Pintu ruangan kelas XI IPA 3 yang terletak di lantai dua terbuka perlahan tepat setelah sesi perkenalan seorang murid baru bernama Arjuna berakhir. Seorang perempuan berseragam putih abu-abu lengkap dengan atributnya berdiri di ambang pintu kelas. Dia tersenyum canggung memandangi beberapa pasang mata yang tertuju secara otomatis ke arahnya.
"Kamu mau kasih alasan apa lagi ke saya, Aruna?" Bu Sandria, guru mata pelajaran Matematika yang duduk di kursi sebelah papan tulis beranjak dari tempatnya saat ia menengok ke arah Aruna. Kemudian dia berjalan menghampiri gadis itu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya. "Kamu ini gak ada kapoknya, ya. Tuh, liat poin kamu! 55, Aruna! Kamu tau kan apa konsekuensinya kalau dapet poin di bawah 50?"
Cewek itu hanya menundukkan kepala dalam-dalam, kemudian mengangguk.
"Lantas kalau kamu udah tau, kenapa masih diulangi? Atau ... apa kamu memang ingin mendapat poin di bawa 50 agar mendapat hukuman skorsing dari sekolah, terus kamu bisa leha-leha di rumah? Begitu?"
"E-enggak, Bu!" jawab Aruna lirih.
"Haah, ya sudah. Ini kesempatan terakhir, ya! Kalau besok-besok terlambat lagi, jangan harap kamu bisa masuk kelas saya!" ancam wanita itu. Kemudian dia menengadahkan tangannya di depan gadis itu. "Sekarang mana form keterlambatan dari guru piket?"
Aruna buru-buru merogoh formulir yang dimaksud di kantong depan ransel hitamnya. Kemudian ia memberikan kertas tersebut kepada bu Sandria seraya membentuk ringisan kecil di bibir. "Ini, Bu."
"Ya udah, sekarang kamu boleh duduk di tempatmu."
Aruna berjalan tergopoh-gopoh melewati deretan kursi di barisan paling pinggir dekat jendela setelah diberi izin oleh bu Sandria. Tempat duduk gadis itu berada di barisan kedua paling belakang. Sebuah tempat yang sangat strategis untuk menghindari pengawasan guru.
Raut wajah Aruna tiba-tiba berubah ketika mendapati seorang laki-laki duduk manis di bangku kesayangannya. Orang itu nampak serius mencatat sesuatu di buku cokelatnya, sampai tak menyadari keberadaan Aruna yang sudah berdiri di samping meja.
"Lo ngapain di sini? Gak baca ada tulisan itu di meja, hah?" tanya Aruna setengah membentak.
Laki-laki itu menoleh sembari melepas pulpen di tangan kanannya. "Owalah, ternyata kursi ini ada penghuninya, ya. Aku kira kosong, hahaha!" Kemudian dia mengukir senyuman lebar yang manis sembari mengulurkan tangannya ke arah Aruna. "Oh ya, omong-omong salam kenal, ya. Aku Arjuna. Pindahan dari Yogyakarta."
Aruna tidak memberikan respon yang hangat untuk menyapa balik cowok itu. Matanya mendelik tajam, menatap Arjuna dengan tatapan tak suka, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Gak usah basa-basi deh! Cepet pindah dari tempat gue!" usir Aruna dengan kasar.
Si anak baru itu tersenyum kecil saat menarik tangannya kembali. Wajahnya tidak kelihatan Tersinggung ataupun kesal, meskipun Aruna telah menunjukkan sikap yang kurang ramah kepadanya.
"Oh iya, hahaha! Maaf ya, Aruna." ucap cowok itu selepas membaca tulisan nama Aruna yang di meja tersebut.
Usai itu Arjuna mengemasi barang-barangnya yang berserakan di meja, lalu beranjak dari tempat duduk Aruna dan berpindah ke meja kosong yang berada di sebelah gadis itu.
"Aruna, Aruna. Sok akrab banget, sih!" cibir Aruna seraya melirik cowok itu dengan sinis.
Huh, untung saja sistem tempat duduk di sekolah ini masing-masing, alias tidak berdempetan antara satu meja dengan meja lainnya. Kalau tidak, kemungkinan besar Aruna akan menghabiskan waktu selama hampir setahun menjadi teman sebangku anak baru yang langsung bertingkah sok akrab bernama Arjuna ini.
"Run, jangan galak-galak dong sama Arjuna. Nanti lu malah demen loh, hahaha!"
Aruna merespon candaan Raka, cowok yang duduk di depan anak baru itu dengan menunjukkan raut sinis.
"Dih, candaan lo gak lucu, Raka!"
...****************...
"Oke, cukup sekian pelajaran untuk hari ini. Ibu harap kalian bisa mencerna dengan baik materi yang Ibu jelaskan tadi," pungkas bu Sandria seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Wanita berkerudung itu tersenyum tipis, lalu mengemasi barang-barangnya ke dalam tas besar warna cokelat di atas meja.
"Oh iya, Aruna."
Aruna yang sejak tadi sama sekali tidak mendengarkan perkataan bu Sandria sontak menengok dan membetulkan posisi duduknya. Perasaannya tiba-tiba menjadi tak enak kala melihat senyuman ambigu yang mengembang di bibir merah satu-satunya wanita berhijab di sekolah itu.
"Sebentar lagi kan istirahat, nanti tolong temani Arjuna keliling sekolah, ya."
