NovelToon NovelToon

Error 404: Gebrastal

Alanzo Gilbartan

Suara decitan motor itu melengking di setiap pendengaran insan yang menapakkan kakinya di area sekolah menengah atas. Sebuah motor Harley Davidson hitam direm secara mendadak oleh pemiliknya saat mendapati seorang remaja berseragam putih yang menguning dengan kacamata kotaknya berdiri tepat di depan motornya. Sedang pengendara motor Ducati merah yang sudah berada di depannya berhenti, menoleh ke belakang, lalu tertawa meremehkan.

Hari ini si Pengendara motor Ducati yang menang.

“Anjing!” umpat cowok pengendara motor hitam berseragam putih abu-abu yang kini membanting helm fullface-nya. Menatap tajam remaja berkacama tadi yang menghalangi jalannya.

Beberapa motor sport kini telah datang, menyusul dirinya. Para pengendaranya melepas helm mereka masing-masing. Mengekspos wajah-wajah tampan milik mereka. Memperlihatkan ekspresi kaget saat ketua mereka kini memasang wajah murka.

“Lo bisa lihat jalan gak sih, Bego?!” Si Pengendara motor hitam yang bernama Alanzo Gilbartan itu melotot ke arah cowok yang kini menunduk ketakutan. Alanzo mendekatkan cowok itu ke dirinya dengan menarik kerahnya. Kemudian yang terjadi selanjutnya sudah bisa tertebak, Alanzo membogem cowok bernama Amar itu penuh kekesalan.

“Gara-gara lo! Gue kalah!” Alanzo kembali memukul perut Amar hingga tersungkur. Amar hanya bisa menahan rasa sakit di perutnya saat Alanzo kembali melontarkan amarahnya. “Kenapa lo gak mati aja, Bodat!”

“Am-ampun!” Amar, si cowok cupu yang tidak tahu apa-apa, si cowok beasiswa dengan ekonomi yang kurang memumpuni hanya bisa memohon ampun. Atau diam dan tidak melawan saat dipukuli Alanzo adalah jalan terbaik cowok itu untuk bertahan. Apa daya? Siswa seperti dirinya tidak akan mampu melawan Alanzo yang ganas dan memiliki harta lebih.

“Udah, Zo!” cegah Omero, anggota geng motornya, saat Alanzo ingin memukul Amar lagi meski Amar sudah terlihat berbatuk-batuk. Omero menahan tangan Alanzo untuk tidak mengamuk lagi.

“Gue gak akan lupa sama lo! Gue pastiin besok lo akan keluar dari nih sekolah dan gak ada sekolah yang bakal nerima lo!” Jika sudah berkata seperti itu, Alanzo tidak main-main. Telah dipastikan, beberapa hari kemudian Amar akan keluar dari sekolah ini.

Amar mendelikkan matanya. Ia tahu betul siapa itu Alanzo. Sekalinya ada yang membuat masalah, maka orang itu tidak akan selamat, dan ia harusnya tidak menyebrang di sini, sehingga membuat Alanzo yang tadi ngebut tidak hampir menabraknya hingga kalah, dan menciptakan masalah seperti ini.

Amar langsung saja berlutut, mencekal kaki Alanzo sambil memohon. “Am-ampuni sa-saya! Sa-saya gak se-sengaja! Jangan ke-keluarin sa-saya! Sa-saya gak tahu ba-kal sekolah di mana! Kasihani ibu saya yang sakit nyari sekolah!” Cowok itu berbicara dengan nada bergetar.

Alanzo yang merasa kakinya dicekal saat dirinya akan melangkah pergi langsung saja menghempaskannya. “Lo pikir gue peduli?!”

Mati sudah hidup Amar.

Semua anggota geng motor yang menyaksikan itu hanya diam. Setelahnya Alanzo melangkah ke arah cowok yang berkendara motor Ducati merahnya. Cowok bernama Serkan itu berjalan dan tersenyum miring ke arahnya. “Yah ... jadi gimana?”

