NovelToon NovelToon

Unlikely Pair

Jumpa Pertama

Sekolah Arcadia di kota kecil dan tua Greenwood tidak seperti sekolah mana pun yang pernah ada sebelumnya. Bangunannya tampak mentereng dibandingkan rumah-rumah penduduk bercat kusam dan pudar. Bahkan balai kota Greenwood, gedung termegah yang dimiliki kota tua ini, masih kalah megah dibandingkan gedung sekolah itu. 

Gedungnya yang futuristik dan menakjubkan tampak seperti tempat yang lebih cocok untuk pertunjukan laser daripada tempat belajar. Dari luar, bangunan ini memiliki tampilan yang hampir seperti dalam mimpi. Gedungnya memiliki atap hijau terang dan dinding kaca transparan di separuh gedungnya, mengungkapkan semua yang ada di dalamnya.

Dinding kaca itu tampak rapuh, tetapi sesungguhnya sangat kuat, tak kalah kuat dengan tiang-tiang kokoh yang membingkainya. Kaca itu dilapisi pelapis agar sinar matahari terik tidak membakar penghuninya. Lagi pula, sinar matahari itu sudah terhalangi daun-daun dari pohon-pohon tinggi dan rindang akasia yang memutari seluruh gedung sekolah.

Kemegahan gedung sekolah Arcadia hampir mengintimidasi siapa pun yang baru pertama kali masuk ke sana. Tapi tidak dengan Chloe. Ini hari pertamanya sebagai siswa kelas X di SMU Arcadia ini, tapi tidak sedikit pun rasa gentar tebesit dalam benaknya. Bahkan sejak kaki kanannya melangkah memasuki gerbang tinggi hitam SMU Arcadia.

Ketika Chloe memasuki halaman sekolah itu pada hari pertama kelas X, dia langsung merasa nyaman. Gedung yang terang dan cerah itu benar-benar terasa seperti rumah kedua baginya. Terutama karena itu adalah tempat pertama di mana dia merasa dihargai sebagai individu. Chloe selalu merasa aneh di sekolah lamanya, tetapi di SMU Arcadia, dia merasa diterima tanpa syarat.

Di sekolah lamanya, Chloe adalah gadis pintar dan kutu buku. Tempat teraman dan ternyaman baginya adalah perpustakaan. Di sana dia tidak perlu merasa gugup dan malu tatkala teman-temannya membicarakan film, sebab dia tidak pernah pergi ke bioskop. Keluarga Chloe tidak miskin. Mama dan Papa Chloe selalu menyediakan makanan bergizi untuk Chloe, dan adiknya Bianca dan Andrew, tapi bukan makanan mewah ataupun makanan viral. 

Chloe punya cukup baju yang bagus tapi bukan bermerek dan tidak setiap tren busana bisa diikuti. Chloe merawat muka cukup dengan facial wash dan sesekali memakai masker wajah yang dibeli di minimarket. Setahun sekali mama mengajaknya ke salon sebagai hadiah kenaikan kelas.

Gaji Mama dan Papa sebagai perawat di rumah sakit kecil, hanya cukup untuk kebutuhan pokok. Itu sebabnya Chloe tidak tahu rasa makanan viral, baju atau asesori tren atau film terbaru. Chloe tidak bisa mengikuti pembicaraan dengan teman-temannya dan buku menjadi sahabatnya.

Chloe selalu juara kelas sejak kelas satu SD sampai kelas IX. Bukannya pujian yang didapat malahan olok-olokan teman-temannya sebagai si kuper. Itulah sebabnya Chloe sangat senang lolos SMU Arcadia, sekolah khusus para juara kelas.

Chloe menemukan bahwa gedung itu memang memiliki sedikit keajaiban. Tidak hanya ruangannya luas dan nyaman, tetapi juga memiliki fasilitas yang tidak biasa. Ada ruang untuk kelas biasa, tetapi juga ruang untuk eksperimen sains dan bahkan sebuah perpustakaan yang menjulang tinggi dengan buku-buku yang berada di rak-rak buku transparan. Akhirnya, keahlian dan hobinya yakni belajar mendapat tempat semestinya. Dia tidak akan dipandang aneh lagi. 

Chloe melangkah masuk ke dalam halaman sekolah. Kaki-kakinya menapaki jalan setapak terbuat dari batu alam. Di kanan-kirinya dikelilingi pohon-pohon besar akasia berbunga kuning cerah dan bunga-bunga soka krem yang indah, dan di tengah-tengahnya lapangan rumput hijau membentang. Halaman sekolah itu merupakan surga yang indah untuk siswa-siswa yang ingin beristirahat sejenak dari rutinitas belajar. Namun, tidak ada satu bangku taman pun ada di sana. Chloe mengira, bukan di sini tempat siswa beristirahat.

