NovelToon NovelToon

FOREVER HATE YOU

1. Kau?

Suara hentakan dari stiletto yang beradu dengan lantai terdengar memenuhi koridor. Dengan gayanya yang elegan, Brianna tersenyum ramah pada beberapa orang yang berpapasan dengannya disana. Sampai akhirnya, langkahnya tiba di depan pintu ruangan petinggi perusahaan.

Tangan Brianna terulur, mengetuk pintunya lebih dahulu.

Tok Tok Tok ...

"Silahkan masuk!"

Suara perintah dari dalam ruangan itu, membuat Brianna tidak ragu lagi untuk menekan handle lalu membuka pintunya.

"Excuse me, Mrs. Saya sudah menjadwalkan schedule anda, sesuai dengan yang anda minta," ucap Brianna sopan pada seorang wanita paruh baya di hadapannya. Dia adalah Jane, Direktur perusahaan.

"Thank you, Bri. Coba bacakan jadwalku siang ini," ucap Jane kemudian.

Brianna melihat pada daftar yang masih ia pegang, lalu membacakan jadwal Jane langsung didepan wanita itu.

"Siang ini, anda ada pertemuan dengan Mr. Teatons."

Jane manggut-manggut. "Ah, dia relasi dekat. Kita harus menemuinya karena putranya adalah teman dekat putraku," ucap Jane lagi.

Brianna mengangguk sembari menandai pada jadwal yang masih ia pegang. Ia menggarisbawahi pertemuan Jane dengan Mr. Teatons yang artinya adalah Jane akan menemui relasinya itu, nanti siang.

"Setelah pertemuan itu, apa lagi?"

Brianna kembali membacakan jadwal-jadwal yang harus Jane lakukan sepanjang hari ini. Termasuk beberapa kegiatan yang juga sudah ditunda beberapa kali.

Saat Brianna sudah selesai dengan tugasnya. Ia segera pamit dari ruangan sang Direktur.

"Uhm, Bri?" panggil Jane yang melihat Brianna hampir mencapai pintu keluar.

Perempuan itu menoleh. "Yes, Mrs?" tanggapnya.

"Aku ingin kau menemaniku nanti siang."

Dahi Brianna mengernyit dalam. Dia memang sekretaris Jane, tapi kapasitas pekerjaannya di perusahaan ini hanya sebatas mengatur jadwal ataupun pertemuan penting sang direktur. Brianna tidak pernah ikut untuk turun langsung menemani wanita itu meeting karena Jane memiliki asisten pribadi yang selalu mampu melakukan apapun.

"Maksud Anda, saya harus menemani anda meeting dengan klien?" tanya Brianna memastikan.

"Yah, kau bisa, kan?"

Brianna mengangguk, sebuah kehormatan baginya untuk menemani Jane meeting. Meski selama ia bekerja disini Jane belum pernah mengajaknya bertemu klien secara langsung, tapi dengan permintaan Jane hari ini Brianna akan berusaha semampunya. Lagipula, memang begitulah tugasnya seharusnya.

"Good. Kau ikut aku bertemu dengan Mr. Teatons nanti siang."

"Yes, Mrs. Thank you," ucap Brianna dengan senyum tulusnya.

Jane mengangguk lalu segera memberi isyarat jika Brianna sudah boleh meninggalkan ruangannya.

...***...

Brianna melihat wajahnya di cermin yang ada di toilet kantor, ia juga memperhatikan penampilannya hari ini.

"Sepertinya sudah baik," katanya menilai diri sendiri.

"Hai, Bri." Friska menyapa Brianna. Dia baru saja memasuki toilet yang sama.

"Hai."

Brianna mengulas senyum pada rekan yang bekerja di perusahaan yang sama dengannya itu.

"Kau akan pergi?" tanya Friska melihat dari gelagat Brianna yang sepertinya tengah bersiap-siap.

"Yah. Aku akan menemani Mrs. Jane."