Alanzo menatap cowok itu datar. Ia langsung saja melempar kunci motor mahalnya pada cowok itu sebagai kesepakatan taruhan yang telah mereka berdua buat sebelumnya. Yang menang dapat motor yang lawan kendarai. Alanzo menyerahkan Harley Davidson miliknya. Setelah itu, cowok itu melangkah pergi tanpa menghiraukan Serkan lagi yang diikuti oleh keempat anggota intinya.

Langkahnya yang tak santai mengisyaratkan bahwa suasana hatinya sedang buruk membawa aura negatif yang menakutkan. Kesal. Itu yang cowok itu rasakan. Bukan karena kehilangan motor kesayangannya. Jika masalah motor, cowok itu masih punya puluhan koleksi motor limited edition di rumahnya. Tetapi ini masalah ego. Ia tidak suka dikalahkan orang lain, apalagi itu musuhnya sendiri, Serkan.

Sialan. Hanya itu yang bisa cowok ganas itu ucapkan dalam hatinya.

Cowok maskulin berpostur tinggi dengan kulit eksotis, disertai mata elang yang tajam, rahang yang keras, dan rambut coklat itu membuat semua siswa di koridor diam saat ia melangkahkan kakinya. Ada yang diam karena merendam kekagumannya, ada yang diam karena takut dulu ia pernah membuat masalah dengan Alanzo.

“Sayaangg!” Seorang gadis berparas cantik ala dewi Yunani dengan rok sepuluh senti di atas dengkul disertai seragam putih ketat itu menghampiri Alanzo. Meraih lengannya untuk ia peluk. Glenca. Primadona sekolah dengan bodygoals yang selalu diimpikan cewek lain dan merupakan siswi populer karena kecantikan dan kekayaannya.

Hanya cewek itu yang berani menyentuh Alanzo ketika Alanzo sedang marah. Dengan pesonanya, ia bisa menjadi pacar Alanzo hingga saat ini. Ia mengelus-elus lengan Alanzo dengan halus, berusaha menenangkan cowok itu. “Udah dong marahnya, masa kamu marah sama aku juga.”

Alanzo hanya diam, memalingkan mukanya ke arah lain. Glenca masih mencekal lengan cowok itu, berjalan bersamanya. Ia merasa bangga karena ia bisa menggandeng tangan itu, memamerkannya pada orang lain yang mungkin merasa iri.

“Sayang, nanti sore kamu jadi beliin aku kue dan jadi anter aku meni-pedi gak?” tanyanya melihat kuku-kuku jarinya yang telah mengelopek.

Alanzo mengembuskan nafas kasar. Ia menarik tangannya dari Glenca. “Gue lagi gak mood.”

Sedang Glenca hanya mencebikkan bibir kesal. Ia mengikuti langkah kaki Alanzo yang ke kelas, diikuti juga oleh keempat cowok di belakangnya. Glenca langsung saja mendudukkan diri di kursi sisi Alanzo. Berusaha merayu cowok itu, tapi Alanzo hanya mengacuhkannya.

“Sayang, kamu gak mau ini?” Glenca menunjuk bibirnya yang mengerucut dengan jari telunjuk. Tersenyum miring saat Alanzo mulai tertarik dan ingin mendekatkan wajah. Namun, ia malah menjauh.

“Temenin aku dulu nanti sore!” katanya merajuk.

Cih! Murahan! batin Omero yang sedari tadi melihat itu.

***

Satu prinsip Alanzo. Ia boleh melakukan apa pun, yang penting, senakal-nakalnya dia, dia tidak akan pernah mau merusak seorang cewek.

Seperti yang dilakukan Leon saat ini. Sedari tadi cowok yang merupakan anggota inti gengnya itu berusaha membujuknya dengan sebuah alat yang orang sebut pengaman.

“Ayolah, Bro, lo bisa lakuin itu ke Glenca! Glenca tuh udah mau sama lo! Dia cantik, seksi, gak ada yang bisa nolak dia, Cuy!” teriaknya di tengah musik club yang menyala-nyala.

