><><><><><
Boom.
Suara ledakan membuat semua orang panik. Sebagian yang lain segera berlari mencari sumber dari ledakan itu. Sebagian lagi yang tidak berkepentingan segera menyelamatkan diri mereka masing masing.
Seorang laki-laki degan pakaian hitam segera membaur dengan para warga yang bergegas menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Seringainya terlihat mengerikan, ia menarik tangan salah seorang dari mereka.
"Rubby." "Hai. Kita berjumpa lagi."
Perempuan yang mengekspresikan wajah gusar tersebut diam. Mengikuti semua arah langkah kaki laki-laki yang menariknya.
"Jadi, apa kamu masih bersama Ed atau kalian sudah berpisah."
"Ini bukan tempat yang tepat."
"Baiklah Rubby, ayo ke rumah dan minum teh bersama."
"Tuan Nizcholn, aku tidak bisa ikut denganmu."
Masson mengangguk dengan senyumnya yang mengintimidasi. Dia melepas tangan Rubby untuk membiarkannya pergi.
Dengan segera Rubby berlari pergi meninggalkan Masson yang diam mebiarkannya.
"Lucu sekali." Gumamnya sembari measukkan kedua tangannya kedalam saku celananya.
Dia berjalan mengikuti Rubby, melihat perempuan itu sedang memeluk seorang anak laki-laki. Hatinya merasa iba pada keduanya. Dia menatap kebawah, berpikir kenapa istrinya tidak mau menerima uang pemberiannya.
"Permisi, tuan. Sumber ledakan telah ditemukan. Sedangkan pelakunya masih kami buru."
"Lakukan tugasmu. Amankan putraku dan ibunya, tempat ini berbahaya untuk mereka."
"Baik, kami mohon izin." Pria yang mendatangi Masson segera pergi.
Lama laki-laki itu menatap Rubby dan putranya, hanya melihat dari jauh untuk memantau kondisi putranya. Setelah Rubby dan putranya pergi, Masson ikut beranjak pergi. Hatinya merasa lega setelah melihat perkembangan anak laki-laki kesayangannya.
"Waktumu tidak lama." Gumam seorang pria dengan seringainya, berdiri tidak jauh dari Masson.
><><><><><
Perempuan dengan raut wajah gusar berlari menuju seorang anak laki-laki yang telah menantinya.
Dia mencubit gemas pipi putranya sebelum menciumnya lama. Tubuh mungil itu diangkat, membuat si anak laki-laki tertawa senang.
"Mom, apa aku semakin tinggi?"
"Ya, putra mom semakin tumbuh dan semakin tampan."
"Turunkan aku, mom. Aku ingin berjalan sendiri."
"Baik tuan muda." Dengan hati-hati Rubby menurunkan Samm dari gendongannya.
Keduanya masuk kedalam rumah. Rubby segera mengemasi barangnya dan milik Sammuel. Harus pergi mencari tempat yang aman untuk mereka. Keduanya bergegas pergi seusai mengemas barang barangnya.
Sammuel dan Rubby berjalan kaki di tengah malam, dengan waspada Rubby menggandeng tangan Samm sembari memeluk putranya erat.
Semakin lama mereka berjalan, semakin jauh pula tujuan mereka. Dia menghela napas lelah saat Samm menguap.
Perempuan itu tersenyum, mengangkat tubuh mungil Samm dan membiarkannya tidur dalam gendongannya.
Kakinya terasa sakit setelah ribuan meter menggendong Samm. Rubby kemudian duduk di pinggir jalan sambil mengusap kepala Samm. Dia tidak dapat menghubungi siapapun, akan membuatnya celaka jika begitu. Matanya terpejam saat sorot lampu mobil mengarah padanya.
Tatapan waspada dia berikan pada orang yang keluar dari dalam mobil. Dengan segala rasa yang telah bercampur aduk, Rubby menitihkan air matanya.
"Ayo kita kembali, kamu tidak boleh begini." Orang yang turun dari mobil tersebut memeluk Rubby, ia mengusap rambut Samm. Rubby mengangguk pelan, sekarang bukan saatnya untuk pergi. Keselamatan dan kesehatan putranya adalah prioritas utama.
"Astaga, keluarga yang bahagia. Sungguh."
"Masson dan Rubby."
Suara tawa yang terdengar mengerikan di malam hari, membuat Masson beranjak dan bersiap untuk memberikan bogem mentah.
Rubby ikut beranjak, ia mengeratkan pelukannya pada Samm.
Masson meloloskan bogem mentahnya pada pria yang berada di hadapannya. Dengan sekali gerakkan Masson mampu melumpuhkan lawannya.
