Selamat Membaca💝💝💝💝💝💝💝💝💝
"Pagi Sayang," sapa Mas Galvin sambil menghampiri meja makan.
Aku tengah menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan kedua anakku yang sudah duduk dibangku sekolah dasar.
"Pagi juga Mas," balas ku.
"Sarapan apa kita, Sayang?" tanya Mas Galvin menarik kursi lalu duduk. "Pagi kesayangan Papa." Dia mengusap kepala kedua anak kami secara bergantian.
"Nasi goreng seafood, Mas. Kamu suka 'kan?" Aku meletakkan semangkuk berukuran besar nasi yang baru selesai ku goreng.
"Wahh enak ini!" seru Mas Galvin dengan senyum sumringah nya.
Aku tersenyum, lalu ikut duduk dan mengambilkan makanan untuk ketiga orang yang begitu aku cintai.
"Terima kasih Mama," ucap Nara dan Naro secara bersamaan.
Aku mengangguk dan tersenyum. Beginilah kegiatan ku sehari-hari. Menjadi ibu rumah tangga, melayani suami dan anak.
Namaku Diandra, aku biasa dipanggil Ara. Usiaku sekarang memasuki 28 tahun. Aku termasuk menikah muda. Bahkan tidak sempat duduk dibangku kuliah. Selesai Sekolah Menengah Atas aku dan Mas Galvin memutuskan menikah. Sementara Mas Galvin lanjut kuliah dan aku hanya fokus mengurus suami dan anak saja.
Anak ku yang paling tua sekarang sudah duduk dibangku kelas 4 sekolah menengah dasar dan Naro masih duduk di kelas 2. Usia kedua anak ku hanya terpaut 2 tahun saja. Hingga tak heran jika mereka tampak seperti seusia.
"Ohh Sayang, besok Mas ada perjalanan bisnis di Samarinda sama Pak Deddy, jadi mungkin Mas akan menginap selama seminggu," jelas Mas Galvin. Pak Deddy itu atasan Mas Galvin yang menjabat sebagai senior manager.
"Kok lama Mas?" ucapku sedikit keberatan. Mas Galvin memang sering perjalanan bisnis keluar kota untuk meninjau lokasi bersama dengan para boss nya.
"Nama nya juga kerja, Sayang." Mas Galvin geleng-geleng kepala.
Jujur saja aku sedikit panik saat suamiku perjalanan dinas cukup jauh. Apalagi suamiku ini masih muda dan juga tampan, bagaimana nanti kalau ada wanita cantik yang menggodanya. Rasanya aku tidak siap hal itu terjadi. Diluar sana pasti banyak wanita yang lebih cantik dan terawat. Tidak seperti aku yang lusuh dan tak terurus.
"Sudah siap anak Papa?" Mas Galvin berdiri dari duduknya.
"Sudah Pa," jawab kedua anakku serentak.
Setelah berpamitan padaku, ketiga orang itu langsung berangkat. Setiap pagi Mas Galvin mengantar Nara dan Naro ke sekolah karena jarak kantor Mas Galvin dan sekolah kedua anakku berdekatan.
Aku membereskan piring bekas makanan kami. Aku mencintai profesiku sebagai seorang ibu rumah tangga. Mengambil alih sepenuhnya atas rumah sudah menjadi kewajiban ku.
Aku bahagia dengan pernikahan ini. Aku bersyukur memiliki suami pengertian seperti Mas Galvin yang selalu memperhatikan aku dan juga anak-anak. Aku juga yang mengelola keuangan keluarga. Aku yang mengatur segala pengeluaran dan pemasukan. Hingga tak heran meski suamiku bekerja seorang diri namun, kehidupan kami tercukupi. Aku juga tak lupa menabung untuk persiapan masa depan anak-anak. Aku tak mau anak-anak ku nanti malah kekurangan pendidikan jika aku lengah tak menyiapkan sedari dini.
"Ehhh ini apa? Kok ada bekas lipstik di kemejanya Mas Galvin?" Aku terkejut saat melihat ada bekas lipstik dengan warna merah menyala di kemeja putih Mas Galvin.
"Ini punya siapa ya?" tanya ku sembari bergumam.