"Loh, kok saya sih, Bu?" Aruna spontan mengangkat badannya. Sorot matanya terlihat tidak terima dengan keputusan sepihak yang dilontarkan bu Sandria kepadanya. "Kan masih ada ketua kelas atau teman yang lain. Kenapa harus saya yang nemenin dia keliling sekolah?"
"Karena kamu teman sebangku Arjuna, Aruna. Udah, Ibu gak mau dengar segala jenis penolakan. Pokoknya, kamu harus nemenin dia keliling sekolah. Mengerti?" balas bu Sandria dengan tegas.
Bel pergantian jam berbunyi melalui pengeras suara tepat setelah bu Sandria mengakhiri perkataannya. Setelah itu beliau pamit lalu bergegas meninggalkan kelas.
Sementara itu, Aruna masih duduk manis di tempatnya. Dia menatap teman-teman sekelas yang mulai berhamburan ke luar kelas. Lalu atensinya beralih kepada si anak baru yang kini menempati kursi kosong di sebelah kanannya. Cowok itu kelihatan serius mencatat rumus yang ditulis bu Sandria di papan tulis.
Hm, kalau Aruna perhatikan dari samping, wajah Arjuna lumayan juga. Cowok itu memiliki hidung yang mancung, dagunya lancip, kulitnya bersih meskipun tak terlalu putih. Matanya juga—
Napas Aruna tiba-tiba tercekat saat cowok itu menoleh ketika dia tengah mengobservasi paras tampan itu. Lantas, Aruna segera mengeluarkan ponselnya dan berpura-pura sibuk sendiri dengan benda persegi panjang itu.
"Aruna, ayo?"
Arjuna telah berdiri di samping meja Aruna. Gadis itu mengangguk sekenanya lalu berdiri sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet dan memasukkannya ke dalam saku blazer bersamaan dengan telepon genggamnya.
Namun belum sampai satu menit meninggalkan tempat duduk, seseorang menahan langkah mereka.
"Arjuna, gimana kalau aku aja yang nemenin kamu keliling sekolah? Kayaknya kalau aku liat-liat, Aruna gak minat jadi tour guide kamu, deh."
Seorang perempuan cantik berdarah campuran Belanda-Indonesia entah sejak kapan telah berada di sekitar mereka. Bibir ranumnya yang tipis merekah layaknya buah delima kala memandangi si anak baru ini. Kemudian jemari lentiknya terulur ke depan Arjuna. "Oh iya kenalin, aku Kinara. You can call me Nara or Kinar."
"Oh iya. Salam kenal, Nara." Cowok di depan Aruna ini tersenyum seraya mengulurkan tangannya kepada Kinara. "Tapi maaf ya, Nar. Aku bareng sama Aruna aja, sesuai dengan yang diminta bu Sandria tadi."
Aruna yang awalnya merasa senang karena bebannya berkurang, spontan menoleh dan memberikan tatapan tidak percaya kepada Arjuna. Bukan apa-apa, tapi cewek yang mengajak cowok ini adalah salah satu yang tercantik se-angkatan kelas 11 loh. Bisa-bisanya dia menolak kesempatan emas itu. Gila!
"Aruna, ayo?"
Aruna tersentak. Lamunannya membuyar seketika saat saat tangan besar milik Arjuna tiba-tiba membungkus salah satu pergelangan tangannya. Lantas, setelah pamit kepada Kinara, cowok itu segera bergegas meninggalkan kelas. Aruna mengekor di belakang Arjuna dengan sedikit kesulitan karena mengikuti langkah kaki si cowok yang cenderung lebar dan cepat.
***
Keduanya tiba di kantin setelah mengelilingi beberapa tempat di sekolah. Aruna mulai mengedarkan pandangan ke sekitar. Dia mencari seseorang yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu. Sementara Arjuna, dia berdiam di sebelah Aruna. Matanya bergerak ke sana kemari, membaca papan menu yang dipasang di dinding kantin.
Senyuman di bibir Aruna merekah perlahan saat menemukan sosok yang ia cari. Itu Kavin, salah satu sahabat baiknya di sekolah ini. Lantas. Aruna menyenggol lengan Arjuna agar cowok itu menoleh ke arahnya.
"Gue tunggu di sana, ya."
"Gue tunggu di sana, ya," ucap Aruna sembari menunjuk ke sebuah meja yang diisi seirang orang lelaki di sudut kantin. Setelah itu dia berlari kecil menghampiri sosok tersebut sembari melambaikan tangannya.
"Gue kira lo gak bakal dateng, Run," sambut Kavin. Dia menggeser bokongnya agar Aruna dapat lebih mudah menempati bagian kosong di sisi kanannya.
Aruna hanya menunjukkan cengiran kecil, lalu mencomot kentang goreng miliknya tanpa izin.
"Dasar Aruna. Nih, lo beli sendiri gih yang banyak. Daripada makan sisaan dari gue," titah Kavin seraya mengeluarkan selembar uang duapuluh ribuan dari dompet cokelatnya dan meletakkan uang tersebut di depan Aruna.
"Ini apaan maksudnya, jir? Lo mau jadi sugar daddy gue?" Aruna menunjukkan raut bingungnya saat menatap Kavin dan uang itu secara bergantian.
"Idih, pikiran lo!" cibir Kavin. Namun sesaat kemudian senyuman miring tiba-tiba mengembang di bibirnya. "Tapi kalau lo mau jadi sugar baby seorang Kavin Adhitama yang gantengnya di atas rata-rata ini gak papa kok, Run. Hehehe."
"In your dream, Vin!" tukas Aruna sembari memukul lengan besar cowok yang berasal dari Bandung ini.