Melihat hal itu Rubby sedikit bernapas lega, namun napasnya tertahan ketika beberapa pria tiba-tiba muncul dan mengeroyok Masson. Karena perbandingan yang berbeda,Masson mulai kewalahan. Tenaga Masson mulai melemah ketika perutnya berdarah. Napasnya pun mulai tersengal, pandangannya kabur.
"L-a-ri." Ucapnya lirih.
Rubby segera pergi, namun seseorang mendorongnya masuk ke dalam mobil yang pintunya terbuka. Masson yang melemah, tergeletak di atas aspal jalan. Hanya bisa menatap roda mobil yang berputar menjauhi dirinya.
Matanya perlahan tertutup, telinganya berdenging lama sampai ia benar benar tidak memikirkan apapun. Kosong dan gelap.
:
:
:
><><><><><
Kreeek.
Suara renyah terdengar dari tulang milik anak yang dibanting ke lantai oleh orang dewasa.
Anak laki-laki tersebut meringis kesakitan sembari menatap kaki kirinya yang sakit.
"Sammuel, duduklah dengan manis di sini oke?" Ucap pria yang membanting tubuh Samm.
Sammuel diam menahan rasa sakitnya. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan sang ibu.
Pria dengan dua tindik di hidungnya tadi pergi keluar dari ruangan. Mengunci pintu ruangan tanpa jendela dari luar.
Langkah kakinya yang berat pergi menuju suatu ruangan lain. Melihat perempuan meringkuk lemas di atas ubin yang dingin. Perempuan tersebut menarik napas dalam ketika mendengar tawa dari pria bertindik.
Berusaha untuk beranjak, namun kakinya masih terasa lemas untuk menopang tubuhnya ketika berdiri.
"Ck. Kau tidak perlu begitu, duduklah dengan tenang dan tetaplah berharap suamimu datang."
"Apa Samm baik-baik saja, Ed?"
"Putramu? Entahlah, dia sangat pintar karena hanya diam, Rubby"
Ed menyungingkan senyumnya yang menyeramkan, dia mengulum senyumnya.
Menggeleng pelan kemudian berlutut di hadapan Rubby. Ed berjalan pergi, melambaikan tangannya ke arah Rubby sebelum pintu ruangan kembali ditutup.
Pintu ruangan perlahan tertutup, membuat satu-satunya cahaya yang menerangi ruangan tersebut menghilang.
Ruangan kembali menjadi gelap.
Rubby memejamkan matanya, merapalkan doa di dalam lubuk hatinya.
'Aku harap kamu baik, semoga Tuhan mengirimmu kemari.Dan semoga Tuhan membantu kita.'
><><><><><
Matanya perlahan tertutup, telinganya berdenging lama sampai ia benar benar tidak memikirkan apapun. Kosong dan gelap.
Lama tidak ada yang membantu laki-laki yang terkulai lemas itu, karena jalanan yang sepi di tengah malam.
Hingga waktu telah menunjukkan pukul dua pagi, sepasang suami istri yang belum lama menikah turun dari mobilnya hendak mengecek sosok yang terbaring di jalan.
"Harry, dia tidak sadar. Lukanya sangat banyak, kita harus membawanya ke rumah sakit secepatnya."
"Hilda, buka pintu mobilnnya. Aku akan mengangkat laki-laki ini masuk."
Wanita bernama Hilda tersebut segera membuka pintu mobil penumpang. Membantu suaminya untuk memasukkan laki-laki yang mereka temukan.
Mobil tersebut melaju menuju rumah sakit, segera sesampainya mereka di sana para perawat yang berjaga membantu untuk memindahkan laki-laki tadi ke atas brankar rumah sakit.
"Apa kalian keluarganya?" Hilda dan Harry kompak menggeleng.
Perawat meminta mereka untuk ikut masuk.
Salah seorang dari mereke memanggil dokter yang hendak keluar dari rumah sakit untuk pulang setelah lembur.
Dokter dengan tag name Damian tersebut mengangguki permintaan si perawat untuk memeriksa pasien.
Dokter Damian membelalakkan matanya melihat siapa yang terbaring di atas branker.
"Hubungi tuan Laurent, minta dia datang kemari dan beritahukan kondisi tuan Masson."
Ucap Damian pada pria yang mengikuti dirinya, pria tersebut memisahkan diri dari mereka untuk melaksanakan tugasnya.
Masson dibawa masuk ke dalam instalasi gawat darurat, perawat segera memasangkan alat bantu bernapas.
Dia memeriksa denyut jantung Masson. Memberikan beberapa suntikan melalui infusnya yang telah dipasang oleh perawat.
Damian bernapas lega saat melihat elektrokardiograf yang kembali berjalan normal.