"Wah, sebuah kemajuan. Setelah dua tahun bekerja disini akhirnya kau dipercaya untuk menemaninya." Friska tampak semringah, sepertinya ia ikut senang dengan berita yang Brianna sampaikan.

"Ya, semoga aku tidak lupa bagaimana caranya menggaet project karena sudah terlalu lama aku nyaman dengan pekerjaanku disini yang hanya membuat dan membacakan jadwal Mrs. Jane saja."

Friska terkekeh disusul suara tawa dari Brianna juga.

"Buktikan kemampuanmu, kau pasti bisa!" Friska mengepalkan tangan ke udara, sebagai isyarat bentuk penyemangat yang ia berikan pada Brianna.

"Yup. Semoga saja."

Brianna keluar dari toilet dan menunggu Jane yang sebentar lagi pasti akan turun dari ruangannya. Jane itu adalah wanita workaholic yang sangat disiplin. Dia menghargai waktu maka dari itu Brianna tak mau terlambat dan membuat Jane yang harus menunggunya.

"Bri, kau sudah siap?"

Brianna mengangguk pada Jane yang benar-benar hadir tepat waktu dihadapannya.

"Baiklah, ayo kita berangkat."

Brianna mengagumi keanggunan Jane saat berjalan. Dia memang pantas menjadi pemimpin meski usianya sudah tidak muda lagi.

Brianna tidak mengetahui seluk-beluk kehidupan Jane secara menyeluruh karena kehidupan pribadi para petinggi perusahaan seperti sengaja dirahasiakan. Yah, Brianna menganggap itu wajar karena semua orang membutuhkan privasi. Mereka hanya mempublikasikan keberhasilan dan apa yang sudah mereka capai terkait pekerjaan. Namun untuk urusan keluarga, hubungan, serta yang lainnya Jane cenderung tertutup.

Brianna pernah mendengar desas-desus jika Jane adalah seorang single parent. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun silam. Tapi, entahlah. Siapa yang tau mengenai hal itu. Lagipula Brianna merasa tidak perlu mendalami tentang kehidupan Direkturnya tersebut. Satu-satunya yang mengetahui realita tentang Jane mungkin hanyalah asisten pribadinya yang bernama Cleo.

Sepanjang perjalanan, Brianna tidak banyak bicara. Begitu pula Jane yang lebih fokus menatap pada tablet di tangannya. Sampai akhirnya, sopir yang mengantarkan mereka mengatakan jika mereka telah sampai ditujuan.

"Kita sudah sampai, Nyonya."

Jane menepuk pelan punggung tangan Brianna. "Ayo kita turun," ajaknya pada Brianna.

"Yes, Mrs."

Brianna dan Jane keluar dari mobil mewah yang ditumpangi setelah sang sopir membukakan pintunya untuk mereka berdua.

"Bri, jangan terlalu tegang ... karena seperti yang ku katakan tadi, Mr. Teatons itu relasi dekat yang sudah seperti kerabat bagi kami. Anggap saja ini pertemuanmu dengan teman lama," ujar Jane memperingatkan Brianna sekaligus menenangkannya.

"Baik, Mrs."

Keduanya pun melangkah masuk ke dalam sebuah Restoran keluarga yang cukup ternama. Hari ini Jane memang hanya berdua dengan Brianna karena Cleo sedang mengambil masa cutinya.

"Hallo, Mr. Teatons." Jane menyapa ramah pada seorang pria muda yang sudah duduk menunggunya. Pria itu menoleh lalu memberikan senyum terbaiknya.

"Aku pikir yang akan aku temui disini adalah Ayahmu, Fabio," kata Jane pada pria muda itu.

Mendengar ucapan Jane, pria yang dipanggil Fabio itu pun bangkit dari duduknya. "Hallo Mrs. Mattews, Ayahku sedang di Swedia jadi aku yang menggantikannya untuk pertemuan ini," ujarnya.

Keduanya pun tertawa tanpa canggung.

