Erika membuka dan membiarkan mimpi yang muncul itu pergi. Erika menoleh untuk menatap gaun pengantinnya yang tergantung anggun di seberang. Putih berenda dengan ujung-ujung halus menyapu lantai. Dua hari lagi dan ia akan mengenakannya. Setelah itu, Erika akan menyandang status sebagai Nyonya Hansel. Istri dari pria yang ia sukai.
Ia masih tidak mempercayai keberuntungannya sendiri. Erika datang ke Boston untuk mencari uang dan meninggalkan masa lalunya namun ia dipertemukan dengan seorang pria yang baik hati dan jatuh hati padanya.
Pertemuan pertamanya dengan Darel Hansel memang berbeda. Saat itu, Darel tidak tampak tertarik padanya namun seiring waktu pria itu mulai menjatuhkan hati padanya. Sikapnya yang dingin sekarang menghangat bagaikan musim semi yang indah. Darel sering memperhatikannya sampai pada akhirnya pria itu melamar Erika di kapal pesiar. Sungguh romantis.
Ketika turun untuk sarapan dan duduk bersama keluarga Hansel, Darel mengulurkan tangannya untuk meremas jemari Erika ketika ibunya bertanya tentang persiapan terakhir yang perlu mereka lakukan.
Darel menjelaskan bahwa persiapannya sudah 99% selesai. Ibunya terdengar puas dan segera mengangguk.
“Apakah kalian ingin ibu ikut bersama memeriksa pesanan bunga dan memastikan segalanya siap dikirim?”
“Bu, biarkan aku dan Erika menikmati waktu berdua. Ibu tidak harus menyelipkan diri diantara kami sepanjang waktu.”
Erika hanya tersenyum kecil tatkala mendengar protes dari Darel. Ia merindukan saat-saat seperti ini. Saat-saat berkumpul bersama keluarga. Saya ya sekali keluarganya sendiri tidak bisa hadir dalam pernikahannya dikarenakan jarak jauh beda benua dan negara.
“Sayang, kamu tidak apa-apa?” Tanya Darel saat melihat ekspresi sedih yang ditampilkan sekilas oleh Erika.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kamu sakit?” Tanya Darel begitu khawatir.
“Tidak, aku baik-baik saja.”
“Erika jaga kondisimu. Jangan memikirkan hal yang tidak perlu.”
“Ya mom.”
...…...
Malamnya, Erika membuat makan malam bersama calon ibu mertuanya. Begitu selesai, ia memperhatikan ketidakhadiran Darel di kursinya. Ia mengernyit bingung.
“Erika dimana Darel?”
“Keluar bersama teman-temannya, merayakan hari terakhir kebebasannya.”
“Baiklah kita akan makan malam berdua, menghabiskan waktu bersama sebelum Darel merebutmu dari mom.”
Di tempat lain, Darel bersama teman-temannya memesan minum dan memesan tempat vip yang ada club itu. Darel mendeklarasikan bahwa dirinya akan menjadi suami dan ia bangga akan itu. Bahkan tak jarang Darel mengejek temannya yang sedang menjomlo.
“Apakah kamu begitu senang?” Tanya Vero.
“Tentu saja, kamu juga akan merasa senang jika jadi aku. Karena aku senang, aku mentraktir kalian satu botol martini, dua gelas Wine merah dan empat botol whiskey berukuran besar.”
“Wahhh Darel, sering-seringlah mentraktir kami,” ucap Nick.
“Aku dengar Arvaz akan mengembangkan bisnisnya ke Boston. Kamu mengundangnya?”
“Ya dan saat ini aku rasa dia akan datang.”
“Kamu mengundangnya ke sini?” Tanya Nick tidak percaya.
“Aku ke toilet sebentar,” ucap Darel dan pria itu berdiri.
Ketika ia membuka pintu, alisnya terangkat sebelah saat wine mengenai kemeja putihnya yang sialnya itu adalah favoritnya karena itu adalah kemeja yang dibelikan oleh Erika. Wine itu menimbulkan bekas merah yang cukup terlihat mengejutkan baginya.
“Beginikah caramu mempermalukan pelanggan?”
Sadar Darel menatapnya. Pramusaji itu ketakutan.