Dia terus melangkah masuk. Matanya mentapa lurus ke gedung sekolah Arcadia yang semain dekat semakin mengagumkan.

Duk! Tiba-tiba lengannya disenggol seseorang. Chloe menoleh. Seorang cowok tinggi, kurus, berdagu lancip dan berwajah tirus, menoleh ke arahnya. Matanya yang bulat menatap tajam kearahnya, lalu alis tebalnya berjenggit. Bibirnya tipis tersenyum, dan berkata, “maaf.” Lalu dia tersenyum kikuk.

Chloe terpana. Laki-laki itu tampak begitu tampan seolah-olah semakin menyempurnakan hari pertamanya yang sudah tampak sempurna ini.

“Oh… eh… tidak apa-apa,” jawab Chloe gugup.

Laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya yang putih mulus. Dipergelangan tangannya sebuah jam tangan hitam melingkar sempurna. “Aku Jack, siswa baru kelas X-1”

“Ah! Aku juga kelas X-I” jerit Chloe tanpa sadar. Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya sekelas dengan cowok tampan itu.

“Baguslah.” Sambut Jack gembira. “Ngomong-ngomong, kamu dari SMP mana?”

“SMP Eldoria, yah sekitar dua jam dari sini. Kamu?”

“Wah… ternyata kita bertetangga SMP.”  seru Jack antusias. “Aku SMP Frosthaven.”

“Bukankah itu SMP khusus cowok persis di seberang SMP Eldoria?” jawab Chloe riang.

“Iya… iya… betul.”

“Wah… kenapa kita dulu kita tidak pernah bertemu ya,” gumam Chloe.

“Apa?”

“Oh… tidak apa-apa,” senyum Chloe malu-malu. Pipi tembamnya bersemu kemerahan. Gadis berambut pendek, bertubuh gempal dan bertinggi badan 160 sentimeter itu tersipu-sipu.

“Kamu kelas X-1 juga kan?”

“Ya,”

“Kalau begitu, nanti kita bisa duduk sebelah….”

“Jack!”

Belum sempat Jack meneyelesaikan kalimatnya serombongan cewek mensejajari mereka berdua. Lima orang cewek. Cewek paling langsing dang tinggi dari kelimanya, menyapa Jack. “Selamat ya, kamu diterima di sekolah ini,” katanya mengulurkan tangannya yang langsing, putih dan bersih.

“Terima kasih.” Balas Jack canggung. “Ini kakaknya teman sekelasku,” Jack mengenalkan cewek langsing itu. “Namanya Della. Dia kating kita di sini, tapi adiknya, temanku itu tidak lolos seleksi di sini.”

“Oh…” Chloe mengangguk-angguk.

Della mengamati Chloe dari ujung rambut sampai ujung kaki, setelah itu baru menyapa Chloe dingin, “Hai, aku Della,” sapanya dengan senyum terpaksa.

Tidak terbayangkan dalam benak Chloe bahwa cewek ini kelak akan menjadi mimpi buruknya di sekolah ini. Maka, Chloe menyambut uluran tangan Della dengan ramah, “Halo, aku Chloe.”

Setelah perkenalan basa-basi itu, Della dan gengnya mengerumuni Jack dan pelan-pelan menyisihkan Chloe. Gadis itu pun menepi, membiarkan Della bersama teman-temannya itu mengiringi Jack. Cowok itu sempat menoleh ke belakang mencari ke mana Chloe, tapi Chloe puru-pura memalingkan wajahnya ke arah air mancur di tengah-tengah taman. 

Air mancur itu sangat indah dan mempesona. Suara gemerciknya menenangkan dan pola air yang terbentuk saat disemprotkan, semuanya membuatnya menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan. Di sekeliling air mancur itu, ada lampu-lampu. Chloe menduga, saat malam hari, lampu-lampu itu akan dinyalakan. Bisa jadi itu lampu yang berubah-ubah warna atau hanya warna kuning saja, air mancur itu menciptakan suasana mempesona pada malam hari sesuai dengan taman bunga indah di sekitarnya. Air mancur ini tampak seperti sebuah lukisan yang hidup dengan latar belakang langit biru cerah pagi ini. 