Ya. Meski Glenca yang pacarnya sendiri selalu menggodanya dengan berbagai macam cara, Alanzo tidak terpengaruh. Mentok-mentok dirinya hanya akan berciuman bibir. Alanzo sangat tahu, Leon pasti membujuknya karena Glenca yang selalu meminta bantuan pada Leon agar dirinya mau melakukan itu.

“Bacot lo!” Alanzo meneguk bir yang ada di tangannya.

“Ntar kalo diembat cowok lain gimana?”

“Lo yang mau ngembat?”

Leon terdiam di tempat. Sedari dulu ia selalu memimpikan tentang Glenca, jauh sebelum menjadi milik Alanzo. Sedari awal ia telah tertarik dengan tubuh seksi cewek itu yang siap untuk menghangatkan ranjangnya. Setiap kali melihat Glenca, Leon selalu saja meneguk ludahnya. Sayangnya, Glenca terlalu gengsi. Sayangnya juga Glenca sudah menjadi milik Alanzo dan jika saja ia ketahuan merebutnya, Alanzo tidak segan-segan membunuhnya.

“Bentar, sayangg!” ucap Leon diselingi suara musik techno pada seorang gadis cantik yang menunggunya. Ia kembali menatap Alanzo yang hanya duduk cuek sambil menghabiskan bir favoritnya. “Nih, gue kasih buat lo, kali aja lo butuh pengaman!”

Leon menyerahkan itu sebelum akhirnya pergi. Alanzo hanya menatap benda itu tanpa minat. Ia mengambilnya lalu membuangnya ke tempat sampah. Lebih baik ia bersenang-senang dengan balapan atau main remi daripada membuang waktu untuk itu.

***

A/N

Gimana bab 1 nya? Huhu kasih komen dong!😘

Sheryl Auristella

...Bertemu denganmu adalah adalah anugrah terindah dalam hidupku....

...***...

“Hari ini gue yakin gue yang menang sih.” Alanzo tersenyum miring ke arah Jehab. Cowok di depannya yang sedang memegang satu kartu. Satu-satunya cowok yang pernah mengalahkan Alanzo saat bermain. Disaksikan oleh semua orang di club itu yang pernah dikalahkan oleh Alanzo maupun Jehab.

“Kita lihat aja nanti,” balasnya menyerahkan kartu ratu sekop. Kemudian Alanzo memberinya raja hati yang berarti Alanzo telah memenangkannya saat kartu di tangannya habis.

“Sh*t!” umpat Jehab.

Semua orang yang tadi tegang kini tertawa bersama di tengah alunan musik disko itu. Seorang pria berambut kriting datang membawa sebuah tumpukan uang merah ke arah Alanzo. Ia memberikannya secara gampang pada Alanzo.

“Asekk, Bos! Lo tuh emang gak akan pernah kalah!” tawa Leon yang sedang dikerumuni beberapa cewek di sampingnya. Memang di antara kelima anggota inti, Leon adalah yang paling playboy yang suka meniduri banyak gadis, tapi Leon juga yang paling garang.

Jehab, si cowok tampan nomor tiga di geng motor Gebrastal itu hanya menggidikkan bahu. Ia ikut senang atas kemenangan ketua gengnya meski ia harus kehilangan banyak uangnya.

Beberapa cewek cantik bermimik menggoda kini hadir di antara mereka. Leon semakin senang. Dengan raut yang tak bisa dideskripsikan, ia memilih satu di antara berbagai gadis untuk ia cumbu. Terang-terangan, ia menanyai cewek itu. “Lo udah pernah dipake belom? Kayaknya enak?”

“Apanya, Yon, yang enak?” goda Jehab tertawa, seperti menginterupsi cowok itu agar tak melakukan kegitannya di sini.

Leon yang merasa kemesumannya itu terekspos oleh cowok-cowok di depannya berhenti. “Parfumnya enak.” Kemudian ia membawa cewek itu pergi.

Kini giliran Alanzo yang didatangi oleh seorang cewek. Namun, cewek itu tidak jadi mendatanginya saat tahu ada seorang cewek yang lebih cantik, yang terkenal badas, mendatanginya. Glenca.