“Aku minta maaf, aku tidak sengaja,” ujar pramusaji itu sembari mulai membersihkan bekas-bekas pecahan botol yang berserakan di bawah.
Keadaan untuk saat ini benar-benar kacau. Semua minuman yang tadi dibawanya berserakan dimana-mana.
“Ada apa ini? Sambutan yang luar biasa,” suara berat yang baru saja datang membuat ketiga pria yang ada di sana menoleh ke sumber suara.
...…...
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Begitu pertanyaan itu meluncur saat pintu dibuka dari luar. Seorang pria datang ke kamarnya, ekspresinya begitu tidak suka. Alis hitam tebal itu terangkat serentak.
Pertemuan pertama dan terakhir mereka adalah bencana dan Erika tidak pernah berharap untuk melihat pria itu lagi. Tapi, di sinilah dia sekarang berada. Saat kemunculan Arvaz, ruangan itu terasa sesak.
“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di sini mengenakan gaun sialan itu?”
Erika benar-benar bertatap mata dengan Arvaz Benedict. Pria itu masih tidak berubah. Pria yang berusia 31 tahun, dua tahun lebih tua daripada Darel dan lebih tua lima tahun dari Erika. Namun pesonanya tidak perlu diragukan.
Pria itu masih sama dengan pesonanya. Sebenarnya Darel dan Arvaz memiliki kemiripan struktur, wajah aristokrat dan rambut gelap yang memikat tapi Darel lebih lembut sedangkan Arvaz adalah kebalikannya. Ibarat Darel adalah malaikat tampan maka Arvaz adalah iblis yang penuh pesona jahat.
“Hari ini aku akan menikah,” ucap Erika sedikit tergagap. Ia saat ini sulit untuk menyembunyikan keterkejutannya karena pria itu. Lidah Erika seolah terikat di langit-langit mulutnya dan jantungnya berdebar begitu keras. Ia begitu cemas.
Seringaian mengerikan itu muncul di wajah tampan Arvaz. Tapi setampan apa pun pria itu, itu tidak bisa mengalahkan sisi jahatnya. Seluruh sel pelindung di dalam diri Erika sudah menyerukan peringatan ketika langkah pria itu perlahan mendekatinya.
“Calon suamimu itu adalah temanku. Kamu meninggalkanku karena pecundang itu?”
Diam-diam Erika menghela napas panjang untuk memberi dirinya lebih kekuatan. Menghadapi Arvaz selalu membutuhkan tenaga ekstra yang terkadang tidak Erika miliki. Erika nyaris tidak mengeluarkan kata ketika pria itu nyaris sampai di hadapannya.
Ekspresi di wajah Arvaz berubah, pria itu tampak lebih mengerikan.
“Aku akan merebutmu darinya.”
Erika mengerjap bingung untuk sesaat. Kata-kata pria itu entah kenapa membuatnya tersentak. Panas terasa membakar pipinya ketika Erika bertatapan dengan bola mata tajam yang berkilat itu.
“Apakah kamu sudah gila?”
“Tinggalkan dia.”
Erika membeku ketika suara dingin itu menyerbu punggung Erika, membuat segan untuk berpaling dan menatap wajah pria itu. Erika tidak tahu apa yang harus kupikirkan atau apa yang aia katakan.
...…...
Setelah Erika sah menjadi istri Darel. Setelah itu malamnya mereka mengadakan pesta. Darel memperkenalkan pada teman-temannya. Erika menelan salivanya begitu ia ditarik ke arahnya oleh Darel. Ketika mereka mendekat, Erika baru menyadari bahwa Darel satu kepala lebih pendek daripada Arvaz.
Erika berpikir apakah ia perlu tetap berdiri di samping suaminya atau berbalik pergi untuk bersembunyi di suatu tempat.
“Selamat, Darel. Kamu berhasil memperistri wanita cantik.”
Ketika Arvaz mengalihkan perhatiannya dari Darel kepada Erika, ia merasa jantungnya berhenti untuk sesaat saat Arvaz mengulurkan tangan ke arah Erika. Ketika melihat wanita itu bersisian dengan Darel, sesuatu terasa ke dalaman dirinya. Tapi, ia menepikan kobaran kecil itu. Bersikap mencoba tenang.
“Selamat. Aku adalah teman Darel. Darel adalah pria yang beruntung.”