Kemudian perhatian Aruna beralih kepada kerumunan orang yang mengantre di salah satu stand makanan. Ekor matanya tak sengaja menangkap Arjuna. Cowok itu baru saja selesai membeli sesuatu di sana. Kini dia sedang dikerubungi beberapa cewek yang berusaha mengajaknya untuk duduk bersama.
Huh, dasar norak!
"Lo lagi ngeliatin siapa sih? Serius amat kayaknya."
Aruna buru-buru memalingkan wajah dari Arjuna lalu menoleh ke Kavin sembari tersenyum canggung. "Nggak ada! Gue gak liat siapa-siapa kok!"
Arjuna datang menghampiri meja Aruna saat gadis itu dan cowok di sebelahnya sudah mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Dia duduk di hadapan Aruna sembari menyungging senyuman simpul. "Ternyata kantin di sini rame juga, ya."
"Ya kalau sepi namanya kuburan, lah," timpal Aruna ketus. Setelah itu dia kembali mencomot kentang goreng milik Kavin yang entah sejak kapan sudah berada di depannya..
"Lo anak baru di kelas Aruna, ya?" tanya Kavin.
Cowok yang sudah ia kenal sejak di sekolah dasar ini memandangi Arjuna dengan menaikkan salah satu alisnya. Usai itu dia mengulurkan tangan sembari mengulas senyuman miring. "Kenalin, gue Kavin. Cowoknya Aruna—"
"—Aduh! Gila, cubitan lo kayak sengatan lebah tau gak? Panas banget!" Kavin berjengit sembari mengusap bekas cubitan Aruna yang membekas di lengan besarnya.
"Bodo amat! Suruh siapa rese banget jadi manusia, wlee!" balas Aruna ketus.
Arjuna terkekeh saat mengamati pertengkaran kecil di antara dua sahabat itu. Kemudian dia membalas uluran tangan Kavin sembari tersenyum. "Aku Arjuna. Salam kenal ya, Kavin.
Arjuna tertawa saat mengamati pertiakaian kecil di antara aku dan Kavin. Kemudian dia mengulurkan tangannya kepada cowok gila yang duduk di sebelahku ini. "Aku Arjuna. Salam kenal ya, Kavin."
"Salam kenal juga. Omong-omong, logat lo lumayan medok, ya. Asal dari Jawa, ya?" tanya Kavin.
"Iya. Sebelumnya aku tinggal di Yogyakarta sebelum pindah ke sini. Maaf ya, kalau logatku kedengeran aneh di telinga. Hehehe."
"Nggak kok haha. Tenang aja."
Seorang bapak yang membawa nampan meletakkan pesanan Arjuna di meja selepas perbincangan singkat antara dua laki-laki itu berakhir. Aruna mengernyitkan kening ketika bapak itu meletakkan segelas cairan dingin yang kental berwarna merah muda kepadanya.
"Loh, ini buat siapa? Gue kan belum pesen apa-apa," tanya Aruna kebingungan
"Itu buat kamu, Aruna. Itung-itung sebagai tanda terima kasih karena kamu mau nemenin aku keliling sekolah hari ini," jawab Arjuna. Lagi-lagi pemuda ini menunjukkan senyuma manis di wajahnya, hingga membuat Aruna tiba-tiba menjadi canggung.
"O-oh, oke. M-makasih."
Aruna mulai menyeruput cairan merah muda itu selepas bergelut dengan pikirannya sendiri. Namun baru saja minuman itu menyentuh permukaan lidah, dia tersedak hingga terbatuk dengan cukup keras. Rongga mulutnya pun tiba-tiba terasa begitu kering dan gatal.
"Aruna? Lo kenapa?"
Gadis itu tidak bisa menjawab pertanyaan Kavin. Bibirnya terkunci rapat. Kalau sedikit saja ia menggerakkan bibir, rongga mulutnya akan terasa semakin gatal dan perih. Makanya, Aruna hanya dapat merespon pertanyaan Kavin dengan anggukan sembari mencengkram erat tangan cowok itu.
"Run, kenapa badan lo tiba-tiba panas banget?" tanya Kavin seraya menyentuh permukaan kening Aruna. Dia refleks mengambil gelas milik gadis itu dan mengendus aroma minuman di dalamnya.
"Arjuna!" Sorot mata Kavin berubah menjadi tajam ketika perhatiannya beralih ke anak baru di depan Aruna. "Lo ngasih milkshake stroberi ke Aruna?"
"I-iya. Emang kenapa, ya?"
"Kenapa? Lo gak liat keadaan Aruna sekarang, hah? Dia itu alergi sama stroberi!" bentak Kavin. Setelah itu dia bangun dari tempatnya dan segera membopong tubuh mungil Aruna. Keduanya melesat meninggalkan Arjuna yang masih kebingungan dengan situasi tak terduga yang mereka alami saat ini.
Teng ... Teng ... Teng ...
Mata Aruna perlahan terbuka setelah mendengar sayup-sayup suara bel di luar ruangan. Dua obsidian miliknya berkeliling, menyapu satu per satu objek di dalam ruangan serba putih ini. Keningnya spontan berkerut saat menemukan seorang laki-laki yang duduk di kursi sebelah brangkar tempatnya berbaring saat ini.
Aruna tidak dapat melihat orang itu dengan jelas karena wajahnya bersembunyi di balik dua lengan besarnya. Namun dilihat dari seragam yang ia kenakan, kemungkinan besar cowok. Itu adalah murid baru di sekolah.