Dia berjalan keluar, melihat pasangan suami istri yang membawa Masson ke rumah sakit, melempar senyumnya. Ia sedikit iba pada Hilda yang tertidur di kursi tunggu.
"Terima kasih pada kalian yang mau membantu Tuan kami. Membawanya datang kemari, syukurlah Tuhan mengirim orang baik seperti kalian." Damian menyalami Harry dengan senang.
"Tidak, ini memang sudah kewajiban sesama. Apakah laki-laki itu baik-baik saja?" Harry tampak khawatir.
"Tuan baik-baik saja, itu karena kalian membawa pasien lebih cepat. Akan beda ceritanya jika tuan terlambat di bawa kemari."
"Tuan akan sadar dalam waktu dua sampai tiga jam. Tolong beristirahatlah di penginapan milik kami."
"Terima kasih atas tawarannya, kami akan melanjutkan perjalanan saja."
Damian menggeleng, membujuk Harry untuk mau menginap. Melihat istri Harry yang nampak sangat lelah, serta tuannya yang pasti ingin bertemu dengan mereka setelah dia tersadar nanti.
Harry mengangguk pelan, membangunkan istrinya dengan lembut.
"Kita istirahat sebentar. Nanti saja kita lanjutkan perjalanannya."
Hilda mengangguk mengikuti Harry yang menuntunnya karen masih mengantuk.
Damian segera memanggil asistennya, memintanya untuk mengantar Harry dan Hilda ke penginapan yang tidak jauh dari gedung rumah sakit.
Tak berselang lama setelah mobil asisten Damian pergi meninggalkan rumah sakit, sebuah mobil berhenti di ahdaoan Damian.
Pria berkaos dan jaket denim serta jeans menyapa Damian dengan wajah pucat pasi. Dia meminta Damian mengantarnya untuk melihat kondisi Masson.
"Laurent, kau sudah menyelidikinya bukan?"
"Ya, sekarang anak-anak sedang menelusuri keberadaan nyonya dan tuan muda."
"Syukurlah jika tuan berada dalam kondisi baik. Seharusnya aku mengikuti tuan meski dilarang."
Damian menepuk bahu Laurent. Dia duduk di sofa, membiarkan Laurent untuk duduk di kursi samping ranjang Masson.
><><><><><
"Damian!"
Pria dengan almamater putih dan kemeja biru yang sedang melihat catatan kesehatan pasiennya segera memasang wajah siap ketika namanya dipanggil. Dia membungkuk pada Masson yang telah bangun beberapa saat yang lalu.
"Tuan, anda sudah sadar? Saya akan memeriksa sebentar."
Masson menggeleng cepat, ia menurunkan kakinya dari atas ranjang rumah sakit dan membiarkan kaki telanjangnya menapak lantai.
Damian segera meminta tuannya untuk tidak melakukan hal tersebut. Namun Masson bersikeras untuk pergi.
Masson berdecak kesal melihat jarum infus yang menempel di tangannya. Dia duduk di pinggiran ranjang.
"Kapan cairan infus ini habis?"
"Dua jam, saya mohon tunggulah dua jam."
"Minta Laurent mengambil ancang-ancang. Aku akan pergi setelah cairan infusnya habis. Dan, jamu orang yang membawaku kemari."
Damian mengangguk, memberi kode pada tangan kanannya untuk pergi menyampaikan pesan dari tuannya pada Laurent.
Masson menyeret tiang infusnya, mendekat ke arah jendela.
"Jika aku pergi sekarang, apa kau akan mengejarku?"
"Maaf? Apa maksud anda tuan?"
Masson menarik napas dalam, berjalan ke arah pintu sambil memegang infus yang dia lepas dari tiangnya. Langkah kakinya tak berhenti untuk berlari, membuat dokter mengambil persiapan kalau saja Masson berniat pergi meninggalkan prosedur pemulihannya.
"Tuan anda hendak pergi kemana?"
"Aku jenuh di dalam sana."
Pria dengan almamater putih itu mengikuti langkah bosnya.
"Tuan kondisi anda belum sepenuhnya pulih. "
Damian berusaha meminta Masson untuk duduk.
Namun, Masson malah berjalan menuju tempat parkir saat Damian mulai lengah dengan pengawasan nya.
Masson masuk ke dalam mobil miliknya yang terparkir di barisan paling dekat dengan pintu keluar.
Seorang pengawal siap untuk mengemudikan mobil yang telah menyala itu. Masson tersenyum beruntung karena tidak perlu mengemudi dengan satu tangan yang dipasangi jarum infus.
"Tuan?"
"Pergi ke tempat Laurent sekarang juga."
"Anda baik-baik saja?"
"Pergi saja, sebelum Damian menyadari dan mengejar."