Erika berusaha menjadi istri yang patuh dan juga akan melakukan yang terbaik untuk keluarga yang baru dibentuknya. Ia berusaha menjadi yang terbaik dan melakukan yang ia bisa
Siang ini, ia akan pergi ke kantor Darel untuk mengirim kotak makan siang yang ia buat sendiri khusus untuk suaminya itu. Sepanjang penjelasan menuju ke kantor Darel, Erika terus membayangkan bagaimana reaksi Darel begitu ia datang ke kantornya.
Apakah dia akan senang? Atau malah sebaliknya?
“Aku harap dia suka dengan masakanku,” ucap Erika begitu sampai di depan gedung pencakar langit milik suaminya itu.
Ia langsung memasuki kantor tersebut dan disambut oleh petugas resepsionis di sana. Erika langsung diarahkan ke kantor Darel.
Begitu ia sampai tepat di depan kantor Darel. Wanita itu menghirup udara di sekitarnya dan mengetuk pintu sebelum benar-benar membuka pintu itu. Namun begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya ia. Keterkejutannya karena menemukan pria itu di ruangan ini yang telah membekukan langkah Erika.
Ia tidak bisa menemukan suaminya di sana melainkan seseorang yang ingin ia hindari.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Begitu pertanyaan itu meluncur dari mulut orang itu, Erika langsung mengaitkan kedua alisnya. Begitu dengan pria yang kini tengah duduk di kursi kebesaran suaminya. Kedua jemarinya bertaut.
“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di kantor suamiku?” Tanya Erika mencoba menjaga ekspresinya agar tidak berubah. Arvaz Benedict pria itu memang berbahaya.
Seringai mengerikan itu muncul di wajah tersebut. Kalau boleh jujur, Arvaz adalah pria tertampan yang pernah Erika temui. Tampangnya rupawan, dengan wajah berstruktur kuat. Alisnya yang tebal dan hitam dengan bola mata yang indah dan bermartabat namun sayang mulutnya keras dan terkesan jahat.
“Suamimu itu adalah rekan bisnis sekaligus temanku.”
Erika selalu membenci kenyataan itu. Diam-diam Erika menghela napas panjang untuk memberinya sedikit kekuatan untuk menghadapi makhluk yang satu ini. Menghadapi Arvaz memang membutuhkan tenaga ekstra.
Erika sudah nyaris sampai di hadapan Arvaz ketika wanita itu membuka bibirnya.
“Lalu dimana suamiku?”
Ekspresi di wajah Arvaz berubah tampak mengerikan begitu mendengar Erika menyebut Darel adalah suaminya. Sesaat pria itu kehilangan kata-katanya.
“Kamu cari saja sendiri, jika memang dia suamimu.”
Erika menggertakkan gigi sambil berhenti di depan meja, kini menunduk untuk menatap Arvaz yang masih bergeming di tempatnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, apa yang kamu lakukan di sini?”
“Tentu saja membahas bisnis yang menguntungkan.”
Erika mengerjap bingun untuk sesaat ketika ia bertatapan dengan bola mata tajam yang berkilat itu. Erika sontak saja berdehem untuk menghilangkan kegugupan yang muncul tiba-tiba.
Erika tahu bahwa Darel berada di suatu tempat di dalam gedung pencakar langit ini tapi jika ia harus menunggunya di sini berdua dengan Arvaz, oh Erika sama sekali tidak sudi.
“Terserah padamu,” ucap Erika. Wanita itu berbalik dengan cara yang angkuh.
“Bermain-main lah dulu sambil menunggu Darel.”
“Aku memang berniat melakukannya.”
“Mau ke mana?”
“Mencari suamiku, tentu saja. Aku sudah menyiapkan bekal makan siang untuknya,” jawab Erika sambil lalu.
“Tinggalkan Darel.”
Ucapan itu yang akhirnya berhasil menjegal langkah Erika. wanita itu membeku ketika suara dingin itu menyerbu punggungnya, membuatnya segan untuk berpaling dan menatap wajah pria itu.
Butuh beberapa detik agar Erika dapat mengusai nya dirinya sendiri.
“Kalau aku tidak mau?”
Arvaz tidak langsung menjawab melainkan mulai bergerak dari tempatnya. Ketika duduk, pria itu sudah membuat Erika tidak nyaman apalagi sekarang ketika pria itu berdiri dan mulai mendekati Erika.