Pikiran ku mulai tak tenang. Jujur saja rasa cemburu dan takut jika suamiku bermain bermain perempuan selalu saja menghantui ku. Istri mana yang takkan takut jika suaminya berpoligami. Apalagi Mas Galvin masih tampan dan juga memiliki jabatan.
"Sudahlah, paling ini lipstik ku dikamar." Aku berusaha menepis segala prasangka buruk yang ada dipikiran ku.
Aku percaya Mas Galvin adalah pria yang setia dan begitu mencintai aku dan anak-anak.
Setelah selesai mencuci pakaian. Aku segera menjemur nya. Beres-beres rumah adalah rutinitas ku setiap hari. Mas Galvin sering memintaku mencari asisten rumah tangga. Tapi aku menolak karena aku merasa kewajiban ku seorang istri adalah melayani suami dan anak. Aku tak mau keluarga ku tumbuh tanpa campur tangan ku.
"Ini apa lagi?" Aku menemukan dua tiket bioskop di jas kerja suami ku. "Tiket?" Aku membolak-balik tiket tersebut.
Aku duduk dibibir ranjang. Perasaan ku mulai gelisah.
"Tenang, Ra. Tenang. Mas Galvin tidak mungkin macam-macam dibelakang kamu," ucap ku berusaha menenangkan diri sendiri dengan perasaan yang gelisah dan menentu.
Tak mau membuat pikiran ku pusing. Aku kembali melanjutkan pekerjaan ku. Mencuci pakaian, mengepel lantai dan seluruh ruangan serta membereskan kamar dan meja belajar anak-anak ku.
.
.
.
"Kenapa muka kamu, Ra?" tanya Henny. Teman dekatku.
"Tidak," kilahku menggeleng dan menghela nafas panjang.
Seperti biasa, setelah selesai beres-beres Henny akan bermain ke rumah ku untuk sekedar bercerita dan curhat-curhatan.
Henny menikah dengan seorang mantan tentara Angkatan Laut, nama nya Reza. Menurut isu yang beredar, Reza pernah bercerai dengan mantan istrinya yang sekarang menikah dengan pemilik Husada Hospital Rumkit, salah satu rumah sakit tentara.
"Ayo cerita lah. Siapa tahu aku bisa bantu," ucap Henny.
Aku terdiam sejenak lalu menghela nafas panjang. Jujur saja, pikiranku sekarang benar-benar kacau. Aku tak bisa lepas dari bekas lipstik dan tiket bioskop yang aku temukan tadi. Di tiket itu terlihat jelas tanggal dan jam nya. Apa mungkin suamiku menonton dengan rekan kerjanya? Tapi kenapa hanya dua? Rekan kerja Mas Galvin cukup banyak..
"Tadi aku tidak sengaja melihat bekas lipstik di kemejanya Mas Galvin. Terus aku juga menemukan tiket di jas nya," jelas ku.
Henny tampak terkejut lalu dia menatapku dengan penuh tanda tanya.
"Kamu tidak curiga?" tanya Henny. Henny ini tipikal orang yang kalau bicara suka blak-blakan dan asal keluar begitu saja.
"Curiga apa?" tanya ku ketus. Sebenarnya bukan nya aku tak curiga. Aku hanya tidak ingin merusak kepercayaan yang telah kami sepakati bersama.
Pernikahan ku dan Mas Galvin tidak di setujui oleh orang tua nya. Lantaran aku yang terlahir dari keluarga miskin. Orang tua ku hanya petani dan tinggal dikampung. Sedangkan aku menetap di Pontianak, karena ikut dengan Mas Galvin.
Kedua orang tua Mas Galvin adalah Pegawai Negeri Sipil. Ayah nya seorang mantan kepala sekolah sedangkan ibu mertua mantan bidan di sebuah rumah sakit dan sekarang sudah pensiun.
"Ya siapa tahu suami kamu selingkuh," jawab Henny.
Deg.
Aku langsung terdiam. Membayangkan Mas Galvin selingkuh membuat dadaku sesak. Bagaimana kalau hal itu benar-benar akan terjadi. Aku tidak akan sanggup berpoligami.
"Tidak mungkinlah. Aku percaya Mas Galvin orang nya setia," sergah ku membantah ucapan Henny. Suamiku tak mungkin selingkuh.