Hm, apa mungkin Arjuna?
Ternyata dugaan Aruna benar. Cowok itu adalah Arjunam Dia akhirnya bangun dan menegakkan badannya. Setelah itu ia menggosok pelan kedua matanya dan menatap Aruna dengan wajah yang khawatir. "Gimana keadaan kamu sekarang, Aruna? Udah mendingan, kan?"
"Ngapain lo ke sini? Bukannya sekarang belum masuk jam istirahat?" tanya Aruna ketus.
"Aku izin ke kamar mandi barusan. Terus sekalian mampir ke sini, hehehe," jawab Arjuna sambil cengengesan
"Maaf ya, Aruna." Arjuna tiba-tiba menundukkan kepalanya. Wajahnya memelas. Mungkin dia merasa bersalah karena telah memberikan sesuatu yang dapat memicu reaksi alergi pada gadis itu.
"Aku ngak tau kalau kamu punya alergi stroberi," sambung Arjuna. Selepas itu dia meletakkan salah satu punggung tangannya di kening Aruna dan menyungging senyuman lembut kepada perempuan itu. "Tapi kamu udah gak demam. Syukurlah."
Tubuh Aruna sempat membeku beberapa menit saat membuat kontak dengan manik gelap milik cowok itu. Tatapannya begitu teduh dan menghanyutkan. Wake up, Aruna!
"Gue udah gak papa kok. Udah sana balik ke kelas! Gue mau istirahat!" tukas Aruna seraya menghempaskan tangan Arjuna dengan kasar. Setelah itu dia mengubah posisi tidurnya menjadi membelakangi Arjuna.
"Oke deh. Kalau gitu aku balik ke kelas, ya. Cepat sembuh, Aruna," ucap Arjuna dengan lembut.
Napas Aruna tiba-tiba tercekat saat tangan besar Arjuna menutupi hampir seluruh bagian tubuhku dengan selimut yang awalnya hanya menutupi kaki. Dia memejamkan mata erat-erat, berharap cowok itu segera pergi dari tempat itu. Lalu setelah derap langkah Arjuna sudah tidak terdengar lagi, Aruna kembali mengubah posisi tidurnya menjadi telentang.
Tangan Aruna tanpa sadar bergerak menyentuh dada. Jauh di dalam sana, dia merasa ada sebuah getaran aneh yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Getaran apakah itu? Hm entahlah. Aruna pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Lo mikirin apaan sih, Run? Kayaknya serius banget."
Suara Kavin berhasil membuyarkan pikiran Aruna yang ramai gara-gara ulah Arjuna. Si kapten basket sekaligus drummer salah satu grup band sekolah ini bersandar di tembok dekat gorden pembatas seraya tersenyum.
"Gimana, Run? Udah enakan belum? Badannya masih kerasa gatel gak?" tanya Kavin.
"Udah lumayan, sih. Ruamnya juga udah gak parah kayak sebelumnya. Tapi kepala gue masih kerasa agak nyut-nyutan, Vin."
"Oh ya, Run. Barusan gue udah minta izin ke guru piket sama guru yang ngajar di kelas lo. Mereka udah ngasih izin biar lo bisa balik duluan ke rumah sekarang," ucap Kavin semringah.
"Hah?" Aruna spontan mengerutkan dahi. "Vin, lo tau kan di rumah gue gak ada orang kalau siang? Terus siapa yang ngejemput gue ke sekolah? Mamang angkot? Ojek online?"
Kavin tertawa sembari menepuk tangannya. "Ya enggak lah, Cantik! Gue kan bisa nganterin lo balik. Tenang aja, gue udah ngurus surat izin buat lo kok," ujar Kavin sambil membusungkan dada.
Ya sudahlah, terserah.
...****************...
"Huh, udah jam 7 ternyata."
Aruna meletakkan kembali telepon genggam pada sebuah nakas kecil di sebelah kanan tempat tidur. Kemudian dia menggeser bokongnya ke tepi ranjang, lalu menggantungkan kedua kakinya di sana. Usai menghabiskan waktu dengan melamun selama beberapa menit, Aruna pun beringsut menuruni kasur dan bergegas meninggalkan ruangan.
Kaki jenjang milik Aruna bergerak dengan cepat menyusuri tangga ke lantai dasar. Setelah itu dia melesat menuju ruang makan keluarga yang letaknya masih satu area dengan dapur.
"Eh, kamu udah bangun. Oh iya, kamu tolong bantuin Mama bawa ini ke ruang tamu, ya. Sekalian Mama mau ngenalin kamu ke temen Mama waktu kuliah," kata mama saat Aruna mengambil gelas dari rak dan mengisinya dengan air dingin di dalam dispenser . Habis itu ia menghilang dari dapur sambil membawa dua toples makanan di tangan kanan dan kirinya.
Selepas meredakan haus, Aruna meninggalkan dapur sambil membawa nampan yang ditinggalkan mama, lalu bergerak menuju ruang tamu.
"Nah Kak Tam, Mas Bian, ini anakku yang bungsu. Namanya Aruna."
Aruna tersenyum canggung lalu buru-buru mencium punggung tangan sepasang suami istri itu selepas meletakkan gelas berisi minuman di depan mereka.
"Ini teman kuliah mama, namanya tante Tamara dan om Abian. Kemarin mereka baru pindah ke sebelah rumah kita. Ini anak bungsu mereka, Run. Namanya Sadewa," jelas mama seraya tersenyum simpul. Setelah itu beliau mengambil nampan dari tangan Aruna dan meletakkan benda itu di meja.