“Kamu tidak akan bahagia dengannya.” Kilat mata Arvaz tajam.
“Itu dalam mimpimu.”
Arvaz mengukung tubuh Erika diantara tubuhnya dan meja. Erika terkesiap begitu jemarinya meraih lengannya. Tangannya yang lain naik untuk mencengkeram dagu Erika. Pria itu lantas menurunkan wajahnya ke arahnya.
Suaranya yang serak berbisik kasar di telinga Erika, mengumandangkan ancaman.
“Tinggalkan dia jika kamu mencintai dirimu sendiri. Jika kamu memilih untuk menetap bersiaplah untuk terluka.”
Erika langsung menoleh begitu pintu kantor terbuka yang memperlihatkan wajah Darel di sana. Pria itu tampak terkejut melihat Erika yang berada di kantornya. Erika langsung mendorong tubuh Arvaz agar menjauh.
“Sayang…,” ucap Darel lalu tangannya terbuka.
Erika langsung tersenyum dan menyambut tangan-tangan itu. Ia mendekat ke pelukan Darel. Lengan-lengan yang melilit tubuhnya seakan membuatnya nyaman.
“Ada apa ini? Kenapa kamu datang ke sini?” Tanya Darel.
“Aku membawakan makan siang untukmu. Aku yang memasaknya sendiri,” ucap Erika. Wanita itu sedikit melirik ke arah Arvaz.
Rupanya bara menyala di kedua mata dan Erika langsung menghindar.
“Apakah kamu ada rapat hari ini?”
“Ya, aku ada rapat dengan Arvaz. Mungkin aku akan pulang terlambat hari ini.”
...…...
Langit mulai menggelap. Jam juga sudah hampir menunjukkan tengah hari. Namun Erika tidak melihat tanda-tanda kedatangan Darel. Pria itu memang sudah memberitahukan padanya bahwa ia akan pulang terlambat. Tapi, apakah sampai selarut ini?
“Dia sibuk dan aku tidak bisa banyak membantunya. Tapi seharusnya dia sudah pulang.”
Erika menunggu di ruang tengah dengan menyalakan televisi. Ia masih belum mengantuk tapi memang ia sedikit lelah. Menunggu Darel sampai beberapa jam di sana membuatnya sedikit bosan.
Erika lantas menunggu Darel di kamarnya. Ia berbaring di sana sambil mencoba menghubungi Darel namun hanya suara asistennya yang menjawab panggilannya.
“Di mana Darel?”
“Pak Darel masih menjamu kliennya. Saya rasa dia masih memiliki satu jam lagi.”
“Apakah kliennya bernama Arvaz?” Tanya Erika hati-hati.
“Ya, itu salah satunya. Bu Erika, pak Darel meminta anda untuk tidur lebih dulu. Beliau akan segera pulang begitu selesai.”
“Baiklah.”
Erika lalu mengakhiri panggilannya. Rasa khawatirnya kini mulai memudar. Ia mengangkat selimutnya untuk membungkus tubuhnya. Ia juga mematikan lampunya.
...…...
Arvaz membuka pelan kamar wanita itu dan menyelinap masuk. Pria itu menutup pintu dengan pelan dan beranjak ke tengah kamar mendekati ranjang tempat wanita itu berbaring.
Arvaz menginginkan wanita ini. Dan terkutuk lah, Darel merebut Erika darinya.
Arvaz mengangkat ujung selimut Erika. Wanita itu masih kucing kecil miliknya. Tangan Arvaz mulai membelai.
Erika yang merasakan tidurnya langsung terusik. Ia langsung membuka matanya dan muncullah sosok pria yang ia yakini adalah Darel. Pria itu sudah berbaring di sampingnya. Karena kamar gelap, ia tidak bisa melihat wajah Darel dengan jelas.
“Kamu sudah pulang? Apakah kamu sudah makan? Aku sudah membuatkan sup di meja makan.”
Arvaz terlihat kesal. Tadi siang Erika membuatkan makanan untuk Darel dan sekarang wanita itu juga membuatkan makan malam. Tatapan tajam langsung dilayangkan oleh Arvaz.
Pria itu lantas mencium bibir Erika dengan rasa lapar.