"Ya siapa tahu saja Ra. Apalagi suami mu masih tampan dan banyak duit. Pasti di kantornya banyak wanita genit yang suka menggoda suami mu," jelas Henny.
**Bersambung...**
Welcome to my new novel...
Kali ini bukan CEO lagi wkwkwk..
Jangan lupa selalu dukungannya guys.
SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA BUDIDAYA LIKE YAA YA GUYS..........
CEKIDOT......
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇
"Sayang, uang belanja mu masih ada?" tanya Mas Galvin.
"Masih Mas," jawabku.
Aku bisa dikatakan bukan perempuan materialistis. Meski tak bekerja begini masalah mengelola ekonomi keuangan aku memang sangat bisa di andalkan. Apalagi suamiku memiliki gaji yang cukup besar.
"Ya sudah ini simpan. Kalau kamu mau belanja keperluan kamu, pakai saja uang itu. Jajan anak-anak nanti biar aku kasih lagi," jelas Mas Galvin memberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan padaku. Suamiku memang tidak pelit, ia suka sekali berbagi pada orang lain apalagi untuk istri dan anak nya.
"Terima kasih Mas," aku tersenyum simpul.
"Ya sudah Mas berangkat dulu. Hari ini Mas ada persiapan untuk persiapan berangkat besok," ucapnya sambil memasukkan beberapa berkas kedalam tas kerja nya.
"Iya Mas hati-hati. Jangan lupa kabari aku, kalau sudah sampai," aku mengecup punggung tangan suamiku, kebiasaan yang sudah menjadi salah satu rutinitas pagi sebelum Mas Galvin berangkat bekerja.
"Tapi tidak apa-apa kamu yang antar anak-anak hari ini. Soalnya Mas, buru-buru." ia melirik arloji yang melingkar ditangannya.
"Tidak apa-apa Mas. 'Kan ada mobil yang satu," jawabku.
Aku meneteng tas kerja suami dan tak lupa lengan ku memeluk lengannya dengan sayang.
"Mas berangkat dulu." Mas Galvin memberikan ciuman hangat di kening ku.
"Iya Mas hati-hati." Aku melambaikan tangan saat Mas Galvin masuk ke dalam mobil.
Rasa curigaku pada Mas Galvin hilang ketika mendapat perhatian kecil padanya. Aku beruntung memiliki suami sebaik Mas Galvin. Tidak hanya tampan dan kaya tapi dia juga selalu bisa membuatku merasa wanita paling beruntung didunia. Perlakuannya yang lembut, bahasa nya yang empuk ditelinga ku seolah menjadi salah satu hal yang kusukai dalam hidupku.
Aku percaya Mas Galvin setia. Ia tak mungkin mendua. Aku mengenalnya. Dia memang ramah pada siapapun. Bisa saja bekas lipstik kemarin hanya kebetulan saja dan tiket itu mungkin punya boss nya.
"Anak-anak sudah siap?" Aku meraba tas ku.
Hari ini Mas Galvin tidak sempat mengantar anak-anak lantaran kesibukannya yang mempersiapkan perjalanan bisnis nya besok keluar kota. Mas Galvin memang sering bolak-balik luar kota bersama boss nya untuk meninjau proyek dan memasarkan hasil kelapa sawit nya.
"Mama, kemarin Nara melihat foto anak kecil di ponsel Papa," jelas Nara, anak perempuan ku yang sudah duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar.
"Foto bayi?" ulang ku sambil melirik anakku yang duduk disamping. Sedangkan tangan ku masih menyetir.
"Iya Ma," jawab Nara.
"Bukan foto kalian masih kecil?" ucapku.
"Bukan Ma. Nara kenal foto Nara sama adek," jelas anak perempuan ku.
Sementara Naro duduk dengan nyaman dibangku belakang. Anak lelaki ku yang duduk dibangku kelas 1 sekolah dasar ini memang sangat dingin dan sulit ditebak. Ia tak banyak bicara. Ia terkesan dingin. Entah sifat siapa yang menurun padanya. Padahal aku dan Mas Galvin termasuk orang yang aktif bicara.
"Masa sihh?" Aku tak percaya.
"Benaran Mama. Nara lihat kok. Terus kemarin Papa juga tampak menelepon seseorang Ma. Papa bicara sambil tersenyum-senyum begitu," jelas Nara.