 

Sekolah yang Menakjubkan

Chloe memegang gagang pintu putar. Gagangnya terbuat dari emas dilapisi kulit lembut, dengan permukaan yang terasa halus di tangan Chloe. Perpaduan warna emas dan cokelat gelap kulit lembu asli membuat gagang pintu itu menawan.

Pintunya sendiri terbuat dari kaca tempered berkualitas tinggi. Di tengah-tengahnya ada mozaik lambang sekolah yang dipatri dengan sangat detil dan teliti, sehingga lebih pantas disebut karya seni ketimbang sekadar pintu. Cahaya matahari pagi yang menyinarinya memantulkan kembali mozaik lambang sekolah itu di lantai putih marmer lobi.

Lambang SMU Arcadia berupa lingkaran yang disusun dari lempengan-lempengan kaca segitiga warna-warni. Bagian tengahnya ada sebatang pohon rimbun dengan bagian akarnya bercokol pada tumpukan buku-buku berwarna cokelat—gradasi dari warna cokelat paling pudar sampai warna cokelat tergelap. Kemudian di atas pohon ada pita melengkung merah bertuliskan semboyan sekolah dalam huruf berliuk-liuk—dan ini semua disusun dengan kaca putih seputih susu—yakni: Fortitudo per Cognitio, Strength through Knowledge.

Kekuatan melalui pengetahuan, Chloe membatin, lalu tersenyum. Benar-benar sekolah yang sangat cocok untuk dirinya. Hobinya adalah belajar. Juara kelas adalah kelebihannya. Kenapa sekolah ini tidak membuka jenjang pendidikan sejak TK? Atau setidaknya mulai SD agar anak-anak seperti aku tidak terasingkan? Batin Chloe lagi. Dengan senyum cerah dan hati bungah dia mendorong gagang pintu putar. 

Gerakan putar pintunya begitu mulus dan sempurna, seperti terbang di atas air. Pintu putar ini menambahkan sentuhan yang begitu indah dan glamor pada bangunan tempatnya berada. Mungkin sengaja diciptakan guna menjadi daya tarik utama saat orang-orang memasuki gedung sekolah ini. Seperti pengalaman yang tidak dapat terlupakan, pintu putar ini adalah sebuah karya seni yang mempesona dan membuat orang berdecak kagum setiap kali melewatinya.

Chloe melangkahkan kakinya ke lantai marmer putih lobi sekolah. Bahkan lantai marmer lobi sekolah ini pun benar-benar diperhitungan sisi estetikanya. Lantainya sekilas memang tampak hanya marmer putih biasa dengan rambut-rambut keabu-abuan khas marmer tapi lantai itu bisa memanttulkan dengan sempurna cahaya matahari yang menerobos hiasa kaca patri pada pintu sehingga lambang sekolah dengan jelas terpampang di lantai. 

Ketika Chloe melangkahkan kakinya makin masuk ke dalam lobi, dia baru menyadari kalau dia seperti berjalan di red carpet sebuah ajang penerimaan penghargaan dengan lampu sorot yang mengiringi langkahnya. 

Dia mendongak dan menemukan bahwa lampu sorot yang menyertai langkah kakinya itu berasal dari lingkaran-lingkaran kaca mozaik jauh di atas sana, hampir menyentuh langit-langit gedung. Chloe memandang takjub lobi gedung sekolahnya. Lobi ini begitu indah, mewah, dan megah. Dari desain interiornya yang elegan, hingga cahaya alami yang masuk melalui jendela yang besar, semuanya menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan. Dinding lobi dihiasi dengan lukisan lambang sekolah. Bukan sekadar poster, tetapi lukisan cat minyak berukuran besar. Sungguh sebuah lambang sekolah bisa menjadi karya seni indah nan artistik. 

Kalau lobinya saja seindah ini, tentu ruang kelas dan asramanya akan jauh lebih indah lagi, ujar Chloe dalam hati berdecak kagum.

Di hadapannya ada meja resepsionis panjang dari marmer orange pucat yang indah dilengkapi dengan sebuah vas bunga berisi rangkaian bunga lili putih, merah muda dan kuning. Vas itu berbentuk silender dari bahan kaca tebal transparan sehingga menampilkan air bening dan batang-batang ramping kehijauan bunga lili, memberikan sentuhan alami pada lobi mewah ini. 

Lima orang wanita berblazer merah jambu dengan rambut dicepol tampak sibuk dengan tugas masing-masing. Dua orang wanita di bagian belakang tengah sibuk mengetikkan sesuatu di komputer, sementara tiga rekannya melayani para siswa baru yang hendak mengambil kartu akses yang akan digunakan selama bersekolah di sini.

