baju koko warna putih serta sarung bermotif kotak-kotak hitam putih.
“Kalian sudah datang rupanya, mari masuk.”
“Semoga kami tidak terlambat datang untuk rapat sebelum berburu, Pak Parto.”
Pria itu terkekeh pelan, “Tidak, tentu saja tidak. Kita malah masih ada waktu untuk sarapan bersama. Apa kalian sudah makan anak-anak?” kini mata coklatnya yang mengabu beralih pada anak-anak di belakang Bibi Tun.
keempat anak laki-laki menggeleng bersamaan. Mereka memang sudah diberitahu untuk tidak sarapan karena akan makan bersama di balai desa.
“Nah, kalian bisa ikut makan bersama yang lain. Tidak usah malu-malu, makanlah yang banyak. Baru setelah itu kita berkumpul, yah!” Pak Parto segera mengantar rombongan panti menuju meja panjang di halaman depan.
Bentuknya seperti prasmanan, anak-anak segera mengantri dengan piring di tangan masing-masing. Satu persatu mereka menyendok nasi, lauk pauk, sampai kerupuk barulah mengambil air mineral kemasan gelas.
Langit dan Yatna mengambil makanan secukupnya, berbeda dengan Nyoman yang duduk di sebelah mereka. Anak laki-laki itu meski berbadan kurus, porsi makannya bisa untuk lima orang.
“Aku harap kau tidak menyusahkan yang lain, karena tiba-tiba sakit perut di tengah hutan, Nyoman.” Yatna menyindir halus sambil matanya menatap ngeri pada isi piring yang menggunung.
“Tidak akan!” sahut Nyoman cuek dan sibuk makan.
Selesai makan bersama, para pemuda segera memanggil keempat anak panti untuk memilih senjata mereka. Nyoman sudah lebih dulu lari menghampiri. Matanya berbinar penuh antusias, sementara Langit tampak ragu-ragu melihat-lihat senjata di depannya.
“Ini PCP MONEL?!” seruan itu berasal dari Nyoman ketika dia menunjuk salah satu senapan. “Bukannya ini buatan kediri? wah, ada juga PCP Luger–eh, Luger atau Ruger namanya?--UWOO!! AIRFORCE CONDOR?! apakah ini keluaran Amerika? Ya Tuhan ini buatan lokal?!”
“Hahaha Nyoman benar-benar tahu soal senapan,” Basuki terkekeh pelan, dia lalu mengambil dua tombak panjang dan menimbangnya. Mencoba menggenggamnya dan merasakan apakah pas di tangan atau tidak.
Sementara itu Tio mendekati kumpulan busur panah, dia juga membutuhkan waktu untuk memilih. Dan untuk Langit, anak laki-laki itu jelas tidak begitu tertarik, atau peduli dengan senjata-senjata di depannya. Dia tidak mengerti dan tidak suka dengan senjata.
“Kau tidak mungkin pergi dengan tangan kosong, Langit.” Yatna yang berdiri di sampingnya mengingatkan. “Pilihlah satu, sebagai cadangan jika terjadi sesuatu.”
Langit mengangguk kecil, lalu mengalihkan atensinya pada kumpulan senjata, berusaha memilih.
Setelah setengah jam berlalu, akhirnya keempat anak memilih senjata mereka. Nyoman memilih senapan hitam laras panjang dengan teropong di atasnya, Airforce Condor. Basuki memilih tombak dengan panjang 3 meter, terbuat dari besi dan mata tombak terbuat dari bahan logam. Disisi lain Tio memilih busur panah lunxing M131 yang ideal dan ringan berwarna hitam.
Yatna menatap takjub ketiga temannya, lalu beralih pada Langit yang datang terakhir. Bocah laki-laki itu akhirnya memilih sebilah belati bayonet, mirip parang, dengan warna hijau tua di bagian atasnya.
Nyoman menahan tawa melihatnya, dari segala jenis senjata keren di sini, Langit memilih belati.
“Ya, kau bisa menebas alang-alang selagi kami berburu.” Nyoman mengejeknya sambil menebas udara memperagakan.
Langit hanya senyum malu sementara Yatna memutar bola matanya jengah. Suara Pak Parto terdengar dari depan balai kota, mulai memanggil untuk berkumpul. Sepertinya sudah waktunya rapat strategi sebelum berburu. Keempat anak mulai berlari, ikut berkumpul dan mendengarkan instruksi dari kepala desa.
Mereka akan berangkat sebentar lagi, sebelum matahari kian tinggi. Dengan per orang membawa ransel berisi perbekalan dan alat-alat. Mereka semua akan pergi ke hutan barat karena menurut hasil pengawasan, babi bagong itu hanya akan datang malam hari dan selebihnya berada di hutan. Mereka berencana mendatangi sarangnya, namun sebelum itu akan berusaha mengurangi jumlah babi liar agar tidak mengganggu ketika menjatuhkan raja mereka.
Continue…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!