Aku terkekeh. Jika Naro dingin maka berbeda dengan Nara. Ia sama seperti ku yang cerewet bukan main.
Mobilku terparkir saat sampai di sekolah kedua anakku. Sebenarnya aku jarang mengantar mereka ke sekolah, karena biasanya Mas Galvin yang ambil alih mengantar jemput anak-anak. Kecuali dia sibuk maka terpaksa aku yang harus turun tangan.
"Kalian sekolah baik-baik ya Nak. Nanti Mama jemput," pesan ku sambil memperbaiki dasi kedua anakku secara bergantian.
"Iya Ma," jawab Nara.
"Naro." Aku berjongkok menyamakan tinggi badanku dengan putra bungsu ku ini. "Jangan nakal ya Nak. Jangan keluar kelas sebelum pelajaran selesai," pesanku. Bukan apa, aku sering mendapat surat panggilan dari wali kelas Naro, karena ia sering keluar kelas disaat jam pelajaran masih berlangsung.
Naro mengangguk seperti paham dengan pesanku. Anakku yang ini diam-diam menghanyutkan. Ia tak banyak bicara. Namun, pikirannya tajam seperti orang dewasa. Ia teliti dan pemberani. Ia hanya dekat denganku. Kalau bersama papa nya ia sedikit pembangkang.
Setelah mengantar anak-anak aku kembali kerumah. Entah kenapa ucapan Nara tadi masih terngiang di kepalaku. Foto bayi? Tapi bayi siapa? Apa mungkin foto Nara dan Naro waktu masih kecil? Bisa jadi.
Aku memarkirkan mobil di halaman rumah kami. Rumah ini tidak besar namun cukup untuk tempat tinggal kami berempat. Sebab aku yang menyukai kebersihan jadi, terlihat rapi jika di lihat dari luar.
Aku masuk kedalam rumah. Rutinitas selanjutnya adalah beres-beres rumah seperti biasa.
"Foto bayi?" gumamku.
Aku masuk ke dalam kamar dan berniat menyimpan tas ku. Kulihat ada ponsel Mas Galvin yang terletak di atas kasur.
"Pasti ketinggalan." Aku geleng-geleng kepala. Suamiku itu memang pelupa, tak jarang barang yang lain nya juga tertinggal.
Aku mengambil ponsel itu dan berencana untuk menyimpannya keatas nakas. Tunggu, ada notifikasi pesan masuk.
"Pesan?" gumamku.
Aku memang mengetahui kata sandi ponsel suamiku. Sebab biasanya aku sering memakai ponselnya untuk melihat-lihat online shop. Tapi aplikasi chat memang sengaja di privasi dan aku tidak keberatan. Karena tidak semua tentang suamiku harus dibawah kendaliku. Aku percaya ia setia, itu saja.
Akh duduk dibibir ranjang sambil mengotak-atik ponsel Mas Galvin. Sayang pesan yang masuk tidak bisa di buka karena di kunci dan aku tidak tahu kata sandi nya.
Iseng-iseng aku membuka aplikasi album foto disana, kata Nara ada foto bayi dan aku penasaran. Aku mencari-cari gambar tersebut diantara ribuan foto di ponsel Mas Galvin dan ketemu.
"Ini anak siapa?" Aku melihat beberapa kali foto wajah bayi didalam ponsel itu. "Kenapa wajahnya mirip sama Mas Galvin?" gumamku.
Aku terdiam sejenak sambil meletakkan ponsel itu diatas nakas. Pikiranku mulai terbang melayang.
"Aku tidak boleh suhuzon dulu, nanti aku akan tanya sama Mas Galvin. Mungkin saja itu foto bayi rekan kerja nya." Aku masih berpikir positif mencoba menanamkan kepercayaan untuk rumah tangga kami.
Tak mau membuat pikiran ku kacau. Ku tinggalkan ponsel itu begitu saja dan menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah.
Sepanjang aku beres-beres rumah, bayangan foto bayi di ponsel Mas Galvin tak bisa hilang dari kepalaku. Wajah nya sangat mirip dengan Mas Galvin, wajah seorang pria kecil yang tampak tampan meski masih bayi. Tapi apa mungkin ada wajah seseorang yang mirip tanpa ada ikatan darah?