Chloe masuk dalam antrean itu. Dia menoleh ke sisi kanan. Ada serombongan kakak tingkat yang berduyun-duyun menaiki tangga yang mengarah ke lantai atas. Tangga itu dilengkapi dengan lampu gantung yang cantik, sesuai dengan kesan glamor sekolahan ini. 

“Chloe Herventia,” kata Chloe kepada petugas resepsionis yang menanyakan namanya ketika antrean akhirnya membawanya ke depan petugas itu. Dengan cekatan, petugas resepsionis itu memberikan kartu akses dan memintanya berjalan ke arah kanan, menaiki tangga.

Tadinya Chloe menuruti petugas itu dengan berjalan ke arah tangga, tapi ketika menoleh ke kiri, dia melihat tulisan ‘lift’.

“Kalau ada lift, kenapa semua orang memilih melalui tangga?” bisik Chloe kepada dirinya sendiri sambil memutar kakinya menuju ke arah kiri. Dia berdiri di depan pintu lift. Tanda di atas pintu lift menunjukkan panah ke atas dan angka 7. Itu artinya, lift sedang menuju ke sana. Chloe hendak memencet tombol panah turun ketiba tiba-tiba sebuah tangan mencegahnya,

“Jangan! Itu lift ke perpustakaan.” 

Chloe menoleh ke arah suara itu. Seorang cowok berambut ikal, berkacamata, berbadan tegap dan tinggi, sedang berdiri di sampingnya dan menatapnya.

“Oh… eh…” Chloe gugup.

Cowok itu menunduk, melihat lanyard di leher Chloe berwarna merah. Dan cowok itu mengangguk mengerti dan lanjut berkata, “Kamu siswa baru ya? Kalau tidak salah, siswa baru diminta berkumpul di aula. Itu tepat di atas lantai ini. Kamu cukup naik tangga di sana,” Cowok itu menunjuk ke arah tangga berukir yang tadi juga ditunjukkan resepsionis pada Chloe.

“Oh… iya. Tadi resepsionis di depan juga sudah bilang begitu. Aku saja yang sok tahu,” Chloe tersipu-sipu malu.

“Kalau begitu, ayo aku antarkan ke aula. Kebetulan aku juga akan ke arah sana,” kata cowok itu dengan nada riang. “Oiya, namaku Tyler.” Cowok itu mengulurkan tangannya.

Chloe menyambut uluran tangan itu dengan malu-malu, “Aku Chloe kelas X-1.”

“Wow… kelas 1?” Cowok itu berdecak kagum tapi Chloe yang tidak mengerti maksud cowok itu hanya membalas dengan kernyitan dahi.

“Kelas 1 itu untuk anak-anak dengan nilai rapor SMP dan nilai tes masuk paling tinggi. Nanti di kelas XI, kalau kamu masuk kelas 1, itu artinya nilaimu terbaik seangkatan, begitu juga dengan kelas XII.”

Chloe manggut-manggut. Di sekolahnya dulu, guru memutuskan siswa mana di kelas satu atau kelas 5, berdasarkan undian. Tidak ada sistem peringkat macam itu.

“Kalau kamu…” Chloe berhenti sejenak begitu melihat lanyard biru di leher cowok itu, “Maaf, maksudku, Kakak kelas berapa?”

“Aku kelas XI-3, kelas paling akhir,” Tyler menggaruk-garuk kepalanya. “Bodoh ya.”

“Ah… tidak. Pelajaran kelas XI kan sulit. Aku juga belum tahu kedepannya aku masih bisa di kelas 1 atau tidak,” ujar Chloe simpatik.

“Hei Tyler. Katanya cuma mengecek panel surya, kok lama banget. Aku tunggu-tunggu dari tadi. Itu anak-anak baru sudah berkumpul,” seru seorang cowok bertubuh pendek dan gempal.

“Iya, aku jalan-jalan sebentar tadi.”

Chloe tidak mengerti apa yang dibicarakan dua cowok itu tapi dia diam saja. Nanti juga akan diberitahu saat seminar untuk siswa baru, batin Chloe.

Tyler menoleh ke arahnya dan berkata, “Aula tinggal jalan ke kiri terus saja. Kelihatan jelas kok.”

Chloe mengangguk-angguk. Setelah berpamitan dengan Tyler dan si cowok gempal, Chloe berjalan menuju aula.