“Apaan lo?” sentak Glenca mengangkat dagu lalu mengusir cewek itu dan mendudukkan diri di atas paha Alanzo. “Sayang?” rengeknya. Melihat Glenca berada di depannya, Alanzo yang terpengaruh alkohol langsung saja mencium cewek itu tepat di bibirnya.

Omero hanya melihatnya. Cowok itu benar-benar tidak suka suasana seperti ini ketika cewek-cewek panggilan itu muncul dan menggodanya. Ia risih. Omero adalah salah satu cowok yang masih waras dibanding dengan anggota Gebrastal lainnya. Cowok itu selalu menjadi satu-satunya cowok yang tidak judi, tidak main cewek, maupun minum alkohol.

Menurutnya itu bukan sesuatu yang pantas yang dilakukan oleh pelajar.

“Zo, gue duluan!” ucapnya mengakhiri sebelum akhirnya pergi. Meninggalkan berbagai macam ocehan yang mengatakan dirinya cupu karena pulang duluan.

***

Alanzo, Kenart, Omero, Jehab, dan Leon. Siapa yang tidak mengenal mereka berlima? Anggota inti dari Gebrastal. Para cowok tampan keturunan dewa Yunani yang digilai oleh kaum hawa. Semua tahu, mereka tidak ada tandingannya. Ditakuti dan membuat orang lebih baik tidak bertemu mereka karena takut membuat masalah adalah ciri khasnya.

Alanzo yang ganas, Kenart sang Wakil yang bermulut pedas, Omero si Jago Berantem, Jehab sang Panglima Perang yang jenaka serta pandai IT, dan Leon penyuka wanita yang garang.

Kelimanya kini sedang berjalan di koridor, saling melempar tawa karena suasana hati mereka yang sedang gembira. Tak boleh ada yang mengacaukannya. Alanzo berjalan mundur sambil menanggapi anggota gengnya yang tertawa renyah. Posisinya memegang hanphone limited edition-nya.

Di saat yang bersamaan, seorang cewek yang membawa tumpukan kertas berjalan ke arahnya. Cewek itu berusaha minggir saat lima orang cowok akan berjalan berlawan arah. Namun, laju kaki Alanzo yang terlalu cepat serta cara berjalan cowok itu membuat hal tak terduga terjadi.

Bruk!

Semua terjadi begitu saja saat sebuah handphone terbanting ke lantai serta beberapa kertas yang melayang-layang di udara. Tubuhnya bertubrukan keras dengan Alanzo.

Alanzo langsung menjauhkan tubuhnya, melihat handphone-nya yang sudah tak terbentuk di lantai. Terbelah menjadi dua saking dahsyat tubrukan mereka. Keempat cowok di belakangnya melotot tak percaya.

Cewek itu mengambil kertas-kertas di lantai. Tidak menyadari rahang Alanzo yang sudah mengeras serta tangannya yang mengepal saat mengambil ponselnya yang retak. Ponsel mahal yang menyimpan bermacam memori serta file tentang Gebrastal.

Semua orang langsung melihat ke arah mereka. Menebak-nebak yang terjadi selanjutnya.

Secara kasar, Alanzo menarik lengan cewek itu yang lebih mementingkan kertasnya dari pada dirinya. Ini pertama kalinya ia dihiraukan oleh seorang cewek. Ia menghadapkan wajahnya tepat pada wajah Alanzo. Kini Alanzo dapat melihat mata almond coklat milik cewek itu. “Lo liat ini! Lo liat! Gara-gara lo! Nih barang hancur!”

Cewek itu hanya diam, melirik pada handphone Alanzo.

“Lo tahu?! Ini ponsel khusus geng Gebrastal! Lo rusakin, Anjing!”

“Kenapa gak jawab?! Takut lo?!”

Tanpa semua orang duga, cewek itu malah tersenyum meremehkan, sebelum menanggapi santai. “Yang salah siapa, yang ngomel siapa. Emang kebiasaan yang sering dilakuin orang bodoh.” Ia menggelengkan kepala, kembali memberesi kertas-kertas di lantai tak peduli Alanzo yang semakin mengepalkan tangannya.