Pria itu tidak lembut tapi Erika merasakan gairah di dalam ciumannya. Ia ******* dengan rakus. Perlahan tapi pasti, ciuman itu merembet sampai ke leher Erika. Lalu membenamkan di bagian yang paling sensitif. Menciumi jalur di tengahnya sementara tangan yang lain meremas.
Erika membiarkan pria itu melakukannya karena berpikir bahwa Darel sudah kembali. Erika tidak menemukan sesuatu yang aneh atau tidak biasa.
Tangan pria itu sudah menanggalkan pakaian Erika dan juga pakaiannya sendiri. Tangan irtu juga yang membimbing bagian tubuhnya yang keras dan panjang dan mulai menghunjam.
Tubuh Erika langsung melenting kaku dan semua sistem saraf di dalam tubuhnya menjerit. Namun wanita itu tidak melawan. Erika merasakan napas yang terdengar mendengus ketika dia mencengkeram kakinya dan menekannya lalu kembali menekannya dan kembali berusaha menerobos ke dalam.
Rasa penuh dan sesak kembali ia rasakan.
Sepanjang malam itu, Arvaz telah menghunjam ke dalamnya berulang kali.
“Oh,” gerangan itu keluar dari mulut Erika begitu ia menyadari apa yang baru saja ditinggalkan di dalam dirinya.
Arvaz jatuh di atas Erika, panas dan basah. Napasnya berat dan cepat, Irma jantungnya berkejaran. Tapi dia sudah pulih dengan cepat. Arvaz menatap wajah Erika. Jelas pria itu terlihat senang.
Arvaz mendaratkan kecupan ringan di dahi Erika lalu pria itu mengambil bajunya yang berceceran di lantai dan memakainya. Setelah itu, Arvaz mengambil ponsel milik Erika. Ia sengaja memasang perangkat lunak rahasia di sana sebelum pergi.
Arvaz meninggalkan kediaman Darel dengan senang karena rencananya sukses besar. Ia kan berkunjung sepanjang malam sampai Erika hamil dan membuat Darel terus sibuk dengan pekerjaannya. Sementara itu, Darel baru saja sadar.
“Sepertinya aku kelelahan sampai tidur di kantor.”
Tidak merasakan ada yang aneh, Darel langsung menyuruh asistennya untuk segera membawanya pulang. Mobil lantas melaju perlahan menuju ke rumahnya. Mungkin karena lelah juga, Darel bersandar di mobilnya dan matanya kembali menutup.
“Pak Darel, kita sudah sampai.”
“Apakah kita sudah di rumah?”
“Ya, pak.”
“Jam berapa sekarang?”
“Jam tiga pagi.”
Darel lantas segera keluar dari mobilnya. Berjalan tidak stabil menuju rumahnya. Ia berjalan dan langsung menuju ke kamarnya. Ia melihat Erika yang berbaring di sana. Senyum langsung mengembang.
Darel langsung melepaskan dasinya diikuti jasnya lalu kemejanya. Pria itutu lantas berbaring di samping Erika. Tangannya terulur untuk memeluk Erika dari belakang.
Matahari yang semula bersembunyi, kini mulai merangkak naik dan memperlihatkan sinarnya. Namun tidak ada tanda-tanda dari Darel maupun Erika yang bangun. Sampai seorang pelayan mulai mengetuk pintu karena jam sudah menunjukkan sepuluh pagi dan karena ada tamu juga.
Darel bangun dan mulai mencari kemejanya lalu melangkah untuk membuka pintu lebar.
“Hai,” sapa seseorang yang bernama Vero.
“Apakah kamu baru saja bangun? Wah pengantin baru,” ucap Nick.
Darel yang awalnya setengah sedar begitu mendengar suara dari teman-temannya langsung tersadar seratus persen.
“Sayang, suara ribut-ribut apa di sana?”
Erika yang baru saja terbangun, duduk perlahan dengan mata menyipit.
Darel langsung menoleh ke belakang dan begitu terkejut melihat penampilan Erika saat ini. Selimutnya sepertinya akan merosot dan keadaan itu membuat tubuh Erika terekspos.
Darel langsung menatap ke arah Vero dan Nick yang rupanya sedari tadi matanya tidka lepas melihat istrinya.