"Sekarang kamu duduk dulu gih, kita ngobrol sebentar sama keluarga om Bian dulu," sambung mama. Perempuan yang nampak masih muda walaupun sudah hampir berkepala lima ini memberikan tatapan yang lembut, namun terkesan memberi isyarat agar si putri bungsu mengikuti keinginannya.
Aruna mau tak mau mengikuti keinginan sang mama. Dia akhirnya menempati bagian kosong di samping tante Tamara.
"Oh iya, Kak Tam, mas ganteng ke mana? Kok gak diajak ke sini, sih?" tanya mama.
Dan ... perbincangan antara orang tua ini pun dimulai hingga membuat Aruna jengah. Namun baru saja ia hampir beranjak dari tempat duduk dan bersiap meninggalkan ruang itu, seseorang yang familiar tiba-tiba muncul di ambang pintu utama rumahnya.
"Nah, ini mas ganteng udah dateng! Sini masuk, Mas!" sambut mama dengan hangat. Dia segera bangun dari sofa single yang didudukinya, lalu menggiring orang itu agar duduk di sofa single lainnya yang berada tepat di sebelah Aruna.
Bibir mungil Aruna menganga, menunjukkan raut tak percaya ketika ekor matanya mengikuti cowok itu hingga duduk di sofa tersebut. Seriously, bro? Cowok yang dipanggil mas ganteng sama mama barusan itu ... Arjuna?
"Nah, ini mas ganteng anak sulungnya tante Tamara, Run. Namanya Arjuna. Tadi pagi dia pindah ke sekolah kamu loh," jelas mama.
Yah, tak perlu dijelaskan pun Aruna sudah tahu. Cowok itu adalah Arjuna, anak baru yang tiba-tiba jadi bahan pembicaraan anak-anak cewek di kelasnya bahkan seminggu sebelum ia masuk.
Aruna tertawa miris di dalam hati. Gila! Dari sekian juta manusia yang hidup di dunia ini, kenapa harus Arjuna yang menjadi tetangga dan anak temen mama? Wah, kalau begini caranya sih bisa-bisa Aruna dipaksa harus akrab dengan cowok ini lagi. Ah, menyusahkan sekali!
Arjuna membalas tatapan sinis Aruna dengan ramah. Kemudian dia mengulas senyuman lebar yang manis kepada ibu dari gadis itu. "Kami udah kenalan kok, Tante. Kebetulan, Juna sama Aruna satu kelas dan tempat duduk kami sebelahan, hehehe," jawabnya sambil cengengesan. .
"Wah, jadi kalian udah saling kenal, ya? Udah tukeran nomor belum?"
Celetukan mama berhasil membuat Aruna membulatkan mata. Tapi sepertinya, mama sama sekali tidak terpengaruh dengan sorotan tajam yang Aruna berikan. Beliau hanya mengulum senyuman aneh yang tak dapat diartikan oleh gadis itu.
Huh, apa-apaan coba?
"Belum, Tan. Aruna belum ngasih nomernya ke Juna, hehehe."
What the hell, Arjuna?! Memangnya lo siapa sampe gue harus ngasih nomor pribadi gue ke elo? Lo pejabat? Orang penting di hidup gue?
"Duh, Arun, kasih dong nomer kamu ke mas Juna. Biar kalau ada apa-apa kamu bisa kasih tau dia. Bener kan, Kak?"
Tante Tamara mengangguk setuju. "Bener banget, sayang. Kamu juga, Arjuna! Harusnya jangan nunggu Aruna ngasih nomernya dong. Jadi laki-laki itu harus bergerak maju, jangan mau nunggu!"
Hei hei hei ... kenapa pembahasannya makin ngaco, sih?
"Tam, Mbak Irina, udah dong jangan buat Aruna sama Arjuna jadi kikuk begitu. Kasian loh, muka mereka jadi merah sekarang," timpal om Bian.
Aruna merasa jenuh dengan perbincangan ngalor-ngidul di antara para orang tua ini. Lantas, dia beranjak dari sofa, kemudian berjalan menarik tangan Arjuna sampai cowok itu ikut bangun dari tempatnya.
"Ma, aku sama Arjuna keluar sebentar, ya!" pamit Aruna.
***
Aruna spontan menepis tangan Arjuna dengan kasar saat mereka berada di pekarangan depan rumah gadis itu. "Jangan ge-er, ya. Gue kayak gini cuma untuk nyelamatin lo dari situasi gak enak yang diciptain orangtua kita!"
Arjuna tersenyum simpul dan menganggukkan kepalanya. "Iya, Aruna. Makasih, ya," ucapnya.
"Oh iya, Run. Rumahku yang itu, ya." Arjuna menunjuk ke sebuah bangunan bergaya modern-minimalis berwarna campuran warna biru langit dan biru laut yang terletak di sebelah rumah Aruna. "Terus, kamarku di situ. Yang jendelanya terbuka lebar, hehehe," sambung Arjuna.
Aruna mengamati arah yang ditunjuk Arjuna dengan seksama, terutama kamar cowok itu.
Sebentar ... kalau dilihat-lihat kamar Arjuna kok berhadapan langsung dengan kamar Aruna, ya?
Hah, apa?!
"Oh." Aruna memberikan respon yang datar kemudian melengos pergi meninggalkan Arjuna.
"Eh, Aruna tungguin!"