Sementara Brianna yang juga ada disana, jadi mengetahui jika Jane memiliki nama belakang yang tidak asing di ingatan dan di pendengarannya.

Mattews. Ah, nama itu mengingatkan Brianna pada seseorang yang sangat dibencinya.

Akan tetapi, Brianna tak mau ambil pusing. Bukankan ada banyak populasi manusia yang menggunakan nama yang sama?

Jane dan anak dari Mr. Teatons tampak akrab, meski mereka berbeda generasi. Mereka juga sudah melupakan sapaan formal yang tadi sempat membuat keduanya tertawa.

"Ah, iya ... Fabio, kenalkan ini Brianna. Dia adalah sekertaris Aunty."

"Hai, aku Fabio Teatons." Pria itu mengulurkan tangannya pada Brianna yang tersenyum canggung.

"Brianna."

"Kau beruntung menjadi sekretaris Aunty Jane, beliau akan sangat menginspirasi mu," kata Fabio kemudian.

Brianna hanya mengulas senyum canggung kembali, karena ia tak terbiasa untuk langsung bersikap ramah pada orang baru. Entahlah, ia hanya perlu menyesuaikan diri sesaat untuk hal ini.

"Ah, sorry aku terlambat," ucap seseorang yang baru datang dan langsung menempati kursi kosong yang berada tepat didepan Brianna. Tatapan mereka langsung bertemu dan membuat kedua bola mata mereka membulat sempurna seketika itu juga.

"Kau?" kata Pria itu yang nampak terkejut.

"Kau?" ucap Brianna juga.

"Kalian saling mengenal?" tanya Jane pada Brianna dan pria yang baru saja datang.

Brianna menelan salivanya dengan cepat, entah kenapa tenggorokannya terasa tercekat begitu bertemu dengan pria ini. Dia adalah Arthur Mattews, pria yang sering membully-nya saat di Universitas.

"Bri, kau mengenal Arthur?" tanya Jane lagi, yang kini mengarah pada Brianna saja.

"Yah. Dia---"

"Dia salah satu teman satu angkatanku saat di Universitas, Mom," sela Arthur memotong perkataan Brianna yang belum selesai.

Jane manggut-manggut. "Bagus sekali jika kalian saling mengenal," responnya sambil tersenyum sumringah.

Brianna mengepalkan tangannya erat-erat. Padahal tadi dia sudah mencoba untuk tidak mengaitkan nama belakang Jane dengan seseorang yang dikenalnya di masa lalu. Nyatanya mereka memang ada hubungannya dan panggilan Arthur pada Jane mengartikan jika mereka adalah ibu dan anak.

"Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu si breng sek ini lagi? Kenapa dunia begitu sempit? Dan aku justru bekerja sebagai sekretaris ibunya!" protes Brianna dalam hatinya sendiri.

Sementara disana, Arthur mengulas senyum smirk andalannya ke arah Brianna yang juga tengah menyorotnya dengan tatapan penuh kebencian.

...To be continue ......

Jangan lupa dukung karya ini biar bisa dilanjutkan terus, guys🙏🙏🙏

2. Masih sama

"Bagaimana menurutmu, Bri?" tanya Jane pada Brianna yang sejak tadi tampak diam. Sebenarnya Brianna tidak menyimak sama sekali pembicaraan bisnis yang diperbincangkan oleh Jane, Fabio dan juga Arthur. Brianna merasa kosong sejak ia kembali bertemu dengan Arthur disini setelah empat tahun berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di Universitas yang sama.

"Uhm ..." Brianna menganggukkan kepalanya, tampak keki. "Oke, semuanya oke," ujarnya kemudian. Ia berusaha menutupi rasa gugupnya.

Syukurnya Jane tersenyum dengan jawaban yang Brianna berikan. "Kalau begitu, kita sepakat dengan project ini, Fabio," katanya sembari mengulurkan tangan ke arah Fabio dan disambut oleh pria itu.