  

Pesta Penyambutan Siswa baru

Chloe berdiri terpaku di depan pintu kayu mahoni besar dan kokoh di hadapannya. Apa yang aku jumpai nanti di dalam? Apakah kakak tingkatku baik seperti Tyler? Apa teman-temanku akan menerimaku dengan baik? Apakah aku akan diolok-olok lagi seperti dulu? Apa aku hanya akan dianggap cewek ambisius? Apa aku bisa mengikuti pelajaran di sini? Bagaimana kalau aku gagal? Apakah aku….

“Hai! Ayo masuk sama-sama,” seorang cewek pendek gemuk menepuk pundak Chloe. “Namaku Anka, Bianka,” sahut gadis itu semringah. Kata-kata yang keluar dari bibir tipis Bianka seperti melompat-lompat riang gembira di padang bunga-bunga.

Nada ceria gadis itu menulari Chloe. Kegugupan dan kekhawatirannya pelan-pelan menyusut. “Namaku Chloe, kelas X-1.”

“Wah ternyata kita sekelas!” pekik Anka antusias dan disambut senyuman Chloe. Keduanya lalu berjalan beriringan masuk ke aula. Begitu keduanya membuka pintu, gadis-gadis itu terpana.

Chloe hampir berbalik arah mengira dia salah masuk ruangan. Aula ini lebih pantas disebut aula hotel ketimbang aula sekolah. Tapi, kemewahan telah menyerbu sejak dirinya memasuki gerbang sekolah. Jadi, Chloe sepenuhnya yakin aula ini aula sekolah barunya, dan kemewahan di hadapannya kini hanyalah setitik kecil dari kemewahan-kemewahan lain yang akan dijumpainya nanti.

Aula itu luas dan lapang sekali. Karpet beledu biru terhampar di tengah-tengah ruang. Sebaris marmer hitam legam dengan rambut-rambut keemasan, berjajar di tepi tembok membingkai permadani beledu itu. 

Chloe mendongak. Lagi-lagi dia melihat lampu-lampu kristal bercahaya kuning terang menyinari ruangan. Rupanya pemilik sekolah ini penggemar lampu kristal. Kalau di lobby tadi lampu kristal model panjang menjuntai di sisi tangga, lampu kristal di sini berupa kelompok-kelompok kecil yang tersebar di penjuru ruangan. Sinar kuning memantul melalui mangkuk-mangkuk mungil dan mengeluarkan cahaya berpendar-pendar berwarna-warni.

Perhatian Chloe akan keindahan aula ini teralihkan dengan genggaman tangan Anka yang setengah menarik tangannya menuju ke kelompok kelas mereka. Chloe melihat ada layar LCD yang bertuliskan kelas X-1 dan sekelompok anak tampak telah berbaris di depan layar itu.

Chloe dan Anka pun bergegas bergabung dengan teman-teman sekelas mereka. Semua ada 40 siswa, 20 siswa perempuan dan 20 siswa laki-laki. Ada tiga kelas di sini. Itu artinya kelas X ada 120 siswa. Ah, salah. Bukan ada. Tapi hanya. Hanya 120 siswa. Hanya 120 siswa terpandai di negeri ini, batin Chloe. Kebanggaan merekah dalam dadanya sebab ini untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa tidak apa-apa menjadi pintar, tidak apa-apa menjadi ambisius, tidak apa-apa menjadi kutu buku, dan tidak apa-apa kalau yang kamu tahu cuma pelajaran sekolah.

Teng… teng… teng… terdengar suara lonceng. Chloe celingak-celinguk mencari arah suara itu. Tredengar seperti lonceng sungguhan dan bukan rekaman. 

“Murid-murid kelas sepuluh, harap berbaris. Buat dua barisan. Kiri untuk perempuan dan kanan untuk laki-laki.” Terdengar suara seseorang memberi aba-aba di depan. Chloe seperti pernah mendengar suara itu. Dia pun berjinjit melihat ke depan untuk memastikan pendengarannya. Ternyata benar. Itu Kak Tyler. Tanpa sadar Chloe tersenyum.

“Kamu kenal, Chloe?” bisik Anka melihat teman barunya itu tersenyum.

“Iya. Tadi kami berkenalan di lobi.”

“Oh…” Anka manggut-manggut. Mereka berhenti mengobrol ketika melihat Tyler kembali ke sisi panggung seperti hendak mengumumkan sesuatu.