Pria yang duduk di bangku kemudi tersebut mengangguk. Dia langsung menginjak pedal gas, mobil melaju keluar dari tempat parkir.
"Kemana kita akan pergi, tuan?"
"Bawa aku ke tempat Laurent."
Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, Masson yang menahan rasa sakit pada perutnya yang kembali terluka semalam, segera mengambil menghubungi Damian agar tidak cemas.
Laki-laki tersebut melepas jarum infusnya, hendak membuang benda itu karena cairannya sudah hampir habis.
Mobil Masson masuk ke dalam sebuah pekarangan rumah sederhana yang dijadikan tempat persembunyian. Dia masuk ke ruangan Laurent, memanggil nama tangan kanannya yang segera datang menemui dirinya.
"Cepat katakan dimana letak persembunyian mereka, apa Ed sudah bisa bernegosiasi dengan kita?" Masson tidak memberi kesempatan Laurent untuk memulai pembicaraan.
Pria berambut merah tersebut memberitahu perihal rencana yang telah disusun oleh mereka.
Masson hanya mengangguk, meminta untuk segera memulai aksinya.
"Anda masih dalam kondisi pemulihan."
"Jauh akan lebih baik jika mereka baik-baik saja."
Laurent membungkuk, dia tidak berhasil membujuk bosnya. Dirinya memilih untuk mematuhi pilihan bosnya untuk segera pergi.
"Masih jauh?"
"Hampir sampai, tuan."
Masson menatap datar pada bangunan yang menjadi tempat penyekapan Samm dan Rubby.
"Kau akan berhenti di sini Ed. Aku akan menghentikan langkahmu." bisik Masson sembari melangkah dengan yakin untuk masuk ke dalam gedung itu.
Masson berjalan dibelakang Laurent, matanya yang jeli berusaha mencari sosok yang mungkin mengharapkan kehadirannya.
Suara satu tembakan membuat orang-orang yang berjaga di gedung tersebut berhamburan mencari sumber penembakan.
Para pria yang dilengkapi senjata tersebut segera mengarahkan senapannya ke depan. Berjaga agar ketika ada yang muncul segera langsung ditembaknya.
Masson yang bersembunyi di balik sebuah tembok segera mengubah rencana dalam pikirannya. Dia kembali mengambil langkah pergi dari tempat persembunyiannya. Melihat para pria tadi pergi membuat Masson dengan leluasa masuk ke dalam sebuah ruangan besar. Di dalamnya terdapat beberapa pintu.
"Laurent."
Masson menunjuk salah satu pintu, meminta Laurent untuk memeriksa pintu yang ditunjuknya.
"Tuan!"
Masson berlari ke arah Laurent ketika pria itu memanggilnya dengan terkejut. Masson masuk ke dalam diikuti oleh Laurent.
Dia tertawa pelan ketika mendengar suara tepuk tangan dari arah pintu masuk.
"Dad."
Suara lucu,tersebut membuat Masson menggeleng. Berusaha menyangkal jima itu adalah suara putranya.
' Ini hanya sebuah jebakan.' Bisik Masson dalam hati sembari meyakinkan diri.
"Kau memang bijak. Langsung memilih ruangan ini."
"Perlu kau tahu, Ed. Aku seorang Nizcholn, siapapun yang berurusan dengan Nizcholn atau yang telah menjadi kerabat Nizcholn, maka urusan mereka adalah bersamaku."
Ed bertepuk tangan lagi, dia membuang napas kemudian berdecak kesal melihat Masson.
Langsung pada inti. "
Ed mengangkat salah satu alisnya, berjalan memutari Masson yang berdiri diam.
"Apa kau mau mencari seseorang di sini?"
Masson menajamkan pandangannya pada sebuah pintu almari yang terletak di dekat pintu masuk.
Laurent yang paham dengan kode mata dari Masson segera berjalan mundur saat Ed terfokuskan pada Masson.
"Oh, apa kau pikir aku tidak menyadari perihal matamu yang bergerak menatap kesana kemari."
"Kau keliru, Masson."
"Pintu itu mengarahkan Laurent keluar dari ruangan ini. Dan dia tidak akan bisa kembali masuk kemari, karena pintu itu adalah pintu keluar yang tidak bisa dibuka dari luar."
Masson tertawa kecil, memukul rahang Ed yang lengah.
"Tidak perlu panjang lebar. Cukup beri tahu aku di mana putraku dan juga Rubby."
Ed semakin tertawa.
Dia membalas Masson dengan menyerang langsung pada kaki laki-laki tersebut. Membuat lutut Masson menempel di tanah.
"Dad."
Samar Masson mendengar suara kecil putranya. Dia mulai mengerti ketika melihat lebih teliti lagi perihal dinding ruangan tersebut.
:
:
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!