Setelah pertemuan itu selesai dan Fabio pun telah pergi, Brianna langsung mengutarakan keinginannya pada Jane bahwa ia ingin pulang lebih dulu. Meski itu terlihat tak sopan, tapi Brianna harus melakukannya karena ia tak nyaman dengan kehadiran Arthur diantaranya dan Jane.

Jane adalah atasan yang pengertian. Dia mengizinkan Brianna untuk pulang, lagipula ia masih harus berbicara dengan putranya, Arthur, yang baru saja kembali dari Canada.

"Hati-hati di jalan, Bri. See you tomorrow," kata Jane mematut senyum lembutnya.

Brianna mengangguk, tanpa memedulikan Arthur disana, ia segera berderap pergi.

"Aku ke toilet dulu, Mom," pamit Arthur tiba-tiba. Jane menatap heran pada sang putra yang tampak beranjak dengan terburu-buru.

Kenyataannya, Arthur bukan ke toilet seperti alasannya pada Jane, pria itu justru mengejar Brianna yang sudah keluar dari area Restoran.

Brianna yang masih berdiri didekat trotoar untuk menunggu taksinya, mau tak mau harus mendengar celetukan Arthur yang datang menghampirinya.

"Sebuah kejutan bisa bertemu denganmu di kota ini."

Tanpa menoleh untuk melihat pemilik suara itu, Brianna langsung mengetahui jika itu adalah Arthur. Dia memutar bola matanya jengah.

"Kau tampak berbeda," kata Arthur lagi, namun Brianna tetap tidak menggubris pria itu. Dia bersikap seolah-olah tidak ada siapapun disana.

Brianna sama sekali tidak menoleh, sampai taksi yang ditunggunya tiba, ia bergerak mendekati transportasi itu, namun pergerakannya terhenti kala Arthur mencekal pergelangannya.

"Lepaskan aku!" Brianna menepis tangan Arthur, seolah tidak sudi jika disentuh oleh pria itu.

Arthur malah terkekeh, ia mengangkat kedua tangannya dengan tampang menyerah yang terlihat sangat menjengkelkan dimata Brianna.

"Jangan pernah menggangguku!" tegas Brianna kemudian.

Arthur menyeringai, ia membiarkan Brianna memasuki taksinya, ia juga berlagak membantu untuk menutupkan pintu taksi untuk perempuan itu.

"Have a nice day, Brianna Walton," kata Arthur dengan tatapan yang seolah mengolok Brianna yang sudah duduk didalam taksinya.

Brianna mendengkus, kemudian meminta sang sopir agar segera melajukan kendaraan roda empat itu secepatnya.

"Aku bukan lagi gadis yang dulu bisa kau injak-injak. Aku sudah menjadi wanita yang independen dan mampu melawanmu. Apapun yang terjadi, aku akan tetap membencimu, Arthur! Selamanya!" batin Brianna yang merasa sangat jengkel dengan nasibnya, dimana ia harus dipertemukan lagi dengan si breng sek Arthur Mattews.

Sementara disana, Arthur masih memandangi kepergian Brianna. Dia tau jelas jika kepergian Brianna adalah demi menghindar darinya.

"Meski penampilanmu sudah berubah, tapi kau tetaplah Brianna yang dulu. Aku tidak sabar untuk kembali mengusik hidupmu karena kau adalah permainan yang selalu menyenangkan." Arthur mengeluarkan senyum miring khas-nya, kemudian berbalik kembali ke arah Restoran untuk menemui sang ibu yang masih berada disana.

...***...

Arthur melewati lobby kantor dengan pergerakannya yang mampu membuat banyak mata memandang takjub. Pria tampan itu bagai mengalihkan tatapan para pekerja--dari yang harusnya menghadap pekerjaan--justru jadi melihat kearahnya.

Bukan hanya para wanita yang kagum pada ketampanannya, tapi para lelaki juga seperti terhipnotis oleh kharisma-nya.

Ini adalah kali pertama Arthur menyambangi perusahaan yang dikelola ibunya, sebab selama ini ia lebih fokus mengurus bisnis lain di Canada dan itu adalah peninggalan almarhum Ayahnya.