Darel buru-buru berlari menuju ke ranjangnya. Menarik selimut itu sampai menutupi semua tubuh Erika termasuk wajahnya.
“Yakk aku tidak bisa bernapas,” keluh Erika berusaha melepas selimut dari tubuhnya.
“Tetap di dalam sana.”
“Aku tidak bisa bernapas.”
“Darel, kamu membuat istrimu tidak bisa bernapas.”
Mendengar suara itu, Erika yang tadinya berusaha keluar dari selimut. Kini tubuhnya membeku seketika. Sementara Darel langsung menatap tajam ke arah temannya dan menyuruh mereka untuk menutup pintu dan segera pergi.
...…...
Erika tidak berani keluar dari kamarnya karena ada tamu Darel yang melihatnya dengan memalukan. Namun suara perutnya terus memberontak ditambah lagi energinya yang terkuras karena malam yang begitu panas kemarin.
Dia harus keluar kamar sekarang dan menuju ke dapur untuk mengisi energinya.
Jantung Erika masih sedikit berdebar ketika ia meraih pegangan pintu lalu memutarnya perlahan. Bayangan untuk duduk di meja makan dengan makanan kesukaannya membuatnya mendekatkan tekadnya.
Betapa legalnya Erika begitu melihat Darel di lorong yang mengarah ke lantai bawah.
“Darel.”
Erika mendekati Darel dengan cepat dan bergerak untuk memeluk pria itu. Darela langsung menempelkan bibirnya di atas bibir Erika lalu tersenyum.
“Apakah teman-temanmu sudah pulang?”
“Ya, aku sudah mengusirnya.”
Darel menyapukan tangan ke belaian rambur Erika. “Apakah kamu ingin sarapan?”
“Ya.”
“Segera sarapan sementara aku akan bersiap ke kantor.”
“Sekarang? Kamu belum sarapan kan? Kita sarapan bersama.”
“Aku ingin, tapi mereka tidak membiarkanmu tenang. Mereka tidak akan berhenti mengontakku sampai aku tiba di kantor. Aku akan sarapan di jalan.”
“Tapi…”
Darel langsung menarik Erika dalam pelukannya.
“Kamu akan bekerja lembur lagi?”
“Aku akan membereskan masalah ini dan secepat mungkin akan pulang.”
“Kamu sudah berjanji padaku.”
Seperti biasa, malam ini lagi-lagi Erika menunggu kedatangan Darel. Ia sedari tadi menekan tombol remote televisi dengan random berharap ada acara yang mengisi kebosanannya. Hidup di rumah sebesar ini dan hanya ada pelayan membuat Erika seakan mati kutu.
Begitu mendengar suara pesan yang masuk di ponselnya, Erika segera mengambil ponselnya yang terletak di meja. Ia mendapatkan pesan dari Darel. Pria itu menyuruhnya untuk berdandan cantik karena mereka akan malam di luar.
“Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba? Tahu begini, aku akan bersiap dari tadi.” Ucap Erika.
Wanita itu lantas berlari ke kamarnya dan membuka semua lemarinya. Memilih baju yang menurutnya bagus untuk di pakai. Erika membongkar semua pakaiannya. Ia mencoba satu persatu yang menurutnya pantas.
“Kenapa semua tidak ada yang bagus,” ucap Erika saat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Itu adalah baju ke lima yang ia coba pakai.
Lalu sekelabat memori muncul diingatnya. Ia baru sadar kemarin Erika baru membeli baju baru. Erika kembali berlari menuju ke lemari dan mulai mencari baju yang baru kemarin ia beli.
“Ketemu.”
Setelah memakai baju dan juga memakai riasan yang tipis namun terlihat memukau. Erika pada akhirnya menuju ke tempat yang sudah ditentukan oleh Darel.
Berdiri di depan pintu kamar pribadi, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Erika memeriksa penampilannya kembali sebelum ia membuka pintu itu dengan kunci kartu. Seorang resepsionis tadi memberinya kunci kartu.
Mendorong pintu terbuka dengan lembut, ia mendapati bahwa ruangan itu gelap gulita. Berpikir itu adalah kejutan yang disiapkan oleh Darel, Erika mendorong pintu sampai terbuka dan masuk di dalamnya.
Saat pintu tertutup, tiba-tiba ia merasakan sepasang tangan menyentuhnya .
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!