Setelah berjalan selama beberapa menit, Aruna melipir ke sebuah taman mini yang tak jauh dari jalan besar dekat rumah. Suasana di taman cukup sepi, hanya ada suara angin yang berhembus dan jangkrik yang saling bersahutan seolah sedang mengobrol satu sama lain. Wajar, saat ini sudah jam 8 malam. Anak-anak kecil yang biasa bermain di taman ini pasti sudah berdiam di rumah masing-masing.
Aruna mendaratkan bokong di salah satu ayunan tunggal yang terletak di samping jungkat-jungkit. Kemudian dia melirik Arjuna yang entah sejak kapan sudah duduk manis di ayunan kosong yang bersebelahan denganku. Cowok itu mendongakkan kepalanya ke atas. Dia menatap hamparan langit yang ditaburi bintang sembari mengulum senyuman tipis.
"Langitnya cerah, ya. Cantik," gumam Arjuna.
Aruna terhenyak. Napasnya kembali tercekat saat melihat paras Arjuna ketika sinar bulan menyentuhnya dengan lembut. Entah ini karena pancaran sinar bulan yang mengenai cowok itu atau karena mata Aruna sudah kelewat lelah, tapi malam ini Arjuna kelihatan sangat ... tampan.
"Oh iya, Aruna." Aruna buru-buru membuang muka saat Arjuna menoleh ke arahnya tanpa aba-aba. "Kamu beneran udah gak papa, kan? Maksudku, besok kamu udah bisa sekolah, kan?"
"Bisa lah. Gue cuma kena alergi ringan. Sekarang aja bisa nemenin lo di sini, apalagi sekolah," jawab Aruna ketus.
"Syukurlah." Arjuna tersenyum lega. Dia kembali mendongakkan kepalanya ke atas dan kembali menatap hamparan langit berbintang yang menaungi kota Jakarta hari ini.
"Aku bakal makin ngerasa bersalah kalau besok kamu gak masuk gara-gara aku, Aruna," sambung cowok itu dengan lirih.
"Aruna, bangun."
Aruna masih menggeliat malas di atas tempat tidur. Sepasang manik bulat itu tetap terpejam erat, seolah-olah terdapat perekat di dalamnya. Tangan mungil itu berkali-kali menepis kasar seseorang yang berusaha membangunkannya. Kemudian dia menggeser badannya membelakangi orang itu, lalu menarik selimut hingga menutupi ujung kepalanya.
"Aruna."
Orang itu nampaknya masih belum mau berhenti membangunkan cewek pemalas seperti Aruna. Dia kembali memanggil nama gadis itu dan menepuk bahunya dengan lembut. Namun lagi-lagi respon yang didapat hanyalah tepisan keras sebagai tanda Aruna tidak ingin diganggu.
"Aruna."
Aruna melenguh pelan. Ia terpaksa membuka mata ketika suara berat itu lagi-lagi memanggil namanya dengan lembut. Namun netra kecoklatan itu membulat penuh ketika mendapati Arjuna berdiri di sebelah tempat tidurnya.
"Arjuna! Lo ngapain di sini?!" tanya Aruna dengan nada tinggi. Dia menarik selimut sampai menutupi leher seraya mendelik tajam ke arah Arjuna. "Gue tanya lo ngapain ada di sini? Mau nyari kesempatan di dalam kesempitan, hah?"
"Heee, nggak lah! Aku bukan cowok kayak gitu, Aruna." Cowok itu menggelengkan kepalanya. "Aku dateng ke sini disuruh sama mama Irina. Katanya, kamu susah banget dibangunin. Makanya, beliau minta aku yang ngebangunin," jelas Arjuna.
Kemudian Arjuna memalingkan atensinya ke jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya. "Hmm, udah jam enam lewat lima belas menit, nih. Mending kamu mandi, terus siap-siap deh. Kalau nggak nanti kita terlambat loh," sambungnya.
"Sebenernya lo bisa aja ngetuk kamar gue dulu. Jangan asal masuk aja. Gak sopan banget!" Aruna menggerutu sambil bergerak menuruni kasur. Setelah itu dia bergerak mendekati meja belajar, mencabut pengisi daya yang tersambung ke ponsel. Lalu ia menguncir rambut dengan kunciran hitam yang tergeletak di sebelah ponsel.
"Udah sana pergi! Ngapain masih di sini, sih?" bentak Aruna saat mendapati Arjuna masih belum bergerak dari tempatnya. "Apa perlu gue lempar sesuatu biar lo keluar, hah?"
"Iya, Aruna. Aku tunggu di bawah, ya. Tapi kamu jangan tidur lagi. Oke?" ucap Arjuna. Cowok itu menunjukkan senyuman simpul pada Aruna, lalu bergegas meninggalkan kamar. .
Huh, dasar tidak sopan!
Bisa-bisanya cowok itu masuk begitu saja ke kamar lawan jenis tanpa izin. Untung saja hari ini Aruna mengenakan kaos longgar dan celana panjang. Bagaimana jika dia hanya mengenakan daster atau celana pendek di atas paha? Apa Arjuna tidak berpikiran sampai ke situ? Dasar payah!
Belum lagi, kenapa mama bisa se-percaya itu dengan Arjuna? Walaupun memang, cowok itu kelihatan seperti anak baik-baik dia kan tetap seorang cowok. Apa mama tidak khawatir kalau terjadi sesuatu di antara mereka? Duh, demi apapun Aruna sama sekali tidak habis pikir!
Aruna menggelengkan kepalanya, menepis banyak hal yang masuk ke dalam otaknya. Sudahlah. Semua itu tidak penting. Lebih baik sekarang Aruna mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Aruna menghela napas sejenak, lalu berjalan dengan gontai memasuki kamar mandi.