Karena kehidupan pribadi sang ibu yang sengaja ditutup, tidak banyak yang mengetahui jika Arthur adalah putra kandung Jane. Hal itu lantas membuat para pekerja disana bertanya-tanya siapa pria tampan yang hari ini datang ke kantor mereka.

"Excuse me, Sir. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang Resepsionis menghampiri Arthur, menyambutnya dengan senyum terbaik.

"Aku ingin bertemu dengan Mrs. Jane."

"Apakah anda sudah membuat janji sebelumnya?"

Arthur merasa tak perlu melakukan itu untuk menemui ibunya sendiri namun ia tau bahwa tak satupun dari mereka mengenalinya sebagai putra dari Direktur perusahaan tersebut.

"Aku belum memiliki janji, tapi bisakah kabari saja padanya ... jika aku datang kesini dan ingin menemuinya."

Resepsionis itu mengulas senyum ramah yang tampak menggoda. Mendengar suara milik Arthur saja sudah membuatnya terpikat.

"Baiklah, aku akan menghubungi sekretarisnya. Bisakah anda mengisi buku tamunya?" ujarnya sembari mengulurkan sebuah buku kehadapan Arthur.

Arthur meladeni saja, ia mengisi data pribadinya di buku tamu dan duduk menunggu di kursi tunggu yang terdapat disana.

"Ms. Walton, ada yang ingin menemui Mrs. Jane saat ini. Apakah beliau berkenan?" Resepsionis itu menelepon menggunakan tablephone sembari mencuri-curi pandang pada Arthur yang juga tengah memperhatikannya.

Bukan tanpa sebab Arthur melakukan hal itu, ia melirik pada sang resepsionis karena wanita itu menyebutkan nama belakang Brianna yang dapat Arthur simpulkan jika yang tengah menerima panggilan diseberang sana adalah Brianna.

Mengetahui hal itu, Arthur jadi bersemangat.

"Ya. Namanya Mr. Arthur Mattews," ucap sang resepsionis lagi, memberitahukan nama tamu yang ingin menemui Jane.

Arthur menarik satu sudut bibirnya, dapat ia pastikan jika disana Brianna terkejut karena mendengar kedatangannya ke perusahaan ini.

"Baiklah, aku akan mengatakannya." Resepsionis itu tampak menutup teleponnya, lalu memanggil Arthur.

"Anda bisa menemui Mrs. Jane saat ini juga, di lantai 16, Sir."

Arthur mengulas senyum pamungkasnya, "Thank you," katanya.

Ucapannya memang singkat, tapi itu mampu membuat resepsionis wanita tersebut merasa melting karena daya pikat yang dimiliki seorang Arthur Mattews.

Arthur segera beranjak, seorang security gedung mendampinginya untuk tiba di lantai 16.

Arthur masih menikmati euphoria mengenai sosok diri yang begitu dikagumi. Hal itu seperti menambah kepercayaan dirinya sendiri. Siapa yang mau menolak pesonanya, pikir Arthur.

Akan tetapi, begitu Arthur tiba di lantai 16, kesenangannya tadi mendadak hilang. Sisa-sisa kepercayaan dirinya musnah seketika kala melihat sorot tajam yang diberikan seorang perempuan muda dihadapannya, Brianna.

Jika ada golongan perempuan yang tidak tertarik padanya, mungkin Brianna termasuk dalam golongan tersebut.

Sulit dipercaya. Dikala banyak wanita dan para gadis memujanya, Brianna tidak demikian. Hal itu yang selalu memicu kegeraman Arthur pada Brianna.

"Kenapa kau menatapku begitu? Apa pantas kau memandangiku seperti itu dikala kau tau jika aku adalah putra dari atasanmu?" tanya Arthur pada Brianna dengan nada pongah.

"Sorry, aku hanya tidak bisa untuk berpura-pura," jawab Brianna datar. Sangat datar malah.