Bersambung......
SEBELUM MEMBACA JANGAN LUPA BUDIDAYA LIKE YAA YA GUYS..........
CEKIDOT......
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇
"Sudah siap Ra?" tanya Henny.
"Sudah," aku keluar dari rumah sambil meneteng tas kecil ku.
"Yuk, gaskeeeunnnnnnn," ajak Henny semangat.
Untuk menepis segala perasaan buruk yang kini membuatku tak tenang. Aku mengajak Henny belanja keperluan suami dan anak di pasar. Uang yang di berikan Mas Galvin padaku untuk kebutuhan pribadi ku, jarang aku gunakan. Uang itu aku simpan dengan baik. Kali saja terjadi sesuatu yang tidak inginkan nanti, aku bisa gunakan uang itu sebagai jaga-jaga.
"Mau kemana kita?" tanya Henny menirukan suara Dora. Henny kalau diajak belanja suka lupa diri dan kadang juga tidak tahu diri.
"Hem, kita belanja di mall saja. Aku mau membelikan beberapa keperluan anak-anak," jawabku memasang sealbeat.
"Muka kamu kenapa Ra? Lagi ada masalah?" tebak Henny.
Henny tidak tanya tetangga tapi juga sahabat baikku. Pernikahan nya dan Mas Reza tidak di karuniai anak. Henny mengambil peran sebagai ibu sambung dari anak tirinya bernama, Queen. Meski bukan anak kandung namun Henny sangat menyanyangi Queen seperti putrinya sendiri.
Aku menghela nafas panjang, "Tadi ponsel Mas Galvin tertinggal terus pas aku cek ada foto bayi," jelas ku. Sebenarnya hatiku ketar-ketir saat menjelaskan hal tersebut. "Kemarin juga Nara bilang saja lihat Papa nya seperti telponan sama seseorang," sambung ku
"Serius kamu Ra?" tanya Henny setengah tak percaya.
Aku mengangguk. "Tapi tidak mungkin Mas Galvin berkhianat Hen, aku kenal dia," ucapku. Ya kami pacaran cukup lama, tentu saja aku tahu sifat suami ku.
"Kamu yakin suami kamu setia?" Henny memincingkan matanya padaku. "Aku tidak menakut-nakuti kamu Ra. Sebaiknya kamu selidiki saja dulu. Sudah dua bukti yang mencurigakan," jelas Henny.
Aku terdiam. Aku adalah tipe wanita yang santai dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Sifat tenang ini aku pelajari dari ayah ku yang memiliki sifat tersebut.
Aku mengangguk, "Iya Hen. Nanti aku selidiki," sahutku.
Mobil yang ku kendarai berhenti diparkiran mall. Aku akan membelikan beberapa keperluan sekolah anak-anak yang sudah habis.
Aku dan Henny masuk kedalam mall. Henny ini memang tipe wanita cerewet. Kasihan Mas Reza memiliki istri yang bawel luar biasa. Meski begitu Henny adalah sahabat terbaik ku. Dia menjadi salah satu tempat untuk aku mencurahkan isi hati selain suamiku.
Namun, tetap dalam masalah rumah tangga aku selalu mengutamakan suami. Apapun masalah nya Mas Galvin adalah orang pertama yang aku beritahu. Aku tak mau suami ku merasa tak di hargai bila aku mengabaikan dirinya. Bagaimanapun ia adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas istri dan anak-anak nya.
"Kamu mau beli apa saja Ra?" tanya Henny.
"Tas sama buku anak-anak," jawab ku memilih beberapa tas anak-anak yang ada di toko tersebut. "Nara tidak suka warna pink," aku menggeleng saat melihat tas berwarna pink dan bergambar Hello Kitty
Kadang aku heran, anakku bernama Nara ini sedikit berbeda dari yang lainnya. Dia tidak suka sesuatu yang berwarna pink. Dia menyukai warna-warna natural seperti hitam dan hijau atau kadang warna cerah seperti warna merah menyala.
Brakkkkkkkkkkkkkk
Tak sengaja aku bertabrakan dengan seseorang, "Eh maaf Mas," aku membantu lelaki tersebut mengambil beberapa barang nya yang jatuh di lantai.