Selang beberapa belas menit kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi. Dia segera mengenakan seragam pramuka khusus untuk hari Jumat. Setelah itu ia buru-buru merapikan tempat tidur hingga kembali rapi seperti sebelumnya.
And ... done! Hasilnya memang tidak serapi kalau mama yang merapikan, sih. Tapi lumayan lah. Hahaha!
Selanjutnya, Aruna pindah ke meja rias untuk menyisir rambut dan memoles wajah dengan bedak dan liptint yang warnanya senada dengan bibir ranumnya. Selepas memastikan penampilan di depan csrmin, dia bergegas meninggalkan kamar
...****************...
"Aruna, tunggu!"
Aruna mendengus pelan dan memutar bola mata saat Arjuna memanggil namanya untuk ke-sekian kalinya. Gadis itu akhirnya terpaksa menghentikan langkahnya dan membalikkan badan sebelum berbelok menuju jalan besar ke arah gerbang utama Asmaraloka Residence.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Mama Irina minta aku buat ngasih ini ke kamu. Beliau bilang, katanya kamu sering banget nge-skip sarapan," ujar Arjuna. Dia menyodorkan kotak makan merah muda dengan motif polkadot putih kepada Aruna sambil menyungging senyuman lebar. "Nih. Kamu jangan suka nge-skip sarapan, Aruna. Nutrisi itu harus seimbang sama aktivitas yang kamu lakuin. Kalau nggak imbang, kamu bisa ngedrop."
Aruna melirik Arjuna dengan tatapan sinis, lalu merebut kotak itu dari tangannya. "Banyak omong lo!" tukas gadis itu. Kemudian membalikkan badan dan kembali berjalan menuju gerbang utama perumahan tempat ia tinggal selama bertahun-tahun ini.
Untungnya, mobil angkot yang searah dengan sekolah datang tepat ketika dia (dan Arjuna) sampai di halte yang tak jauh dari gerbang Asmaraloka Residence. Lantas, Aruna buru-buru masuk ke dalam mobil tersebut dan duduk di jok paling ujung dekat speaker. Sementara Arjuna mengambil tempat di sebelah kanannya. .
Tak lama dari itu, mobil yang dikemudi pak sopir melesat dengan cepat meninggalkan perumahan tersebut tanpa aba-aba, sehingga membuat tubuh mungil Aruna tak sengaja terpental ke arah Arjuna. Gadis itu tertegun. Tatapan mata yang intens serta wangi parfum maskulin yang keluar dari tubuh cowok itu berhasil membuat tubuhnya membeku selama beberapa saat.
"Ekhem!" Aruna spontan berdeham saat kesadarannya kembali. Dia buru-buru membuang muka sambil menggeser bokong agar dapat membuat jarak dengan Arjuna.
Namun sepertinya, kesialan masih berpihak kepada Aruna. Sopir yang membawa mobil ini menginjak rem tanpa aba-aba, sehingga membuat tubuh Aruna kembali terpental ke arah Arjuna. Lebih sialnya lagi, kali ini jarak di antara mereka benar-benar sangat dekat hingga Aruna nyaris memeluk tubuh atletis pemuda itu.
Aduh!
"Pak, kalau mau ngerem jangan mendadak dong!" bentak Aruna. Setelah itu dia kembali mengalihkan pandangan ke berbagai macam kendaraan yang memenuhi jalanan pagi ini, sambil menggeser bokong agar menjauh dari cowok itu.
Isi kepala Aruna tiba-tiba menjadi ramai. Ada banyak pertanyaan yang menggantung di sana, sehingga membuatnya bingung. Pertama, kenapa bisa-bisanya Aruna hampir memeluk cowok itu? Padahal sebenarnya, dia bisa saja berusaha menahan tubuhnya agar tidak 'oleng' ke Arjuna.
Kedua, Aruna sama sekali gak mengerti dengan reaksi tubuhnya sendiri. Kenapa tiba-tiba jantungnya berdenyut dengan tempo cepat dan tidak beraturan ketika mendapatkan sorot yang intens dari Arjuna?
Mata Aruna tanpa sengaja melirik Arjuna saat dia masih sibuk dengan pikirannya. Laki-laki itu mengulas senyuman simpul ke arahnya. Entah mengapa Aruna merasa jika cowok itu mengamati gerak-geriknya dari tadi. Ah, memalukan sekali!
"K-kenapa? A-ada yang lucu?" tanya Aruna ketus. Dia mendelik, memberikan tatapan tajam yang mengintimadasi ke arahnya.
Namun alih-alih takut, senyuman di bibir Arjuna semakin lebar. "Gak ada apa-apa kok. Aku cuma gemes aja ngeliat pipi kamu, Aruna. Warnanya sekarang merah banget kayak tomat, hahaha!" jawabnya.
"Kamu gak lagi salting gara-gara habis modus ke aku, kan?" sambung Arjuna. Laki-laki itu menaikkan salah satu alisnya sembari tersenyum ambigu saat mengamati Aruna.
"Hah, modus? Enak aja! Lo kira gue penggemar cewek lo yang suka bisik-bisik kayak nyamuk setiap lo lewat, hah?"
...****************...
"Arjuna!"
Aruna tak sengaja ikut berhenti melangkah dan menoleh ke belakang saat nama Arjuna dipanggil oleh seseorang. Ekspresinya berubah menjadi datar saat melihat dua orang cewek sedang berlarian ke arah mereka sambil membawa sesuatu di tangan masing-masing.