"Maksudmu?" Arthur mengernyitkan dahi menatap Brianna.

"Aku tidak bisa menunjukkan sikap manis didepan orang yang ku benci," tuturnya terus terang.

Luar biasa. Mulut pedas Brianna masih saja sama, pikir Arthur. Bahkan meski keadaan sekarang tetap Arthur yang berada diposisi teratas, Brianna masih saja berusaha melawannya.

Arthur menggeleng samar, berusaha mengabaikan ucapan Brianna yang seakan sengaja memprovokasi kemarahannya.

"Tunjukkan ruangan ibuku."

"Disebelah sini," kata Brianna merujuk pada satu arah yang berbelok ke arah kanan.

Arthur mengendikkan bahu acuh tak acuh, hendak berjalan melewati tubuh semampai Brianna, namun sebelum melakukan itu ia sengaja menghentikan langkahnya terlebih dahulu.

Arthur menoleh pada Brianna dan mematut wajah penuh intimidasi.

"Penampilanmu boleh berubah, tapi perkataanmu menunjukkan jika kau masih sama seperti dulu. Mari kita bersenang-senang, Brianna. Karena aku juga masih akan bersikap sama terhadapmu," tukasnya.

...Bersambung ......

Dukung karya ini biar bisa dilanjutkan🙏 terima kasih 💚

3. Masa Kelam

"Lihat! Dia ada disana!" Suara Caitlyn seakan memenuhi lorong sepi tersebut, bersamaan dengan teriakan itu, dua orang temannya yang lain langsung menuju ke arah yang Caitlyn tunjukkan.

Seorang gadis yang dimaksudkan oleh Caitlyn langsung berlari lagi karena tempat persembunyiannya sudah diketahui oleh mereka. Dia adalah Brianna, gadis yang selalu dirundung oleh Caitlyn dan teman-temannya.

"Haha, mau kemana kau, Jelek?" ujar Caitlyn pada Brianna yang sudah tidak dapat lari lagi sebab ia sudah dikepung oleh ketiga gadis tersebut.

Caitlyn selalu memanggil Brianna dengan sebutan 'Jelek' karena penampilan gadis itu yang tidak modis dan seperti kutu buku. Caitlyn ingin sekali mencaci Brianna dengan julukan bo doh, go b lok, to lol, ataupun idiot tapi dia tau jika gadis itu lebih pintar ketimbang dirinya. Harus Caitlyn akui jika Brianna itu jenius, sehingga dia bisa mendapatkan beasiswa di Universitas yang mereka duduki saat ini.

"Kau tidak bisa kemanapun lagi, jadi bersiaplah menerima hukuman dariku," ujar Caitlyn disertai senyuman miringnya.

Brianna tau, pintar saja tidak cukup untuk membuatnya mampu melawan Caitlyn and the genk, ia tidak memiliki kekuasaan untuk membalas mereka. Ia juga mengandalkan nama baiknya untuk terus melanjutkan kuliah dan menerima beasiswa. Jika dia melawan, maka bisa dipastikan dia akan segera ditendang dari Universitas yang cukup ternama tersebut--kampus tempatnya menimba ilmu.

"Se-sebenarnya aku salah apa pada kalian? Kenapa kalian selalu jahat padaku?" lirih Brianna yang menatap nanar pada Caitlyn dan teman-temannya.

"Hahaha ..." Caitlyn tertawa mencibir, kemudian menatap pada salah satu temannya yang ada disana. "Katakan apa kesalahannya, Reyna," ujarnya pada gadis bernama Reyna.

Reyna ikut-ikutan tertawa, yang terdengar sangat merendahkan Brianna.

"Salahmu adalah ... karena kau miskin."

Mereka bertiga lalu tertawa serempak yang membuat Brianna muak saat mendengarnya.