"Ini Ma_" tunggu seperti nya aku mengenal pria ini. "Divta bukan?" tebak ku.
"Diandra," ucapnya sambil tersenyum.
"Ya ampun Divta." Aku menutup mulut tak percaya.
"Apa kabar Ra?" Dia mengulurkan tangan kearah ku.
"Kabar baik Ta," jawabku menyambut uluran tangannya.
"Tidak bertanya balik?" goda nya. Sifat lelaki itu tak berubah sama sekali.
"Kamu apa kabar juga Divta?" tanya ku sambil terkekeh pelan.
"Seperti yang kamu lihat," jawabnya juga tertawa pelan. "Kamu beli apa?" tanyanya melirik dua tas anak-anak yang ada di tangannya. Satu berwarna merah menyala dan satu berwarna hitam dengan gambar Batman, Naro menyukai Batman jadi setiap barang-barang yang dia koleksi selalu memiliki warna yang sama.
"Membelikan kebutuhan anak-anak," jawabku menunjukkan benda yang ada di tangan ku. "Kamu?" tanya balik ku
"Sama. Ini lagi membeli Pampers dan susu," jawabnya.
Divta Tarumanegara, dia mantan ketua OSIS saat aku duduk di bangku SMA. Aku adalah salah satu anggota yang ikut berpartisipasi untuk menjalankan amanah tersebut. Divta adalah siswa terpopuler pada masanya, ia menjalin hubungan dengan Chelsea salah satu siswi incaran para lelaki. Mungkin saja Divta sekarang menikah dengan Chelsea.
Sejak kami sama-sama lulus dan melanjutkan pendidikan serta kehidupan masing-masing, aku tak pernah lagi bertemu dengan Divta. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah sekian tahun.
"Ada waktu? Bagaimana kalau kita makan siang?" tawarnya sambil melirik arloji yang melingkar di lengan nya.
"Ohh tentu," jawabku.
Aku mengajak Henny membayar belanjaan ku. Sudah lama tak bertemu Divta tentu banyak hal yang juga ingin ku tahu tentang nya. Aku cukup akrab dengan Divta karena kami sama-sama anggota OSIS yang menjalankan operasi sekolah agar berjalan seperti biasa.
"Ra, kamu kenal sama dia?" bisik Henny.
"Kenal Hen. Teman SMA ku dulu, kenapa?" tanya ku juga setengah berbisik. Divta menunggu kami didepan toko. Dia menjadi pusat perhatian karena tubuh atletis nya yang terlihat mencolok
"Dia itu Kapten Divta, salah satu Kapten Angkatan Laut yang terkenal di Batalyon," jelas Henny kesem-kesem melirik Divta dari jauh.
Aku mendelik melihat kearah Henny, "Kok kamu tahu?" tanyaku menyelidik. Henny memang ratu gosip andalan.
"Kamu jangan lupa, Mas Reza mantan tentara. Tentu aku tahu," jawab Henny. "Dia itu duda lho Ra," sambung Henny. Henny kalau masalah gosip memang nomor satu.
"Duda?" ulang ku. "Istrinya kemana?" tanya ku penasaran. Aku saja tidak tahu tentang Divta sementara Henny seperti selebrita saja yang menyiarkan secara langsung.
"Istri nya selingkuh sama suami orang. Kasihan anak nya masih kecil harus dia urus sendiri," jelas Henny.
Aku melirik Divta, lelaki sesempurna itu saja masih di khianati oleh pasangannya. Padahal jika di lihat dari sisi mana pun tidak ada yang kurang. Wajahnya masih tampan dan berkarisma. Tubuh atletis karena dia seorang tentara. Kaya raya sejak dulu. Baik dan perhatian.
Setelah membayar barang-barang yang aku beli, aku dan Henny berjalan kearah Divta. Lelaki itu sabar menunggu sejak tadi.
"Sudah?" tanya nya
"Sudah Ta," jawabku.
"Ayo," ajaknya.
Kami berjalan menuju restourant cepat saji yang ada di mall tersebut. Aku masih saja memikirkan soal Divta, apa benar yang di katakan oleh Henny jika Divta seorang duda? Pasti dia trauma untuk kembali membuka hati. Apalagi di khianati seperti ini.
**Bersambung... **
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!