“Sebentar lagi upacara penyambutan siswa baru akan dimulai. Para siswa diharap tenang,” suara bass Tyler bergema di seluruh aula. Para siswa yang sedari tadi masih berbincang-bincang mendadak diam. Tak berapa lama kemudian, lagu mars sekolah berkumandang sangat merdu. 

Chloe mencari arah suara merdu itu dan baru menemukannya saat tirai di sisi kiri pelan-pelan terbuka. Tirai biru tua itu pelan-pelan terbuka dan menampilkan lantai dua yang agak menjorok ke tengah membentuk podium. Di sana, sekelompok besar paduan suara bernyanyi dengan lantang. Di sisi kiri tampak piano kuno yang seolah-olah berbunyi sendiri sebab sang pianis, seorang cewek, sangat mungil sampai-sampai sosoknya tersembunyi di balik tingkap piano. 

Di barisan depan, para pemusik berderet-deret tampak berfokus pada alat musik. Biola, cello, kontrabas, trompet, klarinet, dan saxophone membentuk satu kesatuan harmoni.

Kelompok orkestra itu terdiri dari para musisi berbakat dari kelas XI dan kelas XII, juga para guru dan staf. Mereka bergabung bersama dalam sebuah kelompok orchestra sekolah. Khusus untuk acara penyambutan siswa baru ini, mereka telah berlatih selama berhari-hari secara khusus di luar jadwal latihan rutin. 

Ketika kain biru yang menutupi panggung dinaikkan, musik mengalun memenuhi ruangan konser. Dengan tatapan fokus, para musisi menampilkan kelebihan mereka yang memukau. Setiap not dimainkan dengan penuh semangat. Himne sekolah mengalir lembut, menyentuh hati para siswa baru. Keharuan terselip dalam dada dan membuat mereka terbuai dalam alunan harmoni yang tak terlupakan.

‘Dalam ilmu dan cipta, terus maju dan berdaya. Tak kenal lelah dan henti, mengukir jejak abadi’ pelan-pelan Chloe ikut melantunkan chorus himne sekolahnya. Rupanya para siswa yang lain pun juga berlaku sama. Lamat-lamat terdengar suara para siswa baru ikut bernyanyi.

Setelah acara menyanyikan lagu himne sekolah usai, seorang laki-laki kurus memakai jas hitam sangat formal naik ke panggung. Dia berdiri tegap di depan podium dan berkata-kata dengan tegas dan berwibawa,

“Selamat pagi, para siswa semua. Saya, Tobias Greer, kepala sekolah SMU Arcadia, mengucapkan selamat datang kepada para siswa kelas sepuluh. Selamat kalian telah terpilih dari ribuan siswa SMP untuk melanjutkan sekolah di sini. Selamat datang!” seru Pak Tobias disambut tepuk tangan para siswa.

Selanjutnya, seperti layaknya pidato kepala sekolah di setiap tahun ajaran baru, Pak Tobias juga memotivasi siswa agar terus belajar. Kepala Sekolah menekankan pentingnya etos kerja keras, disiplin, kejujuran dan sikap rendah hati agar meraih sukses. Tak hanya untuk para siswa, Kepala Sekolah juga memberikan arahan kepada para guru agar selalu mendukung para siswa dalam belajar baik di kelas maupun di asrama sambil tidak melupakan membina karakter yang baik.

Pidato ditutup dengan meriakkan semboyan Arcadia, Fortitudo per Cognitio, dengan penuh semangat. 

Dan akhirnya, pidato panjang ini baru sungguh-sungguh berakhir dengan tepuk tangan meriah para siswa baru, yang entah termotivasi oleh pidato Pak Kepala Sekolah, atau penasaran akan gedung sekolahnya.

Setelah pidato Kepala Sekolah dilanjutan dengan perkenalan para guru. Semua guru satu per satu naik ke atas panggung mengenalkan diri dan pelajaran yang diampu. Setelah semua guru mengenalkan diri, tirai panggung bergerak ke atas, dan menampilakan barisan siswa kelas XI dan kelas XII. Mereka bertepuk tangan meriah menyambut kehadiran adik kelas mereka. 

Selanjutnya, mereka sekali lagi bernyanyi bersama-sama menyanyikan lagu himne sekolah. Kali ini dengan aransemen yang lebih ceria dan diiringi tepuk tangan mereiah. Begitu lagu itu usai, maka usailah acara penyambutan siswa baru yang meriah, ceria dan gembira. Para siswa kelas X akan memasuki dunia Arcadia yang sebenarnya; tempat tangisan akan lebih sering terdengar ketimbang canda tawa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!