"Kau tau, uang yang digunakan untuk biaya kuliahmu itu dari orang-orang kaya seperti kami, untuk itulah kau harus menurut pada kami. Jika kami mengatakan kau harus dihukum maka kau harus bersedia, Brianna. Tidak ada yang mudah dan gratis di dunia ini!" kata Tetty menambahkan yang diangguki oleh Caitlyn dan Reyna disana.

"Sekarang, dengarkan hukumanmu baik-baik."

Dengan tubuh yang gemetar ketakutan, juga keadaan yang tidak bisa lagi kabur karena dikepung oleh ketiga orang itu, maka mau tak mau Brianna hanya bisa terdiam mendengar ucapan mereka.

"Pertama, kau harus mengerjakan tugas kami bertiga." Reyna yang lebih dulu bersuara.

"Ba-baiklah," tutur Brianna ketakutan. Ia tau jika ia menolak maka hukuman yang diterimanya akan lebih parah.

"Itu masih yang pertama, Jelek!" sela Tetty. "Masih ada hukuman yang lainnya," tambahnya.

"Kau harus mengantarkan paket ini untuk my crush, Arthur ..." ujar Caitlyn dengan senyum smirk khas-nya.

Brianna segera menggeleng keras-keras. Ia tak mau berurusan dengan Arthur yang juga suka merundung dan menghinanya. Bahkan Arthur, tidak pernah memakai hati jika mem-bully Brianna, dia dan Caitlyn sama-sama tidak punya hati.

Kadang, Brianna berpikir jika Caitlyn dan Arthur sangat cocok karena mereka memiliki sikap yang sama kejamnya.

"Kalau kau tidak mau, maka kau akan menerima konsekuensinya."

Caitlyn memberi kode pada kedua temannya dan saat itu juga Reyna mengeluarkan gunting dari dalam tasnya dan mereka bersiap untuk menggunting rambut kecoklatan Brianna.

"Pegangi dia!"

"NO!!!" pekik Brianna memohon untuk mereka tidak melakukan hal yang tidak ia inginkan.

*Grep ...

Brianna kehabisan waktu, mereka sudah lebih dulu bertindak*.

Satu sisi rambut panjang Brianna sudah terpotong cukup banyak. Itu membuat penampilannya timpang karena rambutnya menjadi tidak seimbang, kacau terlihat acak-acakan.

"Ayo! Kau masih mau menolak? Jika ya, maka aku tidak segan-segan untuk membuatmu botak!"

Brianna menjerit tertahan, ia menangis sekuat-kuatnya tapi tidak akan ada yang menolongnya sekarang.

"Pilihanmu hanya ada dua, berikan ini pada Arthur atau kau akan botak saat ini juga."

Brianna mencoba melawan tapi dia kalah tenaga dengan ketiga gadis yang memerangkapnya disebuah lorong kecil tersembunyi didekat kampus mereka yang juga sudah sunyi.

"Ba-baiklah, aku akan mengantarkannya pada Arthur."

Hari itu juga, Brianna mencari keberadaan Arthur di seantero kampus yang mulai sepi. Dengan penampilannya yang sudah berantakan, akhirnya Brianna melihat Arthur yang baru saja keluar dari ruang olahraga.

"Permisi, aku mau mengantarkan ini." Sebenarnya ini bukan kali pertama Brianna menghadapi Arthur, sudah kesekian kalinya dan itu karena suruhan Caitlyn juga. Dan Brianna sudah tau jika ia berani menyapa Arthur itu artinya ia siap menerima resiko untuk dirundung oleh pemuda itu.

Melihat Brianna yang menunduk dengan wajah takut-takut, justru membuat Arthur semakin tertarik mengerjainya. Ia sangat tau jika orang seperti Brianna tidak akan mampu melawannya, bahkan hanya untuk membalas sorot matanya saja tidak akan pernah berani.

"Apa?" respon Arthur. "Paket dari orang yang sama lagi?" lanjutnya tak tertarik.

Brianna mengangguk dengan posisi kedua tangan terulur dengan paketnya ke arah Arthur.