Semua orang melongo melihat itu.

“Wah! Kurang ajar nih cewek!” ucap Leon ingin ikutan tapi ditahan oleh Omero.

“Lo katain gue bodoh?!” murka Alanzo. Cewek itu tidak menanggapi, terus saja memungut kertas di bawah. “Budek lo, huh?! Lo katain gua bodoh?!”

“Berani lo ngacuhin gue?”

“Oh, emang budek?!”

“Anjing lo!” Alanzo yang tidak tahan langsung menarik tangan cewek itu, mencengkram kedua tangannya erat. Herannya, cewek itu tidak mengeluarkan ekspresi apa pun yang menandakan bahwa ia kesakitan. Alanzo mendekatkan cewek berkulit terang dengan hidung mancung itu ke arahnya.

“Sheryl N, kelas sebelas IPS 3.” baca Alanzo pada name tag nama dan betnya. “Gue pastiin lo bakal dikeluarin besok juga dari sekolah ini ...,” desisnya tajam. Leon dan Kenart yang tadi membela Alanzo tertawa puas. Akhirnya Alanzo mengeluarkan jurusnya pada cewek kurang ajar itu.

Seluruh siswa mulai berbisik-bisik. Ada yang kasihan ada yang mengapokkan karena berani meremehkan Alanzo.

Namun, cewek bernama Sheryl itu malah terkekeh. “Berhubung gue masih punya akal, jadi gue ngalah. Oke, terserah lo mau mastiin gue keluar apa gak dari sekolah ini besok. Emang orang waras harusnya gak nanggepin orang yang agak-agak.” Sheryl berpura-pura tersenyum kecut.

“Wuoh! Gila nih cewek! Nantang banget dia!” ucap Leon kelewat kesal. “Heh, lo tuh siapa sih? Lo gak tahu Alanzo siapa?! Kurang ajar banget ya lo ngelawan dia!”

“Tau! Lo gak takut sama kita?! Cari masalah, mati lo!” lanjut Kenart.

Kini giliran Sheryl menatap pada Leon dan Kenart, lagi-lagi cewek itu terkekeh. “Bukan Tuhan, ‘kan? Cuma manusia, ‘kan?” Ia mengamati Alanzo dari atas hingga bawah sebelum kemudian pergi meninggalkan pertanyaan berupa pernyataannya yang menggantung.

Sebelum itu, Alanzo menariknya. “Umpung lo cewek, kalo cowok udah habis lo! Kita lihat aja, besok lo bakal keluar dari sekolah ini, dan gue pastiin hidup lo sama keluarga lo menderita! Dan gue gak main-main, cewek kurang ajar!”

Sheryl melepaskan tangannya dengan santai. Ia tersenyum tipis dan mengangguk santai. “Kita lihat aja, ya.”

***

Dia Berbeda

Kelas sebelas IPS tiga telah dihebohkan oleh kabar Sheryl, siswi dari kelas itu yang dengan beraninya membuat masalah dengan Alanzo. Mereka semua telah memastikan bahwa setelah Alanzo mengancam mengeluarkannya dari sekolah, maka cewek bernama Sheryl itu tidak akan pernah muncul lagi di sekolah ini.

Bukan hanya anak kelas sebelas IPS 3 tapi juga seantero sekolah. Terbukti, hari ini Sheryl tidak menampakkan batang hidung lagi di kelas itu. Hingga hari kedua, hari ketiga, Sheryl tidak pernah memberi kabar.

“Lo tahu kagak? Kata anak kelas sebelas IPS tiga, si Cewek kurang ajar yang berani sama Alanzo udah keluar dari sekolah ini!” Kenart menepuk lengan Leon yang sedang memainkan game di ponselnya. Leon tidak menunjukkan ekspresi kaget, tidak perlu dikabari pun ia juga tahu kalau cewek itu pasti sudah dikeluarkan dari sekolah saat Alanzo memberikan ancaman.

Ia tahu betul, perkataan Alanzo tidak pernah main-main.

“Gue heran napa ya tuh cewek berani buat masalah?” Kenart menaruh tangannya di dagu.