"Arjuna, kamu suka makanan manis, kan? Aku bawain kamu roti keju susu loh! Ini buatan aku sendiri, hihihi," ucap Bella, cewek dari kelas IPS 4 yang sering kena tegur guru BK karena rambutnya sering diwarnai macam-macam. Dia menyodorkan sebuah kotak warna merah muda kepada Arjuna dengan wajah malu-malu.
Huek. Rasanya perut Aruna menjadi mual melihat tingkah cewek itu.
"Juna, aku beliin kamu susu nih, biar kamu semangat ngejalanin kegiatan hari ini," timpal cewek berkuncir kuda di sebelah Bella. Namanya Ajeng. Dia memberikan sekotak susu rasa cokelat pada Arjuna dengan mata yang berbinar.
Aruna kira, hanya dua cewek itu saja yang datang dan menyapa Arjuna. Namun ternyata salah. Beberapa cewek lainnya tiba-tiba muncul dari arah yang berbeda. Mereka mulai membuat kerumunan di sekitar Arjuna. Di antara mereka ada juga yang memberikan sesuatu untuk cowok itu. Namun ada juga yang hanya sekedar mengajaknya mengobrol.
Aruna mengamati para cewek itu dengan wajah sinis. Dia muak. Tingkah genit yang ditunjukkan cewek-cewek ini membuat Aruna ingin memuntahkan isi perutnya. Huh, apa mereka gak bisa bersikap biasa aja di depan cowok?
"Kavin!"
Senyuman lega mengembang di bibir Aruna saat sudut matanya menemukan sosok Kavin yang baru saja masuk ke lobi utama sekolah dari pintu samping. Lantas, dia bergegas menghampiri cowok itu lalu menggamit lengan berotot tersebut ketika ia tiba di sebelah Kavin.
"Lo kenapa, Run?" tanya Kavin kebingungan.
"Udah, jalan aja. Mood gue tiba-tiba dirusak sama bocah sok ngartis." Aruna menoleh ke belakang, mengamati Arjuna yang masih meladeni para penggemarnya dengan wajah kesal.
Singkat cerita, Aruna tiba di kelas. Matanya berkeliling, mengamati satu per satu orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Di antara mereka ada yang sedang menghabiskan sarapan dengan tergesa-gesa, ada juga yang asik sendiri bermain game di ponsel.
Tanpa sadar, perhatian Aruna beralih ke Arjuna yang muncul dibalik pintu kelas. Pemuda itu berjalan mendekati tempat duduknya sambil mengobrol dengan Raka.
Tapi alih-alih langsung menempati kursinya, Arjuna malah bersinggah ke tempat Aruna. Dia berdiri di sebelah meja si perempuan sambil menunjukkan senyumannya yang khas.
"Apa?" tanya Aruna ketus.
"Tadi kamu kenapa pergi gak bilang dulu, Run? Aku sampe bingung pas tau kamu gak ada di sebelah aku tau."
Aruna memutar bola mata lalu melirik cowok itu dengan sinis sembari menopang dagu. "Ya, suka-suka gue lah! Emang lo siapa sampe gue harus izin segala?"
Arjuna merespon perkataan Aruna yang terkesan jutek ini dengan senyuman kecil yang mengembang di bibir penuhnya. Kemudian ia meletakkan sekotak susu cokelat dan sebuah roti dengan taburan keju panggang di meja Aruna.
"Ini apaan? Kenapa ditaro di sini?" tanya Aruna sembari mengernyitkan kening.
"Itu, roti yang dikasih cewek yang manggil aku tadi, Run. Tadinya ada dua kok. Cuma yang satu udah aku kasih ke yang lain. Hehehe," jawab Arjuna sambil cengengesan.
"Lo gak makan rotinya?"
Arjuna menggeleng. "Aku gak terlalu suka makanan manis, Run. Jadi daripada dibuang, mending dimakan sama yang lain, kan?"
Aruna memandangi roti yang dibungkus plastik transparan serta kotak susu warna cokelat dengan seksama. Setelah berpikir cukup lama, dia memutuskan untuk mengambil dua benda itu dan memasukannya ke dalam loker. "Ya udah, makasih ya," ucap gadis itu acuh tak acuh.
"Sama-sama." Arjuna lagi-lagi membalas ucapan Aruna dengan senyuman yang manis. "Oh ya, Aruna, aku boleh nanya sesuatu gak?"
"Nanya apaan?"
Arjuna tidak segera melayangkan pertanyaannya. Dia malah bergeming di tempat sambil memandangi Aruna dengan wajah ragu.
"Sebenernya aku ragu nanyain ini, sih. Tapi ... kamu sama Kavin pacaran, ya?"
"Enggak. Kavin itu temen deket gue dari kecil. Sejak SD sampe sekarang, gue selalu satu sekolah sama dia. Makanya, gue sama dia tuh deket banget, bahkan sampe sering dikira pacaran. Padahal sebenernya enggak kok."
Setelah berucap panjang lebar, Aruna berdiam sejenak. Tunggu ...kenapa Aruna menjelaskan hal seperti itu ke orang asing seperti Arjuna?
"Baguslah." Senyuman di bibir Arjuna semakin melebar. Bahkan kali ini Aruna dapat melihat lesung pipi yang muncul di dekat dua sudut bibir penuh itu. "Ternyata Tuhan masih ngasih aku kesempatan untuk bisa ngedeketin kamu, hehehe." Usai itu Arjuna menepuk pelan pundak Aruna, lalu pindah ke tempat duduknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!