Arthur berlagak mau mengambil kotak itu tapi saat dia hampir menyentuhnya dan Brianna kira sudah dipegangnya, Arthur malah sengaja memundurkan posisi. Hingga akhirnya paket itu terjatuh di atas tanah.

Dengan gerakan santai, Arthur menginjak kotak paket tersebut dengan ujung sepatunya.

"Sorry, aku tidak bisa menerima paket itu darimu."

Brianna menatap kotak itu dengan mata berkaca-kaca, jika paketnya tidak sampai pada Arthur maka ia akan kembali di botaki oleh Caitlyn dan teman-temannya. Saat ini Brianna ingin sekali berlari dan bersembunyi agar tidak bertemu dengan orang-orang kejam seperti mereka.

"Kenapa kau menginjaknya?" lirih Brianna, ia nyaris menangis sekarang.

Arthur malah mengendikkan bahu acuh tak acuh. "Kau tidak suka? Kalau begitu, ayo pungut kotak yang sudah rusak itu," titahnya.

Brianna menggeleng, tentu ia tak mau melakukan itu karena itu sama saja merendahkan dirinya sendiri.

"Jadi, kau tidak mau ya?" Arthur terkekeh sumbang, kemudian menarik dagu Brianna dengan jari-jarinya yang besar.

Brianna tampak ketakutan, ia memang tau jika posisinya adalah yang lemah disini.

"Jangan menggangguku lagi atau kau akan menerima akibatnya."

"Aku---aku hanya berniat mengantarkan paket itu untukmu," akui Brianna dengan suara pelannya.

"Kau bukan kurir! Berhentilah menjadi bo doh!"

Brianna menundukkan kepalanya dalam-dalam, sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi namun seketika itu juga ia terjerembab karena Arthur mencekal kakinya dengan kaki jenjang pria itu.

"Jalan yang becus!" ucap Arthur sambil berlalu, ia membiarkan saja Brianna yang terjatuh disana tanpa ada rasa kasihan sama sekali. "Kau layak mendapatkan itu!" sambungnya yang ucapan itu masih terdengar ditelinga Brianna.

Brianna pikir penderitaannya akan berhenti disana pada hari itu, nyatanya saat ia berjalan menuju halte bis, bajunya harus basah karena cipratan air hujan yang disebabkan oleh mobil mewah yang melintas dengan kencang saat melihat keberadaannya. Itu pasti sengaja dilakukan untuk kembali merundung dirinya.

Saat Brianna menyadari, ternyata itu adalah mobil Arthur.

"Dia benar-benar breng sek!" batin Brianna sambil mengepalkan kedua tangannya erat-erat.

Brianna mengesah panjang saat mengingat masa-masa kelam tersebut, dimana saat itu ia merasa jika ia terlalu bo doh. Mungkin ia pintar dalam hal pelajaran, tapi menghadapi orang-orang yang mem-bully dan meremehkannya, Brianna selalu saja tidak bisa berbuat apa-apa.

"Itu adalah aku yang dulu. Dulu aku tidak memiliki power, tapi sekarang aku akan melawan apapun, termasuk Arthur, meski sekarang aku tau jika dia adalah putra dari Mrs. Jane," tekad Brianna didalam hatinya.

Brianna menatap benci pada pria yang baru saja memasuki ruangan atasannya diujung koridor sana. Ia selalu tak bisa memaafkan Arthur. Apalagi kejahatan Arthur padanya, tidak berhenti sampai akhirnya pria itu menjadi pria yang sama yang telah menghancurkan hidup Brianna.

"Sekarang aku tidak akan tinggal diam jika kau berniat mengusikku lagi, Si a lan!" gumam Brianna menekankan dalam dirinya sendiri.

...To be Continue .......

Tinggalkan KOMENTAR, VOTE, GIFT DAN TEKAN GAMBAR JEMPOL UNTUK MEMBERIKAN LIKE AGAR NOVEL INI TERUS BERLANJUT 🙏🙏🙏🙏❤️❤️❤️❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!