“Yah, biasa, cuma pengin cari sensasi dia,” jawab Leon seadanya. Sedang Jehab dan Omero diam sibuk dengan pikirannya masing-masing. Menurutnya itu sudah berlalu, dan tidak perlu dibahas.

Alanzo hanya tertawa saja menanggapi mereka. Ia menyembulkan rokoknya ke udara. Saat ini mereka memang sedang berada di sekolah, tapi geng Gebrastal memiliki markas tersendiri yang tidak mudah dijangkau siapa pun, kecuali anggota inti. Markas yang memang diletakkan khusus untuk geng Gebrastan berkumpul jika di sekolah.

“Kelas yuk!” ajak Omero pada keempat cowok yang masih bersantai saat bel telah berbunyi.

Mereka berdiri dari duduknya, segera mengikuti Alanzo yang berjalan keluar markas menuju kelas. Langkah kaki mereka berhasil membuat semua orang di koridor minggir dan mengheningkan suara. Mereka saling beradu tawa kala Jehab mengeluarkan jokes tidak masuk akalnya. Hingga kemudian dalam sekejap, tawa-tawa itu hilang kala mata mereka berpapasan dengan seorang cewek bermata almond dengan hidung mancungnya.

“Anjing!” umpat Leon terkaget-kaget. Bukan hanya Leon yang memasang komuk heran, tapi semua orang di koridor.

Iya, cewek itu berjalan santai berlawan arah, melirik mereka sekilas lalu melanjutkan berjalan lurus seolah tak pernah terjadi apa-apa saat Alanzo menatapnya mendelik. Sebelum cewek itu benar-benar melintas, dengan cepat Alanzo menahan lengannya, mencengkeramnya keras. “Ngapain lo masih di sini, Njing?!”

Sheryl langsung menatap cowok itu tepat di matanya dengan mata santai dan tidak ada kepanikan sama sekali di matanya. Ini adalah kali pertama ia melihat seseorang yang menatapnya tanpa rasa takut. “Lo pikir gue lagi ngapain?”

“Lo udah keluar dari sekolah ini!”

“Keluar? Haha!” kekehnya yang menerbitkan rasa heran di benak semua orang. “Kata lo, ‘kan?” Setelah itu ia ingin melepaskan tangan Alanzo dan beranjak pergi, tapi Alanzo semakin mencengkeramnya erat.

“Lo tahu ‘kan siapa gue?” Alanzo menekankan setiap kata yang ia lontarkan. “Gue pemilik sekolah ini, kalo lo macem-macem, gue gak segan-segan bikin hidup lo hancur!”

“Punya lo? Punya bokap lo maksudnya?” tanya Sheryl. Melihat Alanzo yang terdiam, Sheryl tersenyum.

“Gue bisa keluarin lo kapanpun yang gue mau dari sini.”

Sheryl terkekeh pelan. Ia memalingkan wajah ke arah lain sejenak sebelum menengok Alanzo kembali. “Buktinya gue masih di sini.”

“Lo! Harusnya pergi dari sekolah ini, cewek kurang ajar!” Alanzo menggertakkan giginya mengetahui ekspresi santai itu.

“Lebih kurang ajar mana sama cowok yang nyentuh cewek yang gak dia kenal dan nyakitin cewek dengan kasar?” Sheryl menunjuk tangan Alanzo dengan kedua alisnya, mengibaskan tangan Alanzo di lengannya dengan kedua jari, lalu menyembul-nyembul lengan yang telah tersentuh itu. “Kemarin gue biarin lo sentuh lengan gue, sekarang gak lagi.”

Tenang, santai, dan datar adalah intonasi nada bicaranya yang diikuti oleh ekspresinya.

Alanzo melirik gelagat itu. Sebuah ucapan yang membuat dirinya mengeraskan rahangnya. Namun, kali ini ia tidak menyentuh lengan itu lagi. “Sok suci lo! Denger ya! Lo emang gak akan keluar dari sekolah ini sekarang, tapi lo bakal berurusan sama gue, gue bakal bikin hidup lo gak tenang.”

Orang-orang yang mendengar itu bergidik ngeri. Jika mereka bisa memilih mungkin mereka lebih baik dikeluarkan daripada Alanzo menahannya di sekolah ini tapi Alanzo membuat hidup mereka seperti dieksekusi.

Kemudian Alanzo menarik senyum miringnya, senyum yang seharusnya tidak keluar atau tamatlah orang itu jika Alanzo mengeluarkan senyum itu. “Lo ... gue tandain sekarang.”

Sheryl hanya diam saja. Bukan diam karena takut, tapi diam yang Alanzo sendiri tidak bisa mengartikan wajah datarnya itu. Alanzo langsung saja menarik langkahnya meninggalkan Sheryl dengan perasaan murka. Ia tidak suka saat orang lain memandangnya rendah seolah dirinya orang bodoh, meski Sheryl tidak pernah melakukan itu. Dan selama ini tidak ada orang yang berani melakukan ini padanya.

Ketiga cowok di belakangnya itu kini mengekor, sedang Kenart mengepalkan tangannya kesal, menunjuk-nunjuk Sheryl. “Urusan lo sama kita semua belum selesai!”

Kalian tahu apa ekspresi yang Sheryl tunjukkan? Cewek itu hanya memasang wajah mengantuk hingga mereka semua pergi dari hadapannya, menggidikan bahu tidak peduli sebelum kembali berjalan.

Ekspresi yang tidak pernah orang lain pasang setelah berhadapan dengan Alanzo, dan hal yang menimbulkan pertanyaan besar siapa cewek itu sebenarnya dan berani-beraninya membuat masalah dengan Alanzo.

***

Ruang Kepala Sekolah. Setelah bel pulang berbunyi nyaring seakan mengusir siswa-siswi yang berbondong-bodong untuk keluar dari gerbang sekolah, berbeda dengan Alanzo yang melangkah ke ruangan itu tanpa diikuti seorang pun. Tanpa mengetuk pintu dan izin, cowok itu memasuki ruangan dengan ornamen berkelas milik kepala sekolah.

Bruk! Cepat saja, cowok itu menggebrak meja sang Kepala Sekolah dengan muka tak bersahabat. Pak Herman yang sedang menulis sesuatu langsung saja menengok pada Alanzo. Ia menghela nafas berat saat tahu maksud kedatangan cowok itu.

“Kenapa gak lo keluarin cewek itu?!”

“Alanzo, saya bisa saja mengeluarkan anak-anak yang bermasalah dengan kamu, siapa pun itu, tapi tidak dengan Sheryl.”

“Gue gak peduli, lo harus keluarin cewek kurang ajar itu dari sekolah!”

“Nak Alanzo, kalau semua kuasa dipegang saya, saya akan mudah mengeluarkan Sheryl dari sekolah ini, tapi saya tidak bisa mengeluarkan Sheryl sembarangan, Sheryl itu berbeda.”

Ini pertama kalinya kepala sekolah menolak permintaannya untuk mengeluarkan seorang siswa dari sekolah ini. Ia mengerutkan kening, sebuah pertanyaan melintasi pikirannya. “Kenapa gak bisa keluarin dia? Apa bedanya dia sama murid lain?” tanyanya menekan di setiap kata.

“Saya sudah mengajukan perizinan hingga permohonan ke papa kamu untuk mengeluarkan Sheryl, tapi papa kamu sendiri yang mengirim surat penolakan karena Sheryl berbeda. Kamu bisa tanyakan itu sendiri pada papa kamu.” Pak Herman terlihat pasrah dengan semua ini.

Alanzo memukul meja di depannya dengan kepalan tangannya keras. Sial. Kenapa harus dengan papanya? Jujur, ia paling malas jika harus berurusan dengan Jovan—papanya yang sekarang mungkin sedang ke luar negeri dan tidak mudah dihubungi. Alanzo selalu lebih memilih untuk memundurkan keinginannya, daripada harus bertemu papanya.

Dengan langkah kesal, ia segera meninggalkan ruangan kepala sekolah itu. Rasanya ia ingin meninju semua orang yang ada di sini.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!